Share

BAB 7

Winter, 2010.

Shin Hasung, lelaki dengan setelan jeans yang membawa ransel di punggungnya berjalan pelan bersama wanita mungil berponi tipis dengan dress biru muda yang tak lain adalah Adelian. Keramaian pengunjung Sungai Han yang berlalu lalang tanpa henti membuat tangan kiri Hasung dan tangan kanan Lian terus berbenturan. Suasana di antara mereka semakin canggung. Ditambah Hasung ternyata mendapat informasi yang salah karena pameran di Sungai Han sudah selesai kemarin malam. Sekarang, Hasung sedang berpikir keras, ke mana tujuan yang harus ia tempuh bersama Lian untuk sisa waktunya yang sangat sedikit ini.

“Apa aku boleh menggenggam tanganmu?” tanya Hasung berusaha santai.

Lian mengulum senyum. “Kenapa kau bertanya? Rasanya sangat aneh karena biasanya kau selalu menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.”

“Bukankah sekarang sudah berbeda? Sekarang aku bukan lagi Hasung yang menjadi temanmu,” jawab Hasung yang juga tersenyum.

“Lalu?”

“Aku Hasung, lelaki yang harus kau pertimbangkan dengan serius.”

Lian tertawa kecil sebelum akhirnya mengangguk dan membiarkan Hasung menggenggam tangannya.

Hasung merasakan tangan Lian yang tegang tidak seperti biasanya. Hasung kembali menggenggamnya lebih kuat, memberikan seluruh kehangatan yang ia miliki pada wanita yang katanya harus mempertimbangkannya itu.

Sepanjang perjalanan, Hasung menyadari Lian masih tetap saja terlihat tegang dan kaku. Jika seperti ini terus, ia tak bisa meninggalkan kesan berarti pada perpisahan malam ini. Hasung bisa mengerti, sebenarnya ia juga merasa canggung. Akan tetapi, karena dia yang harus bersikap sebagaimana seorang lelaki, maka dia harus tetap terlihat tenang dan jantan. “Ini membuatmu canggung, ya?” tanya Hasung.

Namun Lian tak langsung menjawab. Ia hanya menunjukkan wajah tanpa ekspresi. “Kalau begitu, mari kembali seperti biasa. Anggap aku sebagai Hasung temanmu, jangan anggap aku sebagai Hasung yang harus kau pertimbangkan dengan serius untuk saat ini. Mari menikmati sisa waktu yang ada, lakukan apa pun yang ingin kita lakukan,” tukas Hasung tegas dan lantang.

Lian terdiam, berpikir beberapa saat lalu mengangguk. Ia melonggarkan genggaman Hasung, tapi Hasung malah membuatnya semakin kuat.

“Tapi kau tak boleh melepaskan tanganku.” Hasung memberi syarat.

Lian merasa lucu. “Baiklah,” jawabnya dengan tawa tertahan.

Mereka pun akhirnya berusaha keras untuk menghilangkan kecanggungan dengan langkah dan ekspresi wajah yang lebih natural.

Di depan minimarket, Lian menatap ke arah claw machine. Hasung menyadarinya dan segera menggiring Lian mendekati mesin itu. Mereka pun mulai bermain. Percobaan pertama dan kedua, Lian yang melakukannya. Namun tak ada hasil.

Selanjutnya, Hasung yang berjuang. Hampir 10 koin sudah ditelan mesin, tapi Hasung tak mendapatkan apapun. Lian yang menyaksikannya hanya bisa tertawa.

“Giliranku,” ucap Lian sembari menyingkirkan tubuh Hasung agar memberinya tempat. Lian bersiap, lalu melakukannya. Namun, gagal dan gagal lagi hingga permainan ke sekian. Hasung yang menyaksikannya juga hanya tertawa.

“Berikan padaku.” Hasung mengambil posisi Lian kembali, Lian tampak kehabisan energi. Hasung berusaha lebih baik lagi dan hampir saja mendapatkan boneka berpita yang sedari tadi Lian jadikan sebagai target. Hasung mendesah, lalu mencoba sekali lagi, namun hasilnya  masih sama saja. GAGAL.

Hasung menghela napas berat sembari meraba saku jeans-nya. Malangnya, ternyata koinnya sudah habis.

“Koinnya habis?”

Hasung mengangguk, “Akan aku tukarkan lagi.”

“Jangan,“ cegat Lian.

Hasung mengangkat jari telunjuknya. “Sekali lagi.”

Lian menggeleng, lalu menarik Hasung meninggalkan mesin itu. Hasung tidak bisa memberontak meskipun sebenarnya ia sangat ingin memberikan boneka beruang berpita putih itu pada Lian.

Lian tidak bisa terus menerus menyia-nyiakan sisa waktu Hasung yang sangat berharga ini. Pagi datang tinggal beberapa jam lagi. Jadi, ia ingin melakukan sesuatu yang lebih berarti. Bermain dengan mesin itu hanya akan menghabiskan waktu dan koinnya karena  hingga pagi datang mereka belum pasti mendapatkan sesuatu.

Dalam perjalanan tak tentu arah, akhirnya mereka menemukan foodtruck[1] yang menjual berbagai macam hidangan hangat. Mereka memilih tteokpokki[2], lalu odeng[3], dan menghabiskan beberapa tusuk hingga perut mereka hampir kenyang.

“Mau nonton film?”

“Ide bagus.” Lian terlihat antusias mendengar tawaran Hasung.

Di dalam bioskop, mereka hanya berdua saja karena ini film terakhir yang diputar di tengah malam. Genre yang mereka tonton adalah horor. Namun, mereka sama sekali tak bereaksi. Tubuh mereka memang berada dalam bioskop. Tetapi, jiwa mereka melayang entah ke mana. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga film selesai.

“Kita harus ke mana lagi?” tanya Lian berusaha tetap antusias seperti sebelumnya.

Alih-alih menjawab, Hasung malah memeriksa arlojinya lebih dulu. Ia tak menyangka waktu bisa berlalu begitu cepat. Bahkan, terasa lebih cepat dari biasanya. Hasung bahkan merasa mereka belum melakukan apa pun yang patut dikenang. Tapi mau bagaimana lagi, waktu bukan sesuatu yang dapat diajak kompromi. “Aku harus mengantarmu pulang sebelum Bus terakhir.”

“Kenapa?” tanya Lian, tanpa sadar matanya berkaca-kaca.

“Aku juga harus mengejar Bus terakhir ke Incheon malam ini sebelum berangkat Wajib Militer,” jawab Hasung.

“Bukankah kau masih punya waktu sebelum bus pagi pertama datang?” Lian berkata sembari berusaha menahan air matanya.

Hasung menggigit bibir bawahnya sembari menatap Lian. Ia tak ingin terlihat sedih. Melihat mata Lian yang berkaca-kaca, sudah cukup memberatkan hatinya untuk pergi. “Kalau menunggu bus pagi pertama datang, aku bisa terlambat,” jelasnya pelan. Hasung meraih tangan Lian sembari mengukir senyum semanis mungkin untuk meyakinkannya.

Di dalam bus, hanya beberapa kursi yang terisi dan sisanya kosong. Hasung dan Lian hanya membisu sepanjang perjalanan. Tangan mereka masih saling menggenggam satu sama lain hingga bus sudah sampai di stasiun pemberhentian yang mereka tuju.

Hasung mengantar Adelian pulang sampai di bawah tangga dan membiarkan Lian menaiki tangga sendirian. Begitu Lian sudah sampai di koridor, Hasung melambaikan tangannya. Lian juga ikut melambaikan tangan dan mengisyaratkan Hasung untuk segera pergi sebelum terlambat.

Hasung mengangguk, tangannya mengisyaratkan bahwa ia akan menghubungi Lian nanti. Lian mengerti dan Hasung pun berbalik untuk pergi. Lian terus menatap langkah Hasung hingga tubuh lelaki itu hilang ditelan gelapnya jalanan malam.

Dengan perginya Hasung malam ini, menjelaskan bahwa mereka sudah resmi berpisah karena Hasung akan mengawali masa Wajib Militernya esok hari.

***

[1] Truk berukuran sedang yang digunakan untuk menjajakan makanan ringan di pinggir jalan.

[2] Makanan khas Korea berupa kue yang terbuat dari tepung beras yang dimasak dalam bumbu gochujang atau saus pedas manis khas Korea. Kue beras yang di pakai berbentuk batang atau silinder.

[3] Makanan khas Korea yang di dalamnya terbuat dari tepung ikan dan di rebus di dalam kuah rempah-rempah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status