Perasaan Seorang AnakKedua gadis kecil itu masuk ke dalam rumah, dengan saling bergandeng tangan. Sementara aku, kembali duduk di kursi tanpa ada yang meminta."Siapa sebetulnya wanita ini, Mas?" tanyaku langsung. Jari telunjukku mengarah pada wanita bernama Diniarti itu.Mas Irwan yang masih berdiri bersisian dengan wanita itu, hanya diam menunduk. Begitupun dengan wanita di sampingnya, seolah menunggu Mas Irwan membuka mulut."Siapa kamu sebenarnya? Apa benar, hanya saudara? Saudara dari mana?" cecarku, kali ini bertanya pada Diniarti."Aku ... aku, memang saudara Mas Irwan, Mbak.""Bohong! Mana ada saudara yang memusuhi istri saudaranya." Aku terpaksa berdiri di hadapan mereka, melipat tangan di depan dada. Rasa ingin memaki begitu besar. Namun sekali lagi, ada Allisya yang harus kujaga perasaannya."Si--siapa yang memusuhi Mbak Nadia? Saya gak merasa sedang memusuhi siapa pun," cicitnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar."Tadi siang, ibu dari wanita ini sudah memaksaku un
Kepulangan IrwanPoV NadiaOtakku terasa diperas habis untuk memikirkan ini. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi pengkhianat.Tok tok tok!"Nadia, ini Mas, Sayang."Sontak aku menoleh ke arah jendela yang diketuk dari luar. Mas Irwan datang. Bagaimana dia bisa melewati pagar yang sudah aku kunci?Kamar kami memang berada paling depan. Wajar saja jika dia bisa mengetuk jendela ini dari luar. Gegas kuhampiri gorden yang tertutup rapat, mengintainya dari dalam kamar. Benar, Mas Irwan di luar.Mau tak mau, kuhampiri pria yang sebetulnya hingga kini masih mengisi hatiku. Hanya saja, cinta yang kupunya kini sudah berbaur dengan kekecewaan."Ada apa lagi, Mas?" tanyaku, tak mau menatap wajahnya yang terlihat mengenaskan.Tiba-tiba saja, pria itu luruh ke atas lantai, bersimpuh di kakiku. Kubiarkan saja, toh, aku tidak memintanya."Maafkan Mas, Sayang. Mas sudah berbohong padamu," ucapnya dibarengi dengan tangis memilukan.Oh, Allah ... benarkah ini. Lelakiku
Sebuah PengakuanPoV Irwan"Nadia ... Mas mohon, bertahanlah. Setidaknya, sampai bayi dalam kandungan Dini lahir," mohonku pada istri yang amat kucintai.Tatapan tajamnya kini berubah menjadi sebuah keheranan. Aku tahu, Nadia pasti bingung dengan semua yang kuucapkan."Mas janji, setelah bayi itu lahir, Mas akan bertindak tegas." Kusambung ucapan ambigu yang membingungkannya."Ada apa dengan bayi itu, Mas? Apa dia ... bukan anakmu?" Nadia sepertinya sangat sedikit syok. Ia terduduk di atas kursi, lantas segera kudekati dan bersimpuh di kakinya.Sungguh, aku rela jika ia memintaku untuk mencium kedua kakinya. Bukan hanya sekadar soal harta, tetapi juga cinta yang kupunya untuknya dan Allisya. Meski aku sangat sadar akan kesalahanku, tetapi aku sangat berharap Nadia mau memaafkanku."Mas yakin, bayi itu bukan anak Mas. Jadi, lima bulan lalu, Mas pernah tugas di Bogor ..."Malam itu, aku bertemu lagi dengan Diniarti yang kebetulan memang wanita yang pernah kucinta semasa SMA dulu. Tak te
Pria di Makam PapaPoV Nadia"Maafkan, Mas," ulangnya untuk ke sekian kali. Dada ini terasa sangat perih, nyerinya sampai ke seluruh tubuh setelah mendengar penjelasan Mas Irwan.Tak apa, setidaknya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi melalui mulut Mas Irwan langsung. Namun untuk mengulang kisah yang sama, rasanya aku tak akan sanggup."Aku akan coba memaafkan, Mas.""Benarkah? Terima kasih, Sayang,"sambar Mas Irwan, berdiri dari duduk simpuhnya hendak memeluk tubuhku. Terpaksa, aku hanya bisa mendorongnya daripada menerima pelukannya. Belum rela rasanya, tubuh ini kubiarkan berada dalam dekapnya.Ya, dulu memang hanya dekapannya yang mampu membawaku pada suatu kedamaian, setelah kepergian Papa. Tapi sekarang, kuyakin pelukan itu hanya akan membawaku pada kehancuran."Sekarang pulanglah ke rumah istri sirrimu. Karena aku tidak sanggup lagi menjadi bagian dalam hidupmu. Aku menyerah, tetapi bukan untuk menyerahkan semuanya.""Kenapa begitu, Sayang? Mas mohon, beri Mas kesempatan satu
PoV Nadia"Al, cantik. Mama boleh minta tolong, gak, Sayang?" Gegas kututupi arah pandang Allisya dari pria yang ada di dekat nisan Papaku."Apa, Ma?" Gadis yang sejak tadi murung, menjawab tanpa semangat."Ambilkan tisyu di mobil, ya. Ini kuncinya." Kuberikan kunci mobil pada Allisya. Bukan aku tak khawatir pada gadis kecilku. Hanya saja, ada hal yang harus kulakukan. Biasanya, Allisya akan sangat suka jika kuminta membuka kunci mobil. Lagi pula, aku masih bisa memerhatikannya dari tempatku berada, yang memang tidak jauh dari parkiran.Benar saja, gadis itu segera melengkungkan senyuman seraya menyambar kunci mobil dari tanganku. Selangkah Allisya meninggalkanku, secepat kilat kusambar ponsel dari dalam tas.Bersembunyi di balik rumput ilalang, kunyalakan kamera pada ponselku untuk merekam pergerakan dan ucapan pria berkacamata hitam itu yang sengaja dibeli sepasang dengan milikku."Pa, maafkan Irwan. Tadinya, Irwan sama sekali tidak menyesali ini. Tapi sekarang, rasanya semua yang s
Pasca KecelakaanPoV AuthorSeorang anak perempuan tengah menangis di samping tempat tidur sang Ibu yang kini masih belum sadarkan diri."Mama, bangun, Ma. Al minta maaf, sudah buat Mama nabrak," lirih sang anak merasa bersalah. Pasalnya, sebelum kejadian kecelakaan itu, dirinya baru saja membuat sang Ibu lepas konsentrasinya."Tenang, Cantik. Mama kamu baik-baik saja. Mungkin sebentar lagi Mama sadar," rayu seorang pria seusia Kakek Allisya."Opa serius?" tanya Allisya, menatap pria tersebut tanpa menghapus jejak air mata di wajahnya."Iya. Tenang, ya. Opa juga gak akan ninggalin kamu, sampe Mama diperbolehkan pulang," terang pria tersebut, kembali menarik Allisya ke atas pangkuannya, sebab tadi anak itu sempat tak mau dipangku.Sementara itu, Nadia perlahan membuka matanya. Dilihat sekeliling ruangan tersebut dan ia segera ingat akan kejadian yang baru saja menimpanya."Pak Adnan? Al, Sayang?" panggilnya setengah bertanya, mengapa Pak Adnan ada di sana."Mama!" Allisya segera turun
"Gampang. Gue cuma bilang, polisi saat ini sedang mencari wanita hamil yang katanya ingin merampas resto milik kakak madunya. Dan asal kamu tau, resto ini sekarang sudah dijual ke saya. Udah, gitu doang," jelas Tania seraya terkekeh jahil.Aku tertawa puas. Tidak salah aku memilih salah satu teman yang terkenal bawel dan galak itu, untuk mengurus restoran yang selalu jadi incaran Mas Irwan."Hebat, deh, Lo, pokoknya. Ya, udah. Pokoknya, jangan sampe lengah. Oke?""Siap, Bos.""Makasih ya, Tan.""Gue yang makasih, udah dikasih kerjaan meskipun mendadak banget. Gi_la, subuh-subuh udah ditelpon suruh megang resto. Antara girang sama kaget, sampe bikin gue setengah blo_on, tau, gak!" "Sorry, sorry!" Aku terkekeh lagi mendengar ucapan sahabat ketika kami kuliah dulu.Lupa waktu saking asik tertawa mendengar celoteh teman yang sampai saat ini masih belum menikah itu. Meski begitu, Tania lah orang yang paling bisa dipercaya sejak masih jaman kuliah dulu.**Aku yang tidak pernah melepas hij
Cara Terbaik Mengusir Tikus GotPoV Nadia"Nadia, Mas mohon. Kita baikan, ya. Ijinkan Mas pulang ke sini. Mas yakin, tidak hanya Allisya yang membutuhkan sosok seorang Papa, tetapi kamu juga. Kamu butuh bahu untuk bersandar, Sayang. Kamu butuh sosok laki-laki sebagai suamimu," mohonnya, bersimpuh di kakiku.Benar-benar tak tahu diri. Pura-pura amnesia dengan segala dosa-dosanya. "Baikan kamu bilang? Oke, aku mau. Tapi__""Tapi apa, Sayang? Mas janji, akan turuti apa pun keinginanmu," sambarnya, menarik-narik tanganku seperti anak kecil yang mengajak ke tempat permainan.Kuhempas kasar tangan itu, bahkan menghentakkan kaki agar ia menjauh dari kakiku."Kembalikan kedua wanita itu ke tempat asalnya, tanpa ada jejak apa pun di masa depan. Bisa?" tanyaku, seraya menunjuk ke arah wanita tua tersebut.Mas Irwan menoleh ke arah mertuanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia lantas mendongak ke arahku, "Bisa. Mas bisa kembalikan mereka ke asalnya, tanpa jejak apa pun. Mas janji, akan cerai