Share

Sahabat Baru Wanara

Pada keesokan harinya, Wanara ditemukan dalam kondisi mengenaskan oleh dua orang pemuda. Tubuhnya dipenuhi sampah-sampah pantai yang terbawa ombak hampir menutupi tubuh Wanara, dan pakaiannya pun dalam keadaan basah oleh air laut.

Ketika dua pemuda tersebut tiba di pantai itu, tubuh Wanara hampir tergerus ombak. Beruntung kedua pemuda itu langsung menolongnya, dan membawa Wanara ke sebuah gubuk tempat tinggal mereka yang ada di dalam hutan bakau tidak jauh dari pesisir pantai itu.

"Langsung masukkan ke dalam saja!" kata salah seorang pemuda tersebut mengarah kepada kawannya.

"Bantu aku! Orang ini tubuhnya sangat berat sekali," desis kawannya.

Dengan demikian, kawannya pun langsung membantu membawa Wanara masuk ke dalam gubuk tempat tinggal mereka. Tubuh Wanara langsung dibaringkan di atas bebalean yang ada di dalam gubuk itu.

"Sepertinya orang ini sudah satu malam berada di pantai," kata Sumadra berkata lirih kepada Jasena.

"Aku rasa memang seperti itu," jawab jasena melepas tali pedang pusaka yang menyanggul di punggung Wanara.

"Pedang ini sangat bagus," desis Jasena berusaha mengeluarkan pedang tersebut dari selongsongnya.

Namun, Jasena tampak seperti kesulitan dalam mengeluarkan pedang itu dari selongsongnya. Terasa berat dan teramat sulit untuk dikeluarkan.

"Hati-hati! Jangan sembarangan kau sentuh pedang itu!" seru Sumadra mencegah Jasena, karena ia khawatir akan terjadi sesuatu menimpa kawannya itu.

"Baiklah, aku tidak akan mengeluarkan pedang ini." Jasena kembali meletakkan pedang tersebut di samping pembaringan Wanara.

"Siapakah orang yang sudah tega menganiaya orang ini?" desis Sumadra sambil menyeka tubuh Wanara dengan kain basah.

"Entahlah, aku rasa orang ini adalah seorang pendekar pengelana," sahut Jasena membantu melucuti pakaian Wanara yang sudah tampak kotor oleh kotoran dan sampah pantai.

Setelah selesai membersihkan tubuh Wanara, Sumadra dan Jasena langsung mengobati luka di kening Wanara yang tampak melebar dan membiru, semua itu dikarenakan benturan keras mengenai batu karang yang ada di tepi pantai tempat Wanara ditemukan.

"Syukurlah, orang ini masih dalam keadaan hidup. Itu tandanya Dewata agung masih melindunginya," ucap Jasena langsung mengganti pakaian Wanara menggunakan baju miliknya.

"Aku rasa pakaian itu tidak cukup di tubuhnya orang ini. Coba kau pakaikan bajuku ini!" Sumadra melempar baju miliknya ke arah Jasena.

Jasena segera meraihnya dan langsung memakaikan baju tersebut ke tubuh Wanara yang masih belum sadarkan diri. Setelah memakaikan baju, Jasena pamit kepada Sumadra.

"Kau jaga orang ini! Aku mau mencari makanan!" kata Jasena lirih, tangannya seperti sedang mengepal sesuatu.

"Apakah kau mau ke perkampungan?" Sumadra balas bertanya sembari menatap wajah sahabat baiknya itu.

"Ya, aku mau ke sana untuk membeli bahan makanan," jawab Jasena tersenyum-senyum.

Sumadra mengerutkan kening, menatap tajam wajah Jasena. Kemudian bertanya lagi, "Uang dari mana, Jasena?" Sumadra mengamati tangan Jasena yang tampak mengepal sesuatu.

Jasena menggaruk kepala tanpa gatal. "Aku dapat ratusan keping uang dari saku bajunya orang ini," jawabnya cengengesan.

Sumadra mendelik ke arah Jasena. Kemudian berkata, "Simpan lagi uangnya! Itu bukan milik kita!" Sumadra memarahi Jasena.

"Iya, aku kembalikan." Jasena menyimpan kembali kantung yang berisi ratusan keping uang di samping pembaringan Wanara.

"Terus malam ini kita makan apa?" tanya Jasena tampak bingung.

"Untuk sementara, kita tetap makan buah-buahan yang ada di hutan ini!" jawab Sumadra dengan entengnya.

Dengan suara berat, Jasena pun menjawab, "Baiklah," kata Jasena membaringkan tubuhnya di samping Wanara.

Di hutan itu memang terdapat bermacam-macam buah-buahan yang matang silih berganti. Setiap harinya selalu saja ada yang matang, membuat Sumadra dan Jasena tidak pernah kekurangan bahan makanan.

Hutan itu sudah mereka huni selama satu tahun lebih. Awal mula kedatangan mereka di hutan tersebut, dikarenakan mereka mendapat kasus besar di istana. Sepasang patung suci milik raja sudah dirusak oleh Sumadra dan Jasena yang kala itu menjadi pelayan di istana kerajaan Tunggal Pulo yang sebagian wilayahnya merupakan kepulauan kecil yang terletak di tenggara pulau Jowaraka.

*****

Beberapa jam kemudian, Wanara sudah terlihat menggerak-gerakkan tangannya. Jasena dan Sumadra tampak semringah dan segera mendekati Wanara yang saat itu sudah membuka matanya.

Berkatalah Wanara dengan bola mata masih tampak sayu, "Kalian siapa?" tanya Wanara tampak penasaran.

"Sekarang aku ada di mana? Pedangku mana?" sambung Wanara berusaha bangkit.

Akan tetapi, tenaganya memang masih lemah dan belum bisa bangkit, sekali bangkit itu hanya untuk duduk saja.

"Dadaku sangat sakit," kata Wanara meringis sambil memegangi dadanya.

Jasena segera mencegah Wanara, "Sebaiknya kau berbaring saja!" kata Jasena merasa khawatir dengan kondisi Wanara.

Wanara terus mengamati wajah kedua pemuda yang sudah menolongnya itu, tatapan matanya penuh selidik terhadap Jasena dan Sumadra yang masih tampak asing menurutnya.

Kemudian, Wanara bertanya lagi, "Kalian siapa?" Wanara mengerutkan kening sambil memandangi wajah Jasena dan Sumadra.

Jasena dan Sumadra saling berpandangan, kemudian mereka berpaling ke arah Wanara yang tampak bingung dan penasaran terhadap mereka.

Jasena pun segera menjawab, "Aku Jasena dan ini Sumadra, kami menemukanmu dalam keadaan tidak sadarkan diri di tepi pantai."

"Ya, tubuhmu hampir terseret ombak, beruntung kami segera datang," timpal Sumadra menyambung ucapan Jasena.

"Ya, Dewata agung! Semoga perbuatan baik kalian membawa keberuntungan," ucap Wanara tampak senang dan merasa berterima kasih kepada dua pemuda itu.

Lalu, Wanara diam termangu. Perutnya yang kosong berbunyi hingga terdengar oleh kedua pemuda yang sudah menolongnya itu.

"Perutku perih, sepertinya aku lapar. Apakah di sini ada warung?" sambung Wanara bertanya lagi, ia belum sadar kalau dirinya tengah berada di gubuk yang berdiri di sebuah hutan bakau yang jauh ke perkampungan.

Jasena dan Sumadra tertawa kecil mendengar pertanyaan dari Wanara. Berkatalah Sumadra, "Ini hutan mana ada warung di sini, adanya di desa dekat bibir pantai. Namun, jaraknya sangat jauh dan kami pun tidak mempunyai uang!"

"Jika kalian mau, pakai saja uangku! Aku punya banyak kepingan uang!" Wanara meraba saku baju yang melekat di tubuhnya.

"Uangku hilang," ucapnya panik. "Di mana uangku?" Wanara terus meraba-raba saku baju dan celana yang ia kenakan itu.

Jasena dan Sumadra tertawa lagi. "Coba kau perhatikan. Baju siapa itu yang melekat di tubuhmu!" kata Jasena tersenyum-senyum.

Wanara pun mengamati baju yang melekat di tubuhnya. Setelah sadar kalau itu bukan baju miliknya, Wanara pun tertawa kecil dan geleng-geleng kepala.

"Lantas, uangku di mana?" tanya Wanara.

Jasena meraih kantung uang milik Wanara di samping pembaringan Wanara yang sedikit tertutup oleh cawan. Kemudian menyerahkan kantung tersebut. "Uangmu masih utuh," kata Jasena.

Wanara tersenyum dan banyak mengucapkan terima kasih kepada kedua pemuda yang sudah menolongnya itu. Kemudian, Wanara menyerahkan beberapa keping uang kepada Jasena. "Silahkan kau belanjakan uang ini untuk kebutuhan kita selama berada di sini!" kata Wanara lirih.

Jasena menoleh ke arah Sumadra, lantas ia pun meminta penilaian sahabatnya, "Bagaimana ini?" tanya Jasena tampak ragu menerima uang tersebut.

"Terimalah, dan belanjakan uang tersebut untuk keperluan kita di sini!" jawab Sumadra sambil mengangguk.

"Baiklah," sahut Jasena bangkit. "Kalian tetap di sini, aku mau berangkat belanja!" sambungnya tampak bersemangat.

"Hati-hati, Kawan!" ucap Wanara tersenyum lebar memandangi langkah sahabat barunya itu.

"Iya, kau jangan khawatir," sahut Jasena tanpa menoleh ke belakang.

Ia melangkah keluar dari gubuk tersebut, menuju ke arah timur menyusuri jalanan pantai yang berada di utara hutan tempat tinggalnya itu.

Sumadra bangkit dan langsung memberikan air minum kepada Wanara. "Minumlah, Wanara!"

"Ya, terima kasih, Sumadra." Wanara bangkit dengan dibantu oleh Sumadra dan duduk berhadap-hadapan dengan sahabat barunya itu.

Wanara tampak haus satu air dalam batang bambu yang dijadikan sebagai gelas itu habis tak tersisa. Bertanya lagi Sumadra, "Mau aku isi lagi airnya?"

"Cukup, aku sudah tidak kehausan lagi!" jawab Wanara menolak halus tawaran dari Sumadra.

"Baiklah, kau tidur saja dulu! Aku mau mencari kayu bakar untuk masak nanti!" kata Sumadra bangkit.

"Kalau ada buah yang bisa dimakan, tolong petikan satu saja untukku. Aku lapar!" pinta Wanara.

Sumadra tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Baiklah, aku akan segera kembali," pungkasnya langsung berlalu dari hadapan Wanara.

*****

  

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status