Share

Demi Ibu

"Kamu pikir aku takut denganmu? Sini maju jika kamu mau aku hajar," ucapku sambil memasang kuda-kuda.

Aku memang sedikit belajar bela diri saat mulai mengenal dunia kelam itu. Aku pikir jika orang asing itu berbuat macam-macam atau memperlakukan diriku dengan buruk maka aku akan bisa membela diri. Ditambah lagi pengalamanku di lecehkan berulang-ulang membuatku ingin bisa menjaga diriku sendiri.

Pria di depanku itu tertawa melihat apa yang aku lakukan, "Kamu pikir bisa melawanku?" tanyanya meremehkan.

Meskipun aku juga tidak yakin, tapi disini bukan tentang tenaga siapa yang lebih besar, tapi tentang teknik.

"Jangan meremehkan diriku yang sekarang, aku bukan Mentari yang dulu. Yang takut denganmu dan bisa kamu perlakuan dengan sesuka hatimu. Dan satu lagi, di kota sana aku juga kuliah, kamu pasti sudah dengar kan dari ibuku. Kamu tahu apa jurusan yang aku ambil? aku kuliah jurusan hukum biar bisa memasukkan orang-orang tidak beradab seperti dirimu kedalam penjara," ujarku mengancamnya.

Padahal aku tidak mengambil jurusan itu tapi aku mengambil jurusan administrasi perkantoran. Dalam pikiranku, jika aku mengambil jurusan itu, maka setelah lulus nanti bisa kerja di kantor dan tidak lagi bekerja seperti sekarang ini.

Lelaki di hadapanku itu terlihat berpikir, aku harap dia akan mengurungkan niatnya. Aku tidak ingin juga meladeninya saat ini, yang aku inginkan adalah segera pergi dari sini dan sampai di rumah. Kerinduanku pada ibu sudah menggebu-gebu.

"Kamu beruntung hari ini," ucapnya sambil berlalu dari hadapanku.

"Bukan aku yang beruntung, tapi memang kamu saja pada dasarnya orang yang pengecut. Hanya berani menindas orang yang lemah," ucapku dalam hati.

Aku menghela nafas panjang, setelah itu segera berlalu menuju ke rumahku. Aku ingin segera bertemu dengan ibuku, orang yang sudah melahirkan diriku dan menjadi sebab kepulanganku kali ini.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya aku sampai dirumah juga. Rumah itu masih seperti dulu, bangunan sederhana dengan tembok bercat kuning gading dengan lantai keramik model lama tidak ada perubahan sama sekali.

Selama bekerja di ibu kota, aku memang tidak mengirimkan uang untuk merenovasi rumah. Seorang lulusan SMA tidak mungkin bisa bekerja di kota besar dengan gaji yang banyak, hingga bisa kuliah sampai memperbaiki rumah. Itu yang aku pikirkan saat itu.

Suasana begitu sepi, pintu juga hanya terbuka sedikit saja. Aku ucapkan salam terlebih dahulu sebelum masuk kedalam rumah.

Tidak lama berselang, terdengar sahutan salam dari dalam. Itu seperti suara bulek, mungkin saat ini beliau sedang berada di rumah ibu.

"Riri ... Akhirnya kamu datang juga," ucapnya sambil menyongsong diriku dan membawaku dalam pelukannya.

Aku hanya bisa membalas pelukannya tanpa kata-kata. "Ibu dimana, bulek?" tanyaku saat adik ibuku itu sudah mengurangi pelukannya.

"Ibumu sedang beristirahat dikamar, tubuhnya gampang lemah sejak sakit. Ayo temui ibumu, pasti dia sangat senang melihat kedatangan dirimu." Bulek berkata sambil menarik pelan tanganku masuk kedalam rumah.

Aku mengikuti langkah kaki wanita yang juga sangat menyayangi diriku itu kedalam rumah. Kami berjalan menuju ke kamar ibu, saat bulek membuka pintu kamar tersebut nampak sosok wanita yang aku rindukan itu sedang duduk bersandar di sandaran tempat tidur.

Wajahnya tirus dan terlihat pucat, tubuhnya juga nampak lemah dan tidak berisi seperti dulu saat aku tinggalkan. Apakah ibu sudah merasakan sakit sejak lama dan hanya mengabaikannya, lalu baru sekarang beliau merasakan sakitnya?

"Ibu ... Maafkan Riri yang tidak pernah pulang dan menemuimu," ujarku sambil menghamburkan kepadanya.

Wanita yang sudah melahirkan diriku itu memelukku dengan erat dan mengusap rambutku, "Ibu tidak apa-apa, ibu baik-baik saja," ucapnya sambil terus mengelus rambutku.

"Ibu sakit apa, kenapa sampai sekurus ini?" Aku bertanya sambil memindai tubuhnya.

"Ibu tidak sakit, hanya merindukanmu saja."

Bagaimana bisa ibu mengatakan tidak sakit dengan kondisi tubuhnya seperti ini. Bulek juga bilang jika ibu sakit parah, aku harus tahu penyakit apa yang diderita oleh ibu dan akan berusaha menyembuhkannya bagaimanapun caranya dan seberapa banyak biayanya. Aku tidak mau kehilangan ibuku, cukup bapak saja yang terlebih dahulu meninggalkan kami.

"Bagaimanapun kabarmu? apa kamu baik-baik saja di kota sana?" tanya ibu sambil menatapku.

"Aku baik-baik saja, Bu. Aku hidup senang disana, ibu tidak perlu mengkhawatirkanku."

"Syukurlah jika begitu, ibu senang mendengarnya."

"Ibu harus segera sehat demi Riri." Aku berkata sambil mengengam tangannya.

Wanita yang sudah melahirkan diriku itu hanya tersenyum dengan lemah, membuat perasaanku semakin teriris. Kami saling bertukar cerita saat kami berpisah, disini akulah yang paling banyak bercerita dan ibu menanggapinya dengan sekali-kali senyum bahagia.

Bulek sudah meninggalkan kami sejak tadi, entah kemana. Mungkin ke dapur atau berberes rumah ini. Aku yakin selama ibuku sakit, beliau yang menjaganya dan merawatnya. Rumah kami yang hanya berjarak beberapa rumah, membuatnya bisa bolak-balik ke rumah ibu dan ke rumahnya sendiri.

"Ibu istirahatlah lagi, seperti ibu sangat lelah."

Aku mengatakan bukan tanpa alasan, ibu memang terlihat lelah. Nafasnya juga nampak berat, aku semakin penasaran dengan sakit yang di deritanya. Aku harus segera mencari tahu pada bulek apa sakit ibu dan bagaimana dokter menyarankannya untuk berobat.

Setelah membantu ibu berbaring, aku segera keluar kamar dan mencari bulek. Tujuanku langsung ke dapur. Mungkin saja beliau berada di sana. Tebakanku benar, adik dari ibuku itu sedang ada di dapur dan sibuk memasak.

Melihat kedatanganku, wanita itu sejenak menghentikan aktivitasnya dan melihat ke arahku. "Bulek selalu masak terlebih dahulu disni untuk ibumu, kadang sekalian saja di bawa pulang," ujarnya bercerita tanpa aku tanya.

"Terimakasih sudah menjaga ibu dengan baik, Bulek."

"Kami bersaudara, dan tentunya harus saling menjaga bukan?" pungkasnya.

Aku membenarkan perkataannya. "Sebenarnya ibu sakit apa? kenapa bisa selemah itu?" tanyaku sambil duduk di bangku yang ada di dapur, tidak jauh dari tempat bulek memasak.

"Sebentar, bulek selesaikan masak dulu. Ini tinggal di angkat saja," sahutnya sambil mengangkat wajan berisi sayuran.

Aku mengangguk dan menungguinya hingga selesai membereskan masakannya. Beberapa waktu yang lalu, ibu memang sering bolak balik berobat. Aku pikir hanya sakit biasa saja, aku tidak tahu jika beliau sudah separah itu.

Bulek yang sudah menyelesaikan masaknya, duduk di sampingku dengan tenang. Sepertinya pembicara kami ini akan berjalan dengan serius.

"Dokter bilang, ibumu itu sakit gagal ginjal dan sudah parah. Cara penyembuhannya hanya dengan cuci darah atau mengganti ginjalnya, kalau tidak salah namanya transparansi," ucapnya memulai menjelaskan.

Aku cukup terkejut mendengarnya, bagaimana bisa ibuku terkena penyakit itu. Inginnya tidak percaya, tapi bulek pasti tidak main-main dengan perkataannya atau salah dalam menerima penjelasan dokter. Meskipun bulek orang kampung, tapi beliau cukup cerdas dan mengerti dengan penjelasan seseorang padanya.

"Ibumu juga sudah tahu semuanya, dan dia tidak mau melakukannya. Kamu tahu kan, jika semuanya itu butuh uang yang banyak. Dokter bilang jika cuci darah harus di lakukan seumur hidup, jika ganti organ atau transplantasi tadi harus memiliki pendonor yang cocok. Belum lagi biayanya yang besar," tutur wanita yang ada disampingku itu menjelaskan.

Aku tidak tahu banyak tentang penyakit ini, pikiranku mendadak kosong.

"Ayo kita lakukan operasi transplantasi ginjal bulek, kita cari pendonor. Jika bulek cocok, apa bulek mau berbagi dengan ibu?" tanyaku penuh harap.

"Bulek mau, tapi biaya operasi itu sangat mahal Ri, rumah ini di jual saja belum tentu cukup untuk membayarnya. Dokter menyebutkan nilai yang sangat besar, bahkan bulek tidak ingat lagi berapa jumlahnya saking banyaknya," ujarnya dengan wajah lesu.

"Riri akan berusaha mencarinya, Riri punya banyak tabungan. Jika kurang nanti bisa pinjam di tempat kerja," ucapku berbohong.

Aku teringat uang yang diberikan Alex sebelum kami mengakhirinya kontak kami, itu jumlahnya sangat banyak. Aku yakin itu akan cukup, tidak peduli jika lelaki itu mengatakan jika uang itu untuk biaya kuliahku hingga selesai. Aku tidak mau kehilangan ibuku, aku bisa mencari lagi uang lagi bagaimana pun jalannya untuk kuliah, tapi tidak bisa mencari ibu yang baru.

🍁 🍁 🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status