Share

WAI Part 02

Bismillahirrahmanirrahim.

"Tolong ambil berkas Mas, map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan sekarang juga."

"A-apa Mas," sahut Nuri gagap seperti orang ketakutan. Jelas sekali terdengar dari nada bicaranya. Aku menyunggingkan senyum sekilas, puas rasanya mendengar ia ketakutan.

Tapi tunggu dulu.

Wanita itu tampak gugup memenuhi permintaanku, apa mungkin dia mengira aku mengetahui perangainya tadi. Kalau ia, tentu aku akan kesulitan untuk menyelidiki lebih jauh. Duh! Bagaimana ini, seharusnya tadi tunggu beberapa menit dulu, baru telpon. Tapi ya sudahlah, semua sudah terjadi. Semoga saja Nuri tidak mengetahui, kalau suaminya ini telah menangkap basah sifat buruknya.

“Kamu kenapa gugup begitu? Ada sesuatukah!”

“Ti-tidak, tidak ada apa-apa Mas. Tadi Mas bilang apa?”

“Ambil berkas map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan. Kamu sedang apa sih, kok tidak fokus begini." Selidikku lebih jauh.

"I-iya Mas, sejak kapan Mas berada di depan?” tanya Nuri dengan napas tercekat kayaknya.

"Mas baru sampai," ucapku berbohong.

“Alhamdulillah,” lirihnya pelan.

“Kok Alhamdulillah,” kejarku cepat.

“Oh itu Mas, kata ibu barusan berbisik. Masakanku enak katanya.”

“Oh begitu,” balasku dengan senyum masam. Pintar sekali kamu bersilat lidah Nuri, kenapa aku begitu mencintai wanita bermuka dua ini.

"Buruan mana berkasnya, Mas tengah dikejar waktu ini, makanya tidak masuk rumah," bohongku untuk ke sekian kalinya.

"Iya, tunggu sebentar Mas."

Sambungan telepon segera aku putus dan menunggu Nuri keluar membawa map permintaanku.

Tak berselang lama, Nuri keluar menenteng map yang aku minta. Aku pandangi wajah perempuan yang setengah mati aku cintai itu dengan perasaan berkecamuk antara benci dan cinta.

Apa mungkin wanita kalem dan bermata teduh ini memiliki perilaku yang bertolak belakang. 

"Kok bengong Mas," tanyanya tersenyum manis seperti biasanya seraya menyodorkan map ke tanganku. Sontak aku tersadar dari lamunan.

"Oh enggak kok, habisnya kamu cantik banget sih."Wanita itu langsung tersipu-sipu malu aku puji, sedangkan hatiku menggerutu malas.

"Oh iya, ibu sedang apa?" Tanyaku menyelidik, seraya menatapnya lekat-lekat.

"Biasalah Mas, jam segini ibu lagi di kamar, mungkin tidur. Sedangkan aku lagi beres-beres rumah."

“Tidur? Bukannya kamu bilang tadi, kata ibu masakanmu enak. Masak habis makan, tidur."

“Eh, ah iya Mas. Setelah mengatakan itu, ibu masuk kamar. Sedangkan aku pergi ke ruang kerja mas mengambil map merah.”

"Eh sebentar, jadi ibu baru makan jam segini?"

"Bukan Mas, ibu makan tadi pukul 08.00."

Ya Allah istriku ini pintar sekali berbohong. Sudah lihai berbohong tampaknya.

Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Nuri.

Apa katanya tadi, dia sedang beres-beres rumah, padahal barusan dia menghardik ibu. Sangat pintar sekali dia berbohong. Pantas saja dia menolak asisten rumah tangga yang aku tawarkan, ternyata ada babu gratis untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Apa mungkin selama ini yang mengerjakan urusan rumah tangga itu ibu? Tapi sejauh ini, yang aku lihat Nuri mengerjakan sendiri semuanya.

Aku sering melihat wajah kelelahan terpancar dari wajah wanitaku ini, apa itu hanya kepura-puraan belaka.

Kepalaku jadi pening memikirkan, sebaiknya aku selidiki dulu lebih jauh.

Aku membuka pintu mobil dan bermaksud menemui ibu.

"Loh! Katanya tadi buru-buru, kok malah keluar!” seru Nuri tampak gugup.

Jelas saja raut ketakutan terpancar dari wajah wanita berkulit kuning Langsat itu, pasti ia takut aksinya bakal ketahuan olehku. Aku semakin ingin menemui ibu, tapi mengingat sebentar lagi waktu rapat dimulai, terpaksa aku urungkan niat menemui ibu dan masuk lagi ke dalam mobil.

"Ah iya, kalau gitu Mas berangkat sekarang ya." Nuri mengangguk lega, lalu mencium punggung tanganku.

"Jangan biarkan ibu keseringan tidur ya, tidak baik untuk kesehatannya." Sebelum pergi masih sempat aku menasehati Nuri. Padahal niat sebenarnya, aku ingin sekali mengatakan jangan jadikan ibu babu gratis untuk mengerjakan semuanya. Nanti Nuri bisa curiga.

Nuri mengangguk pelan.

"Hati-hati ya Mas, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya," pesan Nuri, tak lupa senyum manis tersungging dari bibir tipisnya.

Aku balas dengan anggukan.

Usai pamitan, aku langsung menghidupkan mesin mobil lalu mengemudi dengan perasaan gundah gulana. Setelah aku pergi, entah apa lagi yang diperbuatnya pada ibu. Ingin rasanya menangkap basah kekejaman Nuri, tapi aku tengah ditunggu klien.

Bukannya aku tidak berbakti dan membiarkan ibu menderita, aku harus tahu lebih jauh kenapa Nuri bisa setega itu memperlakukan perempuan yang kulihat sangat menyayangi dan selalu mengutamakan ia dari pada aku anak kandungnya. Seperti ada rahasia besar yang tidak aku ketahui.

***

Setibanya di kantor, pikiranku tak lepas dari ibu.

Aku segera merogoh ponsel di saku jas dan menelpon seseorang.

[Iya, kenapa Mas?]

[Kamu pulang ke rumah sekarang juga, temui ibu. Katanya kangen, jangan lupa bawa makanan kesukaan beliau.]

[Pastikan ibu makan apa yang kamu bawa, mengerti,] pintaku cemas dan khawatir dengan kondisi wanita yang telah bersusah payah membesarkanku. Jangan sampai ibu kelaparan dan jatuh sakit.

[Loh emang kenapa dengan ibu.]

[Jangan banyak tanya, lakukan saja. Nanti kamu akan tahu sendiri.]

[Baik Mas.] Sambungan telepon segera aku putuskan, setelah Bia, adik bungsuku,  memenuhi permintaanku. 

Sementara aku bisa lega, dengan kedatangan Bia ke rumah, dengan membawa makanan, bisa mengurangi rasa lapar yang diderita ibu.

Ya, Bia memang tidak tinggal di rumah. Dia ngekos tak jauh dari tempat kuliahnya. Sekali dalam sepekan ia akan pulang dan menemui ibu.

Aku mengusap wajah dengan kasar, pikiran ke ibu membuatku hilang konsentrasi.

"Pak Bos, ditunggu di ruang rapat sekarang." Sisil sekretaris ku muncul dari balik pintu.

"Ah iya, baiklah. Kamu duluan saja."

Aku bergegas ke ruang meeting. Di sana semua pegawai dan klien telah duduk di tempat masing-masing.

“Maaf pak Regan, saya sedikit terlambat.”

“Tidak apa-apa Pak Arfan, kami juga baru sampai.”

Rapat pun di mulai. Kesepakatan antara perusahaanku dengan perusahaan pak Regan sedang di musyawarahkan. Kerja sama ini tidak boleh batal, karena kerja sama ini sangat menguntungkan kedua belah pihak. Terutama bagi perusahaanku yang sedang berkembang dengan pesat.

Saat Pak Regan bicara, pikiranku kembali ke sosok perempuan yang telah melahirkanku. Aku tidak fokus mendengarkan pembicaraan pak Regan. Hingga Sisil mencolek tanganku.

“Sepertinya anda sedang banyak masalah, apa kesepakatan ini kita tunda dulu.” Tanya pak Regan menatapku dengan wajah bingung.

“Maaf, maaf Pak Regan. Kita lanjutkan sekarang saja.”

Tak mau membuat kesepakatan ini gagal, akhirnya aku fokus pada meeting dan membuang jauh-jauh pikiran buruk itu sementara waktu.

Selesai rapat, pikiranku kembali pada perempuan yang banyak jasanya itu. Apa Bia telah melakukan permintaanku. Segera saja aku merogoh ponsel dari balik saku jas dan menelpon Bia.

Baru saja hendak menelpon, datang panggilan dari Nuri. Kini kecemasan tengah menggerogoti hatiku. Jangan bilang Nuri menelepon untuk mengabari, kalau ibu jatuh sakit.

Segera saja aku menjawab panggilan wanita tercintaku itu. Nada suaranya penuh dengan kekhawatiran.

"Mas! Cepat pulang. Ibu sakit, kini aku sedang membawa ibu ke rumah sakit."

Tuh! Benarkan dugaanku. Pasti Bia, belum pulang ke rumah. Makanya sekarang ibu sakit, karena tidak kuat menahan lapar dan mag-nya pasti kambuh.

"Apa kamu bilang? Ibu sakit! tadi pagi ibu baik-baik saja aku tinggal. Kenapa tiba-tiba sakit?"

Bersambung...

Mohon bantu subscribe dong sobat.

Terima kasih atas kemurahan hatinya.

Sebenarnya ada dendam apa yang ingin dilampiaskan oleh Nuri pada mertuanya. Biar gak penasaran, ikuti terus kisahnya ya...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status