"Ma, Mama!" seru Huda begitu masuk ke rumah.
Dia berjalan bersemangat menuju dapur. Di sana istrinya tengah sibuk memasak. Panji putranya duduk menikmati secangkir teh. "Ada apa, Pa? Papa sudah mau sarapan? Tunggu dulu ya, Pa. Belum matang ini," balas Laura. "Bukan, bukan. Diselesaikan saja dulu. Tapi, sama dengerin berita dari papa," sahut Huda. Panji menoleh ke papa dan mamanya yang berdiri dekat kompor. Dia juga menoleh ke arah kakaknya yang menyusul masuk ke dapur sekaligus ruang makan mereka. Kakaknya menarik kursi makan, duduk cemberut. "Apa, Pa? Jangan membuat mama khawatir dong," ujar Laura. "Tahu nggak, Ma, itu, anaknya Mira. Mira pensiunan guru SD. Anaknya yang sebaya anak sulung kita. Kamu tahu kan?" "Oh, sobatnya Aster. Si Amar. Kenapa dia, Pa?" "Tadi kan ketemu di lapangan. Coba tebak dia tadi nawarin apa ke putri kita?" "Nawarin? Dia kan guru matematika di SMP dekat jalan besar sana itu. Masak nawarin les matematika ke Aster, Pa." Huda melambaikan tangan. Dia menggeleng - geleng. Tampak mencebik prihatin. "Si Amar nawarin pintu, Ma," beritahu Huda muram. "Hah? Pintu, Pa? Sejak kapan Amar jadi mebeuler?" timpal Laura terheran - heran. "Sejak tadi ketemu putri kita. Tebak, pintu apa coba, Ma?" lanjut Huda. Laura menggaruk kepala. Sendok sayur terselip di saku celemek. Dia pun mengerling Aster. "Pintu ukiran jati?" tebak Laura. "Haduh! Kurang mahal, Ma. Bukan pintu itu. Pintu masuk surga, Ma!" ujar Huda. Panji terbelalak. Dia mendenguskan tawa. Tapi tidak jadi dilanjutkan. Dia memandang prihatin pada kakaknya. Laura malah menepuk tangan sekali. Dia memasang wajah berbinar. Senyumnya begitu lebar. "Pan, kamu selama ini sudah lihat gejala - gejalanya belum?" kata Aster muram. Panji menahan tawa susah payah. Dia mengulum bibir. Kepala digeleng - gelengkan. "Sopan sedikit dong, Nak. Mentang - mentang bakal dapat backingan pintu surga lain. Jangan melawan pintu surga utama dong," tegur Huda. "Baik, Pa. Maaf, Aster sudah bersalah," kata Aster bersungguh - sungguh. "Oke, jadi nanti siang kalian mau makan kemana?" timpal Huda. "Jangan di warungku," tolak Panji. "Ngawur! Di warungmu saja, Pan. Biar papa bisa pantau. Awas saja kalau malah jadi pintu nereka," sambar Huda. "Astaga, Papa. Aster nggak aneh - aneh begitu," kata Aster. "Tenang, Papa sih percaya sama putri papa yang paling cantik ini. Yang papa belum percaya tentu saja guru matematika itu," sebut Huda. Dia pun melenggang pergi. Katanya hendak mandi dan berganti baju. Laura menggamit lengan Aster. Sebagai ibu, Laura mulai menjalankan perannya. Interogasi pun dilancarkan. "Ada apa sih, Ma. Aster mau mandi nih. Bau," kata Aster. "Cerita dulu sama mama. Apa saja yang terjadi tadi?" kata Laura. "Olah raga, Ma. Lari - lari gitu." "Bukan bagian itu. Bagian ketemu Amar dong. Gimana ceritanya? Kalian janjian?" "Nggak, Ma. Sejak lulus SMA saja kami putus kontak. Tadi itu ketemu nggak sengaja, Ma. Dia baru main bola. Terus nyamperin aku gitu. Ya, udah deh, cerita - cerita. Cuma bentar. Terus ya ngajak jalan nanti siang. Biasalah, Ma, lama nggak ketemu. Ih, mama jangan kayak papa dong." "Kayak papa gimana?" "Ya, berpikir kemana - mana. Kami cuma reunian aja." "Apa kamu nggak tahu, reuni itu ujungnya banyak yang jadi pasangan lho. Terkenal banget kan banyak cerita macam itu." "Tapi belum tentu kejadian ke Aster juga. Mama jangan ih. Aster nggak mau menaruh harapan. Ya ampun, baru kemarin Aster diputus Reno lho. Nanti dikira cewek apaan pula." "Lhah, memangnya ada apa? Yang lalu biarlah berlalu. Sudah, Sayang. Kamu hapus itu nomor Reno. Semua kontak Reno. Nggak perlu kamu simpan. Nanti kamu pulang, bersihin semua barang barang dari dia. Kembaliin aja kalau perlu. Pokoknya kamu nggak usah mikir cowok yang sudah mencampakkan kamu. Soal Amar, ya terserah kamu deh. Mama dukung apa pun yang bikin kamu nyaman saja. Yaudah kalau mau reuni - reuni cantik saja, ya jalan aja. Misal dia ada tanda - tanda ya tanggapi baik - baik. Jangan kamu kasih harapan kalau memang kamu belum mau juga." Aster mengatupkan bibir. Dia pun menganggukkan kepala. Dia menyerap segala nasehat mamanya. "Makasih ya, Ma. Aster senang mama sama papa begitu pengertian. Sejujurnya Aster sedih banget, Ma. Aster marah. Tapi, gimana lagi kan, Ma. Aster cuma bisa nerima." Laura merangkul pundak Aster. Dia mengusap punggung Aster. Sambil diberi senyuman hangat. "Santai saja, Nak. Sana kamu mandi. Bau!" kata Laura. Aster pun melepaskan diri dari rangkulan Laura. Dia melompat berdiri. Melangkah ringan menuju kamar. Keluarga Huda menjalani hari mereka dengan normal. Sarapan bersama kemudian dilanjutkan aktivitas masing masing. Huda dan Laura berangkat menuju tempat kerja. Panji berjalan santai ke warung. Dia mulai mempersiapkan warung sebelum jam makan siang dimulai. Sementara Aster melakukan meeting via video call. Aktivitas normal yang dijalani begitu mengalir. Sampai tak terasa waktu makan siang sudah tiba. Aster menyimpan berkas yang baru diketik. Dia mematikan laptop. Lalu terdengar ketukan di pintu. Sebuah salam terucap. Aster pun menuju pintu depan. "Hai, As," sapa Amar. Dia berdiri gagah memakai kaos berkerah dan celana bahan tebal. Tampak segar dan beraroma wangi. Senyumnya membuat Aster ikut tersenyum. "Hai, Mar. Jalan sekarang?" balas Aster. "Iya, nih. Aku sudah nemu tempat yang kamu kayaknya bakal suka." "Oh, ya. Kalau begitu kamu duduk dulu. Aku siap - siap bentar ya. Bentar beneran kok." "Hehehe. Iya, nggak apa - apa. Aku tunggu di teras saja ya." Aster mempersilakan. Dia pun berbalik masuk ke kamar. Memakai kecepatan dua kali normal, Aster mencuci wajah. Lalu mengganti baju. Dilanjutkan merias. Diselesaikan dengan memasukkan ponsel dan dompet ke tas jinjing. "Yuk, Mar," ajak Aster yang sudah keluar rumah. Amar beranjak dari kursi. Dia mengangguk. Dia berjalan setengah langkah di depan Aster. Mereka menuju mobil Amar yang terparkir di sebelah pagar rumah. "Kamu nggak pamit adik kamu dulu?" tanya Amar. "Oh, iya. Bentar, aku bilang Panji," jawab Aster. Aster berlari masuk ke warung. Dia menghampiri Panji yang tengah mencatat pesanan. Tanpa berlama - lama, Aster memberitahu kalau dia hendak pergi. "Ya, Mbak. Hati hati! Jangan kemaleman," sahut Panji. Setelah itu, Aster berjalan cepat kembali pada Amar. Dia merasa sungkan membuat Amar menunggu. Untung saja Amar tidak menunjukkan keberatan. Keduanya pun duduk santai di mobil. Amar menyetir secara baik dan lembut. Tiada goncangan dan kecanggungan. "Apa ini, Mar?" tanya Aster ketika mereka sampai di tujuan. Sebuah kafe bertema makanan sehat. Namun tetap berjiwa muda dan kearifan lokal. Kata Amar kafe tersebut sudah dua tahun berdiri. Pemiliknya wali murid tempat Amar mengajar. "Kamu kan suka makan makanan dengan perhitungan kalori jelas. Plus, masih ada kopi. Ada yang non dairy," beritahu Amar. "Ya ampun, Mar. Masih ingat saja kamu. Tapi, kamu doyan nggak? Ntar malah kamu yang susah makannya. Tempat lain nggak apa - apa lho," ujar Aster. "Tenang. Aku masih doyan kok. Banyak pilihan. Aku kan pemakan segala," kelakar Amar. Keduanya pun menuju meja yang masih kosong. Pesanan masing - masing juga dicatat pelayan. Sambil menunggu jadi, keduanya kembali bercakap - cakap ringan. "Aku kok belum dengar kamu kirim undangan ke rumah ya, As?" "Memang belum, Mar. Aku belum menikah. Jangan - jangan kamu nih, udah nikah tapi nggak undang - undang." "Nggak lah. Kalau aku nikah, jelas bakal undang kamu. Cuman, aku juga belum menikah. Bingung mau kirim undangan apa." "Oh, ya. Gimana kabar Santi? Bukannya kalian masih lanjut?" "Lanjut ke jalan masing - masing. Dia sudah nikah. Anaknya sudah dua pun." "Duh, maaf, maaf. Belum mau susul? Anak dua lho." "Belum, As. Belum ada yang mau diajak nyusul." "Ah, iya." Keduanya lantas terdiam. Minuman datang lebih awal. Aster memesan es kopi tentu saja. Dia pun mengatasi pergantian tema dengan menyeruput minumannya. "Kamu ada pacar?" tanya Amar lembut. Namun membuat Aster tersedak. Dia terbatuk batuk. Entah mengapa pertanyaan polos semacam itu begitu menusuk dada. ~bersambung"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.