Karena hari ini pengalaman pertamaku harus duduk berdampingan dengan senior, maka aku memutuskan untuk datang ke sekolah lebih awal. Selain agar aku bisa mengulang sedikit pelajaran, aku juga tidak mau menjadi pusat perhatian para senior saat aku masuk kelas kalau datang terlalu siang,. Sampai kelas tempatku ujian, baru ada sekitar 7 siswa, 3 orang senior perempuan yang sedang berkumpul di bangku yang ada di sudut kelas dan sisanya adalah teman-teman sekelasku.
Aku langsung memeriksa satu-persatu meja untuk mencari nomor pesertaku. Meja ketiga di baris kedua dekat pintu masuk, cukup strategis dan "Abimanyu Nayawaki Mohammed" nama senior yang akan menjadi teman ujianku selama seminggu ini. Nama yang cukup unik, baiklah mungkin aku panggil Bima saja agar lebih singkatBel ujian belum berbunyi, satu kelas masih ribut mengobrol kesana kemari, termasuk aku yang sedang membahas sedikit materi bahan ujian hari ini bersama teman yang duduk dibelakangku. Pukul 06.43 yang artinya tujuh belas menit sebelum ujian dimulai senior yang seharusnya duduk denganku baru saja datang. Masuk pintu kelas, berjalan di depan kelas menuju tempat duduk layaknya orang terganteng satu sekolah. Dia langsung duduk di sampingku, semacam mempunyai indera keenam dia tahu tempatnya tanpa harus mencari sepertiku tadi. Kulihat sebentar kearah seniorku itu, bukannya menyiapkan alat tulis, tapi langsung mencari teman mengobrol. Tidak kuhiraukan, aku melanjutkan percakapanku dengan Aden temanku. Meskipun kita sudah standby di kursi masing-masing, tapi suara kita sampai terdengar sampai ke ujung kelas. Semua asyik mengobrol bersama teman masing-masing, bagi yang sudah akrab dengan senior disampingnya maka mereka sudah berbicara satu sama lain.
Banyak hal yang dibahas siswa-siswa dikelasku, mulai dari mengulang hafalan, membahas rencana makan apa sewaktu istirahat nanti sampai hal yang tidak ada hubungannya dengan sekolah. Aku tidak terlalu berani memulai pembicaraan dengan Bima ataupun sekedar berkenalan. Masih merasa canggung dan sedikit risih. Tapi di sisi lain ujung mataku tertarik dengan apa yang Bima lakukan. Bima menyimpan cermin kecil hasil pinjaman dari teman perempuannya , dia simpan dengan hati-hati cermin itu di atas mejanya bagian depan. Cermin itu dia posisikan tepat ke bagian wajah temannya di bangku belakang. Sedikit penasaran, perhatianku sekarang fokus pada apa yang dia lakukan, meskipun tidak berani menanyakan untuk apa cerminnya dia posisikan seperti itu. Tapi tiba-tiba dia tersenyum memperlihatkan deretan giginya kearahku dengan sok akrabnya.
" Ini untuk nanya jawaban kebelakang, biar nggak ketahuan guru. Hehe" Katanya dengan cuek dan mimik wajah yang menggemaskan.
Aku hanya membalas dengan senyuman hambar dan sedikit canggung. Tingkahnya yang kreatif itu cukup mencairkan suasana. Sifatku yang tidak suka basa-basi dan malas memulai pembicaraan teryata dengan mudahnya Bima rubuhkan oleh sifat konyolnya. Mudah sekali dia tersenyum, membuatku yang kaku merasa malu jika tidak membalas senyumnya. Adapun yang paling unik adalah rambutnya yang menggumpal keatas. Pihak sekolah tidak punya alasan menegur model rambutnya yang kribo itu. Kalau siswa lain akan langsung dipotong di tempat jika melebihi kerah baju, nah kalau ini meskipun panjang rambutnya kalau ditarik lurus akan sampai sebahu, tapi karena menggumpal panjangnya jadi tidak melebihi kerah baju hanya menambah tingginya beberapa senti. Seperti gula kapas.
Tidak niatan untuk mengetahui lebih dalam kehidupan atau keseharian senior-seniorku itu. Hanya saja tanpa disadari ketika kita melihat suatu keadaan sekitar selalu saja menyimpulkan sendiri tentang apa yang terjadi. Begitupun aku. Dari awal masuk kelas, Bima langsung mengobrol dan membahas sesuatu dengan beberapa temannya. Rado, siswa beperawakan tinggi dengan wajah melankolis dan selalu senyum, tipe-tipe siswa ganteng tapi membosankan. Banu, siswa yang duduk dibangku belakang kita, bertubuh tinggi kurus dan berwajah biasa saja, tipe-tipe siswa slengean yang tidak suka bergaya hidup highclass. Geusan, siswa bertubuh gempal dan berwajah tampan, dari gaya bicaranya yang cukup berbobot mencerminkan dia berasal dari keluarga yang berpendidikan. Dan yang terakhir Coki, senior yang duduk tepat di sebelahku namun berbeda baris itu adalah yang paling mencolok, siswa berkulit putih dan berwajah oriental. Jika Bima sudah sok akrab, maka Coki lebih sok akrab beberapa level di atas Bima, Coki tipe-tipe senior yang yang banyak diidolakan dan pemberi harapan palsu.
Dari keakraban mereka aku dapat menyimpulkan, Bima, Rado, Banu, Geusan dan Coki adalah teman satu geng. Bukan geng motor, tapi geng-geng sekolah yang kemana-mana selalu bersama, makan bersama, main bersama ataupun bolos bersama.Ujian sudah dimulai dua puluh menit yang lalu , suasana masih hening dan belum terlihat tanda-tanda akan terjadi kecurangan. Untuk hari pertama pelajaran yang akan diujikan memang cukup mudah. Agama dan Kewarganegaraan. Tidak bermaksud menyepelekan, tapi setidaknya untuk pelajaran agama sebagian besar materinya sudah kita lakukan sehari-hari. Dan untuk kewarganegaraan, terutama pasal-pasal adalah hafalan wajib bagi siswa-siswa disekolahku. Setiap selesai upacara siswa-siswa akan berbaris untuk dites hafalan pasalnya. Bagi yang belum hafal, maka jangan harap akan diijinkan masuk kelas serta hadiahnya adalah berjemur dibawah tiang bendera sampai bel tanda habis jam pertama berbunyi.
Menit-menit terakhir sudah jelas akan keluar jurus-jurus mencontek. Duduk di sebelah seniorku yang satu itu membuatku sulit berkonsentrasi. Bima pribadi cukup tenang saat mengerjakan soal. Penyebab konsentrasiku terganggu karena adanya kerusuhan yang dilakukan senior-senior lain, terutama teman satu geng Bima. Mereka sibuk meminta jawaban dengan cara melempar kertas-kertas yang sudah dirobek kecil sebelumnya. Coki yang sangat sering menanyakan jawaban, entah dia memang kurang pintar atau tidak belajar sama-sekali. Sesekali aku melirik kearah Bima dengan ujung mataku, terlihat mimik kesal namun tak berdaya. Yaaaah, Bima tidak bisa apa-apa kalau yang mengganggu keseriusannya adalah teman "kesayangan".
Aku yang duduk diantara mereka selalu menjadi korban ritual ini. Setiap nomornya Coki selalu memberi isyarat kepadaku untuk memanggil Bima. Bisa dengan "ssst", mencolek pinggangku atau menendang kursiku. Sampai ada saatnya aku merasa serba salah, aku merasa sangat terganggu jika tidak cepat-cepat memanggil Bima karena Coki akan terus menggangguku. Di sisi lain aku kasihan kepada Bima karena hasil berpikirnya harus dia bagi ke orang lain.
Cermin yang Bima persiapkan di awal masuk kelas sama sekali tidak berguna menurutku. Tidak berguna untuk Bima maksudku. Selama ujian dia sama sekali tidak meminta jawaban kepada teman dibelakangnya itu. Kalau yang menanyakan jawaban yaa jangan ditanya, hampir sepertiga kelas jawaban ujiannya akan sama persis dengan dia. Aku pikir dia cukup pintar, apa mungkin rambut kribonya itu isinya otak semua??? Pengawas mempunyai pemikiran yang berbeda denganku. Bukan pengawas namanya kalau tidak selalu curiga, pada akhirnya cermin itu harus direlakan Bima disita oleh pengawas. Meskipun Bima memberi seribu alasan untuk meyakinkan bahwa cermin itu tidak dipakai untuk mencontek.
Ujian hari kedua diawali dengan semua siswa berdoa. Kali ini aku berdoa dengan khusyuk dan sangat berharap soal Matematikanya mudah dan dapat berkonsentrasi penuh tanpa ada ulah dari seniorku. Amin.Ujian Matematika hampir berlangsung setengah jam, suasana kelas serius mengerjakan soal Matematika yang memang cukup membuat otak protes. Hampir tidak ada suara kecuali suara kertas dan gesekan penghapus. Jika diamati mungkin ruangan kelas sudah dipenuhi oleh asap yang berasal dari otak siswa yang berpikir sangat keras mencari jawaban, baik itu dengan cara menghitung atau mencari inspirasi dengan melamun. Tak sedikit juga siswa yang wajahnya memerah seperti duduk di atas kompor. Logaritma, trigonometri dan saudara-saudaranya berlomba-lomba bersuara untuk diselesaikan terlebih dahulu, tapi apa daya jika otak saja tidak mampu mengingat apapun mengenai mereka."sst..sst." Aku menoleh ke arah suara yang ternyata berasal dari mulut Coki. Aku langsung sedikit mengangkat daguku un
Hari terakhir ujian, aku sampai di sekolah lebih pagi dan standby di bangku. Sepuluh menit sebelum bel masuk, aku masih menyempatkan membaca buku pelajaran Bahasa Inggris karena aku agak kesulitan untuk pelajaran yang satu ini. Aku tidak sepenuhnya fokus memahami setiap materi dari buku yang aku baca, yang aku pikirkan tentang kenapa Bima belum datang juga.Sampai bel berbunyi Bima belum datang dan aku sedikit kecewa karena hari terakhir ujian dan duduk bersama Bima tapi dia malah tidak datang. Dan kekecewaanku bertambah saat melihat soal ujian yang membuatku baru mampu mengerjakan 5 soal di sepuluh menit pertama." Tok..Tok..Tok" Waktu ujian sudah berjalan lima belas menit ketika ada sesosok yang sangat aku kenal dari rambutnya membuka pintu kelas." Maaf bu telat, tadi sudah ijin ke piket. Ini surat ijin masuknya." Bima memberikan surat ijin ke bangku pengawas dan menuju bangkuku, tepatnya bangku disebelahku. Aku berpura-pura fokus pada peker
Semester keduaku dikelas 1 SMA berakhir dengan bayangan Bima di setiap kegiatanku. Entah bagaimana caranya berita tentang aku menyukai Bima beredar dengan cepat ke seantero sekolah. Teman sekelasku, teman sekelas Bima bahkan sampai Bima pun tahu kalau aku suka sama dia. Mungkin karena Bima cukup famous atau bisa jadi karena temanku agak gila, dia suka berteriak-teriak saat kebetulan Bima lewat di depan kami "Bim, nih ada salam dari Tria!" Reka selalu teriak dengan volume yang melebihi speaker. Entah kenapa setiap Reka teriak Bima selalu ada tepat di dekat kami. Kalau itu terjadi, aku hanya diam dan berpura-pura tidak mendengar. Tapi hari seterusnya aku tidak kapok untuk mencari posisi tepat saat melihat Bima dan Reka pun terus dengan kegilaannya berteriak di dekat Bima. Lebih tepatnya saat Bima melewati kami.Tidak terasa ujian kenaikan kelas sudah di depan mata. Aku takut menghadapi ujian kali ini. Bukan karena aku tidak pernah belajar, tapi karena aku akan sekelas lagi deng
Letak kelas Bima di lantai atas dan aku dilantai bawah. Akses yang tidak mendukung membuatku jarang melihat Bima, hal ini membuatku nekat untuk mencari nomor handphone Bima. Dan untuk pertama kalinya aku menghubungi Bima.Aku bukan termasuk perempuan yang gampang mengungkapkan perasaan dan mempunyai keberanian untuk itu. Bukan karena aku penakut, tapi karena aku sadar mengenai tubuhku yang sebesar Gajah Bengkak waktu itu. Aku sengaja membeli nomor baru untuk sms Bima karena aku tidak mau Bima tahu kalau yang menghubungi dia itu adalah aku. Agak sedikit konyol dan norak karena aku lebih memilih sms Bima dengan kata-kata mutiara yang aku kirim sehari 3 kali dan anehnya kata-kata itu muncul dengan sendirinya, tanpa aku harus menduplikat kata-kata penyair terkenal. Itulah jatuh cinta, semuanya bisa tercipta tanpa harus dipaksa.Bima 11.22 : " Ini siapa ya? Kata-kata mutiaranya keren. Up two thumbs."Satu kalimat yang sukses membakar semangatku, banyak sms yang
Hubunganku dengan Ressa agak sedikit dipaksakan. Aku tidak tahu apa karena aku merasa terlanjur sayang dia atau hanya sekedar ingin melupakan Bima dan bisa saja karena terlanjur ingin merasakan pacaran yang sebenarnya. Saat itu tidak ada alasan yang paling menonjol. Aku semakin sering berhubungan dengan Ressa melalui sms dan membuat rasaku semakin kuat. Pernah suatu waktu Ressa tidak menghubungiku selama seminggu. Rasa kangenku memuncak saat itu dan aku sadar kalau aku mulai menyayangi Ressa.Aku menipu Ressa untuk tahu perasaannya terhadapku seperti apa. Aku mengirim sms ke nomor Ressa dengan nomor baru yang sengaja aku beli, sama seperti ketika aku menghubungi Bima dulu. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan buruk saat aku berpura-pura sebagai orang lain disitu, itu hal yang paling memalukan yang pernah aku lakukan untuk mendapatkan seseorang. Aku sms dia dan mengaku sebagai mantanku. Jam istirahat sekolah waktu yang tepat untuk mengirim sms karena aku tahu p
Untuk pertemuan pertamaku dengan Ressa sebagai pacar, aku membuat sedikit cokelat untuk diberikan kepada Ressa. Hari janjian bertemu, aku berusaha tampak semenarik mungkin, memakai baju ketat agar tidak terlalu kelihatan gendut dan melatih ekspresi terbaik aku semalaman di depan cermin. Aku janjian ketemu di perempatan, tempat yang sama ketika aku janjian dengan Ivan. Ressa belum mengetahui alamat rumahku, jadi kita memilih tempat janjian yang mudah dicari."Hai dek?" Katanya di atas motor matic berwarna hitam tanpa membuka helm dan masih menyalakan mesin motornya. Dibalik helmnya terlihat kedua matanya yang berbulu lentik"Hai mas, apa kabar?" Aku masih agak kaku dan bingung harus bersikap bagaimana."Baik, yuk naik!!" Aku memakai helm dan langsung naik ke jok belakang motor Ressa dengan posisi tangan "masih" di pegangan belakang." Kita ke Dago Pakar yuk, mas sudah lama gak kesana."" Oke, aku belum pernah malah kesana." Aku menyetujui saja keing
"Ya, ayo kantin!!" Tiba-tiba sahabatku Ita nongol di pintu kelas. Kelas kita berdua berbeda namun kita tidak bisa dipisahkan seperti mempunyai kontrak yang tak tertulis, secara bergiliran kita saling mengunjungi kelas masing- masing. Dia tahu tentang semuanya, dari hal terkecil, terintim sampai aib sekalipun mengenaiku. Aku keluar kelas dan langsung ke kantin bersama Ita. Kita bukan termasuk anak yang diberi uang jajan banyak, strategi makan kami adalah membeli makanan yang murah dan banyak, rasa nomor dua yang penting kenyang." Mau makan apa Ya?" Katanya sedikit mendongakkan lehernya ke atas untuk melihatku. Ita yang tinggi tubuhnya cukup jauh di bawahku memang selalu mengeluh saat berbicara denganku dalam posisi berdiri karena membuat lehernya selalu pegal. Tak jarang aku menyebutnya kurcaci, dibandingkan keponakanku yang baru kelas 2 SMP, Ita jauh lebih kecil." Aku mau bubur," Jawabku tanpa melihatnya balik." Oke." Ita langsung menggandeng dan menarikku.
Hari terakhir pertandingan selesai jam 9 malam, pacar Ita dan Gea sudah standby menjemput di depan gymnasium, dan aku harus pulang sendiri. Sedikit menyedihkan karena pengalaman pertamaku mempunyai pacar harus LDR (Long Distance Relationship), padahal aku mau pacarku selalu ada kayak pacar orang lain.Aku 23.15 : " Mas, tahun baru mas ke Bandung kan?" Sesampainya di rumah rasa iri terhadap teman-temanku mulai mendominasi, rasanya ingin menuntut Ressa untuk selalu didekatku seperti yang lainRessa 23.17 : " Iya sayang, mas usahain ya."Aku 23.20 : " Harus dong mas, kan sebelumnya aku mau diambilin raportnya sama mas." Bukan hanya sekedar ingin Ressa datang, aku juga ingin sedikit pamer kepada teman-temanku mengenai Ressa.Ressa 23.22 : " Iya pasti, doain semoga gak ada kendala ya." Ressa memang selalu begitu, tidak pernah memberikan kepastian. Terkadang menolak secara halus dengan bahasa yang bijaksana.