"Kamu pikir aku takut denganmu? Sini maju jika kamu mau aku hajar," ucapku sambil memasang kuda-kuda.
Aku memang sedikit belajar bela diri saat mulai mengenal dunia kelam itu. Aku pikir jika orang asing itu berbuat macam-macam atau memperlakukan diriku dengan buruk maka aku akan bisa membela diri. Ditambah lagi pengalamanku di lecehkan berulang-ulang membuatku ingin bisa menjaga diriku sendiri.Pria di depanku itu tertawa melihat apa yang aku lakukan, "Kamu pikir bisa melawanku?" tanyanya meremehkan.Meskipun aku juga tidak yakin, tapi disini bukan tentang tenaga siapa yang lebih besar, tapi tentang teknik."Jangan meremehkan diriku yang sekarang, aku bukan Mentari yang dulu. Yang takut denganmu dan bisa kamu perlakuan dengan sesuka hatimu. Dan satu lagi, di kota sana aku juga kuliah, kamu pasti sudah dengar kan dari ibuku. Kamu tahu apa jurusan yang aku ambil? aku kuliah jurusan hukum biar bisa memasukkan orang-orang tidak beradab seperti dirimu kedalam penjara," ujarku mengancamnya.Padahal aku tidak mengambil jurusan itu tapi aku mengambil jurusan administrasi perkantoran. Dalam pikiranku, jika aku mengambil jurusan itu, maka setelah lulus nanti bisa kerja di kantor dan tidak lagi bekerja seperti sekarang ini.Lelaki di hadapanku itu terlihat berpikir, aku harap dia akan mengurungkan niatnya. Aku tidak ingin juga meladeninya saat ini, yang aku inginkan adalah segera pergi dari sini dan sampai di rumah. Kerinduanku pada ibu sudah menggebu-gebu."Kamu beruntung hari ini," ucapnya sambil berlalu dari hadapanku."Bukan aku yang beruntung, tapi memang kamu saja pada dasarnya orang yang pengecut. Hanya berani menindas orang yang lemah," ucapku dalam hati.Aku menghela nafas panjang, setelah itu segera berlalu menuju ke rumahku. Aku ingin segera bertemu dengan ibuku, orang yang sudah melahirkan diriku dan menjadi sebab kepulanganku kali ini.Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya aku sampai dirumah juga. Rumah itu masih seperti dulu, bangunan sederhana dengan tembok bercat kuning gading dengan lantai keramik model lama tidak ada perubahan sama sekali.Selama bekerja di ibu kota, aku memang tidak mengirimkan uang untuk merenovasi rumah. Seorang lulusan SMA tidak mungkin bisa bekerja di kota besar dengan gaji yang banyak, hingga bisa kuliah sampai memperbaiki rumah. Itu yang aku pikirkan saat itu.Suasana begitu sepi, pintu juga hanya terbuka sedikit saja. Aku ucapkan salam terlebih dahulu sebelum masuk kedalam rumah.Tidak lama berselang, terdengar sahutan salam dari dalam. Itu seperti suara bulek, mungkin saat ini beliau sedang berada di rumah ibu."Riri ... Akhirnya kamu datang juga," ucapnya sambil menyongsong diriku dan membawaku dalam pelukannya.Aku hanya bisa membalas pelukannya tanpa kata-kata. "Ibu dimana, bulek?" tanyaku saat adik ibuku itu sudah mengurangi pelukannya."Ibumu sedang beristirahat dikamar, tubuhnya gampang lemah sejak sakit. Ayo temui ibumu, pasti dia sangat senang melihat kedatangan dirimu." Bulek berkata sambil menarik pelan tanganku masuk kedalam rumah.Aku mengikuti langkah kaki wanita yang juga sangat menyayangi diriku itu kedalam rumah. Kami berjalan menuju ke kamar ibu, saat bulek membuka pintu kamar tersebut nampak sosok wanita yang aku rindukan itu sedang duduk bersandar di sandaran tempat tidur.Wajahnya tirus dan terlihat pucat, tubuhnya juga nampak lemah dan tidak berisi seperti dulu saat aku tinggalkan. Apakah ibu sudah merasakan sakit sejak lama dan hanya mengabaikannya, lalu baru sekarang beliau merasakan sakitnya?"Ibu ... Maafkan Riri yang tidak pernah pulang dan menemuimu," ujarku sambil menghamburkan kepadanya.Wanita yang sudah melahirkan diriku itu memelukku dengan erat dan mengusap rambutku, "Ibu tidak apa-apa, ibu baik-baik saja," ucapnya sambil terus mengelus rambutku."Ibu sakit apa, kenapa sampai sekurus ini?" Aku bertanya sambil memindai tubuhnya."Ibu tidak sakit, hanya merindukanmu saja."Bagaimana bisa ibu mengatakan tidak sakit dengan kondisi tubuhnya seperti ini. Bulek juga bilang jika ibu sakit parah, aku harus tahu penyakit apa yang diderita oleh ibu dan akan berusaha menyembuhkannya bagaimanapun caranya dan seberapa banyak biayanya. Aku tidak mau kehilangan ibuku, cukup bapak saja yang terlebih dahulu meninggalkan kami."Bagaimanapun kabarmu? apa kamu baik-baik saja di kota sana?" tanya ibu sambil menatapku."Aku baik-baik saja, Bu. Aku hidup senang disana, ibu tidak perlu mengkhawatirkanku.""Syukurlah jika begitu, ibu senang mendengarnya.""Ibu harus segera sehat demi Riri." Aku berkata sambil mengengam tangannya.Wanita yang sudah melahirkan diriku itu hanya tersenyum dengan lemah, membuat perasaanku semakin teriris. Kami saling bertukar cerita saat kami berpisah, disini akulah yang paling banyak bercerita dan ibu menanggapinya dengan sekali-kali senyum bahagia.Bulek sudah meninggalkan kami sejak tadi, entah kemana. Mungkin ke dapur atau berberes rumah ini. Aku yakin selama ibuku sakit, beliau yang menjaganya dan merawatnya. Rumah kami yang hanya berjarak beberapa rumah, membuatnya bisa bolak-balik ke rumah ibu dan ke rumahnya sendiri."Ibu istirahatlah lagi, seperti ibu sangat lelah."Aku mengatakan bukan tanpa alasan, ibu memang terlihat lelah. Nafasnya juga nampak berat, aku semakin penasaran dengan sakit yang di deritanya. Aku harus segera mencari tahu pada bulek apa sakit ibu dan bagaimana dokter menyarankannya untuk berobat.Setelah membantu ibu berbaring, aku segera keluar kamar dan mencari bulek. Tujuanku langsung ke dapur. Mungkin saja beliau berada di sana. Tebakanku benar, adik dari ibuku itu sedang ada di dapur dan sibuk memasak.Melihat kedatanganku, wanita itu sejenak menghentikan aktivitasnya dan melihat ke arahku. "Bulek selalu masak terlebih dahulu disni untuk ibumu, kadang sekalian saja di bawa pulang," ujarnya bercerita tanpa aku tanya."Terimakasih sudah menjaga ibu dengan baik, Bulek.""Kami bersaudara, dan tentunya harus saling menjaga bukan?" pungkasnya.Aku membenarkan perkataannya. "Sebenarnya ibu sakit apa? kenapa bisa selemah itu?" tanyaku sambil duduk di bangku yang ada di dapur, tidak jauh dari tempat bulek memasak."Sebentar, bulek selesaikan masak dulu. Ini tinggal di angkat saja," sahutnya sambil mengangkat wajan berisi sayuran.Aku mengangguk dan menungguinya hingga selesai membereskan masakannya. Beberapa waktu yang lalu, ibu memang sering bolak balik berobat. Aku pikir hanya sakit biasa saja, aku tidak tahu jika beliau sudah separah itu.Bulek yang sudah menyelesaikan masaknya, duduk di sampingku dengan tenang. Sepertinya pembicara kami ini akan berjalan dengan serius."Dokter bilang, ibumu itu sakit gagal ginjal dan sudah parah. Cara penyembuhannya hanya dengan cuci darah atau mengganti ginjalnya, kalau tidak salah namanya transparansi," ucapnya memulai menjelaskan.Aku cukup terkejut mendengarnya, bagaimana bisa ibuku terkena penyakit itu. Inginnya tidak percaya, tapi bulek pasti tidak main-main dengan perkataannya atau salah dalam menerima penjelasan dokter. Meskipun bulek orang kampung, tapi beliau cukup cerdas dan mengerti dengan penjelasan seseorang padanya."Ibumu juga sudah tahu semuanya, dan dia tidak mau melakukannya. Kamu tahu kan, jika semuanya itu butuh uang yang banyak. Dokter bilang jika cuci darah harus di lakukan seumur hidup, jika ganti organ atau transplantasi tadi harus memiliki pendonor yang cocok. Belum lagi biayanya yang besar," tutur wanita yang ada disampingku itu menjelaskan.Aku tidak tahu banyak tentang penyakit ini, pikiranku mendadak kosong."Ayo kita lakukan operasi transplantasi ginjal bulek, kita cari pendonor. Jika bulek cocok, apa bulek mau berbagi dengan ibu?" tanyaku penuh harap."Bulek mau, tapi biaya operasi itu sangat mahal Ri, rumah ini di jual saja belum tentu cukup untuk membayarnya. Dokter menyebutkan nilai yang sangat besar, bahkan bulek tidak ingat lagi berapa jumlahnya saking banyaknya," ujarnya dengan wajah lesu."Riri akan berusaha mencarinya, Riri punya banyak tabungan. Jika kurang nanti bisa pinjam di tempat kerja," ucapku berbohong.Aku teringat uang yang diberikan Alex sebelum kami mengakhirinya kontak kami, itu jumlahnya sangat banyak. Aku yakin itu akan cukup, tidak peduli jika lelaki itu mengatakan jika uang itu untuk biaya kuliahku hingga selesai. Aku tidak mau kehilangan ibuku, aku bisa mencari lagi uang lagi bagaimana pun jalannya untuk kuliah, tapi tidak bisa mencari ibu yang baru.🍁 🍁 🍁"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
"Apa aku perlu ikut, mas?" tanyaku pada Mas Bagas saat dia hendak pergi ke cafe. Mungkin Mas Bagas hendak menemui Pak Galang atau menyelesaikan pekerjaan kemarin yang belum selesai. "Tidak perlu, mas gak mau kamu ketemu dengan laki-laki itu. Kamu tungguin di kamar saja ya? bosan gak? apa mau jalan-jalan?" "Nggak mas, aku di kamar saja." "Aku akan cepat kembali," ucapnya sambil mencium keningku sebelum pergi. Seharusnya aku ikut dengannya seperti rencana awal Mas Bagas memperkenalkan aku pada usahanya di kota ini, namun kejadian kemarin membuat semuanya jadi berantakan. Kenapa juga Pak Galang dan Mas Bagas harus berteman. Setelah kepergian Mas Bagas, aku memilih untuk bersantai didalam kamar. Bermain dengan smartphone milikku dan menonton film kesukaanku. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah aku lakukan karena kesibukanku. Seharusnya saat ini akupun juga sibuk, namun nyatanya Mas Bagas memintaku untuk beristirahat saja. Aku menonton film hingga selesai beberapa judul, hingga