Mansion mewah berdesain klasik yang mempunyai kualitas yang tidak usah diragukan lagi serta dilengkapi dengan fasilitas berkelas tinggi hampir semua teknologi yang dipakai serba otomatis dan bersandi hanya sidik jari, mansion ini telah dibeli oleh seseorang tuan muda besar yang merupakan CEO dari perusahaan terbesar sepanjang masa dunia perbisnisan yang tak lain adalah MaLvi Company.
Reza Abrisam Malviano ialah pemilik mansion itu dan juga seorang CEO dari perusahaan besar MaLvi Company. Reza memiliki segudang aset mewah yang ia beli untuk kepuasan pribadinya. Dengan sifatnya yang arogan, sombong, dan angkuhnya tak luput dengan banyaknya orang-orang yang mau menghancurkan dirinya terlebih lagi dengan kedudukannya di MaLvi Company.
Tok tok tok tok
“Masuk,”titahnya seraya membenarkan kaca mata yang ia pakai.
“Tuan.”
Namanya Reyhan Sebastian Putra, ia merupakan tangan kanan Reza atau bisa dibilang asisten pribadinya. Reza dengan kenal Reyhan, saat ia berkunjung ke sebuah panti yang biasanya ia kunjungi disetiap hari pekan. Di sana ia melihat Reyhan yang lagi belajar bela diri, kemampuannya tak hanya itu saja. Reyhan juga memiliki segudang prestasi yang lagi tak usah lagi untuk diragukan. Reza menemui Reyhan dan mengatakan ia akan mekrekrut Reyhan sebagai asisten pribadinya. Tak hanya itu saja Reza pun membiayai pendidikan Reyhan serta memberikan Reyhan fasilitas mewah.
“Ada apa?” tanyanya to the point.
Dalam keadaan seperti ini bagi Reza tak penting terlalu banyak basa-basi dalam berbicara itu hanya mengulur banyak waktu dan menjadi topik yang omong kosong.
“Saya sudah menemukan gadis yang tuan cari,” jelas Reyhan, membuat Reza tersenyum smirk di balik layar laptopnya.
“Dimana dia sekarang?” tanya Reza yang masih terfokus dengan laptopnya.
“Dia tinggal di kediaman Charlie bersama mamanya.”
“Lalu?”
Reyhan terdiam, ia ragu untuk mengatakan ini.
“Kenapa diam? Bisu?!” ucapnya sambil menutup laptop dan menatap tajam Reyhan.
“Dia masih SMA, tuan,” ucapnya menunduk.
“Silahkan keluar!” bentaknya berhasil membuat Reyhan bergegas keluar ruangan.
Reza memutar kursi kerjanya untuk menghadap ke kaca jendela gedung yang disuguhi oleh pemandangan kota Seoul. Reza melepaskan kaca matanya seraya menarik nafas dalam.
“Jadi kamu masih diasingkan sama Charlie dan masih SMA ya, sayang. Tak masalah akanku buat hidupmu lebih menderita, melebihi apa yang aku rasakan sampai sekarang,” monolognya seraya menatap foto gadisnya yang sedang tersenyum manis.
Tok tok tok tok
“Masuk!”
“Tuan ini data gadis yang bernama Nara Briella Charlie.”
“Hmm, taruh di meja saya.”
“Baik tuan,” setelah itu Reyhan kembali ke meja kerjanya dan melanjutkan aktivitasnya kembali.
Reza tidak pernah mengatakan ‘terima kasih’ atau ‘maaf’ itulah sifat yang selalu dibenci sesama rekan kerjanya dan karyawan lain di sini. Reza membuka map biru yang bertulis ‘Nara Charlie’ ia membuka lembaran pertama yang berisikan data gadisnya lengkap dengan alamatnya, lembaran kedua berisikan kegiatan Nara selama ini, dan lembaran terakhir berisikan foto keluarga Nara. Mata Reza memanas melihat foto Cleo Charlie ayah dari Nara Charlie.
“Sudah cukup mainnya, Charlie. Akan aku buat, anak beserta istrimu akan menemui ajalnya secepatnya sepertimu,” tekadnya yang sudah bulat.
Selama ini Reza menyuruh Reyhan untuk mengawasi kegiatan Nara dan memberitahukan padanya. Reza memendam semuanya, memendam satu kejadian yang berhasil membuat dirinya jadi seperti ini. Ia akan melakukan apa pun demi sebuah kemenangan dan membagakan dirinya atas keberhasilan meskipun ia melakukannya dengan cara yang salah.
Reza sudah mencari gadisnya sejak lama dan sekarang waktu yang tepat untuk menemuinya.
Disisi lain aku yang berada di kamar ruang inap mama yang hendak pergi.
“Mama, aku berangkat kerja dulu ya. Mama cepet sehat biar kita pulang,” ucapku mencium tangan kanan mama. Kondisi mama saat ini yang semakin lemah terbaring di rumah sakit. Aku berjalan ke tempat administrasi untuk mencicil biaya pengobatan mama.
“Permisi sus, atas nama Sherlie Charlie kamar 407 block C,” ucapku dengan rasa takut, aku takut kalau biayanya akan semakin mahal dan semakin lama pula aku melunasinnya.
Dari kejauhan Reza sudah melihat langsung seperti apa gadisnya, terdapat senyuman smirk yang terpancar saat gadisnya sedang merasa kekatukan tapi berusaha untuk menutupinya.
“Tunggu sebentar ya ka,” jawab salah satu suster.
“Total biayanya masih ada 46 juta, ya ka. Ka Nara baru lunasin 4 juta aja ka.”
Aku tercengang mendengar semua jumlah total selama ini yang aku lakukan demi pengobatan mama.
“Maaf sus sebelumnya, Nara baru ada 2 juta aja sus,” ucapku sambil memberi uangnya.
Setelah dari tempat administrasi aku berjalan ke depan ruangan mama dan duduk. Pikiranku menjadi sangat kalut terlebih-lebih saat mendengar jumlah total biaya yang harus aku tanggung seorang diri. Air mataku yang terus mengalir membahasi pipi.
“Nara cape,” ngeluhku sambil menutup mata dan membiarkan pipiku terus menerus basah karna air mataku yang tak kunjung berhenti.
“Aku rasa kamu butuh ini,” ucap pria yang duduk di sampingku, aku membuka mata dan menatap keheranan padanya.
“Menggemaskan,” batin Reza.
Reza menyodorkan tisu sama susu kotak rasa strawberry. Tanganku terulur ragu mengambilnya tapi tiba-tiba pemuda ini menaruhnya di pahaku. Aku membuka pembungkus tisunya dan menyekat air mataku.
“Makasih,” Reza hanya mengangguk.
“Untung strawberry bukan vanila,” batin seraya meninum susunya.
Keheningan mulai meyelimuti kita.
“Di dalam ada siapa?” tanya Reza seraya menatap pintu ruangan.
Aku hanya menundukan kepala. “Mama.”
Reza hanya tersenyum miring seraya melihat gadisnya yang sudah bertunduk lemas, itulah yang Reza inginkan membuat mangsanya bertunduk lemas.
“Sakit apa?” tanya Reza seraya membenarkan posisi duduknya.
aku tidak menjawab pertanyaannya, buat apa menjawabnya? lagi juga dia orang asing.
Reza semakin dibuat penasaran dengan gadis yang berada di sampingnya. “Kamu udah makan?” aku hanya menggeleng, karna memang faktanya aku belum makan dari tadi pagi.
“Mau makan?” tanyanya sambil menyamakan posisi kita. Aku menatapnya dengan mata sembab sambil menarik ke dalam ingusku.
“Nara ga punya uang lagi, udah abis,” saat ini posisiku dan pemuda ini sedang duduk berhadap-hadapan.
“Lucu banget kamu,” batin reza.
“Aku ada uang. Ayo makan di kantin!” ajaknya seraya meraih lenganku. Aku sontak di buat kaget sama perilakunya yang menurutku ini udah ga sopan. Aku menarik tanganku kembali.
“Kenapa?” tanya Reza mengerutkan dahinya.
first impression Reza bertemu dengan Nara, tidak terlalu buruk seperti yang ia pikirkan. Nara jauh lebik baik sifatnya dibandingkan keluarganya.
“A-aku bisa jalan sendiri,” ucapku lalu berjalan cepat mendahuluinya.
“Polos banget,” gumam Reza sambil berjalan mendekati Nara.
Sesampainya di kantin Reza memesankan 2 nasi goreng sama es jeruk. Canggung, itulah yang ku rasakan saat ini.
“Makasih,” ucapku dengan tersenyum padanya sambil tanganku meraih kotak tisu lalu mengarahkan tisunya ke bibirku yang berminyak.
Reza yang tak sengaja melihat senyumanku dibuat salting dan mengarahkan pandangannya ke yang lain.
“Ah sialan! Begitu manis,” umpatnya dalam hati.
“AH! IYA AKU LUPA!” ucapku sambil menepuk jidat.“Kenapa?” tanya Reza sambil memasukan suapan nasi goreng ke dalam mulutnya.“Tadi ini harganya berapa ya? Hehehe,” jawabku sambil menyengir dan menunjuk piring kotorku.Reza yang mendengarnya menjadi tersedak dan buru-buru minum, aku pun yang melihatnya buru-buru menepuk pundak pemuda ini.“UHUK UHUK UHUK.”“Eh, kenapa?”“Aku kira ada apa,” Reza memutarkan badanya sambil mengahadap Nara.“Maaf,” ucapku yang menundukan kepala.“Gapapa,” ujarnya sambil mengelus pucuk kepalaku, aku yang mendapatkan perlakukan itu spontan menepis kasar tangan kekar pemuda itu dari kepalaku.“Dasar ga sopan!” bentakku. Aku mendengus kesal padanya.
Aku melenggang pergi dari ruangannya aku berjalan kearah toilet. Di sana aku menangis aku luapan rasa lelahku.“Maaf saya, Nara,” ucap sang pemilik yang terdengar menyesal. Kurang lebih satu tahun ini pemilik cafe diam-diam memperhatian Nara dan sudah satu tahun ini juga ia memendam rasanya pada Nara. Farhan Dirgantara ialah pemilik cafe tersebut sekaligus sahabat kecilnya Reza.Setelah berpamitan dengan semuanya, aku ga tau harus kemana lagi. Aku hanya lelah.Disini lain Reza sedang tersenyum kemenangan melihat Naranya menderita karnanya. Ia melihat wajah gadisnya yang keluar dari cafe milik Farhan dengan wajah yang sangat cape.Dddrrrttttt ddddrrrrtttttTelefonku berbunyi, aku melihat siapa yang menelefonku dan ternyata perawat kamar mama."Suster Anez," gumamku sambil mengklik tombol hijau."Halo sus," ucapku yang dengan su
Ponsel Reza berbunyi.Ia merogoh saku belakang celananya untuk mengambil ponselnya, ia berdecak kesal membaca pesan itu. Kenapa di saat seperti ini harus ada penghalang ke bahagiaannya.Reyhan A : Tuan hari ada rapat penting mengenai bekerja bersama dengan Worts Babel. Serta beberapa dokumen yang harus di tanda tanganin.Reza M : Saya ke sana.Reza bergegas untuk ke perusahannya untuk saat ini jadwalnya tidak bisa di tunda lagi apalagi dengan perusahaan Worts Babel. Jika ia berhasil bekerja sama dengannya itu akan sangat menguntungkan bagi MaLvi Company dan untuk dirinya sendiri.Sesampainya di ruang rapat, Reza di sambut hangat oleh ketua Worts Babel. Tangan terulur untuk berjabat tangan, Reza yang ditemani oleh Reyhan dan beberapa karyawan kepercayaannya untuk melangsungkan rapat penting ini.Setelah rapat berlangsung baik dari pihak Worts Babel dan pihak MaLvi Company, akhirnya
"Ngapain sih ngeliatin mulu!" suasana hatiku yang lagi buruk ditambah lagi dengan pemuda yang ga jelas satu ini."Gunanya punya mata buat apa?" jawabnya sambil menyenderkan punggungnya."Aku bingung," ujarku dengan tatapan kosong. Reza hanya melipatkan kedua tangannya di dada."Saya paham.""Gimana kamu bisa kenal sama mama?"Reza hanya menaikan pundaknya sambil menghela nafas nafas. Aku mulai merasakan perih di lambungku dan merasa sangat dingin."Pulang yuk," ajaknya. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia malah langsung menggandeng tanganku. Reza merasakan tangan Nara yang sangat dingin, ia juga melihat baju Nara masih sama seperti tadi hanya saja Nara memakai sweater moca yang melekat ditubuhnya.Aku hanya mengikutinya dari belakang. Aku merasakan kehangatan di tangan Reza saat di dalam mobil. Aku yang awalnya membuka suara untuk memecahka
Aku sontak melihat badanku dan ternyata masih full, pakaianku pun masih sama seperti tadi hanya saja sweaternya yang terlepas. Mbo yang melihatku lalu tersenyum seraya mengajakku untuk turun ke bawah dan makan malam bersama.“Mbo duluan aja, ya? Nara mau ke kamar mandi dulu,” mbo mengangguk dan meninggal Nara sendirian.“Loh mbo? Nara kemana?” tanya Reza.Sontak membuat raut wajah Reyhan menjadi kebingungan.“Masih ada di kamar tuan, katanya mau ke kamar mandi dulu. Mbo ke dapur dulu ya tuan.”“Ka? Ada Nara di sini?”Reza berdehem sebagai jawabannya. “Hmm.”Sedangkan Aku? aku masih bingung mau melakukan apa. Jujur terlebih lagi saat ini aku baru bangun tidur pasti nyawaku belum terkumpul dengan sempurna, apa iya Reza mau menculikku dan memaksa untuk menikahinya.
"KENAPA LO JUAL SAHAM GUE KE MUSUH GUE! BRENGSEK!" Reza yang sudah membabi buta.Axell meludahkan darahnya dan menatap sengit Reza. "KARNA SIFAT SOMBONG LO! ANGKUHNYA LO! DAN LO SELALU MEMANFAATKAN GUE SEMENA-MENA! ITU YANG BUAT GUE MUAK!" hardik Axell.BUGH!BUGH!BUGH!Reza langsung menendang kuat perut Axell. Axell mulai tak berdaya dan sulit untuk bernapas, bagi Reza orang sudah munafik akan selamanya menjadi munafik.Kemeja putih Reza sudah berlumuran darah. "Siksa si kotoran ini dalam 2 jam! Siapkan air panas perasan lemon!" perintahnya lalu berjalan mundur untuk duduk manis seraya menyaksikan pertunjukan yang akan segera dimulai."Ka, jangan lupa di rumah ada ka Nara," Reyhan yang mulai memperingati Reza, Reyhan juga melupakan adanya Nara di rumah."Hmm.""AAAARRRGGGHHHH! SAKITTTTT!" teriak Axell yang kesekian kalinya
Semenjak aku berada di mansion Reza, tanpa Reza sadari ia sudah menunjukan sifat manjanya padaku. Aku pun juga merasakan perubahan pada dirinya yang awalnya aku kira Reza adalah pemuda yang annoying dan membosankan tapi aku rasa ia tidak terlalu buruk sekarang-sekarang ini.Sebelum aku mengobati lukanya aku sempet introgasi dia dulu perihal baju yang penuh dengan darah lalu menceramahinya abis-abisan namun, lelaki itu malahan senyum-senyum ga jelas ia sama sekali tak menggubris pertanyaanku. Reza bisa melihat dari sorot mataku yang menandakan aku sedang khawatir padanya. Ia sedari tadi tak menanggapi ucapanku, Reza hanya melipat kedua tangannya di dada seraya tersenyum ga jelas ke arahku.Ntah mengapa kalau aku ingat-ingat lagi kejadian beberapa jam yang lalu, ada rasa penasaran dalam diriku. Aku menjadi kasihan padanya jika ia selalu pulang malam dalam keadaan kacau seperti tadi, siapa yang akan merawat Reza?Aku mengam
Pagi ini udaranya sangat sejuk apalagi saat pemuda di samping ini mengatakan ‘sayang’ makin tambah sejuk. Aku teringat dulu kalau masih ada ayah pasti ia akan mengajakku untuk berjalan pagi dan disaat itu juga aku melihat aku dipukuli beberapa orang yang berbadan besar serta mukanya yang sangat seram. Aku menatap ayah dari kejauhan sambil menutup mulutku agar tidak terdengar isak tangisku ada banyak trauma yang aku alami dan sampai sekarang trauma itu belum hilang. Aku juga pernah merasakaan ketakutan saat ingin menyebrang jalan bersama mama.Flashback OnSaat aku dan mama akan berjalan pulang, aku sempat melihat disebrang sana yang jualan susu vanila. Aku terus-terusan merengek ke mama untuk dibelikan susu itu, padahal aku sendiri tidak tahu rasanya seperti apa susu vanila.“Mama! Nara mau itu,” rengekku seraya menunjuk penjual susu disebrang sana.Mata mamanya mengikuti arah yang ditunjuk