Share

Pertemuan Wanara dengan Sekar Widuri

Wanara tampak kaget dan segera bangkit dari tempat pembaringannya. "Ternyata aku hanya mimpi," desis Wanara.

Wanara langsung meraih gelas yang terbuat dari potongan batang bambu berukuran sedang, kemudian menuangkan air dari dalam kendi ke dalam batang bambu tersebut.

"Kau kenapa, Wanara?" tanya Sumadra bangkit dan mengamati Wanara yang sedang minum.

"Aku mengalami mimpi," jawab Wanara terengah-engah.

Sumadra tampak penasaran, lantas ia pun bertanya lagi, "Mimpi tentang apa, Wanara?"

Wanara pun segera menceritakan tentang mimpinya itu kepada Sumadra. Tak hanya Sumadra, Jasena pun saat itu sudah terjaga dari tidurnya karena mendengar suara gaduh kedua sahabatnya itu.

"Menurut cerita para penduduk, memang benar kalau di hutan ini terdapat manusa pondok, seperti yang masuk dalam mimpimu itu," timpal Jasena sambil menatap wajah Wanara yang dipenuhi keringat.

"Ya, sudah. Sekarang kau tidur lagi! Masih malam, besok kita jalan-jalan ke desa," kata Sumadra kembali berbaring.

Begitu juga dengan Wanara dan Jasena, mereka kembali merebahkan tubuhnya di atas bebalean yang hanya beralaskan tikar pandan.

Tidak lama kemudian, ketiga pemuda itu sudah kembali terlelap tidur dengan ditemani oleh suara jangkrik dan walang keke yang saling bersahutan memecah keheningan malam.

****

Pagi harinya, Jasena dan Sumadra mengajak Wanara berjalan-jalan ke perkampungan nelayan. Memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang.

"Coba kau perhatikan! Setiap orang yang bertemu di tengah jalan dengan kita, mereka memberi hormat dengan merangkapkan kedua telapak tangan dan menundukkan kepalanya ke arahku. Maksud mereka apa?" Wanara mengerutkan kening tampak bingung melihat sikap orang-orang yang ia jumpai kala itu.

"Mungkin mereka menghormati dirimu," jawab Sumadra tersenyum-senyum menatap wajah Wanara

"Tetapi aku adalah manusia biasa, bukan Dewa atau raja. Kenapa mereka harus menghormati aku?" kata Wanara tampak bingung, kerutan di keningnya tampak semakin mendalam.

"Sudahlah, jangan kau pikirkan itu! Ayo, kita jalan lagi!" ajak Sumadra.

Ketiga pemuda itu, kembali melanjutkan langkah menyusuri pasir pantai yang gemerlapan tersorot sinar matahari pagi.

"Aku mau berjemur," kata Wanara membaringkan tubuhnya di atas pasir putih di pantai tersebut.

"Apakah punggungmu sudah tidak terasa sakit lagi?" tanya Sumadra menatap wajah Wanara.

"Tidak, Sumadra. Punggungku sudah sembuh," jawab Wanara lirih.

"Syukurlah, kalau memang seperti itu," imbuh Sumadra merasa senang mendengar kabar kesembuhan Wanara.

Sejatinya, Sumadra merasa heran dengan semua itu. Akan tetapi, ia sangat percaya akan kekuatan pedang pusaka milik Wanara. Sehingga dirinya beranggapan bahwa luka di punggung Wanara sembuh oleh pengaruh kekuatan gaib dari pedang tersebut.

Dari kejauhan tampak seorang pria tua tengah memperhatikan gerak-gerik Wanara dan kedua rekannya. Orang tua itu pun terus mengamati Wanara yang tengah berjemur di bawah teriknya matahari pagi.

Kemudian orang tua tersebut melangkah menghampiri Wanara, dan menyeru, "Kaulah calon raja di negri ini!" ucap orang tua itu mengejutkan.

"Raja?!" Jasena terkejut ketika mendengar ucapan pria tua itu, yang datang tiba-tiba. Wanara pun segera bangkit lalu ia bertanya, "Pak tua! Apa yang kau bicarakan tadi?"

Pria tua yang diperkirakan berusia sekitar 60 tahun itu tertawa kecil, "Hahaha." Kemudian, ia pun menjawab, "Di mana makhluk-makhluk abadi itu berada? Dan kaulah jelmaan manusia abadi di masa lalu!" ungkap orang tua itu sangat mengejutkan.

Wanara dan kedua rekannya saling berpandangan. Mereka tampak heran dan tidak memahami apa yang dikatakan oleh orang tua itu.

Kemudian Sumadra bertanya, "Manusia di masa lalu itu siapa, Pak tua?"

Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, seakan-akan merasa lucu dengan perkataan yang dilontarkan oleh Sumadra, "Hahaha." Setelah puas tertawa, orang tua itu pun langsung menjawab pertanyaan dari Sumadra, "Raden Prabu Merta Jaya," ucapnya langsung melangkah berlalu dari hadapan Wanara dan kedua rekannya. Sikapnya sungguh aneh datang tiba-tiba, dan berlalu tanpa pamit.

Ketiga pemuda itu tampak kaget dan tercengang, mereka saling bertatapan. Tanpa mereka sadari, orang tua tersebut sudah lenyap entah pergi ke mana?

"Orang tua itu ke mana? Gerakannya sangat cepat. Apakah orang tua itu adalah Dewa?" tanya Sumadra terheran-heran sambil mengerutkan dahi.

Jasena dan Wanara tertawa lepas mendengar apa yang dikatakan oleh rekannya itu. "Kau terlalu tinggi menilai orang tua itu, mana ada seorang Dewa turun ke bumi hanya untuk menemui kita," kata Wanara tersenyum-senyum menatap wajah Sumadra.

"Meskipun orang tua itu bukan Dewa, tapi ucapannya sama seperti mimpi yang kau alami itu, Wanara," kata Sumadra menjawab apa yang dikatakan oleh Wanara.

Jasena mengangkat alis tinggi, kemudian berpaling ke arah Wanara. "Berarti kau adalah calon raja, seperti mimpi yang kau alami semalam!" kata Jasena meluruskan pandangannya ke wajah Wanara.

Mendengar perkataan dari Jasena, Wanara tersenyum, lalu berkata, "Itu hanya mimpi, aku tidak mempunyai darah keturunan raja."

Kedua rekannya mengerutkan kening, kemudian Sumadra berkata, "Kitab kuno!"

"Maksudmu kitab Jala?" tanya Wanara berpaling ke arah Sumadra.

"Ya, itu." Sumadra mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Entahlah, aku tidak paham itu," desis Wanara kembali merebahkan tubuh di atas pasir. Ia tidak peduli dengan perkataan dua kawannya.

*****

Berbulan-bulan lamanya, Wanara berada di hutan tersebut. Tinggal bersama Sumadra dan Jasena. Pemahamannya terhadap alam semakin luas, Wanara mulai terbiasa hidup tanpa makan nasi, untuk makanan sehari-hari di tempat tersebut, cukuplah dengan memakan buah-buahan segar yang ada di hutan itu.

Jika Wanara dan kedua rekannya menginginkan nasi dan lauk pauknya, maka mereka harus mengumpulkan kayu bakar kemudian dijual ke pasar. Setelah itu baru mereka dapat membeli nasi dari uang hasil penjualan kayu bakar tersebut.

Pada suatu hari, Wanara dan kedua rekannya mulai sibuk untuk memperbaiki sebuah perahu yang berukuran sedang, perahu tersebut mereka dapatkan di tepi pantai. Entah milik siapa? Sebuah perahu yang tampak masih bisa dipakai dan hanya sedikit mengalami kerusakan akibat terombang-ambing terbawa ombak. Kemudian bersandar di tepi pantai tidak jauh dari hutan tempat tinggal Wanara dan kedua rekannya.

"Kita harus memperbaiki perahu ini, agar bisa menyebrangi lautan!" kata Wanara lirih.

"Kami akan membantumu dan kami pun akan ikut menemanimu dalam melakukan perjalanan ke negri sebrang dalam mencari kitab kuno yang kau inginkan," tandas Sumadra menyatakan diri siap untuk menemani Wanara.

Begitu pula dengan Jasena, ia pun sangat mendukung dan akan siap menemani Wanara berkelana ke negri sebrang.

"Terima kasih, semoga kalian tetap bersamaku sampai tua," kata Wanara tersenyum bahagia mendengar ucapan kedua rekannya itu, yang sangat tulus dalam memberikan dukungan.

Setelah seharian mengerjakan perbaikan perahu tersebut, Jasena langsung mengajak Wanara dan Sumadra untuk makan di warung yang ada di desa yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi mereka memperbaiki perahu tersebut.

"Sebaiknya, kita makan dulu. Aku punya sedikit uang hasil dari penjualan kayu bakar dan kepiting!" ajak Jasena.

Wanara dan Sumadra tersenyum dan menganggukkan kepala secara bersamaan.

Kemudian, Jasena melangkah mendekati Wanara, lantas ia pun berbisik, "Aku akan mengenalkanmu kepada gadis cantik di desa nelayan."

Wanara tersenyum mendengar perkataan Jasena, ia pun mengangguk tanda setuju dengan ajakan rekannya itu. Dengan demikian, ketiga pemuda tersebut langsung melangkah menuju ke arah desa yang berada di bibir pantai di wilayah utara kepulauan Jowaraka.

Seperti biasa, mereka makan di sebuah warung yang sudah menjadi langganan Jasena dan Sumadra. "Kau lihat itu!" tunjuk Jasena mengarah kepada Wanara. "Dia adalah Sekar Widuri, gadis yang paling cantik di desa nelayan ini!" sambungnya.

Wanara terkesima ketika melihat paras cantik gadis berkebaya putih itu, seakan-akan dalam jiwa dan pikirannya tumbuh sebuah rasa yang begitu sukar untuk dihindari.

"Gadis ini adalah calon ratuku jika kelak aku menjadi raja." Wanara berkata dalam hati sembari memandangi wajah ayu sang gadis—putri pemilik warung makan itu.

Jasena langsung melangkah menuju ke warung tersebut dengan diikuti oleh Wanara dan Sumadra.

Wanara tampak berat melangkahkan kedua kakinya, ketika beradu pandangan dengan Sekar Widuri.

Gadis itu secara mengejutkan melontar senyum ke arah Wanara. Sekar Widuri pun berkata dalam hatinya, "Siapakah pria ini? Aku baru melihatnya, paras wajahnya sangat tampan sekali."

Wanara tertegun dibuatnya. "Hai, Wanara! Ayo, duduk!" ajak Jasena.

"Ternyata pria tampan itu namanya Wanara, nama yang indah sesuai paras wajahnya," desis Sekar Widuri terus memandangi wajah Wanara.

*****

   

  

  

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status