Share

Bab 3 - Oleh-oleh

"Siapa wanita hamil yang tadi memarahi kalian?" ulangku dengan nada sedikit meningkat.

Tak hanya Dennis, tetapi hampir seluruh karywan restoran ini pura-pura menyibukkan diri, sepertinya enggan menjawab pertanyaanku.

"Hey, aku ini pemilik restoran ini dan mengapa kalian tak ada yang mau menjawab, satu pun?" tegasku. Kesal juga rasanya, diabaikan seperti ini.

Waktuku tidak banyak, karena Allisya sudah pasti mencariku jika terlalu lama menunggu.

Aku melangkah, mendekati salah satu koki baru yang sepertinya tidak sedang memasak. Tetapi, dia seperti sibuk sekali membereskan sayuran yang tadi sudah selesai digunakannya.

"Katakan pada saya, siapa wanita tadi?"

Pria yang usianya di atasku itu, hanya diam menunduk. "Oke, saya pecat kalian jika tidak ada yang mau bicara!" ancamku.

"Jangan, Bu. Maafkan kami," ucap beberapa pramusaji wanita.

"Cepatlah. Saya tidak akan katakan pada siapa pun, apa yang kalian katakan padaku."

"Tapi, Bu. Kami sudah berjanji tidak akan bicara pada Ibu," ujar Nining, salah satu pramusaji terlama di resto ini.

"Hmm!" Aku menghela napas berat. "Baik. Siapa yang melarang kalian mengatakannya padaku?"

Geram sekali rasanya. Mereka semua kebanyakan wanita, tapi mengapa tak satu pun yang mendukungku. Mengapa mereka justeru terlihat seperti menutupinya dariku.

"Kalian hanya diminta untuk tidak bicara tentang wanita itu padaku, bukan? Tidak ada yang melarang untuk tidak mengatakan, siapa yang menyuruh kalian seperti ini? Jadi, cepat katakan, siapa yang melarangnya?" tegasku lagi. Sesekali aku menoleh ke arah meja Allisya. Aku tidak mau anak semata wayangku melihat apa yang sedang kulakukan pada karyawan di sini.

"I-iya, Bu. Tapi, apa kami semua akan dipecat?"

"Tentu saja! Saya tidak takut kehilangan karyawan yang tidak bisa mengerti perasaan seorang wanita. Perasaan seorang istri. Perasaan seorang Ibu!" tekanku.

"Baik, Bu, kami akan katakan siapa yang melarang kami bicara. Tapi kami mohon, jangan pecat kami, Bu." Nining tetap menjadi pembicara di antara yang lainnya, yang hanya sesekali berbisik padanya.

"Oke. Cepatlah!"

"Bapak yang melarang kami mengatakan tentang wanita hamil tadi, Bu. Kami mohon, jangan pecat kami, Bu."

Aku mengangguk paham. Mas Irwan yang melarang mereka mengatakannya padaku. Tanpa dijawab pun, agaknya hati ini sudah sangat paham dengan apa yang telah terjadi.

Tega kamu, Mas!

Kehamilan wanita itu sudah besar. Artinya, sudah cukup lama Mas Irwan berbuat hal tak sepantasnya di belakangku. Awas saja kamu, Mas!

"Mama!" teriak Allisya mengejutkan aku. Sontak saja aku menoleh padanya yang tiba-tiba sudah siap menghambur memelukku.

"Ya Allah, Nak. Bikin kaget saja. Ada apa?"

"Mama lama sekali? Al takut," katanya, terus memeluk pinggangku.

"Gak pa-pa, Sayang. Di sini aman." Kuusap lembut rambut hitamnya, hingga ia merasa nyaman.

"Ingat! Jangan katakan apa pun pada Bapak. Jika dia bertanya tentang saya, katakan saja saya hanya makan di sini. Dan jangan katakan bahwa saya sudah bertemu dengan wanita itu." Aku memicingkan mata, mengancam ke semuanya tentang yang terjadi siang ini.

"Baik, Bu, kami janji."

"Saya pegang janji kalian. Jika kalian punya hati, sepatutnya kalian lebih mengerti diriku."

Aku segera beralih ke ruangan khusus Mas Irwan. Tidak kuduga, pintunya terkunci.

"Di mana kuncinya?" tanyaku pada Hana, yang kebetulan ada di dekatku.

Hana memang anak baru di resto ini. Ia menoleh pada seniornya, seolah meminta pendapat untuk menjawab pertanyaanku.

Nining mendekat ke arahku, tetap menunduk seperti menahan rasa takutnya. "Maaf, Bu. Kuncinya dibawa oleh Ibu Rita," ujarnya.

Aku mengernyit. Apa, wanita itu bernama Rita?

"Siapa Rita?" tanyaku lagi, mencoba lebih tenang sebab ada Allisya di sampingku.

"An-anu, Bu. Yang tadi. Ibunya namanya Bu Rita."

Aku mengangguk lagi. Jadi, wanita setengah baya itu yang bernama Rita.

"Tulis nomor teleponmu di sini." Kuberikan ponsel dengan tampilan papan ketika telepon, untuk memudahkan Nining menulis nomornya. Sebetulnya aku ingin bertanya banyak tentang wanita hamil itu, paling tidak, namanya saja. Tetapi, aku tidak ingin rasa penasaran Allisya akan membawaku pada kesulitan.

Aku harus bisa menyelidiki ini sendiri, meski sulit harus kudapatkan. 

"Ada apa, sih, Ma? Kita masuk aja, yuk!" ajak Allisya, menunjuk ke ruangan khusus milik Papanya. Karena biasanya pun, anak gadisku selalu dibebaskan masuk ke dalam sana asalkan ada aku atau Papanya.

"Gak bisa, Sayang. Pintunya dikunci dan dibawa oleh sekretaris Papa yang baru." Aku mencoba menjelaskannya pada Allisya, agar gadis kecilku tak memaksa masuk. Di dalam sana, ada beberapa boneka barbie kesayangannya. Pasti Allisya rindu pada boneka-boneka itu.

"Yaaah ... kita pulang saja, Ma, Al ngantuk. Biasanya, bisa bobo di dalam sana," tunjuknya ke arah pintu bertuliskan 'Owner' itu.

"Ya, sudah. Kita pulang saja." Kugamit jemari kecil itu menuju keluar restoran, setelah mendapatkan kembali ponselku yang tadi Nining gunakan untuk menyimpan nomor teleponnya.

Aku mengedipkan mata ke arah Nining, berharap gadis itu berpihak padaku dan tidak akan membocorkan ini pada Mas Irwan maupun wanita itu.

Sepanjang perjalanan pulang, hati ini merasakan panas yang teramat. Pantas saja, dua bulan ini Mas Irwan tidak pernah mau mengijinkan aku datang ke sini. Padahal, jarak dengan rumah kami pun tidak terlalu jauh. Bo_dohnya, aku juga tidak curiga sedikitpun. Malah terlena dengan kesibukan baru yang Mas Irwan beri.

Ya, dua bulan ini Mas Irwan memintaku menjadi direktur di aplikasi pesan antar yang ia buat untuk memudahkan pelayanan melalui laman internet, bagi para costumer yang tidak sempat datang ke restoran kami.

Jika dibandingkan dengan omset penjualan secara offline, tentu saja lebih banyak omset secara online dalam aplikasi yang kupegang. Aku sendiri tidak tahu penyebabnya apa. Tapi yang jelas, pencapaian di aplikasi semakin meningkat dalam dua bulan ini, sejak dua tahun lalu Mas Irwan buat.

Tak hanya di aplikasi yang dibuat khusus, kami juga membuka kedai online di beberapa layanan pesan antar lainnya, seperti pada layanan ojek online yang juga menyediakan pesan antar berbagai makanan.

"Nak, mama boleh minta tolong?" ucapku pada Allisya, ketika kami sudah berada di dalam mobil menuju pulang.

"Apa, Ma?"

"Jangan bilang sama Papa, kalo Mama tadi ngobrol di dapur sama pekerja restoran kita, ya."

"Emang kenapa?"

"Gak pa-pa. Soalnya ... Om Badrun gak masuk. Takut Papa jadi marah sama Om Badrun," bohongku. Untung saja aku tiba-tiba ingat pada Badrun.

"Oke, Ma."

Ah, syukurlah. Semoga saja, Allisya bisa menjaga ucapannya.

Kami sampai di rumah tepat jam dua siang. Gegas kubereskan surat-surat pemeriksaan di rumah sakit tadi. Sepertinya, tidak perlu kuceritakan hal ini juga pada Mas Irwan. Lebih baik kisimpan di tempat yang aman.

Ponselku berdering, panggilan dari Mas Irwan. Panjang umur, batinku, seraya meraih benda pipih itu dan menempelkannya ke telinga.

"Assalamu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikumussalam. Sudah pulang?"

"Sudah. Baru aja sampe. Ada apa?"

"Mas juga sudah mau pulang. Mau dubelikan oleh-oleh apa?" tawarnya.

"Seperti biasa aja, Mas. Kue bandros Bandung, ya." Kutekan nada bicaraku agar tetap terdengar biasa saja. Jangan sampai lelakiku mencurigai apa yang sedang ku-curigai darinya.

"Siap, Bos. Allisya mau apa, ya?"

"Bolu susu aja, kayak biasa," jawabku.

**

Jam sembilan malam, Mas Irwan sudah sampai di rumah. Ini tidak biasa, karena biasanya ia akan sampai ke rumah menjelang dini hari. Paling cepat tengah malam.

Suamiku itu mengucap salam dengan ceria, sepertinya ingin disambut ceria pula. Kuikuti maunya, menjawab salam itu tak kalah manis. Allisya yang kebetulan belum tidur, menghambur ke pelukan sang Papa.

"Nih, oleh-oleh buat kalian." Mas Irwan memberikan dua buah papper bag ke arahku dan segera kubawa masuk ke dalam dapur, berniat untuk menyajikannya.

"Hah? Kenapa isinya bolen pisan dan beberapa macam kue kering?" gumamku. Kubuka lagi papper bag satunya. "Wajik? Di mana pesananku?"

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status