Share

Perlahan Hancur

“AH! IYA AKU LUPA!” ucapku sambil menepuk jidat.

“Kenapa?” tanya Reza sambil memasukan suapan nasi goreng ke dalam mulutnya.

“Tadi ini harganya berapa ya? Hehehe,” jawabku sambil menyengir dan menunjuk piring kotorku.

Reza yang mendengarnya menjadi tersedak dan buru-buru minum, aku pun yang melihatnya buru-buru menepuk pundak pemuda ini.

“UHUK UHUK UHUK.”

“Eh, kenapa?”

“Aku kira ada apa,” Reza memutarkan badanya sambil mengahadap Nara.

“Maaf,” ucapku yang menundukan kepala.

“Gapapa,” ujarnya sambil mengelus pucuk kepalaku, aku yang mendapatkan perlakukan itu spontan menepis kasar tangan kekar pemuda itu dari kepalaku.

“Dasar ga sopan!” bentakku. Aku mendengus kesal padanya.

Reza yang ditepis tangannya langsung memunculkan wajah tak sukanya. “Menarik,” pikir Reza.

“Tapi ada syaratnya…”

Aku yang mendengar ucapannya hanya bisa menarik nafas dalam dan menyesal menerima ajakannya tadi. Andai aja kalau waktu bisa berputar.

“Kapan nasib Nara berubah?” gumamku pelan namun, Reza bisa mendengar jelas apa yang gadisnya ucapkan barusan.

Reza lagi-lagi memunculkan senyuman iblisnya, ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya. Semakin ia mengulur waktu semakin lama juga Reza mendapatkan mangsanya. Reza sudah menanti lama moment ini melihat reaksi mangsanya saat mau memasuki kandangnya.

Aku dibuat penasaran padanya. “Kenapa harus digantung sih ngomongnya!” kesalku .

“Menikahlah denganku.”

“Omong kosong,” bantinku yang menatap tajam ke arahnya.

“Untuk membayar nasi gorengnya dan itu menjadi syarat utamanya.” ketika aku mau protes padanya tapi ia malah lanjut berbicara.

Aku membulatkan mataku, rasanya ingin sekali menampar pemuda ini.

“Tanpa penolakan,” sambungnya sambil menatap ku dingin.

“Dasar gila!” makiku lalu menglenggang pergi meninggal pemuda itu diam ditempatnya.

Reza mengepal kuat tangan, melihat Nara begitu saja tanpa mengucapkan ‘terima makasih’. Reza melirik sekitarnya lalu ia mengambil ponsel di saku depan celanannya.

"Rey, tetap awasin Nara!"

Belum sempat Reyhan menjawab, Reza sudah lebih dulu menutup telefonnya.

"Jadi kamu menganggap ini hanya bercanda ya," Reza tersenyum smirk lalu berjalan keluar rumah sakit dan memasuki mobilnya untuk kembali ke perusahaannya.

Setibanya di MaLvi Company, Reza disambut hangat dengan semua karyawan di sana namun, Reza tidak membalasnya. Ia hanya berjalan lurus ke arah ruangannya tanpa memperdulikan sekitarnya. Langkahnya terhenti karna salah satu karyawannya mengajaknya berbicara.

"Permisi tuan," ucapnya sopan sambil membungkukkan badannya.

"Ya?" sahut Reza sambil memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana.

"Saya telah menemukan perusahan yang benar-benar ahli di bidang desain dan-" ujarnya berhenti saat Reza membalikan badannya dan menatap tajam karyawannya.

"Batalkan kerja sama itu."

"T-tapi tuan wakil perusahannya sudah berada di sini."

"Apa saya peduli?" ucap Reza yang lalu berjalan kearah ruangannya.

"Mampus nasib gue gimana!" gumam karyawan itu.

 Sesampainya di ruangannya, Reza langsung melepaskan jas tuxedo berwana hitam seraya berjalan ke arah kaca jendela.

Ting

Reza membalikan badannya dan meraih ponsel miliknya.

Reyhan A : Tuan nona Nara bekerja di WhitE Cafe.

Reyhan A : Foto.

Reza melihat isi pesannya, bernafas lega. Jarinya mulai membelas pesan tersebut, pikiran jahatnya seolah begitu saja terlintas di benaknya.

Reza M : Bilang ke manajernya suruh pecat dia dan tidak ada uang gaji untuk bulan ini.

Reyhan A : Baik tuan.

Reza mematikan ponselnya seraya menutup mata untuk menetralkan suasana hatinya.

"Bahkan takdir aja sudah merestui kita. Buat apa kamu lari jauh itu akan membuat mu lelah," monolognya.

Perkataan yang Reza lontar semuanya akan menjadi kenyataan, jika diingat-ingat lagi Reza mempunyai kekuasan besar. Maka tak heran jika semua orang akan mengikuti perkataannya.

Aku berjalan masuk ke dalam ruangan ganti dan segera melayani pembeli

"Dek, kamu ga jagain mama kamu?" tanya mba Shafa. Mba Shafa salah satu pegawai di cafe ini yang ku percaya. Aku sama mba Shafa terpaut umur yang lumayan jauh, aku yang 2 bulan lagi akan lulus SMA sedangkan mba Shafa yang udah berumur 25 tahun.

"Ga dulu mba," jawab ku sambil mengelap meja cafe. Pikiranku masih sama ditambah lagi saat aku bertemu pemuda yang ga jelas itu.

"Mba?"

"Iya?"

"Nara mau curhat mba boleh, ya" mohonku sama mba Shafa. Saat ini aku memang sangat membutuhkan pundak seseorang.

"Boleh dek," jawab mba Shafa seraya meraih tanganku dan kita duduk di kursih pelanggan paling belakang.

Aku mulai menceritakan kejadian yang tadi pagi, aku udah ga bisa menahan bendungan air mataku saat aku menceritakan soal mama. Rasanya mau putus asa.

"Jadi kamu masih ada utang 44 juta, dek?" aku hanya mengangguk lemas.

"Yampun, dek" ujar mba Shafa seraya mengelus tangan ku.

Shafa yang tau segala hal tentang kehidupan Nara, bagaimana dengan keluarganya, kehidupan yang Nara jalani. Shafa ingin sekali membantu Nara namun, ia juga harus paham sama keadaannya sekarang.

"Hiks...mba, Nara harus gimana hiks...ga kuat mba! N-Nara cape hiks...pa-papah hiks...Nara cape!"

"Husst ga boleh ngomong gitu ah mba ga suka. Hmm...gini deh mba ada uang nih sekitar 3 juta, mba kasih pinjem ke kamu tapi terserah kamu deh mau bayar kapan, dek" Shafa hanya menatap miris adeknya.

Walaupun tidak ada ikatan darah tapi baik Nara maupun Shafa, mereka sangat dekat. Bahkan Shafa pun pernah menawari Nara untuk tinggal bersamanya namun, Nara menolaknya dengan halus.

Aku mengangkat kepala ku untuk menatap mba Shafa, aku merasa senang bahwa masih ada yang mau bersimpati padaku.

"Ga usah mba, Nara kuat ko" ucapku sambil menggelengkan kepala dan tersenyum padanya.

"Nara!" Panggil salah satu karyawan di sini.

"Iya?"

"Di panggil pak bos!"

Deg

Cobaan apalagi ini.

"Tunggu sebentar ka," aku langsung menyekat air mataku.

"SEMANGAT!" mba Shafa memberiku semangat.

Aku berjalan ragu untuk menghampiri ruangannya. Setibanya di depan pintu aku terdiam sebentar seraya mengusir perasaan yang ga enak yang sedari tadi menghantuiku.

Tok tok tok tok

"Masuk," titahnya dari dalam pintu.

Ceklek

"Permisi pak," ucapku sambil membungkukkan badan.

"Duduk Nara," sahutnya untuk menyuruhku duduk.

"Ada apa ya pak?" Tanyaku dengan ragu. Mati-matian aku menahan air mataku agar ga lolos keluar.

"Seperti ini akhir-akhir ini bulan ini kamu kenapa? Tidak fokus. Saya paham dengan keadaanmu sekarang, tapi kerja ya kerja jangan dicampuri urusan masalah yang lain," aku hanya menghembuskan nafas lelah.

"Saya tidak mau reputasi cafe saya menurun hanya gara-gara sifat teledornya kamu, paham?!" suara pemilik cafe sedikit meninggi.

"Pa-paham pak."

"Ini sedikit gaji kamu," ucap bosku sambil memberi amplop coklat.

Air mataku meloloskan keluar begitu aja. "Hiks...bapak maksudnya, maksudnya s-saya di hiks...pecat, pak?" bo ku hanya mengangguk.

"Silahkan keluar."

"G-ga bapak, Nara janji. Janji pak bakalan lebih baik lagi hiks..." ucapku sambil memohon padanya namun, keputusannya sudah bulat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status