Share

Bab 7

"Gimana aku nggak kesel, Mbak, uang penjualan buah separuhnya sudah diambil sama Mas Helmi. Pantas saja beberpa bulan ini penghasilan menurun." 

Mbak Ratih tampak mengelus dada. 

"Mas, keluar kamu! Masih pagi, udah kelon aja!" 

Tak lama kemudian, Mbak Ambar keluar. Rambutnya acak-acakan, dasar jorok! 

"Apa sih? Berisik amat." 

"Mana Mas Helmi?" 

"Apa?" 

"Mana uang penjualan buah?" 

"Apa maksudmu?"

"Alah, jangan kebanyakan drama deh, Mas! Kamu, kan, yang bawa uang penjualan jeruk kemarin? Mang Maman sudah cerita semuanya!" 

Mas Helmi tampak gugup. Apalagi kami semua kini berdiri mengelilinginya. 

"Kalau begini terus, Ibu kamu bawa saja, Dek. Sekalian, nanti kamu jual aja itu kebun biar bebas nggak usah ke sini. Aku niat pergi ke sini mau liburan, kok yang ada malah bikin kepala pusing aja," gerutu Mas Cahyo.

"Jangan, Fir. Biar Ibu di sini aja. Ibu betah tinggal di sini, mungkin karena tempat kelahiran. Kamu do'akan saja semoga Ibu tetap sehat, ya."

"Tapi, Bu."

"Kamu dengar sendiri ucapan Ibu kan, Fir? Udah, deh. Lagian kalau Ibu nggak ngerengek mulu juga bakal aman-aman aja." 

Aku menoleh ke arah Mbak Ambar. Enteng betul dia ngomongnya? Jadi, dia masih berniat menyiksa Ibu setelah ketahuan belangnya? 

"Kalau aku sampai melihat hal yang tak diinginkan seperti ini lagi, Ibu aku bawa dan kalian akan kulaporkan ke polisi, ingat itu, Mbak." 

Bapak menarik tanganku. Selama di sini, beliau menjadi pendiam. Mungkin malas juga mau ngomong apa? 

"Sudah, Nduk. Kita beri kesempatan Masmu sekali lagi, kalau dia mengulangi, Ibumu kita bawa dan serahkan sama Imah buat merawatnya." 

Ragu, aku mengangguk. Dapat kulihat senyum penuh kemenangan di wajah sepasang suami istri itu. Awas saja jika mereka berani mengulanginya! 

-

Setelah dua hari berlalu. 

Aku akhirnya berpamitan untuk pulang. Beberapa pelanggan Mas Lian sudah menghubungi ingin servis motor. Akupun sangat sayang jika terlalu lama menutup warung. 

"Ibu hati-hati, ya? Kalau ada apa-apa, Ibu pergi ke rumah Teh Ningsih, bilang sama dia mau telepon Fira. Ini nomor Fira, ibu simpan sekalian dengan uang ini. Buat simpanan Ibu."

Mata Ibu berkaca-kaca. Berkali ia mengucapkan terima kasih, membuatku tergugu. 

"Bu, apa yang kami kasih ini, belum sepadan dengan pengorbanan Ibu waktu kecil. Mulai sekarang, jangan ungkit lagi soal kesalahan Ibu. Kita hidup melangkah maju, bukan mundur. Semua manusia punya khilaf, siapapun itu. Jadikan pelajaran. Semoga Mas Helmi bisa berubah, tak lagi menyakiti Ibu. Dan semoga Mbak Imah juga mau membuka hatinya untuk menerima Ibu kembali," ucapku sambil memeluknya. 

Sebuah pelukan ikut hadir, aku menoleh, Mas Cahyo menatap kami dengan mata berkaca. Setelah kami beranjak dewasa, baru kali ini aku melihatnya menangis. 

"Apa yang diucapkan oleh Adek ada benarnya, Bu. Yang terpenting, Ibu sehat. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat menghubungi kami sesuai anjuran Fira tadi," ucap Mas Cahyo. 

Jadilah, ruangan itu penuh dengan air mata haru. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status