Share

WAI Part 05

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillah kami baik, hanya ibu saja yang kurang sehat, mag-Nya  kambuh karena telat makan.”

“Maaf Mas, aku ralat, Ibu sakit bukan karena telat makan ya, tapi ibu sedang kehilangan nafsu makan.” jelas Nuri tak terima aku bilang ibu telat makan.

Aku spontan melongo mendengar ucapan Nuri. Berani juga dia menyanggah perkataanku. Padahal sebenarnya aku tahu banget sepak terjangnya. Sekarang berlagak tidak mau disalahkan karena gagal melayani semua kebutuhan ibu. Aku hanya bisa menggelengkan pasrah.

“Tergantung, kalau lauknya menggiurkan, pasti ibu nafsu makan.” balasku lagi.

“Maksud Mas, masakanku tidak menerbitkan selera ibu gitu,” sanggah Nuri sedikit kesal.

“Bukannya berterima kasih telah dimasakin, sekarang bisanya menghina.” Lanjut Nuri menambahkan dengan raut cemberut.

Aku tersentak mendengar jawaban Nuri, sejak kapan dia mulai berani menjawab dan menentang perkataanku. Jadi semua ini bukan karena pengaruh hasutan seseorang. Ini murni Nuri telah banyak berubah. Apakah ini bagian dari rencana jahatnya.

“Kamu jangan salah paham begitu Nuri, Mas tidak bermaksud mengecilkan usaha dan kelelahanmu merawat dan melayani semua kebutuhan ibu. Masalah selera, sebenarnya bisa saja dipancing. Apalagi buat ibu yang menderita mag akut. Tidak seharusnya membiarkan ibu telat makan.”

“Harusnya kamu bujuk rayu ibu, supaya mau makan. Bukan hanya diam saja seakan tidak peduli dengan penyakit ibu.”

“Cukup Mas, jangan salahkan aku terus. Kamu kenapa sih Mas, apa ada sesuatu hal yang kamu ketahui, tapi tidak bisa mengatakannya.”

"Kenapa aku yang disalahkan, ibu sakit karena sedang tidak nafsu makan. Bukan karena telat makan. Ingat Mas, aku sudah berupaya untuk merawat dan menjaga ibu, jangan lupakan jerih payahku," lirihnya dengan wajah keruh dan tak enak dilihat.

"Tidak! Jangan salah paham."

"Terus kenapa mas mudah marah dan tersinggung?"

“Sudah! Sudah! Kenapa kalian jadi perang mulut. Terpenting sekarang ibu tidak apa-apa, jadi jangan berantem lagi. Malu tau,” ucap bang Hamdi melerai perdebatan antara aku dan Nuri.

“Maaf Bang,” ucapku menyesal.

Sejak aku melihat perlakuan Nuri pada ibu, emosiku suka kepancing sendiri. Bila tak ingat dia adalah tanggung jawabku, dan sungguh akupun sangat mencintainya, rasanya sulit bagiku untuk melepaskannya.

“Arfan, ibu mau istirahat. Tolong antar ibu ke kamar.”

“Silakan masuk Bang, maaf saya antar ibu istirahat kekamar.”

“Silakan.”

Aku segera menuntun ibu ke kamar, pisiknya belumlah stabil dan tenaganya masih lemah. Apalagi tadi sempat berdiri lama, salahku juga justru berdebat dengan Nuri. Bukannya mengantar ibu ke kamar untuk istirahat. Jadi ibu tidak perlu ikut melayani tamu yang datang. Cukup Nuri atau Bia saja yang menemani.

Mumpung di kamar berdua ibu saja, mending aku korek info lebih banyak lagi. Siapa tahu ibu mau cerita. Setelah menatap wajah perempuan itu lekat-lekat, aku  mulai menghirup napas perlahan-lahan sebelum mulai bertanya.

“Kenapa kamu menatap ibu seperti itu, seakan-akan kamu hendak menguliti ibu hidup-hidup.”

“Hhmm, begini Bu, aku masih penasaran, kenapa ibu bisa masuk rumah sakit. Aku curiga ibu telah berbohong, apa ada yang ibu tutupi dari aku. Biasanya ibu akan memakan apa pun itu demi kesehatan ibu. Tapi kenapa karena kurang berselera saja, ibu tidak memaksakan makan seperti biasanya. Padahal ibu tahu betul, jika telat makan mah ibu pasti kambuh. Ini terasa ada yang mengganjal, ibu berbohongkan padaku, dengan mengatakan “lagi tidak berselera makan.”

“Benarkan dugaanku Bu, bicaralah terus terang, tidak ada siapa-siapa di sini."

“Benar Nak, ibu tidak bohong.”

“Mau sampai kapan ibu menutupi ini dari aku. Asal ibu tahu, kemaren aku melihat dengan mata kepala sendiri, apa yang dilakukan Nuri pada ibu.”

Kulihat rona terkejut di wajah ibu. Tak lama kemudian,wajahnya tenang dan biasa seperti semula.

“Kamu tidak perlu cemas Arfan. Apa yang kamu lihat dan apayang kamu dengar tidak semuanya benar. Kemaren memang salah ibu yang tidakbersih mencuci baju Nuri. Tadinya Nuri mau cuci sendiri, tapi melihat diamemijit kepalanya, ibu menawarkan diri untuk membantunya. Hanya itu saja kok, percayasama ibu.”

Aku hanya bisa mematung mendengar pembelaan ibu pada Nuri, padahal Nuri telah memperlakukannya sangat kejam. Tapi ibu tetap saja membelanya. Itulah ibuku, orang yang tidak pernah mau menyimpan dendam. Jika dikelahiran berikutnya, aku tetap ingin dilahirkan dari rahim wanita seperti ibu. Rela mati-matian dan bekerja keras untuk membiayai semua keperluan kamu anak-anaknya. Hidup damai dan bahagia dengan ayah. 

Kebahagiaan yang mereka tunjukkan, adalah mimpi yang sangat ingin kuraih bersama Nuri. Tapi setelah melihat kenyataan di depan mata, apa masih mungkin aku bisa meraih mimpi hidup bahagia dengan istriku. Sekarang saja, aku sudah mulai merasa pernikahan kami sedang di ujung tanduk.

“Baiklah! Aku percaya sama ibu. Ingat ya Bu, jika Nurimemperlakukan ibu semena-mena, jangan diam saja. Ibu harus bilang padaku. Akutidak mau ibu menderita sedikit pun.”

“Bagiku, kebahagiaan ibu adalah kebahagiaanku.”

“Baiklah Nak, kamu tidak perlu khawatir. Ibu pasti akancerita dan bilang terus terang, bila ibu diperlakukan tidak sepantasnya olehNuri.”

Tengah asyik bicara dengan ibu, Bia muncul dengan wajahditekuk.

“Loh! Itu kenapa wajahmu tak enak dilihat begitu, adamasalah?”

Bia memberengut dan mendengkus kasar.

“Tau tuh bang Handi, masak salaman pegangan tanganku lamabanget, kok perasaanku tidak enak ya Bang.”

“Jangan berpikiran buruk dulu, belum tentu benar. Tidak baikberburuk sangka, dosa besar.”

“Habisnya bikin kesal, cengar-cengir gak jelas.” Tukas Biacemberut tak suka.

“Ayo Mas anter ambil pakaianmu. Mulai sekarang kamu tinggaldi rumah ini, biar ada yang mengawasi ibu.”

“Mas tidak khawatir meninggalkan ibu bersama Mbak Nuri dan BangHandi. Bisa jadi Mbak Nuri meminta Bang Handi datang untuk mencelakakan ibu.”

“Oh iya, kamu ada benarnya juga, baiklah kamu saja yang mengambilsendiri. Sementara Mas akan tetap tinggal.”

“Yuk keluar, biarkan ibu istirahat.” Kugandeng tangan Biapelan. Tapi sayang, Bisa menahannya.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Malas ah ketemu cowok aneh itu, aku di sini saja. Lagianngapain dia ke sini. Kurang kerjaan saja.” ucap bisa menggerutu.

Aku terkekeh ringan melihat gerutuan Via, hingga mulutnyamenyong sana menyong sini.

“Gak boleh begitu, tamu itu harus dihormati.”

Aku dan Bia keluar beriringan melangkah ke ruang tamu, takbaik saat ada tamu, tuan rumah malah sembunyi di kamar.”

Baru saja kaki ini menginjak satu undakan menuju ruang tamu,telingaku menangkap suara bisik-bisik pelan antara Nuri dan abangnya. Urungkakiku melangkah lebih jauh, tanganku serta Merta menyeret tangan Bia untukikut mundur ke belakang.

“Hampir saja rencana kita ketahuan Bang, untungnya mas Arfanorangnya lambat berpikir dan terlalu percaya padaku.”

“Kamu ini sudah tau mertuamu itu mengidap penyakit mag,kenapa kamu larang makan.”

Sontak Bia mencengkeram tanganku dengan kuat. “Kamu dengarsendiri-kan Dek, mereka itu tengah merencanakan sesuatu yang jahat,” ucapkuberbisik.

“Iya Mas.”

“Sstt... Kita dengarkan dulu pembicaraan mereka.”

“Aku juga tidak menyangka Bang, bakal kejadian begini.Selama ini aku pikir ibu menderita mag biasa, tidak berbahaya seperti kemaren.”

“Untungnya lagi cepat kamu bawa dia ke rumah sakit.”

“Eh sebentar, harusnya kamu biarkan saja dia menderita, bilaperlu mati sekalian. Biar dendam lama kita terbayarkan.”

“Yah! Gak bisa gitu Bang, nanti aku yang disalahkan. Pastibakal ketahuan ibu meninggal karena penyakit mag-Nya kambuh.”

 Aku dan Bia salingmelirik dan bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya ada dendam apa yang inginmereka lampiaskan pada ibu. Apa kesalahan ibu sebenarnya pada mereka.

“Mas! Apa maksud perkataan mereka, ada dendam apa merekapada ibu, kasihan ibu Mas, menjadi sasaran balas dendam mereka.” Bisik Bia ketelingaku.

Bersambung ..

Terima kasih teman sahabat yang telah berkenan mampir, mohon dukungannya untuk subscribe,like dan komen ya, biar aothor semakin semangat menulisnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status