Share

Bab 4 - Penyamaran

Pikiranku mulai bercabang ke arah yang berbeda-beda. Apa maksud dari oleh-oleh yang suamiku bawa malam ini.

Aku tidak akan menanyakannya. Aku ingin melihat reaksinya saat melihat oleh-oleh ini sudah tersaji di meja.

Aku mendekati Allisya yang sepertinya sudah sangat mengantuk. Gadis kecilku itu masih saja asik menonton video di ponselnya. Gegas kuambil ponsel itu, lalu memintanya untuk segera ke kamar.

"Sudah malam, Sayang." 

"Ah, Mama ... masih seru," rengeknya.

"Besok lagi. Kalau ngeyel, hapenya Mama sita selama sebulan. Mau?"

"Iya, deh, iya. Tapi Al belum nyicip bolu susunya," alasannya lagi. Aku tahu, gadis cantikku ini sebetulnya merasa berat melepaskan ponsel di tanganku.

"Kayak belum pernah aja. Papa mandi?" tanyaku setelah mengejeknya sejenak.

"Iya, Ma."

"Ya, udah. Allisya yang cantik, bobo aja dulu. Udah jam sembilan lebih. Besok sekolah," rayuku, menundukkan wajah ke arahnya yang masuh betah duduk bersila di atas sofa.

"Nunggu Papa, boleh, ya. Al mau disuapin makan bolu susunya," mohonnya. Mana tega kubantah keinginannya yang sepele itu. Tapi masalahnya, tidak ada bolu susu seperti yang dikatakannya.

"Anak cantik gak mau bobo, ya, Ma?"

Aku menoleh ke sumber suara. Mas Irwan sudah berganti pakaian, menghampiri kami yang masih di ruang tamu.

"Iya," jawabku singkat. Ingin bersikap biasa saja, tapi rasanya tetap sulit. Bagaimana pun juga, aku sudah menyadari bahwa aku sedang dibohongi.

"Allisya mau makan kuenya, Pa," rengek si cantik Allisya, menghambur ke pelukan suamiku.

"Boleh. Tolong, Ma, diambilin. Biar Papa yang suapi. Tapi ingat, jangan banyak-banyak dan langsung sikat gigi. Oke?"

"Oke, Pa!" Gadis kecilku begitu antsias. Maaf, Sayang, sebentar lagi kamu akan kecewa karena kue yang kamu inginkan mungkin telah berpindah ke alamat lain yang Mama sendiri tak tahu, batinku.

Kuambilkan oleh-oleh yang Mas Irwan bawa, tetap dalam kotak dan bungkusnya masing-masing. Sejak melihat isinya yang tak sesuai pesanan, aku jadi malas untuk memindahkannya ke atas wadah di rumah.

"Nih," ucapku, memberikan kotak berisi bolen pisang ke arah Mas Irwan.

Lelaki itu sontak membeliakkan mata, lalu menoleh ke arahku. Aku tersenyum tipis ke arah wajahnya yang terlihat sedikit pucat.

"Ada apa, Mas?" tanyaku tetap santai.

"Oh. Gak pa-pa." Ia menggeleng, menerima kotak itu dan beberapa kue kering yang kuberikan. Jelas sekali aku melihat kepanikan di wajahnya.

Jangan menganggapku sebodoh itu, Mas. Aku tersenyum getir, ketika ia membuka kotak itu dan terlihat sedang berpikir.

"Lho, Pa? Ini apa?" tanya Allisya, menatap kue itu sedikit heran. Kami memang tak pernah memberinya kue yang kini ada di tangan Mas Irwan. Wajar saja gadisku itu tak tahu.

"Ini namanya pisang bolen, Sayang. Rasanya enak. Cobain, dulu, ya." Tak kusangka, pria di hadapanku pandai sekali berakting. Wajah tegangnya seketika lenyap ketika Allisya bertanya.

"Kue kesukaan aku mana?"

"Tadi tokonya tutup, Sayang. Jadi, Papa belikan yang ada saja." Pria itu kembali menjelaskan pada putri kami, namun tetap tak mendapat respon yang baik dari Allisya. Bocah cantik itu merengutkan wajahnya, seraya menyilang tangan di depan dada.

"Ini enak, lho, serius." Mas Irwan memakan kue yang tadi tak diterima oleh Allisya. Ia kemudian menoleh padaku.

"Ma, maaf ya. Papa juga gak nemun kue bandros yang biasa Papa beli itu. Gak tau, hari ini sepertinya banyak yang tutup," ucapnya.

"Gak pa-pa. Tapi, itu Papa yang habiskan saja. Papa 'kan tau, Mama gak suka pisang." Aku berbicara dengan nada yang lembut. Namun, kedua mataku kutajamkan ke arahnya saat Allisya tak melihat kami.

"Sayang, yuk, bobo." Aku menarik jemari bidadari kecilku. Tak kusangka, ia tak membantah. Sepertinya, Allisya kecewa pada Papanya.

**

Allisya sudah terlelap di kamarnya. Aku masuk ke kamarku dengan Mas Irwan. Rupanya, pria itu sudah menunggu di atas kasur kami.

"Sini!" panggilnya, menepuk kasur di sampingnya.

Aku abai. Kupakai skincare malamku setelah tadi sempat cuci muka di kamar mandi Allisya. Tiba-tiba saja, lelakiku mendekat ke arah kursi kayu meja riasku. Tangannya ia lingkarkan di leher jenjangku.

Ia merundukkan tubuh, menyusuri setiap inci tengkuk yang tak tertutup rambut.

"Permisi, Mas, aku mau ke kamar mandi." Aku bangkit setelah melepaskan tangannya. Kuulas sedikit senyuman agar ia tidak curiga.

Bagaimana pun juga, aku harus pandai menyembunyikan rasa dan apa pun yang sudah kuketahui.

Selesai dari kamar mandi, aku langsung merebah ke atas kasur. Kupejamkan mata yang sebetulnya tidak mengantuk ini. Sebagai wanita, aku pun sama ingin bertanya dan memakinya, menunjukkan segala rasa yang kini menempel di hatiku.

Aku sangat penasaran, ingin bertanya langsung tentang wanita hamil dan ibunya itu. Tapi aku yakin, hanya kebohongan yang akan kudapat, jika bertanya padanya.

Ya, nanti saja, setelah aku tahu semuanya dengan kata kepalaku sendiri.

"Sayang ..." ia yang semula masih menunggu di depan meja rias, kini ikut merebah ke atas kasur.

"Aku sedang ha_id, Mas," ucapku. Ya, aku tahu dirinya sedang berhasrat. Buktinya, sejak tadi terus saja mendekatiku. Dan hanya jawaban itu yang bisa mengamankan aku untuk saat ini.

Aku tidak akan membiarkanya menyentuhku, sebelum kuketahui semuanya. Jangan sampai aku mengandung benih cintanya, saat kapal yang dinahkodainya nyaris karam.

"Yaaah ... padahal udah sengaja pulang cepat," desahnya.

"Maaf," ucapku seraya melengkungkan senyuman.

"Gak papa. Oh, ya, Sayang. Apa tadi resto rame?"

"Rame, pas jam makan siang."

"Owh, syukurlah. Aplikasi, rame?"

"Rame juga, Alhamdulillah."

"Emm ... apa tadi di resto, kamu ketemu orang asing?" tanyanya.

"Orang asing? Bukannya semua pengunjung itu asing, ya, Mas? Paling ada beberapa pelanggan tetap," tukasku, menoleh penuh selidik ke arahnya.

Sebetulnya aku paham betul, apa yang sebenarnya ingin ia tanyakan. Tentu saja aku bertemu wanita asing itu, Mas. Sudah bagus, tidak kujam_baki rambut pirang wanita hamil yang tidak punya baju gobrang itu. Aku tidak mau imageku hancur hanya karena seekor wanita mu_rah_an.

"Iya. Semuanya bahkan tampak asing," kekeh Mas Irwan kaku.

Pada akhirnya, kami terlelap dengan pikiran masing-masing. Tak akan kutanyakan apa pun kepadanya, karena aku mampu bergerak sendiri dan mengendalikannya sendiri. Daripada hanya kebohongan yang akan kudapatkan.

**

Mas Irwan sudah berangkat ke resto yang kemarin kutemukan seonggok wanita tak punya malu itu. Rencananya, sedikit siang nanti, aku akan menyusul tanpa membertitahunya. 

Tidak akan lama. Aku hanya ingin melihat lagi wanita itu, sekadar untuk memastikan bagaimana sikapnya pada Mas Irwan. Setelah itu, akan kujemput Allisya di sekolah.

Waktu yang kunanti pun tiba. Sudah kusiapkan beberapa helai pakaian yang tak biasa, serta make up yang sedikit tebal. Aku juga akan memakai hijab dengan warna yang sangat jreng, demi menunjang penyamaran ini. Tak lupa kugunakan kacamata hitam lebar, serta masker untuk menutupi wajah. Setidaknya. Saat kubuka kacamata dan makser, aku tetap terlihat berbeda.

Aku pun siap berangkat, setelah mengenakan semuanya. Jangan lupakan mobil lain yang sejak kemarin sore kusewa khusus untuk hari ini.

**

Aku masuk ke dalam restoran yang masih sepi, duduk di kursi yang mengarah langsung ke pintu area dapur. Tak kutemukan sosok Mas Irwan di dalam sana. Namun aku menangkap sosok wanita hamil itu seorang diri, tengah mengecek buku kasir.

Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status