Share

Laki-Laki Laknat

"Keluar dari rumahku!" Septian mengusir Yani yang menatapnya dan Zoya bergantian.

"Kamu kok, kasar gitu, sih?" tanya Yani. Dia berdiri menantang Septian yang sama sekali tidak ramah. Bukannya tidak menghormati sang empunya rumah, tetapi sikap lelaki itu sangat tidak sopan. Apalagi Zoya semakin mempererat pegangan di tangannya.

"Suka-suka aku! Ini rumahku dan dia istriku," balas Septian lebih keras, membuat Yani beristigfar dalam hati. Dia memang tidak mengenal dekat si lelaki, bertemu pun baru tiga kali dengan hari ini. Pertemuan pertama dan kedua saat lamaran dan pesta pernikahan keduanya. Dia pikir sifat Septian sama kalem dengan wajahnya, ternyata pepatah, 'don't jugde a book bu it's cover' memang pantas disematkan untuk lelaki itu.

"Istrimu? Memangnya kamu tahu apa yang terjadi sama dia barusan?" Mau tidak mau Yani ikut naik pitam melihat cara Septian memperlakukan Zoya. Lelaki itu menarik tangan si wanita yang memegang tangannya dengan kasar.

"Yan, kamu pulang dulu, ya. Makasih bantuan kamu tadi." Zoya menginterupsi. Dia paham tabiat Yani. Wanita itu jarang adu argumen dengan orang lain. Akan tetapi, jika melihat sesuatu yang bertentangan dengan nurani, Yani tidak segan bertindak sangat tegas. Bukan mencemaskan Septian, dia tidak mau melibatkan orang lain dalam permasalahan rumah tangganya. Lagipula, dia masih punya urusan dengan lelaki itu.

"Kamu dengar, kan? Sekarang keluar dan jangan pernah lagi datang ke sini." Septian tersenyum sinis mengira Zoya berpihak padanya.

"Kamu yakin enggak apa-apa?" Yani meyakinkan Zoya lagi. Dia menatap lekat si wanita seakan hendak membaca jalan pikiran sahabatnya.

Dia memilih pergi setelah melihat anggukan Zoya dan berjanji akan datang lagi.

"Bagus dia sudah pergi. Pasti dia mau ngasih kamu racun agar benci sama aku," ujar Septian ringan.

Zoya mendengkus keras. "Justru kamu racunnya. Manusia enggak tahu malu, ngapain kamu ke sini?"

"Ngapain? Ini rumahku, masak aku enggak boleh pulang?"

Darah Zoya mendidih mendengar jawaban Septian. Luka di dadanya masih basah, perbuatan lelaki itu masih segar di benaknya dan membuatnya nyaris gila. Sementara Septian bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Brengsek kamu!" Zoya kembali mengamuk. Dia melempar vas bunga ke arah Septian dan mengenai dahi si lelaki.

"Kamu gila?!" Lelaki itu berteriak sambil memegang jidatnya.

"Iya, aku gila! Kamu yang buat aku gila. Kamu hancurin hidup aku, setan!"

Bibir Septian gemertuk mendengar makian Zoya padanya. Dia seakan tidak mengenali wanita yang kini berdiri di depannya dengan sorot mata lebih tajam dari pedang. Seolah-olah dengan tatapan itu Zoya hendak mencabik-cabik seluruh tubuhnya.

"Kalau masalah kemarin, aku minta maaf. Aku khilaf."

"Khilaf?! Khilafnya sampai ke tempat tidur?" Zoya tertawa sumbang, "Jangan kamu pikir aku enggak tahu hubungan kalian sudah lama. Aku enggak bego, tapi pura-pura goblok demi mempertahankan rumah tangga kita. Aku pikir kamu enggak akan sejauh ini. Harusnya aku sadar, sampah memang doyan sama sesamanya."

"ZOYA!" seru Septian dengan wajah merah padam dan kedua tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya, "cukup kamu maki-maki aku dengan kata-kata kasar. Ternyata ini asli kamu, wanita enggak beradab!"

"Iya, aku wanita enggak beradab, tapi lebih baik dari penzina seperti kamu," tuding Zoya lebih keras. "Sakit aku maki-maki? Lebih sakit perbuatan kamu. Kenapa enggak kamu racun aja aku saat hamil biar kamu bebas sama wanita murahan itu!"

"Mira bukan murahan! Dia ...."

"Dia apa?!" sela Zoya cepat. Dada wanita itu turun naik menandakan amarah sudah membakar sekujur tubuhnya, "dia lebih baik dari aku, begitu? Pelacur di pinggir jalan saja masih ada harganya, tapi dia mau saja diajak tidur sama suami orang tanpa dibayar."

PLAK!

Zoya terhempas ke atas tempat tidur karena tamparan Septian sangat keras di pipinya, sesaat dia merasa pandangannya berkunang-kunang.

"Dasar wanita enggak tahu diri! Kamu pikir posisi yang kini aku dapat di kantor karna siapa? Mobil di depan siapa yang beliin? Mira!"

Zoya tertawa getir. Dia masih duduk di atas tempat tidur untuk mengembalikan kesadarannya.

"Jadi karna uang?" Zoya melirik sinis ke arah Septian, "kalau begitu kalian sama-sama menjijikkan. Satu wanita murahan, sedangkan kamu gigolo yang dibayar dengan jabatan dan uang."

"Kamu!" Tangan Septian kembali terangkat memukul Zoya.

Dia menghajar wanita yang seminggu lalu melahirkan anaknya. Kepala, bahu, wajah, dan tubuh Zoya tidak ada yang tidak menjadi sasaran kemarahan  Septian. Alih-alih menjerit kesakitan, wanita itu melawan dengan sisa kekuatannya. Wanita itu seperti kerasukan, dipukul dia balas memukul. Ditinju balas meninju, bahkan di satu kesempatan Zoya berhasil menggigit paha Septian. Lelaki itu memekik kesakitan karena gigitan Zoya melekat kuat bak lintah, sepertinya daging paha si lelaki terkelupas. Hilang akal Septian menghantam kepala istrinya hingga wanita pingsan seketika.

Septian gamang menatap tubuh Zoya terkapar di lantai. Wajahnya semakin pias melihat darah keluar dari sela-sela paha sang istri. Dia mundur perlahan-lahan hingga menabrak boks bayi. Seperti mengetahui sesuatu terjadi pada ibunya, bayi itu menangis sangat keras membuat Septian semakin panik. Dia membuka lemari, lalu memasukkan pakaian dan surat-surat penting ke dalam tas terburu-buru. Tanpa peduli pada anaknya, Septian pergi begitu saja meninggalkan Zoya begitu saja.

*

"Pak, putar balik ke rumah yang tadi. Perasaan saya enggak enak," pinta Yani kepada sopir yang sedang mengemudikan mobil, yang dia pesan melalui aplikasi.

"Maaf, Mbak, ini jadinya gimana?" Sang sopir bingung karena menurut rute yang ditulis wanita yang menjadi penumpangnya, harusnya tujuan mereka tinggal satu kilometer lagi.

"Putar balik, Pak. Saya mau mastiin sesuatu. Nanti saya bayar tiga kali lipat. Saya takut terjadi apa-apa sama teman saya."

Sopir itu akhirnya luluh melihat raut cemas di wajah penumpangnya. Dia segera memutar tujuan kembali ke titik awal penjemputan.

Sepanjang jalan Yani tidak berhenti berdoa semoga Zoya baik-baik saja. Entah mengapa pikirannya sejak keluar dari rumah si wanita tidak tenang. Jantungnya berdebar sangat keras, bahkan dia bisa merasakan detakannya.

Sesampai di depan rumah Zoya, Yani meminta sang sopir menunggu. Dia menerobos masuk melihat pintu terbuka lebar. Paru-paru Yani seolah-olah tersendat menyerap oksigen ketika mendengar tangisan bayi yang terdengar parau. Matanya pun terbelalak melihat tubuh Zoya terkapar di lantai bermandikan darah. Spontan Yani memekik histeris dan menghampiri tubuh wanita malang itu. Dia memanggil-manggil nama Zoya, mengguncang badan sang sahabat berharap si wanita segera sadar.

Namun, Yani semakin ketakutan ketika denyut nadi Zoya tidak teraba olehnya. Dia bangkit, lalu terseok-seok berjalan keluar. Dia depan pintu rumah Zoya dia berteriak sekeras-kerasnya berharap para tetangga datang memberi pertolongan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah tolol besar mulut lagi. klu g kuat harusnya mundur bukannya ngebacot. kena hajsr kau kan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status