”Akhirnya! Istirahat juga, siapa yang mau menitip makanan?” tanya Arthur berdiri sambil mengujungi Jasmine.
”Aku. Sekalian ikut, ya?“ sahut Angellia sembari merangkul lalu mengedipkan mata.
”Jasmine, ditinggal sendiri? Oke, kita harus cepat-cepat kembali,” ujar Arthur sambil menarik tangan Angellia.
”Tunggu! Belikan aku. Susu cokelat dan roti, oke,” pinta Jasmine dengan teriak keras.
”Angel, kamu merasakan hal yang sama dengan Kakak?” tanyanya sembari menghela napas.
”Soal Jasmine, Kak?” tanya Angellia sambil menghitung uang.
”Iya, bagaimana ini? Kekuatannya sudah tidak bisa dikendalikan. Sebelum waktunya, terlalu awal lebih kuat. Apa tadi di UKS Jasmine menceritakan sesuatu?”
”Iya, dan itu membuatku tercengang, Kak! Dia sudah semakin licik memasuki dunia Jasmine, sampai menakutinya secara mental. Bayangkan saja, anak buahnya sudah menguntit Jasmine, dan menampakannya di hadapan Jasmine."
"Lebih parahnya lagi! sudah berani menyentuh Jasmine, di alam bawah sadarnya untung Ayah Jasmine selalu melindunginya. Kalau kita biarkan hal itu, ramalan yang dibicarakan Beliau itu akan terwujud. Kita harus diskusi bersama Kak Leo,” tutur Angellia sembari mengambil minuman.
”Apa! Sudah beraninya dia! Ini benar-benar membuatku muak. Masalahnya kekuatan kita belum cukup kuat Angel, ini yang menghambat,” seru Arthur mengepal tangan dengan keras.
”Benar! Kita harus cepat mencari. Seorang Cenayang yang bisa mengajarkan pertahanan dan serangan. Percuma saja kita selalu bersama Jasmine, tapi tidak bisa melindunginya dari dia."
”Benar, Angel kita tidak bisa mengulur-ngulur waktu lagi. Bagaimana besok kita bertemu Kak Leo dan langsung mencari Cenayang itu?” tanya Arthur sambil membayar jajanan dan kembali ke kelas.
”Setuju Kak, sebisa mungkin juga kita lebih ketat mengawal Jasmine! Ke mana pun dia pergi kita harus mengawasinya. Jangan sampai ketahuan okey, Kak?”
”Itu pasti! Setidaknya kekuatanku berguna untuk melindungi kalian, dan besok menurutku waktu yang tepat. Karena libur banyak waktu." Arthur memeragakan gerakan bela diri Muai Thai.
”Ingat! Jangan sampai Jasmine tau hal ini. Jasmine pasti akan lebih kacau lagi, Kak.”
Perjalanan mereka dari kantin sampai ke kelas. Tanpa di sadari Si Kembar, Jasmine sedikit mendengkarkan percakapan soal dirinya. Karena dia menunggu mereka di depan kelas. Di sana ada kecanggungan untuk menjelaskannya. Kakak beradik itu hanya saling bertatapan bingung. Mereka jalan mondar-mandir karena panik.
"Apa yang kalian maksud? Aku kacau?” tanya Jasmine sembari menarik tangan Arthur.
“K-Kamu salah dengar! T-tadi aku berbicara soal k-kacaunya pertandingan sepak bola tadi malam benar, kan, Angel?” gagap Arthur, dia secepat kilat menoleh pada Angellia.
”I-iya benar kata, K-Kakakku! Kamu salah dengar, kami sedang menceritakan soal pertandingan sepak bola ko,” gugup Angellia yang panik..
”Ko agak meragukan, ya? Baiklah! Aku percaya,” Jasmine melangkah dan mengambil jajanan tadi.
Pukul 3.30 PM sore hari bel pulang berbunyi, Jasmine menghampiri Si Kembar dan mempunyai rencana untuk tidak langsung pulang melainkan pergi ke Pusat Kota Nuremberg negara bagian Bavaria, Jerman untuk menghadiri “Festival Fingerhakeln” yang sering diadakan pada musim panas. Tanpa mendengarkan pendapat Si Kembar, Jasmine menarik tangan lalu pergi menaiki bus menuju pusat kota. Satu jam lebih sedikit pun berlalu, bus yang mereka tumpangi akhirnya sampai. Mereka langsung berjalan kaki melihat pasar pinggir jalan satu per satu,
Drrt ...! Drrt ...!
Getaran dan layar ponsel yang ada di tasnya berulang kali berkedip. Jasmine tidak merasakannya, karena terhipnotis oleh serunya festival di hari Kamis. Banyak suara-suara kegembiraan yang membuat Jasmine terhanyut.
”Sial! Ke mana, ya? Gawat! Aku merasakan firasat buruk, Jasmine tolong angkatlah!” teriak Leo dengan emosi membanting ponselnya ke kasur. Dia terdiam sesaat.
”Bodohnya! Kenapa aku tidak terpikirkan dari tadi.” Sembari mengambil benda pipih itu dan menghubungi Si Kembar.
”Halo, Kak Leo ada apa? Tenang! Jasmine bersama kami, Kak,” sahut Arthur agak berteriak karena kebisingan di Kota.
”Aku cemas tadi berkali-kali menghubungi Jasmine tapi tidak diangkat. Kalian di mana sih?” seru Leo dengan nada tinggi dan marah.
”Oh, iya? Maaf, Kak. Sekali lagi maaf mungkin Jasmine tidak merasakan getar ponsel. Karena kami sekarang ada di pusat kota Kak. Ada apa ini, Kak?” tanya Arthur menjambak rambut merah kecokelatannya. Dia mulai cemas.
”Apa! Sedang apa, kalian di sana? Dalam situasi saat ini, Jasmine rentang untuk diserang. Kamu mengerti? Aku merasakan firasat buruk akan terjadi, cepat pulang sekarang juga!” Leo menutup sambungan telepon. Dia marah besar, lalu turun dari kamar ke lantai bawah tanah untuk mengawasi Jasmine dengan kekuatan ajaibnya.
Arthur tercengang dan merasakan firasat yang sama. Dia menarik tangan Angellia. Berbisik kepadanya, bahwa harus cepat pulang Leo sudah marah besar. Tanpa disadari Jasmine sudah di ujung jalan pertigaan. Ada bazaar kecil yaitu demontrasi “Peramal" Jasmine tentu saja tertarik, langsung duduk di bangku itu dan berhadapan dengan peramal. Si Kembar terkejut sekali, berlari-lari tapi sayang karena padatnya Kota Nuremberg. Otomatis orang-orang yang berlalu lalang menghambat mereka.
”Kemarilah, Nak. Kamu ingin menanyakan sesuatu?“ tanya wanita peramal dengan suara yang serak. Berpakaian serba warna merah.
”Apakah bisa membaca masa depan, untukku?” Jasmine sedikit ragu-ragu.
”Oh, tentu saja! Aku bisa gadis cantik, kemarilah sedikit mendekat dan taruh kedua tanganmu di meja.” Sambil memegang kedua tangan Jasmine.
”Baiklah! Bagaimana, Bu? Apa aku bernasib baik?"
”Hmm, perlu waktu sebentar, Nak!” Wanita itu menundukan kepala dan mulutnya mengeluarkan mantra-mantra.
Wush! Wush!
”Haha! Kenapa, Nak? Kamu tidak suka dengan kedatanganku? Kemarilah, Aku ingin membawamu." Sosok itu cekikikan sambil memancarkan cahaya merah dari seluruh tubuhnya.
”Aw! Tanganku dan mata ini terasa terbakar. Lepaskan penyihir!!” jeritnya meronta-ronta kesakitan mencoba melepaskan genggaman penyihir itu.
Ternyata peramal itu adalah penyihir berjubah merah. Awal wanita tadi terlihat masih muda, sekarang menjadi nenek-nenek. Dia melayang-layang di langit menyeringai membuat bulu kuduk Jasmine berdiri. Jasmine lemas jatuh terduduk. Jasmine melihat sekeliling, tidak menyangka semua berhenti, tidak ada yang bergerak sedikit pun seperti menghentikan waktu.
Jasmine menoleh ke belakang di sana ada Angellia dan Arthur sedang berlari kemari. Mereka tidak berhenti seperti yang lain? Penyihir itu mulai menyerangnya dengan mantra pengikat. Jasmine tidak bisa berkutik tenaganya terkuras. Dia setengah sadar melihat Angellia menghampiri. Arthur mengucapkan mantra sedang membuat sesuatu lingkaran portal. Jasmine tidak sadarkan diri. Secepat kilat Arthur membawa semua masuk ke portal yang terhubung langsung ke lantai bawah tanah di rumah Jasmine. Kertas-kertas di dalam ruang bawah tanah terbang kesana kemari, benda-benda di sekitarnya pun terbang berantakan. Leo sudah menunggu dengan cemas. Datanglah sebuah cahaya aura biru menyilaukan mata Leo. Dari lingkaran portal itu keluarlah Angellia dan Arthur sambil mengendong Jasmine.
"Sudah siap, Leo? Ingat, jangan ragu! Salah sedikit kita bisa adu tembak," pinta Sean yang sedang merapikan kemeja berdasi hitam itu, lalu memakai jaket coat panjang berwarna hitam. "Huh! Siap! Baiklah, aku paham. Tapi, jujur saja. Aku gugup, Kak Sean." Leo mengambil batu sihir dan menyerahkan satunya lagi ke Mayor. "Pasti, tapi tenang ada aku di sampingmu. Lakukanlah sesuai latihan kita tadi. Jangan lupa, aku jadi Steven dan kamu Lavier!" Sean mengambilnya sambil menjinjing tas kotak silver berisi uang banyak. "Hmm, oke-oke. Pengalaman pertama yang mendebarkan." Leo merapikan rambut blonde-nya dan memakai jaket coat pendek berwarna abu-abu. Lalu, menggunakan kacamata bertangkai emas. Mereka pun menggunakan mobil mewah yang sudah Sean sewa kemarin. Sean menggunakan cincin bermata biru dan Leo bercincin berlian dengan inisial L. Pakaian yang bermerek dari ujung leher sampai kaki menghiasi dua pria itu. Leo yang terus mengendalikan emosi dan ket
"Di mana ini? Perasaan aku tidur di sofa!" batin Leo yang syok melihat sekitarnya ada pohon pinus. "Di hutan? Tidak ada cahaya matahari! Kabutnya tebal juga," keluh Leo yang terus mengucek mata dan bangun. "Leo ... kemari ... Leo, sini kita main!" ajak suara gadis kecil dari arah samping Leo, tapi wujudnya tidak ada. Leo semakin tidak percaya melihat tangan yang mengecil. "Siapa kamu? Keluar! Hah, tubuhku mengecil?" teriak Leo yang meraba-raba tubuh tidak berotot itu. Dia seperti anak berumur 14 tahun. "Ayo, kita bermain petak umpet di sini. Leo ... lihat aku!" teriak gadis yang perlahan muncul di sampingnya dan merangkul tangan Leo. "Zena? Zena!" panggil Leo yang langsung menoleh dan menggenggam erat kedua bahu gadis itu. "Iya, lalu siapa lagi? Di sini hanya kita saja. Ayo, main." Zena yang masih muda dan cantik dengan rambut panjang berwarna putih. Dia tersenyum manis dan berjalan ke pohon pinus yang tinggi. "Ka
Leo yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke arah kerumunan. Saat Leo baru melangkah, ponselnya berdering dan melihat layar yang terpampang nama Jasmine. Sang kakak baru ingat sudah dua hari tidak menghubungi Jasmine. Leo yang hanya melihat kerumunan tadi langsung bubar. Dia hanya melihat wanita yang sedang di seret paksa pria paruh baya. Dia mengangkat telepon dan mendengar kemarahan Sang adik yang terus mengomel. Leo hanya terdiam dan tersenyum lebar, baru saja dua Minggu ditinggalkan sudah merindukan semuanya. Dia cekikikan yang membuat lawan bicaranya merengek dan mengeluh dengan jadwal latihan yang semakin sulit. Charless yang terus menyebalkan dan jahil. Tentu, keluhan soal Leo melanggar janjinya yang harus setiap hari berkomunikasi dengan Jasmine. "Oke-oke, maaf. Maaf, Sayang. Aku sibuk sampai lupa," jelas Leo yang melirik Sean yang masih memilih daging. "Kakak! Aku juga sibuk masih bisa kirim pesan dan menelepon tuh!" gerutu Jasmine yang istirahat
"Hah, terserah kamu saja. Aku paham! Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan tempat ini!" seru Pedro yang terlihat cemas bila ikut melakukan pencarian bersama-sama. "Takut sama musuhmu? Atau kamu tidak ingin bertemu dengan Haden?" tanya Sean yang membuat Pedro terdiam. "Bukan, iya. Aku tidak bisa menatap wajah anak itu. Aku tidak sanggup." Pedro termenung mengingat kenangan lampau. Saat Pedro melepas tangan kecil Haden. Anak kecil yang merengek dan menangis kencang karena ditinggal pergi Pedro. "Kalau kamu menghindar terus. Haden akan semakin membencimu. Mau?" Sean menatap tajam Pedro yang menahan tangis. "Ingat, mungkin pertemuanmu yang sekarang akan membuat Haden marah besar." Sean menghela napas panjang. "Tetapi, kamu harus jelaskan alasannya agar kesalahan pahaman tidak terjadi lagi. Dia sudah besar sekarang pasti akan mengerti." Lanjut Sean sambil memanggil Leo untuk kembali ke kursi. "Kalau hal ini berat untukmu. Aku tid
Sean dan Leo jalan perlahan menyusuri anak tangga yang panjang ke bawah. Anak tangga yang berputar tanpa ujung, hawa mencekam dengan hanya di sinar satu cahaya di depan saja. Leo melihat ke bawah dan sampingnya hanya gelap gulita. Sean yang tetap fokus dan menajamkan instingnya. Dari kejauhan terdengar suara riuh orang-orang yang berjalan dan berbicara. Tiba-tiba diujung tangga itu cahaya tadi semakin bersinar menyilaukan mata. Sean dan Leo menutup mata, kedua pria itu syok diam diantara kerumunan orang yang sibuk bekerja di pasar lokal. Mereka bingung ada di mana, sayup-sayup terdengar suara bisikan, "ikuti anak panah itu." Suara pria nan dingin. Sean menolah ke tuannya dan saling mengangguk paham. Leo mencari anak panah yang dimaksud bisikan itu. Dia menemukan satu di dinding penjual ikan laut. Dia menarik Sean dan berjalan ke sana. Anehnya orang-orang di pasar itu tidak terganggu atau tidak melihat beradaan Leo dan Sean. Mereka saling melirik dan mengangkat bahu, berjal
"Hah, ranselnya berat sekali. Tante, Paman. Alat sihirnya kenapa banyak sekali?" keluh Leo yang memasukan alat sihir ke kantung ajaib yang diberikan Eleanor. "Ini pasti akan berguna. Karena kita tidak bisa membantu dengan cepat. Setidaknya benda-benda ini bisa menolongmu di situasi genting," jelas Elanor yang mengelus rambut Leo. "Nak, bawa obat-obatan medis ini. Komandan Tommy, memberitahu barang tambahanmu," ucap Serenity sambil terisak-isak menahan tangisnya dan menyodorkan kotak medis lengkap lalu dimasukan ke dalam ransel. "Oh, iya. Terima kasih, Tante dan Ibu Serenity. Kalian jangan menangis dong. Aku makin sedih." Leo menghampiri dua wanita dewasa yang tidak kuasa menahan tangisan. Leo memeluk erat kedua orang yang sudah dianggapnya sebagai ibu. "Aku akan baik-baik saja. Ada Kak Sean bersamaku. Kalian jaga kesehatan dan aku titip adik-adikku, ya. Kalau nakal pukul dan hukum mereka, oke." Leo mengecup kedua kening dan pipi Eleanor dan Serenity. Leo juga menghapus air mata m