"Sam … May!" Sayup kudengar ada suara yang memanggil kami disertai dengan suara gedoran pintu kamar. Dengan berat kubuka mata ini. Entah kenapa atas dadaku terasa berat juga, seperti ada sesuatu yang menindih dan terdengar deru napas di dekat telinga. Apa Bulan? Perasaan tidak seberat ini?
"Mas Sam?" ucapku tercekat di tenggorokan. Ia tidur memelukku sedang Bulan malah bertukar posisi dengannya ada di ujung sana, masih tertidur dengan nyenyak.
"Mas, bangun. Sepertinya Ibu memanggil." Kugoyangkan lengannya pelan dengan berbisik takut Bulan terbangun.
"Biarkan saja, siapa suruh tidak mengawasi cucunya sampai masuk ke sini."
Hah! Masih dengan mata terpejam ia menjawab ucapanku. Mas Sam sudah bangun atau berpura tidur? Sepertinya ia masih kesal karena malam tadi gagal gituan.
"Mas, nggak enak.
Lelah hanya tiduran di tempat tidur dan berselancar media sosial, kuputuskan membuka laptop melihat pekerjaan anak-anak didikku. Kebetulan hasil nilai mereka belum kurekap ke dalam buku jurnal.Ponselku berdering. Dengan gerakan cepat kuambil ponsel yang terletak di atas tempat tidur.Ibu Denok? Ada apa beliau menghubungiku? Apa ada hubungannya dengan Ayah?"Assalamualaikum, Bu. Iya ini May, kenapa Bu? Apa Ayah baik-baik saja?""Heh! Anak tak tahu diuntung, bukannya membuat adikmu naik jabatan dengan menikahi orang kaya, eh, malah dipecat." Gegas Ibu bicara dengan nada tinggi."Maksud Ibu?" tanyaku tidak mengerti."Jangan pura-pura tidak tahu. Pasti kamu kan yang meminta Sam untuk memecat Mala."Hah! Aku malah baru tahu ka
"Maaf, Bu. Semua keputusan May serahkan ke Ayah ataupun Mas Sam." Wajah Ibu dan Nirmala mendadak pias. Mungkin mereka tidak menyangka kalau akhirnya aku tidak membela mereka."Ini menyangkut masalah nyawa, soal keselamatan keluarga Mas Sam. Untung saja mereka tidak kenapa waktu itu. Benar tidaknya bukankah sudah ada bukti? Sudah ada yang mengaku kalau Nirmala lah yang menugaskannya melakukan kejahatan tersebut. Itu lebih dari cukup sebagai bukti dan saksi bukan?"Mas Sam mengangguk."Tidak, Kak May. Harusnya Kakak percaya sama aku--adik Kakak sendiri, bukannya lebih percaya sama orang asing yang bahkan cuma kedengaran suaranya doang!" Gegas Nirmala berucap, ia bahkan berdiri dan menatap tajam padaku.Aku ikut berdiri dan membalas tatapan tajamnya. Cara dia minta dibela tidak selaras dengan tindakan
"Kenapa, masih kepikiran Nirmala atau Ayah?" Mas Sam bertanya saat berada di mobil yang meluncur di jalanan.Mas Sam pintar juga menebak apa yang kupikirkan."Keduanya," jawabku tanpa menoleh ke arahnya."Soal Ayah nanti kuminta anak buahku mengawasi Ayah. Jadi tiap hari akan ada laporan yang masuk. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Tiap hari kamu juga bisa kunjungi beliau untuk memastikan keadaannya."Aku tersenyum mendengarnya, tidak menyangka kalau Mas Sam sepengertian ini."Kalau soal Nirmala. Sepertinya ada yang aneh. Apa adik tirimu itu suka percaya diri yang berlebihan?""Maksudnya?""Dia bersikeras tidak mengaku. Kalau soal rekaman tentangmu itu, dia ngaku kan tapi soal mencelakaiku tidak.
Bingung harus bagaimana diantara perkumpulan orang asing yang sama sekali tidak kukenal, kuputuskan duduk di salah satu kursi, meja nomor 15.Sambil menikmati lantunan musik yang mengalun indah yang dibawakan oleh seorang artis ibu kota. Kucoba bersikap sesantai mungkin. Sesekali mata awas mengitari setiap sisi ruangan. Beberapa orang berpakaian seragam serba hitam hilir mudik tampak sibuk. Mungkin mereka panitia atau karyawan yang mengurus pesta ini.Sampai tiba-tiba ada seorang wanita yang mendatangi dan menegurku."Maaf, Bu, meja ini sudah ada pemiliknya, silakan anda ke kursi deretan belakang. Di sana bebas untuk tamu dan pegawai biasa," ujar seorang wanita berpakaian seragam warna hitam dengan tag name Yessie."Oh, gitu ya. Iya, maaf," ucapku sambil beranjak bangun dan menengok ke belakang. Kursi belakang lumayan penuh,
"Maaf, Nin. Bukan aku mengusirmu, tapi … aku hanya ingin berduaan saja duduk dengan istriku di sini. Jadi tolong tempati kursi sesuai nama yang tertera di atas meja." Aku mengulum senyum mendengar ucapan Mas Sam. Untunglah Mas Sam mengusirnya. Aku tidak suka dengan wanita bibit PeLaKor. Masih teringat jelas perkataannya waktu itu kalau dia memaksa Mas Sam menjadikannya yang kedua. Kedua itu maksudnya istri kedua bukan? Apakah tidak ada laki-laki lain hingga harus Mas Sam? Dia cantik, muda, seharusnya mudah mendapatkan laki-laki lain yang pasti sama halnya seperti Mas Sam. Kenapa harus Mas Samudra-ku? Soal perkataannya barusan yang mengatakan Mas Sam bukan orang baik, kurasa hanya bohong belaka. Untuk apa ia mengatakan hal tersebut, sedang dia sendiri ingin berdekatan terus dengan Mas Sam."Tapi Mas, aku kan biasanya duduk selalu berdekatan denganmu. Seperti ini. Itu kan sudah biasa. Apa karena ada istrimu?" Keningku mengernyit mendengarnya.
Aku terpaku di tempatku berdiri tidak jauh dari kursi Mas Sam. Tanganku mengepal kuat sampai bukunya memutih. Wajah menegang melihat pemandangan di depan mata.Di sana, tepat di meja khusus CEO, wanita licik tak tahu malu itu datang lagi dan duduk di samping Mas Sam. Anehnya Mas Sam tidak mengusirnya. Mereka seperti terlibat pembicaraan serius.Kesal, baru kutinggal sebentar ke toilet sudah begini, entah kalau di kantor, apa saja yang diperbuat wanita itu agar selalu dekat dengan suamiku.Tak bisa dibiarkan, aku harus bertindak.Aku berjalan dengan langkah cepat mendatangi mereka. Lalu, "hai! Wanita ganjen! Tak tahu malu. Ngapain lu duduk di samping suami gue? Mau ngerayu? Mau maksa Mas Sam jadiin lu istri kedua, gitu!" Dengan berkacak pinggang dan mata melotot kutatap Hanin tersebut.Hanin
Malam semakin larut, mata juga sudah lelah. Namun pesta belum juga berakhir. Aku yang dari awal duduk santai dan elegan mulai kehilangan semangat lalu menyandarkan dagu pada tangan yang bertumpu di atas meja. Sesekali mulut ini terbuka lebar tapi segera kututup dengan telapak tangan untuk menjaga kesopanan."Biru, mending ajak pulang istrimu. Kayaknya dia sudah ngantuk." Walaupun pelan dan sedikit berbisik, tapi masih dapat kutangkap ucapan Daniel pada Mas Sam.Mas Sam melirikku sekilas, lalu mengusap pucuk kepalaku."Capek ya? Siap-siap. Kita pulang," ajaknya."Tapi acaranya kan belum selesai," ujarku membantah. Aku tidak mau setelah mengantarku pulang, Mas Sam balik lagi kemari. Terus dekat-dekat dengan Hanin."Nggak papa. Aku kan CEO-nya di sini. Suka-suka aja
"Kalian berdua belum begituan kan?"Hah! Wajahku memerah mendengar pertanyaannya. Namun kepala spontan menggeleng menjawabnya.Ibu tersenyum, "Makanya itu, Ibu maksa kamu ke sini dulu. Buat nyiapin kamu malam ini."Menyiapkan aku? Hm … aku tambah malu. "Tapi Bu, May--" ponselku berdering dalam tas yang masih tersampir di bahuku."Cepat angkat, jangan sampai terdengar Bulan. Anak itu pendengaran tajam. Bunyi sekecil apapun bisa membuatnya bangun," titah Ibu membuatku bergerak cepat merogoh ponsel dari dalam tas.Mataku menyipit melihat siapa yang menghubungi.Ibu bertanya lewat sorot matanya."Mas Sam," jawabku memberitahu dengan menunjukkan layar pons