Winter, 2010.
Shin Hasung, lelaki dengan setelan jeans yang membawa ransel di punggungnya berjalan pelan bersama wanita mungil berponi tipis dengan dress biru muda yang tak lain adalah Adelian. Keramaian pengunjung Sungai Han yang berlalu lalang tanpa henti membuat tangan kiri Hasung dan tangan kanan Lian terus berbenturan. Suasana di antara mereka semakin canggung. Ditambah Hasung ternyata mendapat informasi yang salah karena pameran di Sungai Han sudah selesai kemarin malam. Sekarang, Hasung sedang berpikir keras, ke mana tujuan yang harus ia tempuh bersama Lian untuk sisa waktunya yang sangat sedikit ini.
“Apa aku boleh menggenggam tanganmu?” tanya Hasung berusaha santai.
Lian mengulum senyum. “Kenapa kau bertanya? Rasanya sangat aneh karena biasanya kau selalu menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.”
“Bukankah sekarang sudah berbeda? Sekarang aku bukan lagi Hasung yang menjadi temanmu,” jawab Hasung yang juga tersenyum.
“Lalu?”
“Aku Hasung, lelaki yang harus kau pertimbangkan dengan serius.”
Lian tertawa kecil sebelum akhirnya mengangguk dan membiarkan Hasung menggenggam tangannya.
Hasung merasakan tangan Lian yang tegang tidak seperti biasanya. Hasung kembali menggenggamnya lebih kuat, memberikan seluruh kehangatan yang ia miliki pada wanita yang katanya harus mempertimbangkannya itu.
Sepanjang perjalanan, Hasung menyadari Lian masih tetap saja terlihat tegang dan kaku. Jika seperti ini terus, ia tak bisa meninggalkan kesan berarti pada perpisahan malam ini. Hasung bisa mengerti, sebenarnya ia juga merasa canggung. Akan tetapi, karena dia yang harus bersikap sebagaimana seorang lelaki, maka dia harus tetap terlihat tenang dan jantan. “Ini membuatmu canggung, ya?” tanya Hasung.
Namun Lian tak langsung menjawab. Ia hanya menunjukkan wajah tanpa ekspresi. “Kalau begitu, mari kembali seperti biasa. Anggap aku sebagai Hasung temanmu, jangan anggap aku sebagai Hasung yang harus kau pertimbangkan dengan serius untuk saat ini. Mari menikmati sisa waktu yang ada, lakukan apa pun yang ingin kita lakukan,” tukas Hasung tegas dan lantang.
Lian terdiam, berpikir beberapa saat lalu mengangguk. Ia melonggarkan genggaman Hasung, tapi Hasung malah membuatnya semakin kuat.
“Tapi kau tak boleh melepaskan tanganku.” Hasung memberi syarat.
Lian merasa lucu. “Baiklah,” jawabnya dengan tawa tertahan.
Mereka pun akhirnya berusaha keras untuk menghilangkan kecanggungan dengan langkah dan ekspresi wajah yang lebih natural.
Di depan minimarket, Lian menatap ke arah claw machine. Hasung menyadarinya dan segera menggiring Lian mendekati mesin itu. Mereka pun mulai bermain. Percobaan pertama dan kedua, Lian yang melakukannya. Namun tak ada hasil.
Selanjutnya, Hasung yang berjuang. Hampir 10 koin sudah ditelan mesin, tapi Hasung tak mendapatkan apapun. Lian yang menyaksikannya hanya bisa tertawa.
“Giliranku,” ucap Lian sembari menyingkirkan tubuh Hasung agar memberinya tempat. Lian bersiap, lalu melakukannya. Namun, gagal dan gagal lagi hingga permainan ke sekian. Hasung yang menyaksikannya juga hanya tertawa.
“Berikan padaku.” Hasung mengambil posisi Lian kembali, Lian tampak kehabisan energi. Hasung berusaha lebih baik lagi dan hampir saja mendapatkan boneka berpita yang sedari tadi Lian jadikan sebagai target. Hasung mendesah, lalu mencoba sekali lagi, namun hasilnya masih sama saja. GAGAL.
Hasung menghela napas berat sembari meraba saku jeans-nya. Malangnya, ternyata koinnya sudah habis.
“Koinnya habis?”
Hasung mengangguk, “Akan aku tukarkan lagi.”
“Jangan,“ cegat Lian.
Hasung mengangkat jari telunjuknya. “Sekali lagi.”
Lian menggeleng, lalu menarik Hasung meninggalkan mesin itu. Hasung tidak bisa memberontak meskipun sebenarnya ia sangat ingin memberikan boneka beruang berpita putih itu pada Lian.
Lian tidak bisa terus menerus menyia-nyiakan sisa waktu Hasung yang sangat berharga ini. Pagi datang tinggal beberapa jam lagi. Jadi, ia ingin melakukan sesuatu yang lebih berarti. Bermain dengan mesin itu hanya akan menghabiskan waktu dan koinnya karena hingga pagi datang mereka belum pasti mendapatkan sesuatu.
Dalam perjalanan tak tentu arah, akhirnya mereka menemukan foodtruck[1] yang menjual berbagai macam hidangan hangat. Mereka memilih tteokpokki[2], lalu odeng[3], dan menghabiskan beberapa tusuk hingga perut mereka hampir kenyang.
“Mau nonton film?”
“Ide bagus.” Lian terlihat antusias mendengar tawaran Hasung.
Di dalam bioskop, mereka hanya berdua saja karena ini film terakhir yang diputar di tengah malam. Genre yang mereka tonton adalah horor. Namun, mereka sama sekali tak bereaksi. Tubuh mereka memang berada dalam bioskop. Tetapi, jiwa mereka melayang entah ke mana. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga film selesai.
“Kita harus ke mana lagi?” tanya Lian berusaha tetap antusias seperti sebelumnya.
Alih-alih menjawab, Hasung malah memeriksa arlojinya lebih dulu. Ia tak menyangka waktu bisa berlalu begitu cepat. Bahkan, terasa lebih cepat dari biasanya. Hasung bahkan merasa mereka belum melakukan apa pun yang patut dikenang. Tapi mau bagaimana lagi, waktu bukan sesuatu yang dapat diajak kompromi. “Aku harus mengantarmu pulang sebelum Bus terakhir.”
“Kenapa?” tanya Lian, tanpa sadar matanya berkaca-kaca.
“Aku juga harus mengejar Bus terakhir ke Incheon malam ini sebelum berangkat Wajib Militer,” jawab Hasung.
“Bukankah kau masih punya waktu sebelum bus pagi pertama datang?” Lian berkata sembari berusaha menahan air matanya.
Hasung menggigit bibir bawahnya sembari menatap Lian. Ia tak ingin terlihat sedih. Melihat mata Lian yang berkaca-kaca, sudah cukup memberatkan hatinya untuk pergi. “Kalau menunggu bus pagi pertama datang, aku bisa terlambat,” jelasnya pelan. Hasung meraih tangan Lian sembari mengukir senyum semanis mungkin untuk meyakinkannya.
Di dalam bus, hanya beberapa kursi yang terisi dan sisanya kosong. Hasung dan Lian hanya membisu sepanjang perjalanan. Tangan mereka masih saling menggenggam satu sama lain hingga bus sudah sampai di stasiun pemberhentian yang mereka tuju.
Hasung mengantar Adelian pulang sampai di bawah tangga dan membiarkan Lian menaiki tangga sendirian. Begitu Lian sudah sampai di koridor, Hasung melambaikan tangannya. Lian juga ikut melambaikan tangan dan mengisyaratkan Hasung untuk segera pergi sebelum terlambat.
Hasung mengangguk, tangannya mengisyaratkan bahwa ia akan menghubungi Lian nanti. Lian mengerti dan Hasung pun berbalik untuk pergi. Lian terus menatap langkah Hasung hingga tubuh lelaki itu hilang ditelan gelapnya jalanan malam.
Dengan perginya Hasung malam ini, menjelaskan bahwa mereka sudah resmi berpisah karena Hasung akan mengawali masa Wajib Militernya esok hari.
***
[1] Truk berukuran sedang yang digunakan untuk menjajakan makanan ringan di pinggir jalan.
[2] Makanan khas Korea berupa kue yang terbuat dari tepung beras yang dimasak dalam bumbu gochujang atau saus pedas manis khas Korea. Kue beras yang di pakai berbentuk batang atau silinder.
[3] Makanan khas Korea yang di dalamnya terbuat dari tepung ikan dan di rebus di dalam kuah rempah-rempah.
“Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja
Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t
Sesi pembacaan naskah untuk naskah drama terbaru yang digarap Han Jinhee berjalan dengan sangat lancar. Semua pihak hadir tanpa terkecuali. Penulis novel yang digarap oleh Jinhee menjadi Naskah drama pun hadir ditemani Shin Hasung sebagai perwakilan dari pihak penerbitan Ahn Young. Di mana Ahn Young-lah penerbit yang membuat naskah novel ini menjadi best seller sampai beberapa kali cetakan hingga produser tertarik untuk menjadikannya sebuah drama. Hasung pulang. Kali ini tidak dengan Jinhee yang tadi pagi lebih dulu menawarkan diri untuk menjemputnya. Ia pulang sendiri dengan wajah yang tidak sesegar pagi tadi.Saat Hasung baru saja menapaki kakinya keluar dari lift, ia menemukan pintu rumah Lian yang baru saja tertutup. Sepertinya Lian baru pulang sama sepertinya. Hanya saja, jika Hasung bisa sedikit lebih cepat, mereka pasti akan bertemu dan Hasung mungkin tidak akan bisa me
Lian melangkah gontai menerobos dinginnya malam. Ia terpaksa pulang lebih dulu karena tak tahu harus berbuat apa. Di sepanjang jalan yang sepi, Lian terus terisak sembari menyembunyikan wajahnya dengan tekukan. Ia memeriksa sekeliling sebentar. Namun, semuanya tampak biasa dan bahkan Hasung pun tak muncul untuk mencegah kepergiannya seperti yang ia harapkan.Lian kembali terisak. Kali ini ia tak bisa menahan suaranya. Namun, ia tak berhenti melangkah. Meskipun kadang ada taksi yang berjalan pelan melintasinya Lian tak peduli.Sampai satu sedan merah berteriak dengan klaksonnya dan menghentikan langkah gontai Lian. Tanpa pikir panjang, Lian mendekat. Ada Jiwoo yang muncul dari balik kemudi. Sahabatnya itu tampak iba. Namun, tak bisa berbuat banyak. Untung saja Jiwoo tidak sedang sibuk sehingga tak lama dari saat Lian menghubunginya, ia sudah tiba.Satu loncatan kecil membuat Lian kini sudah berada di samping Jiwoo. Mata basah Lian menjelaskan semuanya, termasuk m
Hasung dan Lian sudah tiba di Lotte World[1]. Mereka tampak berjalan seperti biasa di tengah keramaian dengan setelan musim dingin yang juga terlihat biasa. Hanya saja, Lian sedikit terlihat berbeda karena menambah polesan make up di wajahnya yang terlihat tidak setipis biasanya.Lian menyadari sebagian besar pengunjung sudah memakai bando animasi yang didapatkannya di toko dekat pintu masuk. Lian pun mengajak Hasung untuk memakainya. Hasung menolak. Namun, Lian terus memaksanya hingga bando berbentuk kucing singgah di kepala Hasung dan Lian terlihat bahagia dengan bando kelinci yang sesuai dengan setelan white-peach nya.Saat berjalan-jalan memeriksa sudut taman bermain terbesar di Korea itu, Lian dan Hasung menikmati waktunya dengan menikmati latte hangat. Mereka persis terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Mereka juga menemukan ada banyak orang yang terlihat melakukan hal yang sama, tapi dengan
“Hasunglah yang bertemu dengan Goo Nara dan memintanya untuk menjelaskan semuanya padamu.”Deg! Degupan keras menghantam jantung Lian. Tak ada alasan pasti, hanya saja mendengar pengakuan Jiwoo jantungnya hampir berhenti berdetak. “Bagaimana mungkin?” Lian tak habis pikir.“Apa yang kau pikirkan ketika dia masih peduli kejadian tujuh tahun silam?” Jiwoo menginterogasi.Lian menggeleng sembari berusaha menyeimbangkan napasnya. “Kenapa dia harus melakukannya?” Lian bertanya pada Jiwoo juga pada dirinya sendiri yang terheran. “Dia bisa saja tak peduli apa pun tentang saat itu, tapi kenapa dia melakukannya?” tanya Lian sekali lagi.“Mungkin dia juga masih mengharapkanmu.” Jiwoo tak sepenuhnya yakin dengan apa yang ia katakan. “Seperti yang kau katakan. Jika dia memang tak punya harapan, seharusnya dia melupakannya, bukan?”Lian menghela napas dalam-dala