Bismillahirrahmanirrahim.
"Tolong ambil berkas Mas, map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan sekarang juga.""A-apa Mas," sahut Nuri gagap seperti orang ketakutan. Jelas sekali terdengar dari nada bicaranya. Aku menyunggingkan senyum sekilas, puas rasanya mendengar ia ketakutan.Tapi tunggu dulu.Wanita itu tampak gugup memenuhi permintaanku, apa mungkin dia mengira aku mengetahui perangainya tadi. Kalau ia, tentu aku akan kesulitan untuk menyelidiki lebih jauh. Duh! Bagaimana ini, seharusnya tadi tunggu beberapa menit dulu, baru telpon. Tapi ya sudahlah, semua sudah terjadi. Semoga saja Nuri tidak mengetahui, kalau suaminya ini telah menangkap basah sifat buruknya.“Kamu kenapa gugup begitu? Ada sesuatukah!”“Ti-tidak, tidak ada apa-apa Mas. Tadi Mas bilang apa?”“Ambil berkas map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan. Kamu sedang apa sih, kok tidak fokus begini." Selidikku lebih jauh."I-iya Mas, sejak kapan Mas berada di depan?” tanya Nuri dengan napas tercekat kayaknya."Mas baru sampai," ucapku berbohong.“Alhamdulillah,” lirihnya pelan.“Kok Alhamdulillah,” kejarku cepat.“Oh itu Mas, kata ibu barusan berbisik. Masakanku enak katanya.”“Oh begitu,” balasku dengan senyum masam. Pintar sekali kamu bersilat lidah Nuri, kenapa aku begitu mencintai wanita bermuka dua ini."Buruan mana berkasnya, Mas tengah dikejar waktu ini, makanya tidak masuk rumah," bohongku untuk ke sekian kalinya."Iya, tunggu sebentar Mas."Sambungan telepon segera aku putus dan menunggu Nuri keluar membawa map permintaanku.Tak berselang lama, Nuri keluar menenteng map yang aku minta. Aku pandangi wajah perempuan yang setengah mati aku cintai itu dengan perasaan berkecamuk antara benci dan cinta.Apa mungkin wanita kalem dan bermata teduh ini memiliki perilaku yang bertolak belakang. "Kok bengong Mas," tanyanya tersenyum manis seperti biasanya seraya menyodorkan map ke tanganku. Sontak aku tersadar dari lamunan."Oh enggak kok, habisnya kamu cantik banget sih."Wanita itu langsung tersipu-sipu malu aku puji, sedangkan hatiku menggerutu malas."Oh iya, ibu sedang apa?" Tanyaku menyelidik, seraya menatapnya lekat-lekat."Biasalah Mas, jam segini ibu lagi di kamar, mungkin tidur. Sedangkan aku lagi beres-beres rumah."“Tidur? Bukannya kamu bilang tadi, kata ibu masakanmu enak. Masak habis makan, tidur."“Eh, ah iya Mas. Setelah mengatakan itu, ibu masuk kamar. Sedangkan aku pergi ke ruang kerja mas mengambil map merah.”"Eh sebentar, jadi ibu baru makan jam segini?""Bukan Mas, ibu makan tadi pukul 08.00."Ya Allah istriku ini pintar sekali berbohong. Sudah lihai berbohong tampaknya.Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Nuri.Apa katanya tadi, dia sedang beres-beres rumah, padahal barusan dia menghardik ibu. Sangat pintar sekali dia berbohong. Pantas saja dia menolak asisten rumah tangga yang aku tawarkan, ternyata ada babu gratis untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah.Apa mungkin selama ini yang mengerjakan urusan rumah tangga itu ibu? Tapi sejauh ini, yang aku lihat Nuri mengerjakan sendiri semuanya.Aku sering melihat wajah kelelahan terpancar dari wajah wanitaku ini, apa itu hanya kepura-puraan belaka.Kepalaku jadi pening memikirkan, sebaiknya aku selidiki dulu lebih jauh.Aku membuka pintu mobil dan bermaksud menemui ibu."Loh! Katanya tadi buru-buru, kok malah keluar!” seru Nuri tampak gugup.Jelas saja raut ketakutan terpancar dari wajah wanita berkulit kuning Langsat itu, pasti ia takut aksinya bakal ketahuan olehku. Aku semakin ingin menemui ibu, tapi mengingat sebentar lagi waktu rapat dimulai, terpaksa aku urungkan niat menemui ibu dan masuk lagi ke dalam mobil."Ah iya, kalau gitu Mas berangkat sekarang ya." Nuri mengangguk lega, lalu mencium punggung tanganku."Jangan biarkan ibu keseringan tidur ya, tidak baik untuk kesehatannya." Sebelum pergi masih sempat aku menasehati Nuri. Padahal niat sebenarnya, aku ingin sekali mengatakan jangan jadikan ibu babu gratis untuk mengerjakan semuanya. Nanti Nuri bisa curiga.Nuri mengangguk pelan."Hati-hati ya Mas, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya," pesan Nuri, tak lupa senyum manis tersungging dari bibir tipisnya.Aku balas dengan anggukan.Usai pamitan, aku langsung menghidupkan mesin mobil lalu mengemudi dengan perasaan gundah gulana. Setelah aku pergi, entah apa lagi yang diperbuatnya pada ibu. Ingin rasanya menangkap basah kekejaman Nuri, tapi aku tengah ditunggu klien.Bukannya aku tidak berbakti dan membiarkan ibu menderita, aku harus tahu lebih jauh kenapa Nuri bisa setega itu memperlakukan perempuan yang kulihat sangat menyayangi dan selalu mengutamakan ia dari pada aku anak kandungnya. Seperti ada rahasia besar yang tidak aku ketahui.***Setibanya di kantor, pikiranku tak lepas dari ibu.Aku segera merogoh ponsel di saku jas dan menelpon seseorang.[Iya, kenapa Mas?][Kamu pulang ke rumah sekarang juga, temui ibu. Katanya kangen, jangan lupa bawa makanan kesukaan beliau.][Pastikan ibu makan apa yang kamu bawa, mengerti,] pintaku cemas dan khawatir dengan kondisi wanita yang telah bersusah payah membesarkanku. Jangan sampai ibu kelaparan dan jatuh sakit.[Loh emang kenapa dengan ibu.][Jangan banyak tanya, lakukan saja. Nanti kamu akan tahu sendiri.][Baik Mas.] Sambungan telepon segera aku putuskan, setelah Bia, adik bungsuku, memenuhi permintaanku. Sementara aku bisa lega, dengan kedatangan Bia ke rumah, dengan membawa makanan, bisa mengurangi rasa lapar yang diderita ibu.Ya, Bia memang tidak tinggal di rumah. Dia ngekos tak jauh dari tempat kuliahnya. Sekali dalam sepekan ia akan pulang dan menemui ibu.Aku mengusap wajah dengan kasar, pikiran ke ibu membuatku hilang konsentrasi."Pak Bos, ditunggu di ruang rapat sekarang." Sisil sekretaris ku muncul dari balik pintu."Ah iya, baiklah. Kamu duluan saja."Aku bergegas ke ruang meeting. Di sana semua pegawai dan klien telah duduk di tempat masing-masing.“Maaf pak Regan, saya sedikit terlambat.”“Tidak apa-apa Pak Arfan, kami juga baru sampai.”Rapat pun di mulai. Kesepakatan antara perusahaanku dengan perusahaan pak Regan sedang di musyawarahkan. Kerja sama ini tidak boleh batal, karena kerja sama ini sangat menguntungkan kedua belah pihak. Terutama bagi perusahaanku yang sedang berkembang dengan pesat.Saat Pak Regan bicara, pikiranku kembali ke sosok perempuan yang telah melahirkanku. Aku tidak fokus mendengarkan pembicaraan pak Regan. Hingga Sisil mencolek tanganku.“Sepertinya anda sedang banyak masalah, apa kesepakatan ini kita tunda dulu.” Tanya pak Regan menatapku dengan wajah bingung.“Maaf, maaf Pak Regan. Kita lanjutkan sekarang saja.”Tak mau membuat kesepakatan ini gagal, akhirnya aku fokus pada meeting dan membuang jauh-jauh pikiran buruk itu sementara waktu.Selesai rapat, pikiranku kembali pada perempuan yang banyak jasanya itu. Apa Bia telah melakukan permintaanku. Segera saja aku merogoh ponsel dari balik saku jas dan menelpon Bia.Baru saja hendak menelpon, datang panggilan dari Nuri. Kini kecemasan tengah menggerogoti hatiku. Jangan bilang Nuri menelepon untuk mengabari, kalau ibu jatuh sakit.Segera saja aku menjawab panggilan wanita tercintaku itu. Nada suaranya penuh dengan kekhawatiran."Mas! Cepat pulang. Ibu sakit, kini aku sedang membawa ibu ke rumah sakit."Tuh! Benarkan dugaanku. Pasti Bia, belum pulang ke rumah. Makanya sekarang ibu sakit, karena tidak kuat menahan lapar dan mag-nya pasti kambuh."Apa kamu bilang? Ibu sakit! tadi pagi ibu baik-baik saja aku tinggal. Kenapa tiba-tiba sakit?"Bersambung...Mohon bantu subscribe dong sobat.Terima kasih atas kemurahan hatinya.Sebenarnya ada dendam apa yang ingin dilampiaskan oleh Nuri pada mertuanya. Biar gak penasaran, ikuti terus kisahnya ya...Baru saja Arfan dan Bu Asti meninggalkan restoran, ada panggilan masuk dari ponsel milik Arfan.Arfan segera mengangkatnya setelah mengetahui siapa yang menelpon.“Apa?! Astagfirullah. Kamu serius Bia!” lirih Arfan tercekat. Asti pun tak kalah kagetnya melihat anaknya terkejut.“Iya baiklah! Mas akan pulang secepatnya.” Setelah mengatakan itu, Arfan langsung mematikan sambungan telepon dan menatap ibunya sejenak.“Kita pulang sekarang Bu, tadi kata Bia Nuri jatuh dari tangga.”“Apa?” kini gantian Asti yang terperangah. “Terus bagaimana kondisi istrimu? Apa dia baik-baik saja?”“Nuri dibawa ke rumah sakit, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Katanya pingsan cukup lama, bahkan tadi belum siuman juga.”“Ya Allah, semoga Nuri baik-baik saja.”“Ya sudah! Jangan ngobrol di sini. Ayo kita pulang sekarang juga,” Asti menarik tangan Arfan dengan cepat menuju mobil. Perempuan itu tak sabar ingin mengetahui dan melihat langsung kondisi menantunya. Betapa pun pahit yang dirasakannya, akibat u
Rumahnya sepi, kayak tidak ada orang. Lirih Asti kecut. Padahal dari tadi dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Bu Silfiorang yang selalu baik dan ramah padanya. Perempuan itu pun keluar dari mobil lalu mendekati Arfan.“Tidak ada orang kayaknya ya,” tanya Bu Asti melirik kepintu.“Iya Bu, pada kemana ya.”“Coba kamu tanya tetangga sebelah itu,” tunjuk Bu Asti padarumah persis sebelah rumah yang hendak mereka tuju. “Kebetulan itu ada orangnyatuh,” sambung Bu Asti tampak lega.Arfan bergegas menemui lelaki yang ditunjuk ibunya barusan. Kemudian menanyakan keberadaan pak Irwan.Arfan mangguk-mangguk mendengar penjelasan lelaki itu. Setelah mengucapkanterima kasih Arfan kembali ke tempat ibunya berada.Arfan pun menjelaskan keberadaan pak Irwan pada ibunya.“Jadi gimana, apa perlu kita membesuknya ke rumah sakit?”Arfan menimbang baik tidaknya mengajak ibunya ke rumahsakit. Rasanya kok kurang baik bila mengganggu keadaan pak Irwan yang sedangdalam masa perawatan.“Kita pulang saja
Bismillahirrahmanirrahim.POV AuthorKedekatan kami sebenarnya mengundang kebencian dari pegawai lain. Tapi kami tidak memperdulikan nya. Selama kami tidak mengganggu mereka apa yang harus ditakutkan.“Kebencian dari pegawai lain? Maksud ibu ada yang tidak seneng melihat keakraban ibu dan teman-teman.” Arfan bertanya dengan gusar.“Jangan-jangan orang itu yang telah menjebak ibu mengatasnamakan Bu Ranti. Tujuannya untuk memecah belah hubungan kalian.” Sambung Arfan penasaran.“Saat itu ibu juga sempat berpikir seperti yang kamu katakan tadi Arfan. Masalahnya tidak semudah itu. Ibu tidak tahu siapa yang telah berani memfitnah ibu dan menyebabkan Ranti jadi membenci ibu.”Nuri menyimak, sesekali matanya menerawang, seakan mengingat sesuatu.Suasana hening sejenak.Tak lama Nuri memulai percakapan kembali.“Di buku diary mama, aku baca setiap halaman yang ditulis di sana. Mama mengatakan semua isi hatinya dan mencurahkan segala rasa. Di sana juga tertulis kebencian mama pada perempuan ya
Bismillahirrahmaanireahiim.Hari telah berganti. Dua hati telah berlalu semenjak kedatanganku menemui pak Irwan. Tidak ada info apa pun yang aku dapatkan. Apalagi dari orang suruhanku. Bertanya pada ibu juga belum sempat karena banyak pekerjaan kantor yang belum aku selesaikan. Sementara kasus ini aku tangguhkan dulu. Pagi ini seperti biasa, Nuri berusaha mencuri perhatianku.Tapi tetap saja hatiku belum goyah sedikit pun. Hari bila terlanjur sakit, kemana obat hendak dicari.“Ini tehnya Mas,” ucap Nuri meletakkan cangkir bermotif sepasang angsa di atas meja kerjaku.Melihat cangkir bermotif sepasang angsa yang terlihat mesraitu, sesaat kenangan itu sempat melintas dalam benakku. Tercenung dalam diam, terbayang sudah.Bagaimana perjuanganku dulu mendapatkan sepasang cangkir itu. Berdesak-desakan dengan banyak orang. Penuh intrik dan drama. Waktu itu kami tengah menikmati saat masa pacaran yang begitu menggebu-gebu. Hari terasa berjalan begitu cepat. Setiap saat kami habiskan waktu be
“Bismillahirrahmaanirrahiim.Tadi ibu menyebut nama Asti, benarkan?” kejarku lagi setelah wanita ini mengelak.Tanpa menjawab pertanyaanku, tiba-tiba wanita itu menutup pintu dengan cepat. Aku hanya bisa melongo melihatnya, hampir saja jariku kejepit pintu bila tidak kutarik dengan cepat. Ada apa dengannya, kenapa dia seperti ketakutan.“Mas! Kenapa ibu itu kaget melihatku, apa dia pikir aku hantu,” protes Bia memberengut kesal.Aku terkekeh ringan mendengar perkataan Bia, kenapa dia berpikir, dirinya hantu. Ada-ada saja."Kenapa Mas malah tertawa, senang ya dikira aku hantu," ketus Bia kesal.“Bukan begitu Dek, kayaknya dia melihat sosok ibu di wajahmu, makanya dia kaget. Kayaknya dia sangat mengenal ibu, buktinya meskipun telah berlalu sekian lama, wajah ibu tetap teringat olehnya.Bia mengangguk membenarkan perkataan kakaknya.“Kamu dengar gak tadi dia menyebutkan nama Ibu, jangan-jangan dia mengenal ibu dengan baik.”“Tapi responsnya kok anedia kayak takut gitu. Kalau dia mengena
Bismillahirrahmanirrahim.POV Author“Gimana? Arfan kasih tahu posisinya di mana?”Nuri menggeleng cepat seraya meneteskan air mata. Tangannya sibuk mengusap bulir air mata yang meleleh di pipi. Tak pernah perempuan itu bayangkan, bahwa tindakannya memperlakukan ibu mertua dengan sangat kejam itu berimbas pada dirinya sendiri. Nuri pikir perbuatannya itu tidak akan diketahui oleh suaminya secepat ini. Bak kata pepatah, bangkai busuk lama-lama pasti tercium juga. Kini Nuri begitu terluka, ternyata didiamkan oleh suami sendiri begitu menyakitkan. Ia tidak tahu lagi bagaimana membuat Arfan memaafkannya. Kebencian Arfan padanya, membuat Nuri sangat menyesali perbuatannya. Pikirannya selama ini salah, bahwa Arfan akan memaafkannya, karena cinta lelaki itu begitu besar padanya. Ternyata buktinya, cinta itu telah luntur dalam hati suaminya, akibat perbuatan buruknya menyiksa ibu mertuanya, wanita yang teramat disayang oleh Arfan suaminya.“Bu, Mas Arfan masih marah padaku. Bukannya menjawa
Bismillahirrahmanirrahim."Mas! Jangan menakut-nakutiku," lirih Bia tampak cemas. Wajah adikku mengerucut menggemaskan."Bisa jadi-kan, bukan bermaksud membuatmu takut. Kewaspadaan itu penting, di mana pun kamu berada, di rumah sekalipun. Kamu masih ingatkan, di mana kamu diculik waktu itu. Tempat yang aman menurut orang, belum tentu aman untuk kita, kalau kita tidak hati-hati dan meningkatkan kewaspadaan. Jangan dianggap angin lalu. Kamu itu perempuan, perlu waspada dan hati-hati tingkat tinggi. Kamu mengerti-kan apa yang Mas maksud,” pintaku dengan raut khawatir, karena Bia terlalu menyepelekan keselamatan diri. Terlalu abai dengan keadaan sekitar, dia pikir orang tidak mungkin berbuat jahat padanya.“Iya Mas, aku mengerti, maaf." Lirih Bia tampak menyesali ucapannya. Melihat Bia menunduk dalam, kini giliranku merutuki perkataanku yang terlalu mengintimidasi Bia. "Maaf Bia, perkataan mas terlalu tajam ya." Kuperhatikan wajahnya dengan seksama mencari tanggapan atas perkataanku."Ti
Bismillahirrahmanirrahim.Sekali lagi Mbak bilang Laili, Mbak tidak pernah memfitnah Ranti.Jika mau jujur mbak juga ikut bersedih kehilangan kakakmu itu. Dia sahabat yang sangat baik dan mengerti kesulitan temannya.”"Apapun kata Mbak, aku lebih percaya perkataan Kakakku. Katanya, Mbak Asti yang telah menuduhnya.""Kata siapa, bagaimana Ranti bisa mengatakan aku yang memfitnahnya. Siapa yang mengatakan itu," sanggah ibu tak terima dituduh oleh sahabat baiknya.“Sebentar Mbak Asti, kenapa setelah kejadian itu? Mbak pindah kerja, seakan-akan Mbak ingin kabur dari jeratan hukum. Kepergian mbak Asti waktu itu menambah daftar kecurigaan kami."“Mbak pindah kerja karena mengikuti suami dan mbak juga ingin melupakan peristiwa kelam itu. Kalau Mbak masih di sana, mungkin Mbak masih terus teringat Ranti.”“Percayalah! Mbak tidak sejahat itu, kami hanya korban.”“Korban? Maksud Mbak?”“Iya korban, kami hanya korban orang yang tidak senang melihat kedekatan kami.”“Siapa?”“Maaf Laili, mbak juga
Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu mau bukti, hah! Ini, akan kutunjukkan sekarang juga.” Kini tidak ada lagi sikap lembut yang selalu aku tunjukkan padanya. Sudah cukup rasanya melihat ibu menderita. Pelan namun pasti, cinta yang aku jaga selama ini mulai luntur.Aku segera mengambil laptop yang tadi aku bawa dari kantor, dan membawanya ke dalam rumah lalu menunjukkan semuanya pada Nuri.Nuri tampak syok dan pastinya kaget, badannya limbung kebelakang. Wanita itu pasti tidak menduganya, bukan? Tak sabar rasanya melihat perempuan itu terkejut.“Ba-bagaimana cara Mas mendapatkan bukti itu,” lirihnya gugup dengan napas tercekat.“Tak penting bagaimana caraku mendapatkan bukti ini. Kenyataannya, sekarang aku tau, kamu selama ini ternyata bermuka dua. Lain depan lain belakang. Kenapa Nuri? kenapa kamu tega memperlakukan ibu dengan buruk. Apa kurangnya aku, aku selalu menomorsatukan kamu dalam setiap hal. Apa kurang cukup cinta dan kasih sayang yang kuberikan padamu. Hingga kamu tega memperlak