"Kamu hati-hati di jalan ya, Dek!"
"Iya, Mas. Mas Cahyo nggak mau ikut kampungku? Mbak Imah kangen loh," ucapku sambil menunjukan pesan dari kakak keduaku itu. Mas Cahyo tersenyum, kemudian mengambil ponselku dan mengetik balasan untuk Kak Ima. Aku bersyukur, meskipun memiliki satu kakak yang bisa dikatakan nggak waras, tapi aku punya dua kakak yang menyayangiku. "Yaudah, Adek pulang, ya!" Aku memeluk Mbak Ratih, lalu Mas Cahyo. Sementara ke Mas Helmi dan Mbak Ambar, aku hanya bersalaman saja. Bukan bermaksud membedakan, tapi rasanya masih sakit hati dengan kenyataan yang baru saja kuketahui. "Kamu jaga kesehatan ya, Yo!" "Iya, Pak. Bapak juga, ya. Jangan makan makanan manis. Kurangi nasinya." Bapak tergelak. Beliau memang penyuka nasi. Teringat dulu sampai adu mulut hanya karena beliau tak terima aku kasih nasi sedikit di piringnya. "Insya Allah, Bapak mau hidup lebih lama lagi." Ibu menghampiri kami, lalu berbicara pada Bapak. "Maafkan aku ya, Pak. Semoga Bapak sehat terus."Bapak hanya mengangguk tanpa menjawab, namun ada yang berbeda. Sebuah senyuman terukir di bibirnya. --Aku sampai di kampung pukul dua pagi. Sambil menunggu Mas Lian membantu Bapak turun dari mobil, aku membersihkan kamar beliau dulu. Ditinggal seminggu ke Bogor, rumah ini penuh dengan debu. Mungkin karena posisinya yang terletak di pinggir jalan. "Sudah siap, Dek?" "Sudah, Mas." Mas Lian dengan telaten mengangkat tubuh Bapak dan merebahkannya di atas kasur.Pukul lima, aku bangun, lalu menggoyangkan tubuh Mas Lian agar bisa salat subuh bersama. Setelah selesai, aku bermaksud ke kamar bapak, ternyata beliau sudah salat dan kini tengah duduk di atas kasurnya. "Bapak kok nggak bangunin Fira?" "Kasihan kalian, jadi Bapak tadi tayamum saja." Aku mengangguk, kemudian keluar untuk membuka warung. Menjelang siang, Mbak Imah datang dengan tergesa. Wajahnya merah padam. "Loh, mbak? Kenapa? Tumben banget mukanya gitu?" "Kamu lihat ini, Fir!"Aku melihat dengan seksama video Ibu di layar ponsel Mbak Fira. Seketika mataku membulat. Ibu?!" Jangan-jangan, Ibu bohong tentang kerjaan yang kemarin?!Mbak Imah tampak emosi, wajahnya berkeringat. Kulihat sekeliling, tak ada motor Mbak Imah, jangan bilang ia datang ke sini jalan kaki? "Mbak ke sini jalan kaki?" "Iya. Motornya lagi dipakai sama Bagas. Keterlaluan! Pasti ini perbuatan si Helmi. Dasar anak tak tahu diuntung!" Aku mengurut dada. Lalu teringat dengan hari pertama kami datang ke sana. Saat itu Mas Helmi pulang bersama Ibu dengan wajah kurang bersahabat. "Sebenci-bencinya aku sama Ibu, nggak ada niatan aku buat nyuruh beliau ngemis! Emang kurang seons itu Masmu!" "Mbak, jangan keras-keras, nanti Bapak dengar." "Biarin! Biar Bapak tahu kalau anak yang selalu dibangga-banggakannya itu membuat ulah! Malu, Mbak, Fira. Malu! Banyak yang menghujat karena dibilang membuang orang tua. Astaghfirullah!" Mas Lian datang karena mendengar suara Mbak Imah. Letak bengkel dan warung memang bersebelahan. Sepertinya ia juga sudah penasaran sejak tadi, hanya saja pelanggannya baru pergi. "Ada apa, Mbak? Kok kayak marah gitu?" "Masmu
Menjelang sore, Helmi pulang dulu untuk tidur sebentar. Sementara Bu Ana tetap ditinggal di pasar. Melihat suaminya pulang, Ambar tersenyum lebar. "Gimana, Mas?" "Payah, cuma berapa ribu doang kali. Pasar sepi.""Ck! Padahal aku sudah pengen beli tas baru. Malu sama geng arisanku. Di antara kami, cuma aku doang yang dekil, Mas!" Helmi memperhatikan istrinya. Gelang tiga biji, kalung, anting, cincin bahkan sampai empat jarinya isi semua. Ini yang dinamakan dekil? Helmi geleng-geleng kepala. "Iya, Sayang, kamu tenang aja.""Terus Ibu mana? Kok nggak kamu bawa pulang?" "Masih di sana. Nanti lah pas magrib, biar nggak ketauan orang kalau aku sengaja menyuruh Ibu ngemis." Ambar mengangguk, kemudian mengambilkan bantal untuk suaminya. Ia sendiri berasal dari keluarga miskin. Makanya, sangat beruntung mendapatkan Helmi. Tentu saja, ini semua tak mudah baginya. Setiap bulan, ia harus mengunjungi sebuah gubuk tua demi membuat suaminya tetap menurut. Bertepatan dengan adzan magrib, Helmi
Pov FiraAku mengejar Mbak Imah yang sudah berjalan menuju Mas Helmi. Gawat ini, bisa perang dunia ketiga. Meskipun kemarin aku galak pada Mas Helmi, tapi Mbak Imah lebih keras lagi. "Heh! Anak tak tahu diuntung!" Mas Helmi sampai terlonjak mendengar teriakan Mbak Imah. Wajahnya pucat pasi, ditambah ketika melihat kami datang. "M-mbak?" ."Apa? Kamu, ya! Nggak tahu malu! Sudah tiap bulan dikasih uang untuk ngerawat Ibu. Tega kamu berbuat seperti ini?" teriak Mbak Imah. Beberapa orang yang tengah makan dan ngopi disitu, menatap kami. Aku sendiri malu, tapi gimana lagi? "Mas, boleh minta tolong gendong Ibu ke mobil, nggak?" bisikku, karena Mbak Imah masih saja teriak-teriak. Mas Suryo mengangguk, kemudian berjalan ke arah Ibu. Ia mencium tangan wanita yang telah melahirkanku itu, kemudian menggendongnya menuju mobil. Setelahnya, Mas Suryo keluar menghampiri kami. "Hel, kalau kamu nggak ikhlas merawat Ibu, harusnya kamu bilang. Biar kami jemput beliau. Kalau kaya gini, kamu mau gi
"Apanya, Mbak?" "Ck! Ya gimana itu Ibu?" Aku menggaruk kecil kepalaku. "Ya gimana lagi? Mbak harus mau merawat Ibu. Aku kan sudah kebagian jatah merawat Bapak. Bukan perhitungan, tapi tahu sendiri kan kalau Bapak dan Ibu bukan mahram lagi." "Makasih ya, Mbak," ucap Mbak Imah pada pelayan yang mengantarkan makanan. "Jadi gimana, Mbak? Kalau Mbak nggak mau rawat Ibu, ya kita tukeran aja. Mbak rawat Bapak, aku rawat Ibu. Toh jarak rumah kita dekat," ucapku pada akhirnya. "Gimana, Mas?" "Ya sudah. Gimana baiknya aja." "Nanti aku kasih tahu Mas Cahyo hasil rundingan ini. Kamu juga kasih tahu suamimu, Fir." Aku mengangguk, lalu mulai menyantap makanan. --Esok pagi. Kami sudah selesai berkemas. Aku meminta Ibu untuk duduk di sofa saja karena seprai dan sarung bantal akan kulepas. Jangan salah, ini bukan berarti aku membuat pelayan hotel kesusahan, justru hal ini membuat pekerjaan mereka terasa ringan. Mereka tinggal gulung dan masukkan ke troli untuk dibawa ke laundry. Delapan j
Pov Helmi "Bu, ayo kita mulai kerjaan kita!" ucapku sambil membenahi letak tali pinggang. Ibu yang sedang istirahat habis ngepel, pun langsung bangun. Mungkin ia takut jika kulit tuanya itu terkena batang sapu atau malah tali pinggang ini. Kalian berpikir aku jahat? Aku hanya sedang membalas sakit hatiku! Karena dia, aku gagal masuk SMA ternama. Kecewa? Pasti. Sudah bikin malu, bikin masa depanku jadi suram aja! "Nih, pakaiannya, Bu!" ucap Ambar sambil melemparkan daster ke atas meja. Ibu mengambilnya tanpa suara. Biasanya, ia akan terisak diperlakukan begini. Mungkin, kemarin ia dapat pencerahan setelah anak-anaknya kumpul di sini. "Mas, usahain jangan sampai ketahuan. Oke?" "Siap. Istri Mas yang cantik ini, jaga rumah, ya!" ucapku sambil menjawil dagunya. "Ck! Jaga rumah terus! Aku juga mau shoping, Mas. Apa kata teman-teman sosialitaku, kalau lama aku nggak nongol?""Iya, iya. Mas janji, bakal bawa uang yang banyak buat kamu. Bu, udah belum? Lelet amat, sih?!" Ibu berjalan
"Tadi, Mbak Imah datang." "Hah? Maksudmu, dia datang ke pangkalan tempat Ibu ngemis?" teriak Ambar. Aku segera menutup mulutnya. Astaga, perempuan ini, mulutnya tak bisa dijaga sedikit, apa? "Jangan keras-keras, Ma! Nanti tetangga pada dengar. Bisa berabe kita!"Ambar mengangguk, kemudian minta maaf padaku. "Terus gimana ini? Tadi dapat berapa?" Aku berdecak. Lagi genting begini saja yang dipikirkannya hanya uang dan uang. Dia pikir, aku pohon uang? "Nih," ucapku sambil menyodorkan uang lima puluh ribu. Tentu saja itu uang pribadiku. Dari pagi sepi, dari mana Ibu dapat uang sebanyak itu? Aku terduduk di depan televisi, memikirkan nasibku setelahnya. Sudahlah ketahuan nilep duit penjualan hasil kebun Fira, sekarang ditambah dengan Mbak Imah membawa Ibu ke kampung. Arrrgh! Kacau-kacau! --Dua hari kemudian. Aku mendapat telpon dari Mas Cahyo, janganlan untuk mengangkatnya, melihat namanya di layar ponsel saja sudah membuatku ketar-ketir. Apa yang harus kukatakan? Bagaimana
Dono tersenyum penuh arti, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan plastik hitam. Aku mengerutkan kening."Apa itu?""Kamu anterin barang ini ke alamat ini, nanti kubayar tiga ratus ribu. Gimana?"Aku mengerutkan kening. Hawa-hawanya memang tak bagus."Apa ini?""Barang bagus, lah.""Nark*b* ya?" tanyaku."Ssst! Jangan kenceng-kenceng! Sama aja kayak yang lagi lu isep itu," ucap Doni sambil melirik ke arah yang lain. Takut pengunjung lain mendengarnya, mungkin.Mataku membeliak, lalu membuang rokok yang masih ada setengah batang. Dono cekikikan melihat aksiku."Kenapa, Hel? Bukannya enak? Selama ini kamu menikmatinya, tuh!""Tapi nggak gini juga lah, Don! Masa kamu ngasih aku barang haram ini?!""Ya lagian, kamu juga nggak pernah nanya, tuh. Isep main isep aja."Gila, benar-benar gila si Dono! Sebejatnya aku, tak pernah berpikiran untuk mengonsumsi barang seperti ini."Sudah lah, Hel, toh kamu pun pasti sudah positif."Keringat sebiji jagung mulai keluar dari dahi. Aku memang sudah beberap
"Elah, kamu, Don!"Ambar melengos pergi begitu melihat Dono datang. Ia memang seperti begitu, katanya kapan aku hidupnya maju kalau masih saja berteman dengan pengangguran?Ah masa bodo, yang penting aku punya rumah dan tanah, meskipun sudah tak luas lagi."Kenapa, Don?""Aku, mau memberikan opsi kedua buatmu supaya dapat uang lagi, nih. Mau, nggak?"Alisku bertaut. Apalagi yang akan ditawarkannya padaku?---Pov Imah"Mas, maaf, ya, kalau kita sampai merawat Bapak," ucapku tak enak pada Mas Suryo."Iya, nggak papa, Ma. Insya Allah aku ikhlas."Hatiku terenyuh, sangat beruntung memiliki suami sebaik dan sesabar dirinya. Bapak sedang berada di kamar, mungkin masih asing tinggal di sini, karenanya beliau lebih asyik di dalam kamar."Terima kasih, Mas. Padahal orang tuamu juga sedang sakit. Tapi aku malah menambah bebanmu."Mas Suryo tersenyum sambil mengelus kepalaku. Empat belas tahun menikah dengannya, aku tak pernah merasakan kecewa. Semoga saja, jangan."Nduk, Bapak mau duduk di lua