"Pergilah!"
"Ak--"
Pintu kututup kembali. Tidak kugubris apa yang ingin disampaikannya. Entah kenapa air mata menitik dengan sendirinya. Aku tahu dia berbohong. Pekerjaan apa yang ingin dibicarakan tengah malam dengan wanita itu? Padahal kenyataannya aku sudah mendengar sekilas pembicaraan mereka tadi di depan. Seharusnya Mas Sam mengusirnya, bukan malah menemuinya dan meninggalkanku.
Tak terdengar lagi suara Mas Sam dari balik pintu. Mungkin ia telah pergi. Harusnya ia memanggilku kembali memastikan kalau istrinya ini ikhlas mengizinkannya pergi. Apa caraku menjawab tadi tidak dianggapnya serius? Atau dia yang tidak peka?
Aku menangis di dalam kamar mandi. Meratapi diri yang terabaikan oleh suami. Pernikahan apa yang sedang kujalani saat ini? Niat hati ingin membahagiakan Ayah ternyata harus kubayar mahal. Menikah dengan ses
Hanya semalam kami menginap di hotel ini, itupun tanpa terjadi apa-apa. Memangnya apa yang kuharapkan? Sudahlah, aku sendiri malu membayangkannya."Sudah siap?" Kuanggukkan kepala."Ada yang ketinggalan?" tanyanya lagi memastikan. Hanya gelengan kepala menjawab pertanyaannya tersebut."Kita pulang," ucapnya setelah itu. Aku diminta berjalan di depan dan dia di belakang dengan membawakan paper bag punyaku berisi pakaian. Sedangkan dia, tampaknya tidak membawa apa-apa."Kuantar pulang ke rumahmu," ucapnya setelah berada di mobil."Hah!" Terkaget, mataku melebar mendengarnya. Apa aku mau dipulangkan? Begitu?"Pamit dulu sama keluargamu, baru kita pulang ke rumahku," lanjutnya lagi menjelaskan. Mungkin dia paham arti keterkejutanku makanya
"Pergilah! Jangan sampai rekaman suaramu itu sampai ke telinga Ayah." Kusodorkan ponsel ke hadapannya. Menunjukkan rekaman suaranya yang pernah kujadikan senjata. Masih tersimpan dengan baik. Lagipula aku sudah muak menghadapi tingkahnya. Mungkin ancaman ini bisa membuatnya pergi."Lah, make ngancam segala. Kak May udah menikah, udah jadi istri orang, udah nggak gagal nikah lagi, ngapain masih mengancam. Kali ini aku tidak menggagalkan pernikahan Kak May, Kakak berhasil nikah, bukan?" Gegas ia berucap. Kok jadi dia yang sewot, bukannya takut dengar ancamanku."Ekhem." Suara dehaman seseorang mengejutkan kami berdua.Mas Samudra. Dia berdiri di depan pintu kamar. Mengumbar senyum tipis ke arahku.Astaga! Apa dia dengar semua yang kami bicarakan?"Sudah Sayang, siap-siapnya?" Mataku terbelalak
Aku terpukau saat masuk ke dalam rumah orang tua Samudra. Rumahnya mirip seperti rumah artis yang sering kulihat di tivi, besar dan megah. Barang-barang mewah dan cantik menghiasi setiap ruang dan sudut rumah.Tanganku masih digandeng erat Mas Sam. Ini yang kusebut sikapnya aneh. Kadang cuek, dan kadang seperti saat ini, perhatian. Aku takut di pehape(pemberi harapan palsu) olehnya, karena saat ini jujur mulai menyukai setiap perlakuan manis yang ia tunjukkan padaku.Mas Sam menuntunku masuk lebih dalam setelah melewati ruang tamu."Ayah …!" Bulan, anak manis itu berteriak memanggil Mas Sam dan berlari mendatanginya dari arah dalam. Mas Sam melepas pegangan tanganku dan berjongkok mensejajarkan tinggi badannya dengan Bulan."Gimana malam tadi nggak rewel kan? Nggak nyusahin Nenek?" Bulan menggeleng. Ia mengalungkan ked
"May bingung Mbak, mau ngomong gimana?" jawabku sambil menggaruk tengkuk dan tersenyum kikuk. Sedangkan Ken tersenyum tipis tanpa suara. Sedari tadi dia hanya diam saja. Sesekali menatapku terlalu intens hingga takut mereka semua curiga."Santai saja May. Maaf, Mbak cuma pernah sekali ke sekolahan Ken, itu pun waktu dia kelas satu. Biasalah May, anak lelaki suka sekali buat masalah." Mbak Lis menggeleng-gelengkan kepala menatap ke arah Ken."May tahu siapa yang disukai Ken, Mbak penasaran seperti apa orangnya." Mbak Lis bertanya membuatku semakin berpeluh dingin. Meneguk ludah saja seakan tercekat di tenggorokan.Sudahlah Mah, jangan tanya Bu May, Ken malu. Lagipula kalau pun tahu, Bu May nggak peduli. Itu bukan urusannya. Iya kan?" Ken menjawab dengan masih menatapku."Memangnya Ken kalau di sekolah gimana, Maysa?"
Aku memasuki sebuah kamar dengan ragu. Ini kamar Samudra. Ia memintaku naik ke atas saat aku berada di situasi menegangkan. Situasi yang menurutku salah saat berada di antara Ken dan Mas Sam.***"Maysa, naiklah ke atas dan istirahat di kamarku. Kamarnya nomor dua, di sebelah sayap kanan." Walau masih terbengong kuturuti permintaannya."Aku ingin bicara dulu dengan Ken. Kopermu biar Bi Asih yang bawa. Kurasa ini tidak terlalu berat."Apa? Bicara dengan Ken? Semoga bukan hal buruk seperti yang kupikirkan."Aku bawa sendiri, bisa," jawabku menolak dibawakan."Biar kubantu dulu, tidak elok Om menyuruh seorang wanita membawa koper sendiri, it--""Benarkah? Yang tidak elok itu dibawa May atau Bu Asih?" Mas Sam melipat tangannya
"Tidak Bu, sampai kapan pun Sam tidak akan menikahi Hanin. Itu hanya membuka luka lama tentang kematian Hanum."Kematian Hanum? Misteri apa lagi ini?"Bagus. Ibu tidak mau kamu terlalu dekat dengan Hanin. Yang lama hanya masa lalu dan jauhi wanita itu. Hormati ia sebatas mantan adik iparmu. Soal kematian Hanum, itu kecelakaan. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Sekarang yang kamu pikirkan adalah rumah tanggamu bersama May. Pikirkan bagaimana perasaan May waktu kamu marahi dia hanya soal foto ini jatuh? May itu wanita yang baik, karena itulah Ibu melamarkan dia untukmu. Waktu itu kamu setuju saja. Lalu sekarang, sikapmu bisa saja membuat May merasa tidak diinginkan."Masih suara Ibu yang berbicara. Kusandarkan badan ke dinding depan kamar. Sakit, rasanya hati ini sakit sekali mengetahui fakta sebenarnya.Tidak terdengar sahuta
"Bunda … Bunda kenapa kerudungnya nggak dibuka? Bulan belum pernah lihat rambut Bunda? Pasti cantik." Bulan bertanya saat kami kumpul di meja makan untuk makan malam."Kalau Bulan mau lihat datang saja ke kamar Bunda," ucapku menjawab pertanyaannya."Di kamar, Bunda lepas ya?" Bulan masih bertanya dengan mulut penuh."Bulan …, nggak boleh bicara kalau lagi makan," tegur Mas Sam."Iya, Sayang," timpalku, sambil mengacak rambutnya. Posisi Bulan berada duduk di tengah antara ku dan Mas Sam."Tapi May, kalau dibuka di luar juga nggak papa. Di dalam rumah ini perempuan semua. Kecuali di luar rumah ada tukang kebun dan pak satpam. Jadi masih aman menurut Ibu kamu lepas hijab. Pekerja laki-laki nggak pernah masuk ke dalam rumah."Aku hanya menganggukkan kepala menerima
"Sam … May!" Sayup kudengar ada suara yang memanggil kami disertai dengan suara gedoran pintu kamar. Dengan berat kubuka mata ini. Entah kenapa atas dadaku terasa berat juga, seperti ada sesuatu yang menindih dan terdengar deru napas di dekat telinga. Apa Bulan? Perasaan tidak seberat ini?"Mas Sam?" ucapku tercekat di tenggorokan. Ia tidur memelukku sedang Bulan malah bertukar posisi dengannya ada di ujung sana, masih tertidur dengan nyenyak."Mas, bangun. Sepertinya Ibu memanggil." Kugoyangkan lengannya pelan dengan berbisik takut Bulan terbangun."Biarkan saja, siapa suruh tidak mengawasi cucunya sampai masuk ke sini."Hah! Masih dengan mata terpejam ia menjawab ucapanku. Mas Sam sudah bangun atau berpura tidur? Sepertinya ia masih kesal karena malam tadi gagal gituan."Mas, nggak enak.