Setelah Reno mulai makan, aku pun pergi membawa makanan untuk Rani. Kupilih makanan yang tidak pedas karena dia masih sakit."Apa Reno sudah cerita sama Bibi?" tanya Rani begitu aku duduk di samping ranjang."Sudah barusan.""Please, jangan usir kami, ya, Bi.""Tapi bagaimana kalau orang tuamu datang ke sini lalu meminta kalian pulang. Nanti Bibi juga yang kena marah Papamu.""Pokoknya aku nggak mau. Papa terus mendesakku untuk pulang ke rumah Mas Andre, padahal saat itu dia sudah mengusirku. Ini memang salahku yang tidak bisa menjaga diri." Rani duduk lalu menerima piring yang kuajukan dan bersiap untuk makan."Apa yang kamu lakukan itu memang salah. Tidak seharusnya kamu menyerahkan apa yang menjadi kebanggaan seorang wanita pada pria yang tidak halal, terlepas dia calon atau bukan calon suamimu.""Saat itu aku dijebak oleh teman-temanku. Aku tak sengaja melakukannya dalam keadaan setengah sadar." Rani berhenti menyuap beberapa saat."Apapun alasannya itu tetap salah. Coba saja kala
"Ada di kamar tamu. Tadi mereka sempat panik saat Mbak Ira menelepon. Lalu ketika mendengar suara mobil berhenti mereka pun tambah panik, disangkanya orang tua mereka yang datang.""Kasihan sekali mereka, sepertinya punya trauma tersendiri. Kalau mereka tidak mau pulang, jangan dipaksakan. Ini demi kesehatan mental mereka." Mas Fikri memberikan pendapat."Tapi bagaimana dengan orang tuanya, Mas. Bang Usman pasti akan memarahi kita.""Jangan terlalu dipikirkan. Kita pikirkan saja mental Rani dan Reno. Soal Bang Usman, bukankah sebelumnya pun dia sudah tidak suka pada kita. Jadi itu tidak akan berpengaruh pada kita. Soal caci maki, anggap saja burung beo."Setelah mendengar pendapat Mas Fikri, aku jadi lebih tenang. Jika aku memikirkan sikap Bang Usman terhadapku, maka sama aja aku ini egois. Lebih mementingkan perasaanku daripada mental anak-anak."Setelah itu aku pun menemui mereka di kamar, memberikan kabar bahwa Mas Fikri mengizinkan mereka tinggal di sini. Keduanya langsung bersora
"Oh, jadi Mbak Ira belum tahu perihal uang itu? Jangan-jangan digunakan untuk kawin lagi dan menafkahi istri mudanya.""Apa?!" Mbak Ira menegakkan badannya seraya menatap tajam ke arah Bang Usman yang membeliak.Kakak tertuaku itu mengalihkan pandangan padaku. Sejenak aku pun salah tingkah namun segera bisa menguasai diri."Apa benar yang dikatakan oleh Nurma?!" Mbak Ira mengulang pertanyaannya. Tatapannya lekat pada wajah suaminya sementara telunjuknya terarah padaku."Tentu saja tidak benar. Nurma itu hanya sok tahu. Nur, kamu jangan sembarangan kalau ngomong, nanti jadi fitnah!" Bang Usman beralih padaku."Lalu dikemanakan uang itu?!" tanya Mbak Ira lagi dengan nada tinggi."Tenang Ma, uang itu ada. Nanti sepulang dari sini kita bahas, ya." Bang Usman meraih tangan mbak Ira meski wanita berpenampilan glamor itu menariknya perlahan."Jangan lupa, Bang. Itu uang milikku!" Aku menegaskan sekali lagi. "Nur, bukankah sudah Abang katakan kalau kamu tidak .... " Bang Usman menjeda kalima
"Baru punya rumah segini saja sudah sombong, apalagi kalau sudah punya istana!""Tidak apa-apa sombong. Rumah ini dibeli menggunakan uangku, warisan dari orang tuaku. Daripada menyombongkan harta yang didapat dari hasil merampas warisan saudara sendiri.""Kurang ajar kamu!" Bang Usman bergerak mendekat ke arah Mas Fikri, tangannya terangkat ke atas. Namun bersamaan dengan itu Mbak Ira segera meraih tubuhnya."Sudah Pa, lebih baik kita pulang saja," bujuk Mbak Ira."Kalau mau, aku bisa memanggil satpam," lanjut Mas Fikri datar.Untuk beberapa saat Bang Usman hanya berdiri menatap kami secara bergantian, lalu beralih pada anak mereka. Sementara di sampingnya, Mbak Ira berdiri sambil memegangi tangan suaminya. Dada Bang Usman naik turun, menandakan emosinya sedang tidak stabil. Detik berikutnya pria itu pun berbalik ke arah pintu lalu keluar dengan langkah tergesa-gesa tanpa sepatah kata pun. Tapi sepertinya amarahnya kian memuncak, terbukti dia membanting pintu dengan sangat keras lalu
Pagi harinya kesibukan dimulai lagi. Rumah ini pun kembali ramai. Aku sibuk di dapur sementara Emak mengurus cucu-cucunya. Beruntung Rani dan Reno tidak se-manja ketika mereka di rumahnya. Reno dengan sigap mengurus kakaknya yang masih aku larang untuk jangan terlalu banyak beraktivitas. "Dek, ponselmu bunyi terus." Mas Fikri muncul di belakangku."Dari Mbak Ira 'kan?" tanyaku tanpa menoleh."Iya, sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab.""Biarkan saja, Mas. Dari aku bangun tidur itu. Palingan juga mau ngajak ribut." "Ya, sudah. Saran Mas, angkat saja, kalau dia ngajak ribut tinggal tutup teleponnya." Setelah itu Mas Fikri pun berlalu sementara ponselku ia letakkan di dekat dispenser."Bi, Bibi!" Baru saja beberapa detik, Reno datang tergopoh-gopoh. Seketika aku menoleh pada pemuda yang sedang mengacungkan ponselnya itu."Kenapa, Ren?""Mama barusan telepon, kalau Papa masuk rumah sakit. Katanya semalam tak sadarkan diri dan terkena stroke."Ya Allah, mungkin tadi Mbak Ira mengh
Kusimpan ponsel sembarang di atas sofa. Nurma tidak mau mengangkat telepon dariku. Padahal aku tahu jam segini dia sudah bangun. Sengaja aku menghubunginya setelah subuh, padahal Mas Usman dibawa ke rumah sakit masih sore. Suamiku itu terkena stroke dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Semua ini gara-gara Nurma menahan dua anakku. Aku yakin, Rani dan Reno mau kuajak pulang seandainya Nurma dan suaminya tidak ikut campur.Kemarin Mas Usman memang menyuruh Rani pulang ke rumah Andre, bukan minggat ke rumahnya Nurma. Tapi anak itu malah pergi ke rumah barunya si Nurma, ditambah lagi dia mengajak Reno. Aku juga sempat heran ketika membuntuti Reno dari sekolah dan berhenti di sebuah perumahan mewah. Kupikir dia ke rumah temannya, tapi ternyata bukan. Lalu dari mana Nurma dan Fikri punya uang untuk membeli rumah se-mewah ini. Bengkel baru saja buka beberapa bulan, apalagi toko sembako. Tidak mungkin kalau punya tabungan dari itu. Atau jangan-jangan mereka meminjam bank. Aku yakin itu.
Aku tak habis pikir dengan isi kepala Mbak Ira. Entah harus dengan cara apa untuk membuatnya sadar. Padahal aku dan anak-anaknya datang baik-baik, tapi sikap Mbak Ira tetap saja tidak bersahabat. Bukannya menarik simpati malah membuat ingin pergi. Entah apa yang dia bicarakan pada anak-anaknya ketika aku berada di luar ruangan bersama Mas Fikri. Yang jelas ketika kami berpamitan, Rani dan Reno memilih untuk pulang bersama kami. Seharusnya mereka menemani Mbak Ira menjaga Bang Usman, terutama Reno yang dalam keadaan sehat. Akan tetapi aku tidak bisa memaksa, keduanya bersikeras ikut pulang. Ketika aku tanya di perjalanan, Reno hanya menjawab kasihan sama Kak Rani. Aku pikir karena Rani memang belum pulih 100 %. Entahlah kalau ada alasan lain, keduanya seperti enggan bicara, aku pun tidak mau mengorek informasi lebih lanjut."Kamu langsung ke sekolah 'kan Ren?""Ini sudah siang, Bi, sudah terlambat. Aku pulang saja.""Terus kamu di rumah mau ngapain? Kita ke sekolah aja, nggak apa-apa
"Kalau di kampung, jagung segini banyak tidak usah beli. Tinggal petik di kebun. Emak jadi ingat kampung, Pak. Ingat kebun kacang dan kebun jagung." Emak yang sudah tiga malam berada di sini tiba-tiba teringat kampungnya."Katanya mau seminggu di sini, baru tiga malam sudah rindu kampung," jawab Bapak sambil terkekeh."Aku juga tadi sebenarnya tidak niat beli jagung. Cuma ada kakek-kakek yang nawarin, udah sore dagangannya masih banyak. Akhirnya aku beli semua, kasihan kalau kakek itu harus menjajakan dagangannya hingga sore."Rupanya Mas Fikri membeli jagung ini secara tidak sengaja, hanya karena merasa kasihan saja pada sang pedagang. Suamiku ini memang sering berbuat seperti itu membeli sesuatu bukan karena butuh tapi karena kasihan."Bagus itu, pertahankan sikap seperti itu, Fikri. Bapak selalu mengajarkan kamu untuk bisa berbagi dan meringankan beban orang lain," ucap Bapak bangga dengan anak bungsunya."Insya Allah, Pak. Selagi mampu dan bisa kita harus terus berbuat baik."Mbak