Pov NurmaSebelum subuh Ibu sudah bangun. Ketika aku turun, bahkan Ibu sudah berada di dapur. Sepertinya dia akan menyiapkan sarapan. Ada rasa tidak enak melihatnya harus sibuk pagi-pagi buta di rumah anaknya sendiri."Biar aku saja, Bu. Ibu duduk saja, ya. Sekarang 'kan sudah ada aku, Ibu tidak perlu bekerja lagi." Tak tega aku melihatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah."Tidak apa-apa, Ibu sudah biasa mengerjakannya. Jadi kalau Ibu diam saja malah merasa tidak enak," jawabnya bersemangat."Ya sudah, tapi Ibu jangan mengerjakan yang berat-berat, ya."Aku tidak ingin mematahkan semangatnya, yang penting Ibu tidak merasa tertekan. Akhirnya kubiarkan dia mengerjakan sebagian pekerjaan, meskipun tetap saja aku yang dominan. Mungkin dengan cara itu Ibu bisa sedikit terhibur, menghabiskan waktu bersamaku yang selama tiga puluh tahun ini tidak pernah dia dapatkan."Siapa yang menyukai kerupuk?" tanya ibu ketika melihat satu toples besar kerupuk di meja makan."Kami semua suka, Bu. Dulu Ma
Pov authorSiang itu Nurma mendapat banyak informasi dari Hesti mengenai kondisi Nuning ketika mengandung dan melahirkan dia. Selama kehamilannya, Nuning sangat tertekan oleh teror yang terus dikirimkan anak-anaknya Rahman. Berkali-kali Nuning meminta Rahman untuk meninggalkannya dan kembali pada istri pertamanya lantaran Nuning sudah lelah dengan serangan anak sambungnya. Akan tetapi, Rahman menolak. Selain karena ia terlanjur menyayangi Nuning, dia juga tidak mau meninggalkan wanita itu dalam keadaan hamil tua."Apa seandainya aku sedang tidak hamil, Kang Rahman mau meninggalkan aku?" tanya Nuning sambil mengusap perutnya yang semakin membesar."Tolong jangan bahas soal itu. Aku mengakui ini kesalahanku, tapi anak itu harus lahir di tengah keluarganya yang utuh." "Anak ini seharusnya tidak ada, hingga aku tidak perlu terikat pada Kang Rahman."Saat itu keadaan Nuning bisa dikatakan depresi hingga ia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik dan setelah itu Nuning mengalami bab
Usman pun harus bisa menerima kenyataan bahwa komunikasinya dengan Zara yang merupakan istri simpanannya, juga anak mereka tidak sebebas dan selancar dulu. Pasalnya sekarang ada anak-anak yang mengawasinya. Meski begitu sekali-kali dia masih bisa menghubungi Zara. Tapi beberapa hari ini wanita itu sangat sulit dihubungi. Usman pun pasrah jika Zara berpaling dan menemukan pria lain yang bisa melindunginya. Usman harus bisa menerima bahwa dirinya hanya seorang pria penyakitan yang tinggal menunggu ajalnya saja. Meskipun hatinya sakit, mau tidak mau Usman harus merelakan."Pegi agi .... ?" Tanya Usman pada Ira yang malam itu sudah rapi berpakaian. Ira sekarang terlihat lebih cantik dari dulu, alasannya karena tuntutan pekerjaan. Meskipun Usman curiga bukan semata-mata karena itu, tapi untuk menyenangkan pria lain. Lagi-lagi pria itu hanya bisa meringis di dalam hati. "Iya, Pa. Kebetulan malam ini Mama ada jamuan dari rekan bisnisnya bos."Usman membuang napas berat, meskipun alasan yan
"Abang kasih waktu dua hari untuk mengosongkan rumah itu, sebab akan segera ada pembeli yang datang untuk melihat-lihat." Suara Bang Usman di ujung telepon seperti menghentikan nafasku. Bagaimana tidak, baru saja 40 hari kepergian Ibu, kedua kakak laki-lakiku sudah bermaksud menjual rumah peninggalan orang tua kami yang sebenarnya menurut wasiat Bapak dan Ibu, rumah itu adalah bagianku. Aku tidak sekolah ke perguruan tinggi, sementara dua Abangku itu masing-masing lulus S2. Kata Bapak dulu, anak laki-laki harus punya pekerjaan yang layak untuk menafkahi anak istrinya, maka dari itu mereka harus sekolah tinggi. Bang Usman dan Bang Halim masing-masing menghabiskan beberapa bidang tanah dan sawah milik Bapak di kampung untuk menyelesaikan sekolah mereka.Sementara anak perempuan, meskipun sekolah tinggi, akhirnya mereka akan diam di rumah, itu kata Bapak. Kedua orang tuaku memang memiliki pikiran yang kolot hingga aku tidak mendapat izin untuk mengenyam pendidikan di bangku perguruan ti
Satu minggu kemudian.Anak keduaku malam ini badannya panas. Seharusnya tadi sore sudah dibawa ke dokter, tapi aku tak ada simpanan. Uang yang didapatkan Mas Fikri dari kerja serabutan di pasar hanya cukup untuk makan.Mas Fikri menyarankan supaya aku menghubungi Bang Usman untuk meminjam uang, toh nanti aku bakalan punya uang bagian dari penjualan rumah dan bengkel."Nanti bayarnya memotong uang bagianku saja, Bang, dari hasil penjualan rumah dan bengkel," ucapku setelah berbasa-basi."Dua minggu lagi pesta pernikahan Rani akan digelar. Kamu pikir aja, uang mau dipakai, kok dipinjam. Bagianmu juga mau Abang pinjam dulu," jawab Bang Usman tanpa ada beban. Padahal di awal aku sudah mengatakan bahwa anakku tengah sakit."Tapi aku butuh banget, Bang. Seratus ribu aja, untuk berobat Nisa.""Aku juga butuh untuk biaya pesta yang semakin dekat. Uang 100.000 itu kamu jual saja dulu yang ada!"Setelah itu panggilan berakhir, aku mengusap dada dengan sedikit menekan-rekannya. Rasanya sesak sek
Alhamdulillah kemarin Mas Fikri dapat uang lebih di pasar. Katanya ada Bos sayur yang karyawannya tidak masuk, jadi Mas Fikri menggantikannya. Meski kerjanya berat tapi bapak dari anak-anakku itu tidak pernah mengeluh."Kamu sudah izin ke sekolah Naya?" tanya Mas Fikri sambil membereskan pakaian ke dalam tas. Naya adalah anak pertama kami yang saat ini duduk di kelas dua sekolah dasar."Sudah, Mas. Untuk dua hari saja, 'kan?""Iya, kalau lama-lama di kampung, kasihan juga Naya, nanti ketinggalan pelajaran."Karena khawatir Nisa rewel, akhirnya Mas Fikri memutuskan untuk ikut naik bus saja. Kedua anakku itu sebenarnya senang akan bertemu Nenek dan Kakeknya, lantaran sudah cukup lama kami tidak berkunjung ke sana. Bukan karena apa-apa, keuangan kami akhir-akhir ini memang sedang diuji."Ponselku sepertinya berbunyi, Mas." Aku memberikan isyarat pada Mas Fikri untuk membantu mengambilnya lantaran aku kesulitan. Belum ada satu jam perjalanan, Nisa sudah terlelap di pangkuanku."Siapa yang
"Bapak kehilangan sawah .... ""Apa?!"Aku dan Mas Fikri saling pandang."Bagaimana bisa sawah ada yang mencuri?" Mas Fikri menggaruk kepalanya."Maksud Bapak .... sawah kita kena gusur .... ""Ah, ya ampun! Kenapa Bapak tidak ngomong dari tadi. Malah bilang kehilangan, jadinya kita mikir yang tidak-tidak." Mas Fikri mengusap wajah sambil tersenyum. Sementara Bapak terkekeh sambil menggulung tembakau.Emak yang tidak terima karena Bapak telah membuat anak dan menantunya ini kaget pun sontak memukul pangkal lengan suaminya."Itu 'kan sawah kita satu-satunya, Pak?"Setahuku, bapak mertuaku ini memang hanya punya sawah satu tempat tapi lumayan luas."Iya, tapi mau bagaimana lagi, Fik." Bapak menyulut tembakau yang baru saja selesai dilinting. Menghisap kuat lalu membuang asapnya hingga mengepul di ruang kosong sekitar wajahnya."Memangnya ada pembangunan apa?""Katanya sih, untuk pembangunan jalan tol."Tak sadar kepalaku manggut-manggut. Kemudian terlintas di benakku, ada penggusuran te
Tiba waktunya pulang. Sebenarnya aku masih betah tinggal di kampung, namun kami harus segera kembali lantaran Naya tidak boleh terlalu lama bolos sekolah. Soal usulanku pada Mas Fikri untuk pulang kampung dan membantu Bapak bertani rupanya harus kami urungkan, pasalnya sawah yang akan digarap pun sudah tergusur oleh pembangunan jalan tol. "Masalah uang ini, kamu jangan bilang-bilang dulu sama Abang-abangmu, ya, Dek," ucap Mas Fikri ketika kami sudah berada di atas kendaraan umum."Iya Mas, bahkan aku berpikir supaya tidak perlu memberitahu mereka saja. Atau Bang Usman dan Bang Halim akan berebut untuk meminjam uang ini." Aku tersenyum miris mengingat kedua kakakku itu sepertinya sangat haus dengan yang namanya rupiah. Sebenarnya aku paham kenapa kedua Abangku sangat boros dengan uang. Itu salah mereka juga, anak-anaknya dibiasakan untuk hidup serba enak. Makan enak, pakaian bagus-bagus, semuanya serba dimanja. Itu yang membuat pengeluaran dua Abangku tidak terkontrol. Belum lagi gay