Share

Wait At 24
Wait At 24
Penulis: Ghandistri

Mas Essa

Penulis: Ghandistri
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-01 23:30:26

Media sosial dan dunia maya itu surganya orang-orang pengkhayal sepertiku. Dan untuk saat ini benda itulah yang paling berjasa atas pertemuanku dengan Ressa atau biasa aku panggil Mas Essa. Mahasiswa jurusan Teknik Manufaktur di salah satu kampus di Yogyakarta. Usia yang lebih tua tiga tahun tidak aku permasalahkan.

Tujuanku tidak aneh-aneh, aku hanya mencari teman bercerita dan tidak terlalu memakai rasa. Tapi sebuah pencapaian yang luar biasa untukku saat itu. Aku yang masih duduk di kelas 3 SMP merasa bangga mempunyai teman seorang mahasiswa. Ressa tidak terlalu istimewa, parasnya biasa saja. Wajah masa peralihan dari remaja menuju dewasa masih terlihat jelas, campuran antara muda menuju tua. Gaya berpakaiannya juga sedikit norak, kurang mengikuti mode terkini. Dia tipe mahasiswa yang tidak mengikuti arus, cuek dengan segala hal yang kurang ‘berfaedah’, terlalu serius belajar, terlalu kaku, terlalu kolot dan sangat pintar. Aku belajar  menerima semuanya dan tidak menuntut lebih. Setidaknya aku bersyukur dia mau menjadi temanku disamping banyak orang yang menolak mempunyai teman dekat sepertiku lebih tepatnya karena fisik. Dia masih menerimaku sejauh ini. Selama kami belum bertemu karena masih berhubungan hanya via chat dan sms. Kita lihat saja nanti, apa dia masih bertahan saat melihat aku secara nyata.

Awal mengenal Ressa aku masih belum mengerti betul mengenai “rasa”, dimana aku baru mengalami puber yang sebenarnya dan belum pernah merasakan pacaran. Di dalam keluargaku tidak terbiasa dengan yang namanya pacaran. Agak jadul memang, tapi aku beruntung tidak menjalani hidup terlalu bebas pada waktu itu. Setidaknya sekarang aku masih utuh dan higienis. Orang tuaku memang tidak secara khusus mengikrarkan kami anak-anaknya dilarang pacaran. Namun bila dilihat dari ekspresi wajah mereka ketika aku membahas lelaki atau membawa teman lelaki akan sangat terlihat jelas dalam raut wajahnya, mereka tidak setuju dengan namanya pacaran. Terutama abangku, mereka sangat protective terhadap semua adik perempuannya. Mungkin karena mereka laki-laki, sedikit banyak mengetahui jalan pikiran setiap pasangan laki-laki saat sedang pacaran.

Ressa dan aku  terus berkomunikasi melalui sms dan telepon cukup lama sampai aku masuk SMA. Meskipun kami belum pernah bertemu, sudah mulai ada rasa sayang tumbuh sedikit-demi sedikit, merasa rindu ketika salah satu tidak menghubungi, menghabiskan waktu merangkai kata untuk dikirim, menunggu setiap waktu di depan handphone, semua itu yang peribahasa bilang “rasa datang karena terbiasa”. Rasa kami, tepatnya rasaku untuk Ressa masih timbul tenggelam. Tersamarkan oleh lingkungan baru di SMA orang-orang baru terutama rasa-rasa suka yang baru pada senior-seniorku istilah kerennya itu ‘ngeceng’.  Ngeceng atau naksir pada seseorang itu rasanya tidak jauh berbeda dari pacaran. Kalau menurutku ngeceng itu lebih mempunyai sensasi daripada pacaran. Ada rasa tertentu yang tidak bisa dijelaskan. Ada kangennya, membuat kita semangat untuk pergi ke sekolah, kesenangan tersendiri melihat kecengan dari jarak jauh, ngulik-ngulik tentang kecengan dan berusaha terlihat baik di mata kecengan. Bonusnya kalau lagi melamun , ada kecengan lewat itu serasa sedang dehidrasi disediakan air segalon, adem banget. Apalagi kalau kecengan secara tidak sengaja tersenyum kearahku, rasanya ingin teriak dan loncat-loncat, padahal belum tentu senyum itu benar untuk kita, bisa saja kebetulan.

Sekolahku yang baru termasuk sekolah berstandar tinggi, jadi tidak aneh kalau siswanya juga banyak yang berkualitas. Baik dari segi materi , wajah dan tentunya otak mereka. Sudah dapat dibayangkan akan banyak sekali siswa laki-laki yang layak dijadikan kecengan, hal itu sampai membuatku plin-plan dan selalu mengubah siapa orang yang aku suka. Tak heran jika setiap bulannya aku selalu mempunyai kecengan yang berbeda. Mudah sekali aku menyukai siswa laki-laki, terkadang karena wajahnya, kadang juga karena perawakannya, tak jarang hal itu bisa timbul hanya karena hal sepele, dengan singkat aku bisa menyukai mereka hanya karena laki-laki itu meminjamkan aku pulpen. Ah, dasar.

Hampir semua orang yang pernah mengagumi dari jauh. Mereka yang lebih memilih diam dibandingkan mengungkapkan, lebih memilih melirik daripada harus teriak memekik dan lebih memilih menahan rasa daripada berusaha menjadi penguasa cinta. Ya , lagi-lagi mereka adalah orang-orang sepertiku, yang tidak percaya diri ataupun sadar diri apa yang diharapkan adalah hal yang terlalu tinggi. Tidak ada yang memilih terlahir menjadi orang yang kurang diperhitungkan, jangankan dikagumi untuk disadari keberadaannya saja mustahil. Mengagumi itu menyiksa sekali, menahan suka pada orang yang jelas bukan milik kita, menahan rindu seperti orang dungu dan setiap memejamkan mata dunianya penuh mimpi membuat cerita sendiri dengan orang yang dikagumi. Orang kasmaran tapi tidak ada bedanya dengan orang depresi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anisa Septiati
mantap beritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Wait At 24   For My Moment

    Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai

  • Wait At 24   Kusisipkan Namamu

    "Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me

  • Wait At 24   My 24

    Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku

  • Wait At 24   I Know You

    8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set

  • Wait At 24   About Life

    Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran

  • Wait At 24   Komitmen

    Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status