Share

Tahanan

last update Huling Na-update: 2020-09-15 22:44:22

Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya malam itu. Kudongakkan kepala dan menatap langit yang mendung. Ayunan dengan kursi bersandar yang kududuki tampak agak bergoyang saat aku membenarkan posisi duduk.

Aku tengah berada di Taman Kota Koba … nama yang terpampang, sih, begitu. Tapi, kata Kakek, orang-orang lebih senang menyebutnya alun-alun. Apa pun alasannya, aku sedang tak ingin peduli dengan itu.

Lantunan lagu “Jangan Menyerah” yang dibawakan D'Masiv berdentum merdu di telingaku. Namun, hanya itu saja. Aku hanya bisa mendengarkan musik itu tanpa bisa menyaksikannya dengan benar.

“Ape-ape ikak ne!”

Aku menoleh. Beberapa meter dariku, Kakek sedang bersenda gurau menggunakan bahasa Bangka yang tak kupahami dengan beberapa temannya. Salah satunya adalah seseorang yang sempat berteriak tak keruan di depan rumah tadi siang.

Sungguh menyebalkan. Kukira benar-benar ada preman atau apa. Ternyata hanya teman Kakek yang mengira kakekku membawa seorang wanita panggilan dan sebangsanya. Lalu, teman Kakek itu berakhir salah tingkah saat aku cemberut lalu masuk ke kamar dengan kaki mengentak.

“Bara!”

Aku hanya melirik malas sebagai balasan untuk kakekku, yang sedang menenteng botol alkohol dan mencoba untuk menyembunyikan itu dariku.

“Jangan jauh-jauh. Kau diam di situ saja! Nanti tersesat!”

Lagi-lagi, aku menghela napas. Ternyata, Kakek sama saja dengan Ayah dan Ibu. Mereka pikir aku akan terus … selalu harus di samping mereka? Hanya boleh berinteraksi dengan orang lain melalui komunikasi online?

Aku benar-benar sudah lelah.

Saat perhatian Kakek tercurah sepenuhnya ke obrolan bersama teman-temannya, aku berdiri dan mulai mengendap-endap seperti seorang pencuri.

Aku berjalan perlahan menjauhi area khusus anak-anak itu dengan sangat waspada. Begitu yakin kalau Kakek masih anteng di sana, aku berlari tanpa benar-benar menimbulkan suara. Puji syukur kepada dewa mana saja, suara Rian D'Masiv menyamarkan langkah-langkahku.

Karena taman kanak-kanak berada di belakang panggung, maka aku terus berlari memutar hingga tiba di selarik jalan aspal kecil yang masih dalam wilayah alun-alun. Ratusan orang sudah memadati area penonton dan aku mengeluh keras-keras. Tak mungkin aku menjejalkan diri ke sana.

Aku terlampau asing di sini.

Maka, sebagai bentuk dari menghibur diri sendiri, aku keluar dari area khusus konser. Hal pertama yang kulakukan setelah itu adalah mulai menjelajahi semua stan makanan dan minuman dengan perasaan berharap.

Pertama, aku singgah di stan yang khusus menjual milkshake ice blend. Aku membeli satu dengan rasa cokelat menggunakan uang jajanku di ATM—sore tadi Kakek mengambilkannya untukku. Rencananya aku baru bisa beli ini-itu kalau Kakek mendampingi cucunya ini. Untung aku punya rencana memberontak.

Lalu kedua, aku berhenti di stan dengan banner Sosis & Sempol. Dengan semangat aku membeli sepuluh tusuk sosis sekaligus dengan ukuran besar-besar.

Ini kebahagiaan!

Kalau boleh jujur, aku sebenarnya agak-agak gugup. Ini pertama kalinya aku pergi ke keramaian seorang diri—benar-benar sendiri!—setelah sekian lama.

Lega rasanya.

Setelah itu, aku hanya melewati stan-stan lain sambil menikmati sosis telur bersaus pedas dengan perasaan santai. Ada stan khusus anak-anak, warung bakso dan mie ayam dadakan, stan kacang rebus, stan merchandise D'Masiv, stan permen kapas, dan stan-stan lain yang membuat jalanan di luar alun-alun jadi sangat padat oleh manusia yang berjejalan.

Beberapa menit telah berlalu, maka aku memutuskan untuk kembali. Aku sedang tak ingin diceramahi oleh Kakek sekali pun.

—·—·—

“Ikak ni diem-diem nek nyari' tunang ka yang selingkuh, ok?”

Aku terkejut dan menoleh pada orang kurang ajar yang membuat jantungku hampir berakhir. Setelah memastikan Kakek masih saja mengobrol dengan teman-temannya—kini sambil duduk bersila di atas tanah—aku kembali menoleh ke samping dan melotot.

“Aku tidak bisa bahasa Bangka!” kataku ketus.

Kucoba untuk mengabaikan kata "selingkuh" yang terdengar sama maknanya jika diartikan dalam bahasa Indonesia.

Mata pemuda kurang ajar itu membulat. Ia mengangguk-angguk seakan cepat paham.

“Oh, kau baru pindah ke sini, ya?” pemuda itu berkata penasaran dengan suara agak keras, meningkahi suara artis bernyanyi di samping kami. Keningnya berkerut. “Kau dari mana?”

Giliran keningku yang berkerut. Kutelaah penampilannya. Ia memakai jaket denim biru dengan kaos putih, serta celana jeans dan sepatu kasual warna hitam. Rambutnya yang berpotongan pendek berwarna sehitam iris matanya. Wajah anak itu lumayan oke, tapi ekspresinya seperti bocah bodoh.

Sudah jelas yang namanya bocah bodoh itu tidak berbahaya.

“Aku dari Jakarta,” kujawab dengan singkat.

“Aku punya teman di sana.” Pemuda itu memberitahu.

“Aku tidak tanya,” sahutku datar.

Ia mengendus udara setidaknya dua kali sebelum kemudian mengoceh asal-asalan. “Kau ini apa, sih? Vampir atau perubah-serigala? Aku benar-benar tak bisa membedakannya. Kenapa bisa begitu? Kau pakai apa biar bisa mengacaukan aroma tubuh seperti itu?”

Setelah sempat kaget sebentar, kujaga ekspresiku agar tetap datar dan terkesan tidak peduli. Diam-diam kuputuskan, pemuda di depanku ini tidak bodoh; hanya idiot kelas berat.

“Oh, ya, kenalkan!” Pemuda itu menyodorkan tangannya. Kujabat ia dengan agak waswas. “Namaku Saga. Saga Adrian. Kau?”

“Bara.”

Kulepas jabatan tangannya, lalu beranjak meninggalkan pemuda sinting itu.

“Eh, tunggu!”

Aku menoleh. “Apa lagi?”

“Aku serius! Kau ini vampir atau perubah-serigala, sih? Beritahu saja. Aku mau jadi temanmu, kok!”

Aku menggeram. Dia mau, aku tidak mau, kataku dalam hati. Untung saja aku tidak punya cukup jam terbang untuk mengumpati seseorang secara langsung.

“Dengar, Saga.” Hampir saja kumuntahkan kembali nama itu dari mulutku. Namanya bagus, otaknya tidak. “Aku tak tahu apa masalahmu, tapi berhenti mengatakan yang tidak-tidak! Vampir atau perubah-serigala … topik viral itu sudah tenggelam bertahun-tahun lalu! Masa kau masih memikirkannya, sih?”

Saga mengerutkan kening gusar. Ia tampak luar biasa heran. Kuanggap itu sebagai pertanda bahwa otaknya memang rada bergeser.

“Kau ingin berkata bahwa kau tidak tahu siapa dirimu?” ujar Saga keheranan.

Sial. Sampai kapan ini akan berlanjut?!

Aku berkacak pinggang, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan sabar.

“Saga yang Tampan—” pemuda itu langsung tersipu, “—aku tahu siapa diriku ini, percayalah. Apa pun yang kau pikirkan, pikirkan saja sendiri. Itu urusanmu. Tapi, jangan seret aku ke dalam kegil—”

“BARBARA!”

Tak pernah kudengar Kakek memanggilki seperti itu kecuali sedang marah.

Mencoba melemaskan tubuh dari kebekuan yang melanda tiba-tiba, aku menurunkan tanganku dan membalikkan badan seperti robot. Ada yang salah dengan persendianku.

“Halo, Kakek.” Cicitanku ditenggelamkan suara Rian D'Masiv yang manis.

Leher dan punggungku mulai panas. Tanda-tanda akan terkena azab duniawi sebentar lagi.

“Mau kemana kau?” bentak Kakek, tapi, matanya melotot ke arah Saga.

“Eh, tidak ke mana-mana, kok,” jawabku cepat. “Aku cuma jalan-jalan di sekitar sini, dan tidak sengaja bertemu dia.”

Aku tersenyum gugup. Ingin rasanya aku memberi kode lewat tatapan agar Saga bisa menyamai kebohonganku, tapi urung kalau mengingat bagaimana pikirannya berjalan.

“Tidak usah berbohong!”

Aku terperanjat. Ya ampun. Deteksi Kebohongan yang dimiliki Ayah ternyata diwarisinya dari orang tua ini. Kuputuskan untuk diam saja sambil menunggu Kakek menggiringku pulang.

KEMANA KEBERANIANKU YANG AGUNG?!

“Dan kau!” Jari telunjuk Kakek secara mengejutkan menusuk dada Saga dengan geram. “Jauhi Barbara!”

Tampang Saga berubah kesal. “Keluargamu membiarkan dia ti—”

“DIAM!”

Ekspresi Saga tidak berubah. Ia tetap kesal. Aku hanya bisa menatap keduanya dengan bingung. Kakek sepertinya sudah kenal Saga.

“Pikirkan urusanmu sendiri! Jangan urusi orang lain!” tukas Kakek marah.

Hatiku bersorak karena kata-katanya hampir sama denganku beberapa saat yang lalu. Sudah jelas Saga memang tidak beres. Kakek saja sampai berpikiran begitu.

Kakek menggamit lenganku, dan kami pulang saat itu juga. Lebih cepat dari yang seharusnya.

Di perjalanan, aku cuma bisa diam sambil mengawasi hutan-hutan kecil di seberang jalan. Kakek masih tampak marah.

Sesungguhnya, aku tak pernah benar-benar tahu apa yang membuat Kakek dan orang tuaku semarah itu. Ada apa dengan Barbara dan kebebasannya?

Sialan!

“Aku menyerah, Kek,” kataku pelan.

Kakek menghentikan mobilnya di tepi jalan, membiarkan mobilnya tetap hidup.

“Apa maksudmu?” sahut Kakek datar. Matanya mengawasi motor dan mobil yang hilir mudik.

Aku menggertakkan gigi. “Ayah dan Ibu tak pernah benar-benar memberiku alasan yang cukup masuk akal. Kuharap kau bisa.”

“Tentang apa?” Suara datar itu lagi.

Ingin rasanya aku berteriak kuat-kuat di samping lubang telinga Kakek.

Alih-alih, aku hanya menjawab di antara sela-sela gigi yang masih kugertakkan. “Tentang kebebasanku seperti anak-anak normal yang lain. Kenapa aku dibatasi? Aku ini tahanan negara atau apa?”

Kakek menghela napas berat. Ia masih tak mau menatapku.

Kakekku memulai. “Kau hanya tak boleh kelu—”

“Hanya?! Apanya yang hanya?” potongku pedas.

Kakek memijit pangkal hidungnya seakan sedang lelah. “Orang tuamu sudah berusaha mengabulkan semua permintaanmu, Bara. Tolonglah hargai permintaan mereka juga.”

Aku meradang. Aku sudah cukup sabar selama belasan tahun ini. Aku tak mau jadi tahanan keluarga lebih lama lagi.

“Berikan aku alasan yang LOGIS, Kakek! Mengapa itu saja dipersulit?!”

“Karena alasan itu hanya akan membunuhmu!” Kakek berteriak. Matanya menyala-nyala oleh kemarahan saat ia akhirnya menatapku. “Tak ada dari kami yag menginginkanmu mati begitu saja!”

Aku tertawa seperti orang gila. Mataku mulai basah.

Aku berhenti tertawa. “Batasi aku beberapa bulan lagi, Kek, dan aku akan lebih cepat mati.”

“Jaga bicaramu!” bentak Kakek.

Air mataku meleleh.

“Orang tetap akan mati suatu hari nanti!” teriakku. “Apa dengan mengawasiku tiap detik lantas bisa membuat Tuhan membatalkan kematianku?!”

“Kau tetap akan mati, Bara, tapi dengan cara yang normal.” Kakek menggeram. “Bukan dengan cara … cara lain!”

Kuhapus air mataku dengan kasar. Aku tertawa dan mendengus. Tahu percakapan ini tak akan membawa kami ke mana-mana.

“Terserah kalian sajalah, Kek. Terserah kalian saja.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Teman tapi Musuh

    Saat Hugo meninggalkan aku sendiri di gua, aku kembali berbaring di ranjang batu dengan matras tipis dan selimut apak itu. Mataku nyalang menatap langit-langit gua dengan pikiran kacau dan tak menentu.Pikiran dan memoriku terasa sejernih kristal, mulai dari masa kecil hingga masa kini. Kurang dari sebulan, aku telah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda dengan aku yang sebelumnya: dingin, kejam, tak berperasaan, jahat. Dalam kurun waktu itu pula aku telah membunuh seseorang yang sepertinya sangat aku sayangi sebelumnya: ibuku.Mataku mengerjap-ngerjap. Ada tirai basah yang menutupi mataku, mengaburkan pandanganku untuk beberapa saat. Tenggorokanku tercekat, seakan aku sedang menahan tangis yang jika dikeluarkan akan mampu membuatku seperti anak kecil yang meraung-raung. Namun, ada satu perasaan lain yang menahan semua perasaanku itu.Ketidakpedulian.Aku sedih, terpukul, terkejut akan fakta bahwa dulunya aku hanyalah gadis biasa yang tidak akan mamp

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Pesan

    Aku akhirnya terbangun.Aku megap-megap menghirup udara dan tersentak hingga tubuhku setengah bangkit dari tempatku terbaring. Aku terengah-engah, menjatuhkan diri lagi di atas bantal dan memejamkan mata untuk sesaat. Kepalaku begitu pusing, seperti berputar-putar.Aku mulai merasa sudah gila.Semua kilas balik yang kualami tadi benar-benar menguras kewarasanku. Kenapa aku harus mengalami pengalaman orang lain? Tidak hanya sekadar menyaksikan kenangan seperti sebelumnya, namun aku benar-benar mengalaminya; setiap pikiran dan perbuatan mereka, setiap detail yang seharusnya tidak aku tahu.Kenapa?Semua ini membawaku pada sebuah pemikiran yang segera saja kuenyahkan jauh-jauh. Aku tak perlu memikirkan itu lagi jika itu hanya akan membuat otakku menjadi sakit.Aku membuka mata dan mengawasi atap ruangan yang tengah kutiduri. Atap itu seperti bukan atap rumah, tapi … aku terbangun dengan mendadak dan pandanganku seketika menggelap. Aku me

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Seseorang Bernama Aria

    Aku merasa takut karena aku tampaknya mulai terbiasa dengan sensasi tarik-menarik visi ini. Sampai kapan ini akan berlanjut?_________________________Gadis itu menguap. Siapa yang tidak akan bosan jika kau duduk berjam-jam di dalam mobil tanpa kegiatan yang berarti, seperti tidur, misalnya? Ia sudah melempar buku fiksi kesukaannya ke dalam tas, setelah hampir satu jam memelototi benda itu dengan antusiasme yang makin lama makin menghilang. Ia tidak tahu kenapa kemampuannya dalam menewaskan diri di mana dan kapan pun tiba-tiba meluruh. Di saat-saat seperti inilah kejengkelan nyaris membuatnya frustasi; nyaris. Seberapa jauh sebenarnya jarak yang ditempuh untuk mencapai sekolah asrama sialan itu? Satu tahun, mungkin.Ini benar-benar menyebalkan!Aria melirik lelaki berusia empat puluhan tahun yang duduk di balik kemudi dengan sinis. Ia yakin pantat Pak Baga sudah hampir melepuh. Aria sendiri sudah berganti pose duduk setidaknya seju

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Sebuah Visi

    Pikiranku terbang ke suatu tempat sementara kegelapan itu masih mencoba menggerayangiku. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tidak bisa. Mendadak sebuah visi muncul di benakku.Kukira aku sedang tertidur, tapi ternyata tidak. Aku terbangun. Aku tidak tahu apakah aku kini sedang bermimpi, masih di dalam halusinasi akibat perbuatan Reksa, atau bahkan sudah sadar dan entah bagaimana menjadi gila.Aku merasakan tubuhku terbaring di atas tempat tidur. Terbaring … begitu saja. Mataku bergerak menatap dinding ruangan yang tampaknya terbuat dari papan.Aku merasakan sedikit kepanikan karena aku tak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Kucoba untuk bernapas dengan hembusan teratur dan memejamkan mata; berkata pada diri sendiri bahwa ini bukanlah apa-apa, bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, mendadak detak jantungku meningkat, bagaikan palu yang bertalu-talu, memukul paku yang terlalu bebal untuk menembus sebuah papan. Perasaan ini bukan perasa

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Iblis Terkutuk

    Aku tanpa sadar telah mundur beberapa langkah saat Reksa si iblis berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Udara panas bagaikan memenuhi kamar dan membuat napasku menjadi sesak. Namun, aku bisa menahan rasa panas itu, meski tetap saja aku kewalahan untuk menarik oksigen dari hidungku.Sosok iblis itu berwarna merah kehitaman, secara harfiah menyala-nyala bagaikan jilatan api. Kedua matanya berbeda warna; yang satu hitam dan yang lain merah. Yang membuatku cukup terkejut adalah kepala dan tinggi tubuhnya.Iblis dalam bayanganku adalah sosok serba merah atau serba berapi dengan kepala plontos dan dua tanduk kecil, serta bertubuh besar dan sangat tinggi. Namun, iblis di depanku ini tidak botak, melainkan berambut gondrong seperti rambut genderuwo pada umumnya. Meskipun ia masih sesuai bayanganku, yaitu menyala-nyala, tapi ia tidak sangat tinggi atau sangat besar. Tinggi dan besar tubuh iblis itu kurang lebih sama saja seperti para pemain basket.Reksa si iblis menc

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Reksa

    Aku tak tahu apakah aku pernah mengharapkan akan mengalami semua kejadian yang melibatkan makhluk-makhluk mitos seperti vampire dan manusia serigala, tapi yang pasti aku merasa menyesal sudah mengenal dunia ini.Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Siapa aku, di mana aku seharusnya berada, apa aku; pertanyaan-pertanyaan itu terdengar sangat normal dan mudah, tapi hidupku yang kacau menyulitkan segalanya, bahkan yang paling sepele sekali pun.Aku mencoba tetap sadar dengan memikirkan hal-hal semacam ini di kepalaku, sementara Hugo ….Beberapa dari kalian pasti akan mengira bahwa gerakan Hugo pasti akan sangat terbatas sekali mengingat betapa parah kondisi lengannya. Namun, nyatanya justru sebaliknya.Hugo melesat begitu cepat, tepat setelah aku menggertaknya karena dia berani mengancamku.Ancamannya tidak main-main dan aku sebetulnya tidak terkejut dengan itu, tapi kecepatan gerakannya adalah hal lain. Sesaat sebelumnya ia tampak begitu

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Luka Tanpa Sengaja

    “Katakan padaku bahwa memori-memori yang kudapat saat itu tidak benar, Hugo!” aku membentak dengan suara dalam dan bergema; suara wujud serigalaku.Hugo mendengkus seraya mengangkat kedua tangannya, lalu mengangkat bahu. “Kau mau aku mengatakan apa, Barbara? Bahwa itu semua tidak benar dan kau seharusnya tidak mempercayai bocah vampire itu?” ia menyeringai. “Karena aku punya keyakinan yang kuat bahwa kau mulai mempercayai entah apa yang sudah kau alami di dalam bangsal itu.”Emosiku tiba-tiba memuncak dan aku bergerak begitu cepat, lebih cepat dari kedipan mata, menerjang lelaki dengan bekas luka di pipi itu hingga kami menabrak dinding batu kamarku. Kupikir aku berada di atas angin, namun nyatanya Hugo mampu menyerangku balik dengan melemparkan badanku hingga aku terhempas ke atas tempat tidur.Napasku tersentak keluar dengan tajam. Aku mendengar suara kayu dari tempat tidur yang memprotes karena berat tubuhku yang jatuh memb

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Alam Bawah Sadar

    Aku kembali ke kamar setelah kepergian Saga … siapa pun dia. Aku memeluk diriku sendiri dengan sikap seperti anak kecil yang kehilangan ibunya, atau mungkin akan lebih tepat: kehilangan kewarasan. Aku memegangi kepalaku, lalu berbaring miring, meringkuk seperti anak kecil.Aku mengingat semuanya, tepat setelah kenangan aneh menarikku dari kenyataan saat … setelah aku melukai bahu Saga. Aku mengingat bagaimana Hugo membawaku secara paksa dengan memanfaatkan seorang cowok bernama Arga. Aku ingat bagaimana lelaki dengan bekas luka itu mengancam Arga dengan pistol hingga aku terpaksa ikut dengannya.Aku juga ingat tentang … aku menutup mata, mencoba mengatakan satu kata itu, terasa sangat berat meskipun hanya dalam hati.Dad.Hanya ayah angkat, tapi aku teringat betapa aku menyayangi dia. Lalu, Mom.Aku menangis, benar-benar menangis. Aku mengepalkan kedua tanganku erat-erat hingga kuku-kukuku yang tak terlalu panjang menyakiti tel

  • WOLVIRE (Bahasa Indonesia)   Kekhawatiran

    Kesakten Vampir Segawon.Kata-kata itu bagaikan memenuhi pandangan Hugo yang tengah membuka buku tua itu, membacanya dengan ketidaksabaran yang semakin melunjak. Ketiga kata itu jika diartikan secara harfiah berarti Kekuatan Sakti Vampir Serigala, atau kekuatan sakti wolvire. Isinya tentang apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang wolvire, dalam hal ini tentu saja wolvire biasa.Emosi Hugo semakin menjadi-jadi saat pada salah satu bagian di buku itu menjelaskan bahwa gigitan wolvire yang dalam bentuk serigala kepada vampir lebih mematikan daripada gigitan atau cakaran wolf-shifter biasanya. Begitu pula sebaliknya, jika wolvire sedang dalam bentuk vampir, maka gigitannya pada wolf-shifter juga akan lebih mematikan dari vampire biasa.Namun, itu tidak berlaku pada wolvire bernama Barbara.Hugo membanting buku tentang wolvire itu ke lantai dengan kuat, merasa sangat marah pada dirinya sendiri dan juga pada gadis istimewa itu. Reksa, sang raja iblis

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status