"Siapa wanita hamil yang tadi memarahi kalian?" ulangku dengan nada sedikit meningkat.
Tak hanya Dennis, tetapi hampir seluruh karywan restoran ini pura-pura menyibukkan diri, sepertinya enggan menjawab pertanyaanku."Hey, aku ini pemilik restoran ini dan mengapa kalian tak ada yang mau menjawab, satu pun?" tegasku. Kesal juga rasanya, diabaikan seperti ini.Waktuku tidak banyak, karena Allisya sudah pasti mencariku jika terlalu lama menunggu.Aku melangkah, mendekati salah satu koki baru yang sepertinya tidak sedang memasak. Tetapi, dia seperti sibuk sekali membereskan sayuran yang tadi sudah selesai digunakannya."Katakan pada saya, siapa wanita tadi?"Pria yang usianya di atasku itu, hanya diam menunduk. "Oke, saya pecat kalian jika tidak ada yang mau bicara!" ancamku."Jangan, Bu. Maafkan kami," ucap beberapa pramusaji wanita."Cepatlah. Saya tidak akan katakan pada siapa pun, apa yang kalian katakan padaku.""Tapi, Bu. Kami sudah berjanji tidak akan bicara pada Ibu," ujar Nining, salah satu pramusaji terlama di resto ini."Hmm!" Aku menghela napas berat. "Baik. Siapa yang melarang kalian mengatakannya padaku?"Geram sekali rasanya. Mereka semua kebanyakan wanita, tapi mengapa tak satu pun yang mendukungku. Mengapa mereka justeru terlihat seperti menutupinya dariku."Kalian hanya diminta untuk tidak bicara tentang wanita itu padaku, bukan? Tidak ada yang melarang untuk tidak mengatakan, siapa yang menyuruh kalian seperti ini? Jadi, cepat katakan, siapa yang melarangnya?" tegasku lagi. Sesekali aku menoleh ke arah meja Allisya. Aku tidak mau anak semata wayangku melihat apa yang sedang kulakukan pada karyawan di sini."I-iya, Bu. Tapi, apa kami semua akan dipecat?""Tentu saja! Saya tidak takut kehilangan karyawan yang tidak bisa mengerti perasaan seorang wanita. Perasaan seorang istri. Perasaan seorang Ibu!" tekanku."Baik, Bu, kami akan katakan siapa yang melarang kami bicara. Tapi kami mohon, jangan pecat kami, Bu." Nining tetap menjadi pembicara di antara yang lainnya, yang hanya sesekali berbisik padanya."Oke. Cepatlah!""Bapak yang melarang kami mengatakan tentang wanita hamil tadi, Bu. Kami mohon, jangan pecat kami, Bu."Aku mengangguk paham. Mas Irwan yang melarang mereka mengatakannya padaku. Tanpa dijawab pun, agaknya hati ini sudah sangat paham dengan apa yang telah terjadi.Tega kamu, Mas!Kehamilan wanita itu sudah besar. Artinya, sudah cukup lama Mas Irwan berbuat hal tak sepantasnya di belakangku. Awas saja kamu, Mas!"Mama!" teriak Allisya mengejutkan aku. Sontak saja aku menoleh padanya yang tiba-tiba sudah siap menghambur memelukku."Ya Allah, Nak. Bikin kaget saja. Ada apa?""Mama lama sekali? Al takut," katanya, terus memeluk pinggangku."Gak pa-pa, Sayang. Di sini aman." Kuusap lembut rambut hitamnya, hingga ia merasa nyaman."Ingat! Jangan katakan apa pun pada Bapak. Jika dia bertanya tentang saya, katakan saja saya hanya makan di sini. Dan jangan katakan bahwa saya sudah bertemu dengan wanita itu." Aku memicingkan mata, mengancam ke semuanya tentang yang terjadi siang ini."Baik, Bu, kami janji.""Saya pegang janji kalian. Jika kalian punya hati, sepatutnya kalian lebih mengerti diriku."Aku segera beralih ke ruangan khusus Mas Irwan. Tidak kuduga, pintunya terkunci."Di mana kuncinya?" tanyaku pada Hana, yang kebetulan ada di dekatku.Hana memang anak baru di resto ini. Ia menoleh pada seniornya, seolah meminta pendapat untuk menjawab pertanyaanku.Nining mendekat ke arahku, tetap menunduk seperti menahan rasa takutnya. "Maaf, Bu. Kuncinya dibawa oleh Ibu Rita," ujarnya.Aku mengernyit. Apa, wanita itu bernama Rita?"Siapa Rita?" tanyaku lagi, mencoba lebih tenang sebab ada Allisya di sampingku."An-anu, Bu. Yang tadi. Ibunya namanya Bu Rita."Aku mengangguk lagi. Jadi, wanita setengah baya itu yang bernama Rita."Tulis nomor teleponmu di sini." Kuberikan ponsel dengan tampilan papan ketika telepon, untuk memudahkan Nining menulis nomornya. Sebetulnya aku ingin bertanya banyak tentang wanita hamil itu, paling tidak, namanya saja. Tetapi, aku tidak ingin rasa penasaran Allisya akan membawaku pada kesulitan.Aku harus bisa menyelidiki ini sendiri, meski sulit harus kudapatkan. "Ada apa, sih, Ma? Kita masuk aja, yuk!" ajak Allisya, menunjuk ke ruangan khusus milik Papanya. Karena biasanya pun, anak gadisku selalu dibebaskan masuk ke dalam sana asalkan ada aku atau Papanya."Gak bisa, Sayang. Pintunya dikunci dan dibawa oleh sekretaris Papa yang baru." Aku mencoba menjelaskannya pada Allisya, agar gadis kecilku tak memaksa masuk. Di dalam sana, ada beberapa boneka barbie kesayangannya. Pasti Allisya rindu pada boneka-boneka itu."Yaaah ... kita pulang saja, Ma, Al ngantuk. Biasanya, bisa bobo di dalam sana," tunjuknya ke arah pintu bertuliskan 'Owner' itu."Ya, sudah. Kita pulang saja." Kugamit jemari kecil itu menuju keluar restoran, setelah mendapatkan kembali ponselku yang tadi Nining gunakan untuk menyimpan nomor teleponnya.Aku mengedipkan mata ke arah Nining, berharap gadis itu berpihak padaku dan tidak akan membocorkan ini pada Mas Irwan maupun wanita itu.Sepanjang perjalanan pulang, hati ini merasakan panas yang teramat. Pantas saja, dua bulan ini Mas Irwan tidak pernah mau mengijinkan aku datang ke sini. Padahal, jarak dengan rumah kami pun tidak terlalu jauh. Bo_dohnya, aku juga tidak curiga sedikitpun. Malah terlena dengan kesibukan baru yang Mas Irwan beri.Ya, dua bulan ini Mas Irwan memintaku menjadi direktur di aplikasi pesan antar yang ia buat untuk memudahkan pelayanan melalui laman internet, bagi para costumer yang tidak sempat datang ke restoran kami.Jika dibandingkan dengan omset penjualan secara offline, tentu saja lebih banyak omset secara online dalam aplikasi yang kupegang. Aku sendiri tidak tahu penyebabnya apa. Tapi yang jelas, pencapaian di aplikasi semakin meningkat dalam dua bulan ini, sejak dua tahun lalu Mas Irwan buat.Tak hanya di aplikasi yang dibuat khusus, kami juga membuka kedai online di beberapa layanan pesan antar lainnya, seperti pada layanan ojek online yang juga menyediakan pesan antar berbagai makanan."Nak, mama boleh minta tolong?" ucapku pada Allisya, ketika kami sudah berada di dalam mobil menuju pulang."Apa, Ma?""Jangan bilang sama Papa, kalo Mama tadi ngobrol di dapur sama pekerja restoran kita, ya.""Emang kenapa?""Gak pa-pa. Soalnya ... Om Badrun gak masuk. Takut Papa jadi marah sama Om Badrun," bohongku. Untung saja aku tiba-tiba ingat pada Badrun."Oke, Ma."Ah, syukurlah. Semoga saja, Allisya bisa menjaga ucapannya.Kami sampai di rumah tepat jam dua siang. Gegas kubereskan surat-surat pemeriksaan di rumah sakit tadi. Sepertinya, tidak perlu kuceritakan hal ini juga pada Mas Irwan. Lebih baik kisimpan di tempat yang aman.Ponselku berdering, panggilan dari Mas Irwan. Panjang umur, batinku, seraya meraih benda pipih itu dan menempelkannya ke telinga."Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumussalam. Sudah pulang?""Sudah. Baru aja sampe. Ada apa?""Mas juga sudah mau pulang. Mau dubelikan oleh-oleh apa?" tawarnya."Seperti biasa aja, Mas. Kue bandros Bandung, ya." Kutekan nada bicaraku agar tetap terdengar biasa saja. Jangan sampai lelakiku mencurigai apa yang sedang ku-curigai darinya."Siap, Bos. Allisya mau apa, ya?""Bolu susu aja, kayak biasa," jawabku.**Jam sembilan malam, Mas Irwan sudah sampai di rumah. Ini tidak biasa, karena biasanya ia akan sampai ke rumah menjelang dini hari. Paling cepat tengah malam.Suamiku itu mengucap salam dengan ceria, sepertinya ingin disambut ceria pula. Kuikuti maunya, menjawab salam itu tak kalah manis. Allisya yang kebetulan belum tidur, menghambur ke pelukan sang Papa."Nih, oleh-oleh buat kalian." Mas Irwan memberikan dua buah papper bag ke arahku dan segera kubawa masuk ke dalam dapur, berniat untuk menyajikannya."Hah? Kenapa isinya bolen pisan dan beberapa macam kue kering?" gumamku. Kubuka lagi papper bag satunya. "Wajik? Di mana pesananku?"Bersambung ...Pikiranku mulai bercabang ke arah yang berbeda-beda. Apa maksud dari oleh-oleh yang suamiku bawa malam ini.Aku tidak akan menanyakannya. Aku ingin melihat reaksinya saat melihat oleh-oleh ini sudah tersaji di meja.Aku mendekati Allisya yang sepertinya sudah sangat mengantuk. Gadis kecilku itu masih saja asik menonton video di ponselnya. Gegas kuambil ponsel itu, lalu memintanya untuk segera ke kamar."Sudah malam, Sayang." "Ah, Mama ... masih seru," rengeknya."Besok lagi. Kalau ngeyel, hapenya Mama sita selama sebulan. Mau?""Iya, deh, iya. Tapi Al belum nyicip bolu susunya," alasannya lagi. Aku tahu, gadis cantikku ini sebetulnya merasa berat melepaskan ponsel di tanganku."Kayak belum pernah aja. Papa mandi?" tanyaku setelah mengejeknya sejenak."Iya, Ma.""Ya, udah. Allisya yang cantik, bobo aja dulu. Udah jam sembilan lebih. Besok sekolah," rayuku, menundukkan wajah ke arahnya yang masuh betah duduk bersila di atas sofa."Nunggu Papa, boleh, ya. Al mau disuapin makan bolu susu
Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.Kuambil ponsel di dalam tas, mengetik pesan yang akan kukirim pada Nining.[Di mana Bapak?]Lama pesanku tak terbaca oleh Nining. Aku semakin gusar, karena waktu semakin berjalan. Allisya harus segera dijemput kurang dari satu jam lagi. Sementara aku belum bertindak apa-apa. Yang ada, semua mata seolah ingin menelisik penampilanku yang menarik perhatian. His, salah kostum, batinku.Ponsel dalam genggaman bergetar, segera kubuka pola kuncinya.[Bapak ke Tangerang, Bu. Memangnya tidak bilang?] balas Nining. Aku tersenyum kecut. Mas Irwan pergi ke Tangerang tanpa meminta ijin padaku, yang jelas-jelas adalah istri sahnya. Siapa yang sudah mendapat permintaan ijinmu sekarang, Mas? bantinku terasa pilu.Di Tangerang sana, memang ada cabang pertama restoran ini. Tak heran jika ia sibuk bolak-balik Jakarta-Tangerang. Hanya saja, biasanya ia akan mengirim pesan padaku sebelum berangkat.[Tidak.] Aku membalas singkat pesan balasan dari Ni
Gadis Kecil Teman AnakkuApa? Gak mungkin! Semua berkas kepemilikan tanah dan bangunan masih atas namaku, serta surat-surat penting lain yang digunakan untuk bahan persyaratan izin usaha restoran masih atas nama Mas Irwan sebagai Direktur utamanya.Jadi ... apa yang wanita itu maskud dengan, "Saya pemilik restoran ini?"Atau jangan-jangan, benar wanita itu adalah istri kedua Mas Irwan yang merasa sudah menjadi bos di restoku? Aarrgh! Kepalaku serasa mau pecah, memikirkan ini semua.Mulanya, aku sempat berpikir jika usaha kami sudah berpindah tangan ke tangan wanita itu. Jujur, aku masih berharap usahaku saja yang berpindah tangan, bukan hati suamiku.Jika begini buktinya, apa yang harus kuperbuat. Kukira, Mas Irwan telah menjualnya pada orang lain, sehingga ia lebih sibuk di resto cabang yang memang tidak memiliki bangunan atas nama sendiri, meliankan sewa.Apa benar, suamiku telah berkhianat dan memberikan restoran itu pada wanita hamil itu, sebagai hadiah mungkin?Masalah satu belum
Siapa Gadis Kecil Itu, Sebenarnya?Kami berputar di gang komplek bagian belakang, yang nyaris tak pernah kulewati. Allisya menunjukkan arah setiap kali kami menemukan perempatan.Jauh juga ternyata. Mengapa Khiara lebih suka main di taman tadi, sementara taman di gang belakang pun ada."Ini rumahnya, Ma!" teriak Allisya, ketika aku hampir melewati rumah yang bangunannya sama semua."No. 28?" tanyaku untuk memastikan."Iya, Ma. Itu Khiara!" tunjuknya pada gadis kecil tadi tang baru saja masuk ke halaman samping rumahnya."Khiara!" panggil Allisya tak sabar. Suaranya memekik, membuat gadis kecil itu lantas menoleh ke arah kami berdiri.Khiara berlari ke arah kami masih dengan wajah cemberutnya. "Ada apa, Tan?" tanyanya.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebab ada Allisya yang akan menjelaskan."Aku mau pinjamin sepeda ini buat kamu. Nanti, Mamaku yang ambil kembali ke sini," jelas Allisya dengan lembut."Memangnya, aku enggak boleh, ya, antar sendiri ke rumahmu?" tanya gadis itu se
AktingEnggak! Aku tidak terima. Usia Khiara dua tahun di atas anakku. Tidak mungkin Mas Irwan menikahiku setelah menikah dengan wanita itu. Jika benar, artinya aku si pe_la_kor itu? Enggak! Enggak mungkin!"Gak mungkin!" ucapku sedikit lirih, seraya menjambak rambutku yang memang kubiarkan tanpa penutup. Jika di dalam rumah, aku selalu menanggalkan hijabku."Mama kenapa?" tanya Allisya bagai udara yang menguap begitu saja.Bayangan bahagia di hari pernikahan kami kini berputar kembali bagai film yang tersiar di televisi.Mas Irwan bukan berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memang memiliki kemampuan yang sangat baik di bidang tata boga. Kabarnya, Mas Irwan memang sangat ingin menjadi seorang koki. Hal itu terlaksana ketika ia menikahiku. Papa membiayai kuliahnya ke jurusan tata boga, hingga pada akhirnya Mas Irwan menjadi koki terkenal di Ibukota ini.Dua tahun pernikahan kami, saat usia Allisya baru satu tahun, ada seorang teman yang mengajaknya membuka usaha kuliner. Tapi sayan
Sedikit Hukuman"Kok, menjauh?" selidiknya."Aku masih haid!" tukasku."Iya, tau. 'Kan cuma mau peluk," lirihnya."Gak usah. Nanti ujung-ujungnya minta juga. Aku malas debat," ucapku, menarik bed cover dan membawanya ke sofa di kamar kami."Lho, mau ke mana?""Sini. Mas tidur di sini, biar aku di kasur," panggilku setelah menyiapkan bed cover ke atas sofa."Kenapa? Aku gak minta, janji!" Dia mengangkat dua jari ke udara dan aku hanya tersenyum sinis."Gak tau. Bawaannya aku malas tidur seranjang, Mas. Udah, sini. Atau aku tidur di kamar Al?""Oke. Ya, udah, kamu tidur di sini biar Mas di sofa." Pria itu akhirnya beringsut pindah ke sofa dan aku segera pindah ke ranjang kami yang besar.Tatapannya terus saja memindai ke arahku, sepertinya bingung dengan sikapku."Mas kayaknya besok masih harus ke Tangerang, ya. Yang di sini, biar sama Badrun," ucapnya yang sudah mulai memejamkan mata. Aku menoleh bak busur panah yang siap menancap. Mana ada Badrun bunting, Mas! batinku ingin marah."Ok
Semua Aman di Tangan Nadia"Jangan-jangan, kamu sudah mengganti kodenya?" tudingku.Mas Irwan menoleh, bibirnya memaksakan senyuman seraya menggaruk tengkuk."Emm ... iya, Sayang. Bosan aja pake kode lama. Jadi, Mas ganti dengan kode baru," cicitnya masih menggaruk tengkuknya."Bosan, kamu bilang? Itu tanggal pernikahan kita, Mas! Kamu bosan dengan pernikahan kita? Atau jangan-jangan, kamu ganti kode brankas kita dengan tanggal pernikahan keduamu? Iya?" tudingku lagi, tak kuasa menahan gemuruh di dadaku."Sayang ... kamu ngomong apa, sih? Sudah, ah, gak usah dibesar-besarkan. Malu, dilihat Allisya. Lagi pula, kodenya pake tanggal lahir Allisya, kok," desisnya dengan nada nyaris tak terdengar.Apa? Tanggal lahir Allisya? Mengapa kemarin aku tidak terpikir ke sana. Apa aku hanya terlalu mencurigainya saja?Aku tak menjawab lagi. Gegas menyusul Allisya yang sudah duduk menunggu di dalam mobil. Aku bahkan malas mengucap pamit lagi padanya.**Sesampainya di resto, aku tak melihat kehadira
Tertangkap BasahWanita itu menoleh dan seketika membulatkan mata, hingga bibirnya pun terbuka. Tangan kanannya ia angkat untuk menutup bibirnya.Aku tersenyum tipis, lantas terkekeh hingga ia semakin lama semakin memucat."Eh, Ibu. Ma-maaf, saya bukan siapa-siapa. Iya, 'kan, Bu?" jawabnya, tergesah-gesah mencubit lengan Ibunya."Heh, kamu gimana, sih?" bisik sang Ibu seraya membolakan mata. Sementara aku, masih menatap keduanya secara bergantian. Bahkan posisiku masih tetap sama dengan tangan bersilang di depan dada, agar terkesan santai, tetapi mencekam bagi mereka berdua."Kalau bukan siapa-siapa, kenapa harus memarahi koki saya? Mereka sedang bekerja, sedang berusaha memberikan yang terbaik untuk pelanggan kami." Aku mencoba mengomelinya namun tetap dengan nada yang santai."Ka-kami juga laper. Sudah nunggu dari tadi, ya, Bu." Sang anak masih saja menoleh pada Ibunya, seolah mencari dukungan. Tetapi, agaknya sang Ibu tak mau mendukung. Terlihat wanita setengah baya itu justeru mel