WARISAN YANG DIRAMPAS

WARISAN YANG DIRAMPAS

Oleh:  Tetiimulyati  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
82Bab
15.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Warisan yang seharusnya menjadi milik Nurma, malah dijual oleh kakak laki-lakinya setelah orang tua mereka tiada. Bukannya menjadi pelindung untuk adik perempuan satu-satunya. Usman dan Halim malah berbuat dzolim. Bahkan tempat yang menjadi mata pencaharian Nurma dan suaminya pun tak luput dari incaran mereka. Bagaimana Nurma dan suaminya memulai hidup dari nol. Apakah akan datang pertolongan yang tidak diduga? Bagaimana juga akibat yang menimpa pada kedua kakak laki-lakinya? Simak kisahnya.

Lihat lebih banyak
WARISAN YANG DIRAMPAS Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
82 Bab
1. Wasiat
"Abang kasih waktu dua hari untuk mengosongkan rumah itu, sebab akan segera ada pembeli yang datang untuk melihat-lihat." Suara Bang Usman di ujung telepon seperti menghentikan nafasku. Bagaimana tidak, baru saja 40 hari kepergian Ibu, kedua kakak laki-lakiku sudah bermaksud menjual rumah peninggalan orang tua kami yang sebenarnya menurut wasiat Bapak dan Ibu, rumah itu adalah bagianku. Aku tidak sekolah ke perguruan tinggi, sementara dua Abangku itu masing-masing lulus S2. Kata Bapak dulu, anak laki-laki harus punya pekerjaan yang layak untuk menafkahi anak istrinya, maka dari itu mereka harus sekolah tinggi. Bang Usman dan Bang Halim masing-masing menghabiskan beberapa bidang tanah dan sawah milik Bapak di kampung untuk menyelesaikan sekolah mereka.Sementara anak perempuan, meskipun sekolah tinggi, akhirnya mereka akan diam di rumah, itu kata Bapak. Kedua orang tuaku memang memiliki pikiran yang kolot hingga aku tidak mendapat izin untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan ti
Baca selengkapnya
2. Lupa Janji
Satu minggu kemudian.Anak keduaku malam ini badannya panas. Seharusnya tadi sore sudah dibawa ke dokter, tapi aku tak ada simpanan. Uang yang didapatkan Mas Fikri dari kerja serabutan di pasar hanya cukup untuk makan.Mas Fikri menyarankan supaya aku menghubungi Bang Usman untuk meminjam uang, toh nanti aku bakalan punya uang bagian dari penjualan rumah dan bengkel."Nanti bayarnya memotong uang bagianku saja, Bang, dari hasil penjualan rumah dan bengkel," ucapku setelah berbasa-basi."Dua minggu lagi pesta pernikahan Rani akan digelar. Kamu pikir aja, uang mau dipakai, kok dipinjam. Bagianmu juga mau Abang pinjam dulu," jawab Bang Usman tanpa ada beban. Padahal di awal aku sudah mengatakan bahwa anakku tengah sakit."Tapi aku butuh banget, Bang. Seratus ribu aja, untuk berobat Nisa.""Aku juga butuh untuk biaya pesta yang semakin dekat. Uang 100.000 itu kamu jual saja dulu yang ada!"Setelah itu panggilan berakhir, aku mengusap dada dengan sedikit menekan-rekannya. Rasanya sesak sek
Baca selengkapnya
3. Sumpah Serapah
Alhamdulillah kemarin Mas Fikri dapat uang lebih di pasar. Katanya ada Bos sayur yang karyawannya tidak masuk, jadi Mas Fikri menggantikannya. Meski kerjanya berat tapi bapak dari anak-anakku itu tidak pernah mengeluh."Kamu sudah izin ke sekolah Naya?" tanya Mas Fikri sambil membereskan pakaian ke dalam tas. Naya adalah anak pertama kami yang saat ini duduk di kelas dua sekolah dasar."Sudah, Mas. Untuk dua hari saja, 'kan?""Iya, kalau lama-lama di kampung, kasihan juga Naya, nanti ketinggalan pelajaran."Karena khawatir Nisa rewel, akhirnya Mas Fikri memutuskan untuk ikut naik bus saja. Kedua anakku itu sebenarnya senang akan bertemu Nenek dan Kakeknya, lantaran sudah cukup lama kami tidak berkunjung ke sana. Bukan karena apa-apa, keuangan kami akhir-akhir ini memang sedang diuji."Ponselku sepertinya berbunyi, Mas." Aku memberikan isyarat pada Mas Fikri untuk membantu mengambilnya lantaran aku kesulitan. Belum ada satu jam perjalanan, Nisa sudah terlelap di pangkuanku."Siapa yang
Baca selengkapnya
4. Rezeki Tak Terduga
"Bapak kehilangan sawah .... ""Apa?!"Aku dan Mas Fikri saling pandang."Bagaimana bisa sawah ada yang mencuri?" Mas Fikri menggaruk kepalanya."Maksud Bapak .... sawah kita kena gusur .... ""Ah, ya ampun! Kenapa Bapak tidak ngomong dari tadi. Malah bilang kehilangan, jadinya kita mikir yang tidak-tidak." Mas Fikri mengusap wajah sambil tersenyum. Sementara Bapak terkekeh sambil menggulung tembakau.Emak yang tidak terima karena Bapak telah membuat anak dan menantunya ini kaget pun sontak memukul pangkal lengan suaminya."Itu 'kan sawah kita satu-satunya, Pak?"Setahuku, bapak mertuaku ini memang hanya punya sawah satu tempat tapi lumayan luas."Iya, tapi mau bagaimana lagi, Fik." Bapak menyulut tembakau yang baru saja selesai dilinting. Menghisap kuat lalu membuang asapnya hingga mengepul di ruang kosong sekitar wajahnya."Memangnya ada pembangunan apa?""Katanya sih, untuk pembangunan jalan tol."Tak sadar kepalaku manggut-manggut. Kemudian terlintas di benakku, ada penggusuran te
Baca selengkapnya
5. Makin Berani
Tiba waktunya pulang. Sebenarnya aku masih betah tinggal di kampung, namun kami harus segera kembali lantaran Naya tidak boleh terlalu lama bolos sekolah. Soal usulanku pada Mas Fikri untuk pulang kampung dan membantu Bapak bertani rupanya harus kami urungkan, pasalnya sawah yang akan digarap pun sudah tergusur oleh pembangunan jalan tol. "Masalah uang ini, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Abang-abangmu, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami sudah berada di atas kendaraan umum."Iya Mas, bahkan aku berpikir supaya tidak perlu memberitahu mereka saja. Atau Bang Usman dan Bang Halim akan berebut untuk meminjam uang ini." Aku tersenyum miris mengingat kedua kakakku itu sepertinya sangat haus dengan yang namanya rupiah. Sebenarnya aku paham kenapa kedua Abangku sangat boros dengan uang. Itu salah mereka juga, anak-anaknya dibiasakan untuk hidup serba enak. Makan enak, pakaian bagus-bagus, semuanya serba dimanja. Itu yang membuat pengeluaran dua Abangku tidak terkontrol. Belum lagi gay
Baca selengkapnya
6. Aku Juga Butuh Uang
Pagi ini Mas Fikri berpamitan untuk mencari pekerjaan di pasar seperti biasa. Katanya mau sambil nanya-nanya pada orang pasar, mencari tempat tinggal untuk kami. Uang yang dari Bapak dan Emak kemarin, rencananya memang akan kami belikan rumah dulu. Juga untuk modal Mas Fikri memulai usahanya kembali. Jika ada sisa, kami ingin membeli kendaraan yang layak."Doakan Mas secepatnya bisa mendapatkan tempat tinggal, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika sedang bersiap pergi."Ya, Mas. Tidak apa-apa sederhana juga, yang penting milik kita sendiri dan bisa buat buka bengkel lagi.""Iya, Dek. Meskipun saat ini ada saja rezeki di pasar, namun rasanya kurang sreg aja. Karena itu belum bisa dibilang sebagai pekerjaan tetap."Setelah Mas Fikri pergi ke pasar sambil sekalian mengantar Naya ke sekolah, aku pun mulai mengerjakan pekerjaan rumah yang tersisa. Tapi semua itu urung aku lakukan ketika Mbak Ira menghubungiku.Aku malah teringat semalam ketika Mbak Ira marah-marah ditelepon lantaran sebagian ika
Baca selengkapnya
7. Tak diberi Seragam
"Ini Pa, sekarang Nurma sudah mulai bertingkah. Dia pasang tarif dan seenaknya mau pulang." Mbak Ira langsung membela diri, ditambah lagi menyudutkanku."Tapi 'kan, Mbak. Perjanjiannya tadi sampai jam 12.00. Sekarang sudah melebihi, pekerjaanku masih banyak karena ditambah dan ditambah lagi. Jadi wajar kalau aku minta uang tambahan. Asal Abang tahu, aku pasang tarif karena aku juga butuh biaya hidup. Usaha Mas Fikri 'kan Abang hentikan. Sementara uang warisan itu pun Abang tahan. Jadi wajar kalau aku mata duitan, lagipula selama ini, bayaran yang aku terima tidak layak." Aku pun tak mau kalah untuk membela diri.Bang Usman tidak bisa menjawab ketika aku mengatakan itu, sepertinya dia merasa kalau sudah mempersendat jalan rezekiku."Sudah, Ma, kasih aja. Itung-itung sedekah sama orang miskin!"Deg! Ucapan Bang Usman berhasil membuat tekanan darahku naik. Terasa perih menusuk hatiku. Dia mengatakan adiknya sendiri orang miskin. Apa dia tidak merasa yang membuat aku miskin itu adalah kak
Baca selengkapnya
8. Dikira Imitasi
Hari pernikahan Rani pun tiba. Sebuah pesta yang mewah digelar di rumahnya Bang Usman. Dari tiga hari yang lalu aku sudah sibuk membantu persiapan acara. Tak satupun kerabatnya Mbak Ira yang membantu. Tapi hari ini aku tidak mau tahu lagi urusan belakang.Aku datang pagi-pagi sekali, bersama Mas Fikri dan dua putriku yang cantik-cantik dengan dress berwarna lilac yang sama denganku. Lima hari yang lalu Mas Fikri mengajak kami berbelanja baju couple untuk dipakai hari ini. "Pilih yang terbaik, Dek. Kalian harus tampil maksimal besok.""Tapi yang bagus itu mahal, Mas.""Ya, enggak apa-apa. Beli aja!" Akhirnya aku menurut, kupilih baju yang paling mahal yang kebetulan tersedia juga ukuran untuk dua putriku. Untuk Mas Fikri juga kupilihkan atasan batik dengan warna senada. Tak lupa juga sepatu dengan hak tinggi untuk menunjang penampilanku supaya lebih sempurna."Habis ini kita mampir ke toko perhiasan, Dek.""Untuk apa, Mas?""Ya, untuk beli perhiasan, Dek. Masa beli pecel lele," jawab
Baca selengkapnya
9. Menolak Kerja Bakti
"Mas, kalau aku pikir-pikir, mungkin lebih baik kita beli mobil sekarang.""Kenapa kemarin Dek Nurma mengangguk ketika Mas bilang beli mobilnya nanti saja. Kok, sekarang berubah pikiran?" Mas Fikri menautkan alis ketika malam ini, sebelum kami tidur, aku mengutarakan keinginanku untuk cepat-cepat membeli mobil."Anak-anak sudah semakin besar, tadi saja waktu ke pestanya Bang Usman motor hampir nggak muat. Belum lagi kalau salah satu dari mereka tidur, makin berabe saja." Aku beralasan, padahal yang sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan hinaan kakak-kakakku dan istri-istrinya."Jadi, yakin nih, sekarang pengen beli mobil?" Mas Fikri kembali bertanya sambil tertawa geli meledekku."Yakin, Mas.""Nanti kita malah dikira ngepet. Pakai baju bagus dan perhiasan saja, disangka minjem, melihat uang di dompet banyak, disangka pinjol," lanjut Mas Fikri karena sebelumnya aku sudah menceritakan reaksi Mbak Diah dan Mbak Ira ketika melihat penampilanku tadi siang."Ya, nggak apa-apa, Mas. Dikira
Baca selengkapnya
10. Anak Haram
Meski baru lima hari aku membuka toko sembako di pasar, tapi alhamdulillah sudah punya pelanggan. Sengaja aku memasang harga sedikit lebih murah untuk menarik pembeli, yang penting ada sedikit sisa dari modal. Aku pernah mendengar bahwa rezeki itu tertakar dan tidak mungkin tertukar. Jadi meskipun banyak toko serupa di pasar, jika sudah rezeki maka pelangganku akan datang sendiri. Aku pun punya banyak waktu untuk keluarga, sebab jualan hanya rame sampai jam 15.00 saja.Sebenarnya Mas Fikri sempat ragu untuk mengizinkan aku berjualan. Dia bilang urusan mencari nafkah itu tanggung jawabnya. Tapi setelah aku membujuknya, akhirnya dia mengizinkan juga dengan syarat aku tidak boleh terlalu cape dan tentu saja aku tidak boleh lalai pada tanggung jawabku sebagai seorang istri dan juga ibu. Selain itu, aku punya alasan sendiri sebelum memutuskan untuk mencari kesibukan dengan cara berjualan. Disamping ingin merubah perekonomian keluargaku, aku juga ingin menghindari pekerjaan di rumah Mbak Ir
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status