Kuperhatikan terus wanita hamil berpakaian ketat itu dari kejauhan. Dari gelagatnya, wanita itu seperti sudah terbiasa berada di sini. Pasalnya, para koki dan pramusaji di sini tidak ada yang berani menjawabnya.
"Ma, laper," rengek Allisya. Gegas kuminta ia untuk diam sebentar, dengan cara menempelkan jari telunjuk di bibir."Mama kenapa, sih?" tanya gadis kecilku sedikit berbisik."Ya, sudah. Kita ke sana aja, yuk. Tapi dipakai maskernya," ajakku, ketika melihat wanita hamil itu seperti hendak menuju ke arahku. Aku bergegas menarik tangan Allisya agar segera duduk di kursi pengunjung.Sayangnya, sudah tidak ada meja yang kosong. "Permisi, saya gabung, ya. Soalnya penuh semua," ucapku pada seorang Ibu dengan anaknya yang kebetulan sebaya dengan Allisya."Oh, silakan, Bu. Kami juga tidak sedang menunggu siapa-siapa." Ibu itu menyambut dengan sangat ramah.Kulirikkan mata ke arah wanita hamil yang kian mendekat. Ia berhenti di samping kasir, berdiri seraya memerhatikan sekeliling restoran ini.Siapa dia? Mengapa gayanya seperti bos saja? batinku bertanya-tanya. Rasanya aku tak tahan ingin menghampirinya dan bertanya tentang statusnya di restoran ini.Enggak! Aku gak boleh asal bertindak, agar tidak ada yang bersiap membohongiku. Sebaiknya, kuselidiki sendiri."Mbak! Lihat meja itu. Berantakan banget. Cepat bersihkan!" suruhnya dengan penuh penekanan, meski suaranya sudah ia tekan agar tidak terlalu keras.Perlahan aku melirik ke arah meja yang tunjuk. Ya ampun! Padahal, pengunjungnya baru saja berdiri hendak keluar. Kalau begini, bisa kesal pengunjungnya, karena merasa diusir."Mama, aku laper," ucap Allisya, menghentakkan kakinya ke lantai. Aku sampai lupa dengan tujuanku datang ke sini."Iya, Sayang." Aku merayunya, gegas memanggil pramusaji yang kebetulan sedang menaruh makanan ke meja lain."Silakan, Bu, ini menunya. Bisa dipilih dulu, lalu langsung disetorkan ke kasir. Terima kasih," ucap sang pramusaji dengan ramah."Terima kasih, Mbak." Kuambil buku menu, dan segera memesankan makanan untuk Allisya."Mama ke kasir dulu, ya." Aku berdiri, berjalan mendekat ke arah wanita yang saat ini sedang berdiri di samping kasir. Dengan ramah, ia menunduk ke arahku seraya melengkungkan senyuman. Meski penasaran, aku membalasnya tak kalah ramah.Sambil menunggu penghitungan, aku sesekali melemparkan pandang ke arah wanita setengah baya di samping wanita hamil itu. Terlihat wanita setengah baya itu berbisik, dengan tatapan mata tertuju ke arahku. Gegas kupalingkan wajah, demi menyembunyikan statusku di sini."Lho, Bu?" Agaknya penjaga kasir mengenaliku. Kukedipkan mata ke arahnya, agar tidak banyak bicara."Terima kasih," ucapku setelah menerima kembali kartu debitku, dan segera melenggang ke arah meja kami.Entah mengapa, aku merasa kedua wanita asing itu sedang memerhatikanku. Duh, memangnya siapa yang asing di restoran ini. Mengapa jadi aku yang mereka perhatikan.Demi menutupi penyamaran ini, aku bersikap layaknya pengunjung. Menunggu dengan ponsel di tangan, berselancar di laman media sosial. Namun, mata ini tetap kuarahkan pada dua wanita asing itu yang agaknya sudah tidak lagi berada di tempat yang sama."Mama nyari siapa, sih? 'Kan Papa gak ada di sini," tanya Allisya. Bocah cantik ini memang memiliki rasa penasaran yang besar, meski dirinya sudah terlibat obrolan dengan anak yang semeja dengan kami."Gak nyari siapa-siapa," ucapku gugup. Memang aku baru saja mengitari restoran ini, mencari keberadaan dua wanita beda usia tadi."Makan, Sayang." Kuberikan makanan yang baru saja diantar pramusaji, sementara sepasang ibu dan anak di samping kami sudah makan lebih dulu.Allisya kegirangan, segera membuka masker dan meraih sendok miliknya."Lho, Neng Allisya? Ibu?" tanya pramusaji, mengenali Allisya usai membuka maskernya."Sst!" Kuulangi hal yang sama seperti pada penjaga kasir tadi. Takutnya, dua wanita itu masih berada di sini."Emm ... anu, Bu__""Kembali ke dalam," ucapku setengah berbisik. Dan beruntungnya, dia mengerti dan segera meninggalkan meja kami."Ibu kenal dengan pelayannya?" tanya ibu yang duduk bersama kami."Ah. I-iya, Bu. Kebetulan kami tetanggaan," jawabku sedikit kaku. Tidak mungkin bukan, harus kukatakan bahwa aku adalah pemilik restoran ini. Bisa gagal penyamaranku untuk menyelidiki dua wanita asing itu.Menunggu Allisya makan, rasanya sangat lama sekali. Beberapa kali aku menoleh ke sekeliling, namun wanita itu tetap tak kutemukan. Di mana mereka berada? tanyaku di dalam hati.Kumainkan ponsel kembali. Mencoba membuka beberapa chat yang belum sempat kubaca. Tadinya, aku juga ingin mengirim pesan pada Mas Irwan, sekadar untuk mengingatkannya makan siang, sekaligus mendalami isi chat yang tadi suamiku kirim saat kami masih di mobil.[Pesan telah dihapus.]Chat terakhir dari Mas Irwan telah ia hapus. Apa dia lupa, jika chat itu sudah bercentang dua warna biru.[Mas, sudah makan?] Kirim. Aku sengaja berbasa-basi, tidak boleh kelihatan mencurigai isi chatnya pagi tadi.[Sudah, Mama sayang. Kamu dan Al sudah makan?] balasnya.[Sudah, Mas.] Kemudian kukirim foto Allisya yang sedang makan di restoran ini. Biar saja, aku ingin lihat bagaimana reaksinya.Tidak berapa lama, Mas Irwan menelepon."Hallo, Mas.""Kamu di resto? Katanya gak jadi," tanya lelaki yang sudah delapan tahun ini menjadi pelindungku."Allisya yang maksa. Dia kangen makan enak di sini, juga sama eskrim terkenal di sini," jelasku. "Oh, begitu. Tapi ... emm.""Apa, Mas?""Oh, gak ada apa-apa. Ya, sudah. Kalian lanjut makan, ya. Aku masih banyak yang harus dicek," pamitnya.Mas Irwan menutup panggilan sebelum kami saling mengucap salam. Dari suaranya, jelas aku mendengar sebuah kegugupan. Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apa yang kau sembunyikan dariku? Batinku terus bertanya-tanya."Mbak! Eskrim sekarang, ya," ucapku pada pramusaji, karena memang sudah kubayar serta eskrim itu, hanya memintanya mengantar nanti saja.Eskrim kesukaan Allisya pun tiba. Gadis kecilku semakin kegirangan, meski makan siangnya belum habis. Aku tersenyum bahagia. Di luar sana, banyak sekali anak yang tidak bisa merasakan makanan enak setiap saat. Aku beruntung, anakku lahir dari keluarga beruntung seperti kami."Mama, kenapa gak makan?" tanyanya, menatapku."Bu, kami permisi duluan, ya."Belum sempat kujawab pertanyaan Allisya, ibu dan anaknya yang duduk di meja yang sama, pamit pulang duluan."Oh, iya, Bu silakan." Dengan ramah kujawab.Bertepatan dengan itu, ekor mataku menangkap dua wanita beda usia itu keluar dari dalam ruang khusus pemilik resto. Mereka terlihat tergesah-gesah hendak keluar dari restoran ini. Aku sampai ngilu, melihat perut buncitnya dibawa jalan cepat.Gegas kutundukkan tubuh ini, pura-pura mengambil sumpit yang sengaja kujatuhkan, ketika mereka hampir melewatiku. Entah mengapa, meski aku tak tahu mereka mengenalku atau tidak, tetap saja aku merasa mereka sedang ketakutan padaku. Hal itu dapat kulihat dari cara mereka saat melintasi mejaku."Sayang, kamu makan eskrim sendiri, gak pa-pa?""Mama mau ke mana?""Mau ke toilet, sebentar. Sudah kebelet," ucapku berpura-pura. Kulirik makananku yang sejak tadi hanya kuaduk-aduk. Tak selera rasanya untuk makan, di saat hati ini tengah diburu rasa aneh."Ya udah. Jangan lama-lama, ya, Ma. Al takut sendirian. Nanti ada yang menculik Al, gimana?" Bawelku terus saja merengutkan wajahnya, padahal, hanya akan ditinggal sebentar saja."Mbak, sudah agak sepi?" Aku memanggil seorang pramusaji yang tengah mengelap meja."Eh, Ibu. Udah agak lengang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?""Temani Allisya sebentar, ya."Aku segera bangun dari duduk, setelah mendapat persetujuan dari pramusaji itu. Langkahku melebar menuju dapur, akan ada banyak orang yang kutanya tentang wanita tadi."Dennis! Siapa wanita yang tadi berani memarahimu?" tanyaku pada salah satu koki yang kebetulan sedang istirahat."A-anu, Bu." Pria muda yang baru satu tahun ini menjadi koki di restoran ini, terlihat sangat gugup.Bersambung ...Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama