”Oh ... Jasmine, jangan menangis seperti ini. Apa mau bercerita, soal kejadian tadi?” Angellia bertanya dengan lembut mendekat dan mengelus rambut sahabatnya.
Jasmine menarik napas begitu berat, menjelaskan semua hal yang selama ini terjadi. Cerita itu sampai membuat Angellia tersentak. Angellia berhenti sejenak dan lebih fokus mendengar cerita sahabatnya yang terus menyeka air mata. Jasmine menggenggam erat tangannya, Angellia pun mengelus lembut tangan itu. Ruangan sepi ini, hanya menggema suara tangis pilu Jasmine. Dua sahabat ini saling berpelukan erat.
”Kenapa kamu baru menceritakan semuanya? Soal mimpimu itu? Kejadian kamu diikuti sesosok aneh?” Angellia terkejut sampai beranjak dari kasur yang mereka duduki.
”Maaf, aku mencoba untuk melupakannya Angel. Aku takut kalau semua tahu soal ini. Sosok-sosok itu melukai kalian." Jasmine menunduk sambil meremas rok abu-abunya.
”Sebentar, apa jangan-jangan! Dia yang menyebabkan, kamu kecelakan tadi?”
”Entahlah. Angel.” Jasmine terisak-isak.
”Apa kamu melihat wajahnya atau sesuatu?”
”Tidak terlihat, hanya tertutup oleh jubah hitamnya saja. Dan sekarang, mungkin ini akan membuatmu tidak percaya. Aku melihat sesosok Ayah ada di sampingku,” terang Jasmine menoleh dan menunjuk ke sebelah kiri.
Angellia hanya terdiam lagi, melamun dan memikirkan sesuatu hal.
“Kenapa seperti ini? Kekuatan mata Jasmine, sudah terlalu kuat sebelum waktunya. Pantas saja, sekarang semua makhluk yang nyata hingga tidak kasat mata akan mengejarnya, bagaimana ini? Apa Kak Leo sudah tau?“ batin Angellia. Jasmine melihat Angellia yang terdiam sepertinya tidak mendengarkannya berbicara.
”Hai, halo! Kamu mendengarkanku?”
”Iya, ada apa?” Perempuan itu merapikan rambut panjang merah sepunggungnya yang tertiup angin.
”Lupakan saja! Ayo, kita kembali ke kelas,” jelas Jasmine dengan muka masam dan pergi.
”Tunggu! Apa masih sakit?”
Sesampainya di kelas, Jasmine tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar hanya ada rasa kantuk. Lama kelamaan mata tidak bisa melawan rasa kantuk. Dia pun tertidur pulas. Seketika dia sudah berada di dalam mimpi. Di tengah gurun pasir yang gersang, awan mendung yang sendu, dan angin kencang menerbangkan pasir yang halus. Dia menengok kiri dan kanan tidak ada seorang pun. Hanya ada Jasmine. Ketika berdiri, di depan ada sesosok wanita memakai gaun hitam yang mendekatinya. Wanita itu mengamati orang yang ada dihadapannya dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Tiba-tiba sosok itu sudah ada di belakang Jasmine sambil memeluknya perlahan membisikan, “Kamu begitu cantik, Kamu memiliki harum yang menggairahkanku. Darahmu juga jiwamu. Aku ingin memilikimu!”
Wanita berkuku panjang itu menyentuh bahu Jasmine. Dia meraba-raba sampai ke leher. Wajahnya mendekati pipi sampai ke telinga sembari mengendus-endus dan menjilatnya. Tubuh Jasmine gemetar hebat, tidak bisa berontak. Dia perlahan mulai mencekik leher. Cekikkan itu semakin kuat, membuat napas jadi sesak dan Jasmine sudah lemas. Dia pun tertawa terbahak-bahak. Tubuh perempuan itu dihempaskan ke pasir dengan keras lalu, dilemparkan ke atas dan terhempas jatuh ke bawah. Berulang-ulang secara keras menghantam pasir. Jasmine merintih kesakitan merasakan seluruh tulang remuk, mulut sudah mengeluarkan darah. Dia menyiksa lagi dengan menggunakan kekuatan aneh yang memancarkan cahaya hitam membuat Jasmine terhempas ke belakang.
”Tidak ... tidak!!” teriak Jasmine, terbangun sontak berdiri dari bangku sampai kursi terjatuh sangat keras.
”Jasmine, kenapa berteriak? Kamu tidur, ya. Bukannya, memperhatikan Ibu di depan!” bentak Bu Barlien.
”Maaf, Bu. Maaf aku ti-tidak sengaja tertidur,” gugupnya sambil menundukkan kepala.
”Kamu ini, dasar! Cepat pergi ke kamar mandi. Cuci mukamu itu,” perintah Bu Barlien.
Jasmine hanya menganguk, lalu menoleh ke arah Anggellia dan Arthur yang ikut berdiri karena ingin membantu. Dia meyakinkan sahabatnya untuk tidak usah cemas. Ketika perempuan pemalu itu melihat sekeliling, semua menatap tajam hanya tertuju padanya. Dia semakin malu dan menunduk lagi, merasakan tatapan intimidasi menganggapnya seperti orang aneh. Kelas pun riuh dan ditenangkan guru. Dia menahan tangis lalu berlari ke kamar mandi.
Tubuh yang tinggi itu mengigil ketakutan. Saat melihat cermin, leher jenjangnya ada bekas cekikan membuat bulu kuduknya berdiri. Segera mencuci muka, dia merasa tidak percaya. Perlahan mendongak ke cermin, Jasmine melihat ada sesosok wanita bergaun hitam lagi. Dari pantulan cermin yang persis diam di belakangnya. Jasmine mengerang kesakitan. Matanya terasa terbakar hebat, lalu menutup mata. Dia sedikit mengintip. Wanita tadi tersenyum lebar sekali, muka penuh darah, dan menjulurkan lidah panjang sepinggang penuh tetesan darah. Jasmine menoleh ke belakang, tersentak kaget sosok itu menghilang.
”Dewa, itu mahkluk apa? Seram!” lirih Jasmine sampai jantung bergemuruh dan menahan tangis.
Jasmine hanya terdiam sesaat mencoba melihat ke sekeliling kamar mandi itu. Memberanikan diri, satu persatu pintu kamar mandi dibuka dengan keras. Dia mengelus dada ada kelegaan bahwa tidak ada apa-apa lagi. Jasmine menyeka air matanya saat melihat cermin tanpa sadar melihat bayang-bayang sosok Edward yang terdiam di samping.
“Oh, Dewa andai saja, aku bisa melihatnya setiap saat dan memeluknya erat-erat! Sungguh membuatku bahagia.“
Sosok itu pun tersenyum lembut kepada Jasmine, perlahan sosok itu melangkah dan memeluk dari belakang rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata hanya ada ketenangan, kedamaian, dan kehangatan yang mengalir di seluruh tubuh Jasmine.
Tok! Tok! Tok!
”Jasmine! ini aku, Angel. Kamu baik-baik saja di dalam? Ko lama sih. Aku dan Arthur cemas, bukalah pintunya,” pinta Angellia sambil jalan ke kiri dan kanan menyilangkan tangan di dadanya terlihat sangat cemas.
”Maaf, Angel. Aku terlalu lama di sini. Tenang Aku tidak apa-apa,” jelas Jasmine lalu memeluk tangan Angellia.
”Benar, tidak kenapa-kenapa? Coba jelaskan, apa yang terjadi di kelas. Dan lehermu membiru?”
”Kamu, hebat! Bisa saja melihat luka yang ada di leherku, padahal aku sudah menutupinya dengan rambutku tadi.”
”Kamu tidak bisa membohongiku tau!” seru Angellia yang mencubit keras pipi Jasmine.
”Aw! Sakit Angel,” lirihnya mencoba melepaskan cubitan dasyat dari Angellia.
”Iya, sudah cepat masuk ke kelas. Kita bicarakan nanti saat pulang sekolah."
Jasmine hanya tersenyum saat itu, hal seperti sekarang membuatnya bahagia memiliki teman sejati yang selalu ada saat suka mau pun duka. Dengan ada Arthur dan Angellia yang bisa tersenyuman lebar, tertawa bersama, menjadi diri sendiri. Mereka selalu tolong menolong, tidak ada ikatan darah dengan Jasmine bisa menjadi keluarga. Sejenak dia berpikir yang memiliki ikatan darah, nyatanya terasa asing dan malah tidak merasakan hangatnya keluarga. Keluarga yang Jasmine rasakan hanya Leo, Julie, Angellia, dan Arthur. Sisanya hanya harapan kosong.
'Aku tau harapan untuk seperti dulu hanya akan sakit hati. Tapi, hanya ingin merasakan utuhnya keluarga lagi. Bukan dosa, kan?' batin Jasmine sambil berlari kecil bersama Angellia.
"Sudah siap, Leo? Ingat, jangan ragu! Salah sedikit kita bisa adu tembak," pinta Sean yang sedang merapikan kemeja berdasi hitam itu, lalu memakai jaket coat panjang berwarna hitam. "Huh! Siap! Baiklah, aku paham. Tapi, jujur saja. Aku gugup, Kak Sean." Leo mengambil batu sihir dan menyerahkan satunya lagi ke Mayor. "Pasti, tapi tenang ada aku di sampingmu. Lakukanlah sesuai latihan kita tadi. Jangan lupa, aku jadi Steven dan kamu Lavier!" Sean mengambilnya sambil menjinjing tas kotak silver berisi uang banyak. "Hmm, oke-oke. Pengalaman pertama yang mendebarkan." Leo merapikan rambut blonde-nya dan memakai jaket coat pendek berwarna abu-abu. Lalu, menggunakan kacamata bertangkai emas. Mereka pun menggunakan mobil mewah yang sudah Sean sewa kemarin. Sean menggunakan cincin bermata biru dan Leo bercincin berlian dengan inisial L. Pakaian yang bermerek dari ujung leher sampai kaki menghiasi dua pria itu. Leo yang terus mengendalikan emosi dan ket
"Di mana ini? Perasaan aku tidur di sofa!" batin Leo yang syok melihat sekitarnya ada pohon pinus. "Di hutan? Tidak ada cahaya matahari! Kabutnya tebal juga," keluh Leo yang terus mengucek mata dan bangun. "Leo ... kemari ... Leo, sini kita main!" ajak suara gadis kecil dari arah samping Leo, tapi wujudnya tidak ada. Leo semakin tidak percaya melihat tangan yang mengecil. "Siapa kamu? Keluar! Hah, tubuhku mengecil?" teriak Leo yang meraba-raba tubuh tidak berotot itu. Dia seperti anak berumur 14 tahun. "Ayo, kita bermain petak umpet di sini. Leo ... lihat aku!" teriak gadis yang perlahan muncul di sampingnya dan merangkul tangan Leo. "Zena? Zena!" panggil Leo yang langsung menoleh dan menggenggam erat kedua bahu gadis itu. "Iya, lalu siapa lagi? Di sini hanya kita saja. Ayo, main." Zena yang masih muda dan cantik dengan rambut panjang berwarna putih. Dia tersenyum manis dan berjalan ke pohon pinus yang tinggi. "Ka
Leo yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke arah kerumunan. Saat Leo baru melangkah, ponselnya berdering dan melihat layar yang terpampang nama Jasmine. Sang kakak baru ingat sudah dua hari tidak menghubungi Jasmine. Leo yang hanya melihat kerumunan tadi langsung bubar. Dia hanya melihat wanita yang sedang di seret paksa pria paruh baya. Dia mengangkat telepon dan mendengar kemarahan Sang adik yang terus mengomel. Leo hanya terdiam dan tersenyum lebar, baru saja dua Minggu ditinggalkan sudah merindukan semuanya. Dia cekikikan yang membuat lawan bicaranya merengek dan mengeluh dengan jadwal latihan yang semakin sulit. Charless yang terus menyebalkan dan jahil. Tentu, keluhan soal Leo melanggar janjinya yang harus setiap hari berkomunikasi dengan Jasmine. "Oke-oke, maaf. Maaf, Sayang. Aku sibuk sampai lupa," jelas Leo yang melirik Sean yang masih memilih daging. "Kakak! Aku juga sibuk masih bisa kirim pesan dan menelepon tuh!" gerutu Jasmine yang istirahat
"Hah, terserah kamu saja. Aku paham! Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan tempat ini!" seru Pedro yang terlihat cemas bila ikut melakukan pencarian bersama-sama. "Takut sama musuhmu? Atau kamu tidak ingin bertemu dengan Haden?" tanya Sean yang membuat Pedro terdiam. "Bukan, iya. Aku tidak bisa menatap wajah anak itu. Aku tidak sanggup." Pedro termenung mengingat kenangan lampau. Saat Pedro melepas tangan kecil Haden. Anak kecil yang merengek dan menangis kencang karena ditinggal pergi Pedro. "Kalau kamu menghindar terus. Haden akan semakin membencimu. Mau?" Sean menatap tajam Pedro yang menahan tangis. "Ingat, mungkin pertemuanmu yang sekarang akan membuat Haden marah besar." Sean menghela napas panjang. "Tetapi, kamu harus jelaskan alasannya agar kesalahan pahaman tidak terjadi lagi. Dia sudah besar sekarang pasti akan mengerti." Lanjut Sean sambil memanggil Leo untuk kembali ke kursi. "Kalau hal ini berat untukmu. Aku tid
Sean dan Leo jalan perlahan menyusuri anak tangga yang panjang ke bawah. Anak tangga yang berputar tanpa ujung, hawa mencekam dengan hanya di sinar satu cahaya di depan saja. Leo melihat ke bawah dan sampingnya hanya gelap gulita. Sean yang tetap fokus dan menajamkan instingnya. Dari kejauhan terdengar suara riuh orang-orang yang berjalan dan berbicara. Tiba-tiba diujung tangga itu cahaya tadi semakin bersinar menyilaukan mata. Sean dan Leo menutup mata, kedua pria itu syok diam diantara kerumunan orang yang sibuk bekerja di pasar lokal. Mereka bingung ada di mana, sayup-sayup terdengar suara bisikan, "ikuti anak panah itu." Suara pria nan dingin. Sean menolah ke tuannya dan saling mengangguk paham. Leo mencari anak panah yang dimaksud bisikan itu. Dia menemukan satu di dinding penjual ikan laut. Dia menarik Sean dan berjalan ke sana. Anehnya orang-orang di pasar itu tidak terganggu atau tidak melihat beradaan Leo dan Sean. Mereka saling melirik dan mengangkat bahu, berjal
"Hah, ranselnya berat sekali. Tante, Paman. Alat sihirnya kenapa banyak sekali?" keluh Leo yang memasukan alat sihir ke kantung ajaib yang diberikan Eleanor. "Ini pasti akan berguna. Karena kita tidak bisa membantu dengan cepat. Setidaknya benda-benda ini bisa menolongmu di situasi genting," jelas Elanor yang mengelus rambut Leo. "Nak, bawa obat-obatan medis ini. Komandan Tommy, memberitahu barang tambahanmu," ucap Serenity sambil terisak-isak menahan tangisnya dan menyodorkan kotak medis lengkap lalu dimasukan ke dalam ransel. "Oh, iya. Terima kasih, Tante dan Ibu Serenity. Kalian jangan menangis dong. Aku makin sedih." Leo menghampiri dua wanita dewasa yang tidak kuasa menahan tangisan. Leo memeluk erat kedua orang yang sudah dianggapnya sebagai ibu. "Aku akan baik-baik saja. Ada Kak Sean bersamaku. Kalian jaga kesehatan dan aku titip adik-adikku, ya. Kalau nakal pukul dan hukum mereka, oke." Leo mengecup kedua kening dan pipi Eleanor dan Serenity. Leo juga menghapus air mata m