Share

Zoya yang Malang

Kaki Yani seakan tidak mengenal kata lelah. Sejak tadi dia berjalan mondar-mandir di depan ruang unit gawat darurat. Tangannya memegang ponsel di telinga sambil sesekali melihat ke arah pintu, berjaga-jaga jika dokter yang menangani Zoya keluar.

"Mas, aku nemenin Zoya dulu, ya. Nanti kalau udah dapat kabarnya aku telepon lagi."

Yani menghubungi suaminya. Bagaimana pun dia tidak ingin membuat lelaki yang menikahinya setahun yang lalu cemas karena pergi terlalu lama.

"Iya, nanti kalau mau pulang kabarin, biar Mas jemput."

Yani tersenyum, meski dia tahu sang suami tidak bisa melihat. "Iya. Maaf, ya, aku bikin Mas nunggu."

Jawaban suaminya selanjutnya membuat lengkung bibir Yani semakin lebar. Keduanya berbicara sebentar sebelum mengakhiri pembicaraan, tepat saat dokter keluar dari ruangan instalasi gawat darurat.

"Dok, gimana keadaan Zoya?" Raut Yani terlihat cemas.

"Anda keluarganya?"

Yani mengangguk.

"Sebaiknya kita bicara di ruangan saya."

Yani mengikuti dokter tadi ke dalam ruangannya. Udara sejuk dari air conditioner dan aroma vanila dari pengharum ruangan, menyapa penciumannya. Wanita itu menurut ketika dipersilakan duduk di depan sang dokter.

"Sebelumnya saya minta maaf jika pertanyaan saya sedikit pribadi." Dokter itu memulai pembicaraan, "di wajah pasien banyak sekali luka lebam. Pemeriksaan awal saya melihat tulang hidung dan satu gigi bagian depan patah, juga terdapat retakan di dua tulang rusuk sebelah kiri, tapi nanti dipastikan lagi melalui rontgen."

Yani terperangah mendengar penjelasan dokter. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa Zoya menahan sakit akibat kekerasan yang dilakukan Septian. Lelaki itu menghajar tubuh wanita yang harusnya dia kasihi dan cintai seperti samsak hidup.

"Siapa yang melakukan hal sesadis itu pada pasien?" tanya dokter itu lagi.

Yani menelan salivanya sebelum menjawab. "Suaminya, dok, sebab saat saya tinggalkan mereka sepertinya sedang ada masalah."

"Lalu di mana sekarang suaminya?"

Yani menggeleng.

Helaan napas dokter terdengar keras. Dia terlihat geram mengetahui pelaku kekerasan adalah suami pasien sendiri.

"Saya harus melaporkan kasus ini ke polisi karna sudah termasuk tindak kejahatan. Korban bisa saja meninggal bila tulang rusuknya patah dan menembus jantung. Apalagi korban masih dalam masa nifas." Dokter itu membuka kaca mata yang tersemat di hidungnya, "yang melakukan kekerasan seperti ini bukan manusia."

Yani mengangguk. Dia sepakat dengan pendapat sang dokter. Sampai sekarang saja dia masih shock. Bayang-bayang tubuh Zoya terkapar bergelimang darah masih sering melintas di kepalanya.

"Terserah dokter saja, saya tidak peduli sama lelaki itu. Fokus saya hanya pada Zoya, apa dia akan baik-baik saja?"

"Saya belum bisa memastikan sebelum membaca hasil rontgen. Yang paling penting menurut saya bukan pemulihan fisiknya, tetapi kejiwaannya. Korban KDRT membutuhkan waktu untuk sembuh secara mental. Saya harap setelah ini korban berada di lingkaran support system yang positif."

Selanjutnya Yani mendengarkan penjelasan sang dokter mengenai kemungkinan tindakan yang akan diambil, yang paling buruk melakukan operasi besar.

*

Yani tidak bisa menahan air mata melihat keadaan Zoya. Wajah wanita itu bengkak di bagian pipi dan dahi. Masker oksigen yang terpasang di wajahnya tidak bisa menutupi robekan kecil di sudut bibir. Memang, tidak ada yang tahu jalan hidup seseorang. Zoya yang cantik, pintar, dan menjadi idola saat kuliah harus menikah dengan laki-laki berhati keji. Di mana saja wanita itu selalu menjadi pusat perhatian, sampai-sampai Yani selalu merasa minder bila berjalan bersama Zoya. Namun, keberuntungan wanita berhidung mancung itu tidak kekal. Otak pintarnya mendadak tumpul setelah jatuh cinta kepada Septian.

'Maaf, Zoya. Aku udah berusaha menghubungi Mamamu, tapi ....'

Yani menghapus air mata yang lolos dari pelupuknya. Kata-kata Mama Zoya melalui sambungan telepon, masih terngiang-ngiang di tempurung kepalanya. Dia pikir setelah memberi tahu kondisi Zoya, wanita itu akan luluh dan segera mengunjungi putrinya. Namun, wanita tersebut hanya menanggapi dingin kemalangan Zoya.

"Saya sudah pernah mengatakan padanya, kalau dia memilih menikah dengan lelaki itu, anggap saja saya sudah mati."

Yani mengurut dada sembari beristigfar. Dia tidak mengira, setelah lebih dua tahun hati Mama Zoya masih saja sekeras batu.

"Tante, kasian Zoya. Seluruh tubuhnya lebam dihajar suaminya. Belum lagi anaknya belum cukup dua minggu. Sekarang dititipkan ke tetangga Zoya."

"Benar, kan, saya bilang. Lelaki itu bukan orang baik. Sekarang rasakan sendiri akibatnya. Melawan restu orang tua tidak akan bahagia seumur hidup."

"Tante, jangan begitu. Bagaimanapun Zoya putri Mama." Suara Yani parau ketika mengatakan itu. Dia ikut merasa sakit saat ibu kandung sendiri tidak berempati pada putrinya sendiri.

"Dengar, ya, Yani. Tante bukannya tidak kasian sama Zoya. Biar dia rasakan akibat dari pilihannya. Kalau dia datang minta maaf akan Tante terima, tapi untuk saat ini belum bisa."

Air mata Yani kembali berderai meleraikan kolase ingatan pembicaraan dengan Mama Zoya. Sungguh malang sahabatnya. Sudahlah diperlakukan tidak baik oleh sang suami, ditolak pula oleh keluarga. Dia tidak bisa membayangkan seandainya berada di posisi Zoya.

"Ya ... Yani."

Yani mengusap jejak air mata di pipi ketika mendengar suara lirih Zoya. Kelopak mata wanita itu terbuka perlahan.

"Zoya, ini aku." Yani menggenggam tangan Zoya untuk memberita tahu di mana posisinya. Dia tahu mata temannya belum bisa melihat dengan jelas, karena masih bengkak akibat pukulan benda keras. Yani berani bertaruh jika Septian meninju muka Zoya berkali-kali. Mengingat itu kebencian kepada lelaki tersebut merasuk hingga ke ubun-ubun.

"Sakit ...." Zoya merintih ketika dia mencoba menggerakkan tangannnya.

"Jangan, kamu enggak boleh banyak gerak. Rehat aja, enggak usah mikir apa-apa." Yani mengusap lengan Zoya untuk menenangkan wanita itu.

"Anakku, mana anakku, Yan?"

"Dia baik-baik aja. Ada tetangga yang mau bantu jagain anakmu. Sekarang kamu tenang aja, semua aku yang urus."

Mendengar kata-kata menyejukkan dari Yani, air mata Zoya justru menetes begitu saja.

"Andai kamu enggak ada mungkin sekarang aku udah mati, tapi untuk apa juga aku hidup? Semua udah hancur, Yan. Aku enggak tahu gimana menatap masa depan. Lebih baik aku mati daripada nyusahin orang."

"Sst, jangan ngomong gitu. Mati bukan akhir segalanya, malah akan menambah permasalahan baru. Setiap kejadian pasti ada sebab-akibat. Kita ketemu sekarang karena Tuhan yang menggerakkan hatiku. Kamu seperti ini pasti karena Tuhan mau ngangkat derajat kamu."

"Enggak, Tuhan benci sama aku. Dia ngebiarin semua hal buruk terjadi padaku, Yan. Dia enggak adil," tangkis Zoya keras kepala.

Wanita itu kembali histeris hingga tangisnya terdengar lebih keras dari sebelumnya. Yani mencoba menenangkan Zoya. Dokter benar, sakit fisik bukan apa-apa dibanding jiwa yang terluka. Perlu kesabaran untuk meyakinkan korban kekerasan dalam rumah tangga, bahwa mereka akan baik-baik saja. Setiap awal ada akhir. Baik-buruk selalu seiring sejalan. Seumpama hujan disertai petir pasti akan reda juga pada akhirnya, kemudian pelangi hadir menyenangkan hati dan mata dengan warna cerahnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
sri Wahyuni
Ceritanya bagus .juga mengharukan
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laporin penjara kdrt ,perzinahan dan perselingkuhan berlapis biar busuk di penjara jgn bodoh thoor enak aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status