Letak kelas Bima di lantai atas dan aku dilantai bawah. Akses yang tidak mendukung membuatku jarang melihat Bima, hal ini membuatku nekat untuk mencari nomor handphone Bima. Dan untuk pertama kalinya aku menghubungi Bima.
Aku bukan termasuk perempuan yang gampang mengungkapkan perasaan dan mempunyai keberanian untuk itu. Bukan karena aku penakut, tapi karena aku sadar mengenai tubuhku yang sebesar Gajah Bengkak waktu itu. Aku sengaja membeli nomor baru untuk sms Bima karena aku tidak mau Bima tahu kalau yang menghubungi dia itu adalah aku. Agak sedikit konyol dan norak karena aku lebih memilih sms Bima dengan kata-kata mutiara yang aku kirim sehari 3 kali dan anehnya kata-kata itu muncul dengan sendirinya, tanpa aku harus menduplikat kata-kata penyair terkenal. Itulah jatuh cinta, semuanya bisa tercipta tanpa harus dipaksa.
Bima 11.22 : " Ini siapa ya? Kata-kata mutiaranya keren. Up two thumbs."
Satu kalimat yang sukses membakar semangatku, banyak sms yang kukirim sampai Bima akhirnya tiba-tiba curhat tentang perasaannya pada seseorang. Yuni, dia adalah teman seangkatan Bima yang berbeda kelas. Orangnya mungil, alim, cute dan pintar. Tidak heran kalau Bima tertarik.
Bima sudah berkali-kali menyatakan cinta tapi di tolak. Yuni masih trauma pacaran, karena sebelumnya dia pernah berpacaran dengan teman sekelasnya Bima yang kasar. Bima sudah meyakinkan, tapi Yuni bersikeras. Aku salut pada Bima kala itu, dia tidak menyerah untuk mendapatkan perempuan yang dia sayang. Di sisi lain juga aku mencibir dia, coba kalau dia sama aku. Huh. Tanpa pikir panjang mungkin aku terima dia. Aku juga rela kalau setiap hari aku harus mencatok rambutnya atau mencarikan kotoran yang masuk kedalamnya. Sungguh rela.
Perasaan Bima masih kuat terhadap Yuni, tapi dia tidak bisa stuck menunggu Yuni yang tidak pernah dia tahu akan sampai kapan menyadari usaha dan keseriusannya. Untuk menyamarkan perasaannya, Bima melakukan pendekatan dengan teman seangkatanku, namanya Qori. Perawakan Qori hampir sama seperti Yuni, imut dan mungil. Karena itu pula aku tidak heran sama sekali kenapa Bima tidak pernah tertarik padaku yang sebesar Badak ini
Memang aku pernah mengira bahwa Bima sudah berpacaran dengan Qori. Beberapa waktu terakhir Bima selalu bersama Qori terus, ke kantin, mushola bahkan keluar gerbang untuk pulang pun seperti pengantin yang baru menikah. Tapi Bima mengaku pada saat dia memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Qori berakhir nihil, Qori hanya menganggap dia sebagai kakak. Oh God, nasibmu Bim, lebih menyedihkan dari aku. Kenapa kamu tidak sadar kalau aku siap menampung kamu?
Hampir dua minggu aku smsan dengan Bima, sampai suatu hari karena kesalahan yang cukup bodoh identitasku ketahuan dan mulai dari situ aku tidak pernah sms dia lagi sekaligus membuang simcard yang aku pakai untuk smsan bersama Bima. Setelah tahu perasaan Bima, aku tidak terlalu terobsesi lagi untuk mencari tahu tentang dia, walaupun untuk melihat dari jauh masih sering aku lakukan secara sembunyi-sembunyi.
Rasaku masih sama, namun kali ini lebih terkesan dewasa dan tidak terlalu nekat seperti yang sudah-sudah. Itu karena aku tahu Bima sedang menunggu seseorang dan aku belajar dari Bima, rasa kita mungkin kuat untuk seseorang tetapi bukan berarti kita menutup semua jalan untuk bersama orang lain.
Simpan saja rasa itu dengan rapi, kalau terbalas itu berarti bonus dari Tuhan. Aku juga malu, mulai sering diledekin oleh teman-teman gerombolannya dan selain itu aku juga sedang gencar mendekati Ressa.
Indra, terima kasih sudah mengajarkanku mengenai suatu hal yang bukan namanya cinta atau sayang. Mungkin bisa disebut ketagihan atau nafsu. Kamu mengajarkan aku tentang kenikmatan sesaat meskipun pada akhirnya aku sadar hubungan yang didasari nafsu itu tidak benar. Terima kasih atas pengorbanan kamu, kamu membelikan makanan dengan uang terakhir kamu karena kamu tahu aku kelaparan, kamu meminjam motor teman kamu meski kena marah hanya untuk mengantar aku. Semua itu manis, namun aku tidak membutuhkan hal yang manis tapi membuat aku terlena. Terima kasih dan sorry karena selama bersama kamu. aku tidak pernah mengenal yang namanya sayangRio, you're my best friend now. Aku tidak tahu apa ini cinta, sayang atau sekedar rasa penebusan dosa. Tapi terima kasih, bersama kamu membuat aku tahu bagaimana rasanya mempertahankan sebuah hubungan, kamu membentuk aku menjadi dewasa untuk mengimbangi sifat kamu yang kekanak-kanakan, kamu mengajarkan aku kesabaran saat kamu memilih bermai
"Siap?" Dia mematikan mesin mobil dan memandang ke arahku dengan pandangan mencurigakan yang belum pasti aku tahu artinya. Sepertinya dia akan menjerumuskanku ke dasar kolam atau mempertemukanku dengan makhluk menyeramkan. Begitulah makna pandangannya saat itu. "Untuk?" Tanyaku sedikit heran dan memandangnya kembali, aku sedikit waspada jika seandainya dia akan memberikanku ke penjual manusia. "Turun dan ketemu temanku." Dia membuka pintu mobil dan turun "Kenapa harus nggak siap, kan kamu yang mau ketemu. Aku cuma sandera yang kamu paksa buat nemenin, yuk.!" Aku pun mengikutinya meskipun setengah ragu. Kita berjalan cukup jauh dari tempat mobil berhenti, melewati jalan setapak yang basah karena embun atau mungkin hujan semalam dan beberapa lahan kosong. Cukup sunyi seperti kebanyakan suasana desa di pagi hari. " Rumahnya yang mana? Jauh banget?" Setelah banyak rumah yang kami lewati, bau tanah serta daun yang semakin menusuk dan suasana sunyi cukup me
Besok tepat usiaku 24 tahun, umur dimana batas waktu mengenai komitmenku bersama Riki. Keyakinanku atas hal itu masih ada, tetapi tidak melebihi keyakinanku pada Tuhan.Jam 11 malam aku baru selesai berkutat dengan kertas dan laporan di kantor karena nasibku menjadi karyawan yang tidak bisa menolak untuk lembur membuatku aku harus rela merayakan ulang tahunku di dalam mobil, di tengah kemacetan dan ditambah aku harus menunggu Pak Toto menjemput selama mobilku masih di bengkel." Teet..Teet." Sebuah mobil Land Rover berhenti tepat di depanku yang sedang berdiri di parkiran. Kaca mobil yang berwarna lumpur itu terbuka dan terlihat lagi sosok itu." Hai nona, ayo masuk!" Katanya dari balik jendela yang terbuka." Nunggu jemputan." Jawabku santai dan lebih sedikit ramah" Nggak akan datang, udah aku suruh jangan datang." Aku mengernyitkan kening dan masuk ke mobilnya ketika dia spontan membukakan pintu mobil." Sengaja jemput? Ada apa nih?" Aku
8 Januari, tepatnya 35 hari sebelum usiaku tepat 24 tahun. Pagi ini rasanya hari termalas untuk pergi ke kantor. Aku bangun setelah 20 menit alarm yang aku setting berhenti berbunyi." Pak, saya pergi dulu ya, titip rumah sama ibu. Kalau ada yang cari saya, nanti kasih nomor telepon atau alamat kantor aja ya. " Itulah pesan rutin setiap pagi untuk supirku Pak Toto saat beliau membukakan gerbang agar mobil yang kukendarai dapat keluar.Sudah cukup lama Pak Toto menjadi supir keluargaku. Dari semenjak ayahku masih sehat bugar dan sampai menghembuskan nafas terakhir beliau tetap setia melayani kami. Kedekatannya dengan ayah sudah melebihi hubungan atasan dan bawahan, maka tidak heran ketika ayah meninggal, Pak Toto menangis meraung-raung dan terus berkata "Paaak, kenapa ndak saya dulu tooh." sampai semua tamu menyangka bahwa Pak Toto adalah kakak ayahku." Siap neng." Jawabnya singkat.Komplek perumahanku cukup ramai oleh orang-orang yang berjalan santai set
Tiga tahun hidupku terus terpaku pada masa lalu. Tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun karena masih berharap pada Ressa, Riki, Rio ataupun Adjie yang akan mengisi hari-hariku dan juga karena aku masih meyakini komitmenku. Sebuah kebodohan yang aku pelihara selama beberapa tahun. Ini terjadi bukan aku tidak laku, ya setidaknya dengan bertambahnya umur aku sudah bisa merawat diri agar tidak terlalu menyedihkan.Aku hanya malas dengan orang baru, terlalu sulit memulai dari awal dan harus beradaptasi lagi dengan pasangan baru. Itu saja.Aku hampir gila karena pekerjaanku setiap hari hanya berkhayal, berimajinasi dan berharap untuk memperbaiki masa lalu. Aku tidak pernah terlalu merasakan apa yang terjadi saat ini, aku menjalani hari-hariku hanya sebatas tubuh kosong yang pikirannya tidak ada disitu.Aku sulit menerima setiap laki-laki yang menawarkan diri menjadi pasanganku dan tidak siap merasa sakit lagi oleh orang baru. Aku masih berpikir mereka hanya oran
Setahun hidupku tak lepas dari mencari tahu mengenai Bima, Rio, Ressa dan terutama tentang Adjie yang sama sekali aku tidak ketahui keadaannya seperti apa. Jika setiap temanku menganggapku gila, biarkan saja!! Karena mereka tidak pernah tahu hal apa yang berbekas dan harus diselesaikan sebelum aku benar-benar tak waras." Bo, kita begadang lagi yuk!! Terdengar suara Riki di seberang telepon. Dia teman untuk insomniaku, menghabiskan setiap malam untuk telepon ngalor-ngidul. Membahas hal kecil sampai hal yang sama sekali tidak penting.Jika diibaratkan penyakit, mungkin cinta itu selayaknya insomnia. Seperti penyakit sederhana namun tak sedikit yang menjadi gila. Ini tidak berlebihan, ini nyata terasa. Terutama ketika khayal menarik pikiran, meski mata sudah berat untuk terbuka. Menyenangkan memang jika kesulitan untuk bermimpi itu ditemani orang yang disayangi, tapi benar merana saat sadar kalau pagi hanya tinggal dua jam lagi dan harus lanjut bekerja tanpa