Dalam perjalanan menuju ke sebuah perkampungan yang ada sebelah timur hutan tempat tinggalnya, Jasena berpapasan dengan dua orang pria yang tidak ia kenal.
Mereka tampak sinis ketika melihat kedatangan Jasena, dua orang itu terus memandangi wajah Jasena. Namun, Jasena tetap bersikap tenang dan bertutur sapa dengan sopan terhadap kedua pria itu.
Tiba-tiba, salah seorang dari mereka berteriak memanggil Jasena, "Hai, Anak muda! Kemarilah sebentar!"
Seketika, Jasena menghentikan langkahnya. Lalu ia berpaling ke arah kedua pria itu. "Iya, Ki. Ada apa?" jawab Jasena balas bertanya.
"Kemarilah!" pinta salah satu dari dua orang pria itu.
"Mau apa mereka?" desis Jasena segera menghampiri. Setelah berada di hadapan kedua pria tersebut, Jasena hanya diam dan tidak berkata apa-apa.
Salah satu dari mereka kembali bertanya, "Kau mau ke mana, Anak muda?"
Jasena menghela napas dalam-dalam kemudian menjawab pertanyaan pria tersebut dengan sikap ramah, "Aku mau mencari warung, Ki."
"Kami perhatikan kau datang jauh dari barat, dengan maksud hanya ingin mencari warung. Apa itu tidak salah?"
"Benar, Ki. Aku tinggal di hutan yang dekat muara pantai ini, aku hanya ingin membeli kebutuhan untuk makan sehari-hari saja."
"Oh, sudahlah, kau jalan sana!"
Jasena tersenyum dan segera pamit kepada kedua pria itu, Jasena langsung melanjutkan langkahnya dan berlalu dari hadapan kedua pria asing itu.
Jasena paham bahwa kedua orang itu sudah mempunyai rencana jahat terhadapnya.Sedari awal, Jasena memang sudah mencurigai gerak-gerik kedua pria tersebut. Oleh sebab itu, ia pun mulai waspada dan berhati-hati. Karena arah pulang nanti, pasti ia akan bertemu lagi dengan kedua pria itu.
Beberapa saat kemudian, setelah selesai belanja Jasena bergegas pulang dan kembali melewati jalan yang tadi ia lewati.
Tampak dua orang pria itu masih menunggunya dengan duduk-duduk santai di atas perahu nelayan yang bersandar di tepi pantai.
"Aku harus waspada dengan mereka," gumam Jasena sembari terus melangkah menyusuri jalanan pasir di tepi pantai itu.
Ketika tiba di hadapan kedua orang pria tersebut, Jasena tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka.
Namun, tanpa terduga salah satu dari kedua orang itu justru sebaliknya, mereka melakukan tindakan tidak terpuji. Kaki kirinya melesat secara cepat menghantam pundak pemuda yang sudah bersikap sopan dan ramah terhadapnya.
"Serahkan uangmu!" pinta orang itu sembari mencekik leher Jasena.
"Aku tidak punya uang lagi," jawab Jasena berusaha meronta dan melepaskan diri dari cengkraman tangan-tangan kuat orang tersebut.
Akan tetapi, kedua orang pria itu tidak serta-merta mempercayai ucapan Jasena, sehingga mereka pun mulai menggeledah saku celana dan saku baju yang melekat di tubuh pemuda itu.
Namun, Jasena tak tinggal diam diperlakukan seperti itu. Ia pun mulai melakukan perlawanan dengan mengayunkan tangan dan melepaskan pukulan ke bagian wajah orang yang sudah menggeledahnya.
Tak hanya itu, Jasena kembali memukul pria yang satunya lagi dengan begitu, kedua orang tersebut jatuh tersungkur ke atas pasir pantai. Jasena pun tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dengan langkah kaki yang sangat cepat, ia berlari meninggalkan tempat tersebut.
Kedua pria itu berusaha mengejar Jasena. Namun, lari anak muda itu terlampau kencang dan sukar untuk dikejar sehingga kedua orang itu kehilangan jejak.
"Sialan, lari ke mana anak muda itu?" ucapnya penuh emosi.
Jasena terus berlari menerobos hutan yang ada di pinggir pantai dan langsung menuju ke arah gubuk tempat tinggalnya.
Setibanya di depan pintu gubuk, Jasena langsung menjatuhkan tubuhnya dengan wajah dipenuhi keringat.
Wanara dan Sumadra yang kebetulan saat itu sedang berada di luar tampak kaget dan langsung membantu Jasena untuk bangkit."Kau kenapa, Jasena?" bertanya Sumadra sambil membantu Jasena bangkit.
Jasena tidak menjawabnya, ia langsung menyerahkan belanjaan yang tampak masih utuh meskipun terombang-ambing ketika dibawa lari kencang.
Dengan penuh rasa penasaran, Sumadra pun kembali bertanya, "Ada apa, Jasena?"
Jasena menarik napas dalam-dalam, kemudian menceritakan peristiwa yang baru saja ia alami sewaktu dalam perjalanan menuju pulang.
"Aku rasa, mereka adalah kawan dari orang-orang yang kemarin menghajarku di tepi pantai," kata Wanara menatap tajam wajah sahabat barunya itu.
"Aku pun berpikir demikian, pasti kelompok merekalah yang sudah membuatmu kritis," timpal Sumadra meluruskan pandangannya ke wajah Wanara.
***Malam harinya, Wanara sudah tertidur pulas dengan berselimut kain tebal yang diberikan oleh Sumadra. Dalam tidurnya itu, Wanara mengalami mimpi yang panjang.Dalam mimpi tersebut Wanara berada di suatu tempat yang sama sekali belum pernah ia datangi, di depan matanya terpapar sebuah jembatan kayu yang berdiri kokoh dengan diapit empat pohon besar di bagian kiri dan kanan jembatan tersebut.
Dengan terheran-heran Wanara terus melangkah menuju ke jembatan kayu itu. Wanara melihat ke bawah jembatan, tampak arus sungai mengalir deras dengan air yang begitu jernih.
"Tempat apakah ini?" desis Wanara, melangkah perlahan sembari mengamati bentuk jembatan yang tampak unik itu.
Tidak terasa langkah kakinya sudah berada di ujung jembatan tersebut, tempat yang indah dan menakjubkan memanjakan bola matanya.
Dilihatnya sebuah sabana yang membentang luas, bagaikan sebuah permadani raksasa terhampar hijau dalam pandangan matanya. Wanara pun berteriak kencang, "Apakah ada orang di sana?"
Beberapa saat kemudian, datang segerombolan manusia bertubuh pendek dan berpostur kecil. Mereka terlihat senang dan bersorak-sorai menyambut kedatangan Wanara.
"Hidup Raja Wanara...! Hidup Raja Wanara...!" seru salah satu dari sekelompok manusia berpostur kecil itu diikuti oleh kawan-kawannya, sehingga terdengar gaduh.
Dengan riang gembira, Wanara pun segera berlari dan meloncat-loncat menghampiri sekelompok manusia yang mirip dengan kurcaci. Dengan sekali lompatan ia telah tiba ke tempat kerumunan para manusia bertubuh mungil itu.
"Hebat sekali, Baginda Raja!" ucap salah satu di antara mereka, memuji ketangkasan Wanara yang sudah melakukan loncatan tinggi dan mendarat dengan sempurna.
"Kami adalah manusa pondok (manusia pendek)," ucap seorang berpakaian serba merah itu dengan ramahnya memperkenalkan diri kepada Wanara.
"Manusa pondok?!" Wanara mengamati wajah-wajah manusia yang berpostur kecil itu sambil mengerutkan kening.
Mereka langsung berkumpul mendekati Wanara sambil berkata-kata, "Baginda Raja Wanara, kau adalah raja kami. Kau adalah Raja Bumi!"
"Raja?!" Wanara mengerutkan kening lagi. Kemudian, ia bertanya, "Apa yang kalian maksud, sehingga memanggil aku raja?" Dipandanginya satu persatu manusia-manusia bertubuh kecil itu.
"Kalau Raja ingin tahu, ikutlah dengan kami di sana ada gua besar dan di situlah istanamu!" ajak salah seorang dari kelompok manusia bertubuh kecil itu tampak bersemangat.
"Istana di dalam gua? Istana apa itu?" bertanya lagi Wanara, dalam benaknya dipenuhi rasa penasaran.
"Di dalam gua itu ada banyak perhiasan, semuanya adalah milik Raja!"
Wanara diam sejenak kemudian berkata lagi, "Aku tidak butuh perhiasan, aku hanya butuh kitab kuno," jawab Wanara.
Lantas orang-orang bertubuh pendek kecil itu, memandangi wajah Wanara. Lalu salah seorang di antara mereka pun kembali bertanya, "Apakah jika kita mempunyai kitab kuno itu, kita akan hidup kekal?"
"Kitab itu bukan untuk memperpanjang umur kita, namun jika kita dapat menguasai dan mempelajari kitab tersebut, niscaya kita akan menjadi orang sakti dan ditakdirkan menjadi seorang penguasa," jawab Wanara meraih selembar daun dari sebuah pohon yang ada di pinggir jembatan tersebut, kemudian melemparnya ke arah orang yang tadi bertanya. "Kita ini makhluk hidup, suatu saat pasti akan mati. Nanti setelah usia kita senja dan tubuh kita mulai lemah, tidak selincah sekarang, tidak menutup kemungkinan pada suatu saat nanti kita akan mati. Aku ataupun kalian pasti akan mati!" sambung Wanara ketus.
Mendengar apa yang sudah dikatakan oleh Wanara semua orang-orang yang bertubuh pendek itu mendadak menjadi takut. Lalu salah satu dari mereka kembali berkata, "Apakah kita akan masuk Nirwana jika kita mati?"
Wanara tertawa terbahak-bahak, seakan-akan merasa lucu dengan apa yang dikatakan oleh manusia pendek itu. "Hahaha "
"Kau sudah menjadi manusia baik belum?" Wanara balas bertanya.
"Aku masih berusaha," jawabnya.
Belum sempat berkata lagi, tiba-tiba terdengar dentuman keras dari arah belakang tempat Wanara sedang berbincang dengan manusia-manusia bertubuh pendek itu. Dengan demikian, Wanara pun terbangun dari tidurnya.
*****Wanara tampak kaget dan segera bangkit dari tempat pembaringannya. "Ternyata aku hanya mimpi," desis Wanara. Wanara langsung meraih gelas yang terbuat dari potongan batang bambu berukuran sedang, kemudian menuangkan air dari dalam kendi ke dalam batang bambu tersebut. "Kau kenapa, Wanara?" tanya Sumadra bangkit dan mengamati Wanara yang sedang minum. "Aku mengalami mimpi," jawab Wanara terengah-engah. Sumadra tampak penasaran, lantas ia pun bertanya lagi, "Mimpi tentang apa, Wanara?" Wanara pun segera menceritakan tentang mimpinya itu kepada Sumadra. Tak hanya Sumadra, Jasena pun saat itu sudah terjaga dari tidurnya karena mendengar suara gaduh kedua sahabatnya itu. "Menurut cerita para penduduk, memang benar kalau di hutan ini terdapat manusa pondok, seperti yang masuk dalam mimpimu itu," timpal Jasena sambil menatap wajah Wanara yang dipenuhi keringat.
Menurut kabar dari orang-orang yang pernah dimintai keterangan oleh Wanara. Mereka menyebutkan bahwa kerajaan Jantara itu, memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa. Konon katanya, kerajaan Jantara seindah rembulan purnama. Di wilayahnya terdapat banyak pepohonan obat dan rempah-rempah yang sangat diburu oleh para tabib dari berbagai pelosok kerajaan di sejagat raya. Wanara dan kedua rekannya menjelajah seantero wilayah kerajaan tersebut. Kebiasaan penduduk di wilayah kerajaan Jantara yang dijumpainya, tidak jauh berbeda dengan para penduduk di kerajaan Rawamerta. "Besok pagi kita harus berjalan ke barat, melewati bukit itu!" kata Wanara meluruskan jari telunjuknya ke arah perbukitan yang menjulang tinggi di arah barat dari tempatnya berdiri bersama kedua kawannya. "Terus malam ini kita tidur di mana, Wanara?" tanya Jasena mengerutkan kening menatap tajam wajah Wanara. Wanara tersenyum dan menudingkan jari telunjuknya ke sebuah gundukan b
Jasena dan Sumadra segera meraih ikan dalam kantung itu, mereka pun segera membersihkan ikan-ikan tersebut, kemudian langsung membakarnya. "Akan lebih enak lagi kalau ikan itu ditambahkan bumbu rempah!" seloroh Wanara. "Dari mana kita bisa mendapatkan bumbu tersebut?" tanya Sumadra terheran-heran dengan ucapan sahabatnya itu. "Kau pergi ke desa beli di warung!" gurau Wanara tertawa lepas. Sumadra mendelik ke arah Wanara. Lalu, ia berkata, "Kau mendapatkan ikan ini dengan cara bagaimana, Wanara?" tanya Sumadra sambil membolak-balik ikan yang sedang ia bakar itu. "Aku menangkapnya dengan tanganku sendiri," jawab Wanara sambil tersenyum lebar. "Sungguh?" timpal Jasena kembali bertanya tampak ragu dengan apa yang dikatakan oleh Wanara. "Aku memang bukan pandita atau ulama, tapi aku tidak bohong. Ikan-ikan itu, aku tangkap menggunakan tangan kosongku," tegas Wanara. "Tidak ada yang menuduhmu berbohong, aku hanya memastikan,"
Usai menebang dan memotong pohon tersebut menjadi dua bagian, Wora Saba langsung mengajak Wanara dan kedua sahabatnya untuk segera ikut dengannya."Kalian mau ikut denganku atau tetap berada di hutan ini?"Wanara tidak langsung menjawab, ia berpaling ke arah Sumadra dan Jasena. Lalu, bertanya kepada kedua sahabatnya itu, "Apakah kalian mau ikut ke padepokan bersama Wora Saba?"Kedua pemuda itu menjawab tanpa bersuara, mereka hanya mengangguk tanda setuju ikut dengan orang tersebut."Kami ikut denganmu," tandas Wanara.Wora tersenyum dan merasa senang, karena Wanara dan kedua rekannya mau ikut dengannya."Ya, sudah. Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Wora Saba langsung meraih batang kayu Lemo yang sudah dibagi menjadi dua potong itu."Baiklah, sini aku bantu!" jawab Wanara meminta Wora Saba untuk menyerahkan batang pohon tersebut kepadanya.Wora Saba tersenyum dan segera menyerahkan satu batang potongan pohon Lemo kepada Wanara. Wanara tampak riang dan tidak
Pada suatu hari, Wanara mengajak Wora Saba berbincang di pendapa padepokan. Mereka hanya berdua saja, tanpa Jasena ataupun Sumadra. Karena hari itu, kedua rekannya sedang membantu Resi Wana bercocok tanam di sebuah ladang yang ada di belakang kediamannya itu."Apakah kau tahu tentang orang sakti di desa ini selain guru?" tanya Wanara lirih.Wora Saba hanya tersenyum, kemudian menjawab lirih, "Yah, aku tahu!"Wanara segera menggeser posisi duduknya, lebih mendekat ke arah pemuda yang pandai membuat ukiran kayu dan dipercaya sebagai seorang tabib muda yang bisa mengobati berbagai penyakit."Siapa namanya, Wora?" bertanya lagi Wanara dengan bola mata lurus ke wajah sahabat barunya itu."Wirya Tama!""Apakah dia punya padepokan seperti guru kita ini?"Wora tersenyum, seakan-akan tidak merasa risih meskipun diberondong beberapa pertanyaan oleh Wanara, "Ya, Ki Wirya Tama mempunyai pondok sama seperti guru kita. Sekarang masih ada sekitar puluhan murid yang masih menun
Beberapa hari kemudian, Wanara meminta izin kepada gurunya untuk berangkat ke sebuah tempat yang berada di balik bukit yang jaraknya lumayan jauh dari padepokan milik Resi Wana.Tanpa banyak pertanyaan, Resi Wana langsung mengizinkan muridnya itu untuk berangkat ke tempat yang dimaksud. "Silahkan kau pergi ke sana, dan yakin pada dirimu untuk senantiasa mempelajari ilmu kanuragan dengan baik dan bersungguh-sungguh. Dia adalah Wirya Tama yang akan menjadi gurumu dan akan mengajarkanmu jurus tenaga dalam!" ucap Resi Wana penuh kebijaksanaan, memberi izin tanpa banyak tanya."Terima kasih, Guru. Aku akan berangkat esok lusa." Wanara terlihat senang dan bahagia mendengar jawaban dari Resi Wana.Orang tua itu hanya tersenyum, menatap lekat wajah Wanara yang berparas tampan itu. Kemudian, ia berkata lirih, "Namaku tersimpan dalam kalimat namamu Wana bermakna kesatria dan Ra, bermakna tangguh. Jadi Wanara artinya kesatria tangguh!"Wanara dan kedua rekannya saling berpa
Setelah berhasil melewati hutan yang banyak ditumbuhi pepohonan tinggi berdaun lebat, Wanara menghentikan langkah sejenak. Ia berdiri tegak mengatur pernapasan sambil mengamati sekitaran tempat tersebut. Tampak butiran peluh keluar dari pori-pori keningnya, hingga mengalir membasahi wajah yang sudah tampak pucat kelelahan."Katanya dekat? Ini rasanya sudah berjalan lama tapi tak kunjung tiba," gumam Wanara memandangi puncak bukit yang menjulang tinggi di hadapannya.Kemudian, ia meraih batang bambu berukuran dua jengkal telapak tangan, sebagai wadah air minum. Lalu, Wanara meminum air tersebut hingga hampir menghabiskan isi dalam wadah batang bambu itu. Sejenak, ia berdiam diri sambil mengamati suasana di hutan tersebut. "Aku harus melanjutkan perjalanan ini," desis Wanara kembali melangkah naik ke atas bukit tersebut, menyusuri jalanan setapak.Ia tidak menghiraukan rasa lelah yang mendera, karena ingin segera tiba di tempat tujuan sebelum menjelang sore. Peluh kian be
Orang tua itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Ya, benar sekali. Kau adalah titisan Prabu Merta Jaya putra Dewa petir!" jawab Ki Wirya Tama tersenyum-senyum.Wanara mengerenyitkan kening, ia semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh orang tua itu. Lantas, Wanara kembali bertanya, "Apakah aku sangat mirip dengan Prabu Merta Jaya?" Pemuda itu tampak penasaran, seakan-akan ia ingin mengetahui lebih lanjut tentang apa yang sudah dikemukakan oleh Ki Wirya Tama."Ada banyak persamaan di antara kalian, salah satunya adalah kesaktian yang kelak akan kau miliki!" ucap orang tua itu.Bergegas Wanara menggeser posisi duduknya, maju sampai ke hadapan orang tua itu. Lalu bersujud dan mengangguk-anggukkan kepalanya sampai tiga kali. Ki Wirya Tama memandang lekat Wanara yang bersikap sedemikian hormat terhadap dirinya. Pria senja itu, tak henti-hentinya memandangi pemuda yang ada di hadapannya dengan matanya yang jernih namun sangat tajam."Wanara, berh