Pikiranku mulai bercabang ke arah yang berbeda-beda. Apa maksud dari oleh-oleh yang suamiku bawa malam ini.
Aku tidak akan menanyakannya. Aku ingin melihat reaksinya saat melihat oleh-oleh ini sudah tersaji di meja.Aku mendekati Allisya yang sepertinya sudah sangat mengantuk. Gadis kecilku itu masih saja asik menonton video di ponselnya. Gegas kuambil ponsel itu, lalu memintanya untuk segera ke kamar."Sudah malam, Sayang." "Ah, Mama ... masih seru," rengeknya."Besok lagi. Kalau ngeyel, hapenya Mama sita selama sebulan. Mau?""Iya, deh, iya. Tapi Al belum nyicip bolu susunya," alasannya lagi. Aku tahu, gadis cantikku ini sebetulnya merasa berat melepaskan ponsel di tanganku."Kayak belum pernah aja. Papa mandi?" tanyaku setelah mengejeknya sejenak."Iya, Ma.""Ya, udah. Allisya yang cantik, bobo aja dulu. Udah jam sembilan lebih. Besok sekolah," rayuku, menundukkan wajah ke arahnya yang masuh betah duduk bersila di atas sofa."Nunggu Papa, boleh, ya. Al mau disuapin makan bolu susunya," mohonnya. Mana tega kubantah keinginannya yang sepele itu. Tapi masalahnya, tidak ada bolu susu seperti yang dikatakannya."Anak cantik gak mau bobo, ya, Ma?"Aku menoleh ke sumber suara. Mas Irwan sudah berganti pakaian, menghampiri kami yang masih di ruang tamu."Iya," jawabku singkat. Ingin bersikap biasa saja, tapi rasanya tetap sulit. Bagaimana pun juga, aku sudah menyadari bahwa aku sedang dibohongi."Allisya mau makan kuenya, Pa," rengek si cantik Allisya, menghambur ke pelukan suamiku."Boleh. Tolong, Ma, diambilin. Biar Papa yang suapi. Tapi ingat, jangan banyak-banyak dan langsung sikat gigi. Oke?""Oke, Pa!" Gadis kecilku begitu antsias. Maaf, Sayang, sebentar lagi kamu akan kecewa karena kue yang kamu inginkan mungkin telah berpindah ke alamat lain yang Mama sendiri tak tahu, batinku.Kuambilkan oleh-oleh yang Mas Irwan bawa, tetap dalam kotak dan bungkusnya masing-masing. Sejak melihat isinya yang tak sesuai pesanan, aku jadi malas untuk memindahkannya ke atas wadah di rumah."Nih," ucapku, memberikan kotak berisi bolen pisang ke arah Mas Irwan.Lelaki itu sontak membeliakkan mata, lalu menoleh ke arahku. Aku tersenyum tipis ke arah wajahnya yang terlihat sedikit pucat."Ada apa, Mas?" tanyaku tetap santai."Oh. Gak pa-pa." Ia menggeleng, menerima kotak itu dan beberapa kue kering yang kuberikan. Jelas sekali aku melihat kepanikan di wajahnya.Jangan menganggapku sebodoh itu, Mas. Aku tersenyum getir, ketika ia membuka kotak itu dan terlihat sedang berpikir."Lho, Pa? Ini apa?" tanya Allisya, menatap kue itu sedikit heran. Kami memang tak pernah memberinya kue yang kini ada di tangan Mas Irwan. Wajar saja gadisku itu tak tahu."Ini namanya pisang bolen, Sayang. Rasanya enak. Cobain, dulu, ya." Tak kusangka, pria di hadapanku pandai sekali berakting. Wajah tegangnya seketika lenyap ketika Allisya bertanya."Kue kesukaan aku mana?""Tadi tokonya tutup, Sayang. Jadi, Papa belikan yang ada saja." Pria itu kembali menjelaskan pada putri kami, namun tetap tak mendapat respon yang baik dari Allisya. Bocah cantik itu merengutkan wajahnya, seraya menyilang tangan di depan dada."Ini enak, lho, serius." Mas Irwan memakan kue yang tadi tak diterima oleh Allisya. Ia kemudian menoleh padaku."Ma, maaf ya. Papa juga gak nemun kue bandros yang biasa Papa beli itu. Gak tau, hari ini sepertinya banyak yang tutup," ucapnya."Gak pa-pa. Tapi, itu Papa yang habiskan saja. Papa 'kan tau, Mama gak suka pisang." Aku berbicara dengan nada yang lembut. Namun, kedua mataku kutajamkan ke arahnya saat Allisya tak melihat kami."Sayang, yuk, bobo." Aku menarik jemari bidadari kecilku. Tak kusangka, ia tak membantah. Sepertinya, Allisya kecewa pada Papanya.**Allisya sudah terlelap di kamarnya. Aku masuk ke kamarku dengan Mas Irwan. Rupanya, pria itu sudah menunggu di atas kasur kami."Sini!" panggilnya, menepuk kasur di sampingnya.Aku abai. Kupakai skincare malamku setelah tadi sempat cuci muka di kamar mandi Allisya. Tiba-tiba saja, lelakiku mendekat ke arah kursi kayu meja riasku. Tangannya ia lingkarkan di leher jenjangku.Ia merundukkan tubuh, menyusuri setiap inci tengkuk yang tak tertutup rambut."Permisi, Mas, aku mau ke kamar mandi." Aku bangkit setelah melepaskan tangannya. Kuulas sedikit senyuman agar ia tidak curiga.Bagaimana pun juga, aku harus pandai menyembunyikan rasa dan apa pun yang sudah kuketahui.Selesai dari kamar mandi, aku langsung merebah ke atas kasur. Kupejamkan mata yang sebetulnya tidak mengantuk ini. Sebagai wanita, aku pun sama ingin bertanya dan memakinya, menunjukkan segala rasa yang kini menempel di hatiku.Aku sangat penasaran, ingin bertanya langsung tentang wanita hamil dan ibunya itu. Tapi aku yakin, hanya kebohongan yang akan kudapat, jika bertanya padanya.Ya, nanti saja, setelah aku tahu semuanya dengan kata kepalaku sendiri."Sayang ..." ia yang semula masih menunggu di depan meja rias, kini ikut merebah ke atas kasur."Aku sedang ha_id, Mas," ucapku. Ya, aku tahu dirinya sedang berhasrat. Buktinya, sejak tadi terus saja mendekatiku. Dan hanya jawaban itu yang bisa mengamankan aku untuk saat ini.Aku tidak akan membiarkanya menyentuhku, sebelum kuketahui semuanya. Jangan sampai aku mengandung benih cintanya, saat kapal yang dinahkodainya nyaris karam."Yaaah ... padahal udah sengaja pulang cepat," desahnya."Maaf," ucapku seraya melengkungkan senyuman."Gak papa. Oh, ya, Sayang. Apa tadi resto rame?""Rame, pas jam makan siang.""Owh, syukurlah. Aplikasi, rame?""Rame juga, Alhamdulillah.""Emm ... apa tadi di resto, kamu ketemu orang asing?" tanyanya."Orang asing? Bukannya semua pengunjung itu asing, ya, Mas? Paling ada beberapa pelanggan tetap," tukasku, menoleh penuh selidik ke arahnya.Sebetulnya aku paham betul, apa yang sebenarnya ingin ia tanyakan. Tentu saja aku bertemu wanita asing itu, Mas. Sudah bagus, tidak kujam_baki rambut pirang wanita hamil yang tidak punya baju gobrang itu. Aku tidak mau imageku hancur hanya karena seekor wanita mu_rah_an."Iya. Semuanya bahkan tampak asing," kekeh Mas Irwan kaku.Pada akhirnya, kami terlelap dengan pikiran masing-masing. Tak akan kutanyakan apa pun kepadanya, karena aku mampu bergerak sendiri dan mengendalikannya sendiri. Daripada hanya kebohongan yang akan kudapatkan.**Mas Irwan sudah berangkat ke resto yang kemarin kutemukan seonggok wanita tak punya malu itu. Rencananya, sedikit siang nanti, aku akan menyusul tanpa membertitahunya. Tidak akan lama. Aku hanya ingin melihat lagi wanita itu, sekadar untuk memastikan bagaimana sikapnya pada Mas Irwan. Setelah itu, akan kujemput Allisya di sekolah.Waktu yang kunanti pun tiba. Sudah kusiapkan beberapa helai pakaian yang tak biasa, serta make up yang sedikit tebal. Aku juga akan memakai hijab dengan warna yang sangat jreng, demi menunjang penyamaran ini. Tak lupa kugunakan kacamata hitam lebar, serta masker untuk menutupi wajah. Setidaknya. Saat kubuka kacamata dan makser, aku tetap terlihat berbeda.Aku pun siap berangkat, setelah mengenakan semuanya. Jangan lupakan mobil lain yang sejak kemarin sore kusewa khusus untuk hari ini.**Aku masuk ke dalam restoran yang masih sepi, duduk di kursi yang mengarah langsung ke pintu area dapur. Tak kutemukan sosok Mas Irwan di dalam sana. Namun aku menangkap sosok wanita hamil itu seorang diri, tengah mengecek buku kasir.Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.Bersambung ...Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.Kuambil ponsel di dalam tas, mengetik pesan yang akan kukirim pada Nining.[Di mana Bapak?]Lama pesanku tak terbaca oleh Nining. Aku semakin gusar, karena waktu semakin berjalan. Allisya harus segera dijemput kurang dari satu jam lagi. Sementara aku belum bertindak apa-apa. Yang ada, semua mata seolah ingin menelisik penampilanku yang menarik perhatian. His, salah kostum, batinku.Ponsel dalam genggaman bergetar, segera kubuka pola kuncinya.[Bapak ke Tangerang, Bu. Memangnya tidak bilang?] balas Nining. Aku tersenyum kecut. Mas Irwan pergi ke Tangerang tanpa meminta ijin padaku, yang jelas-jelas adalah istri sahnya. Siapa yang sudah mendapat permintaan ijinmu sekarang, Mas? bantinku terasa pilu.Di Tangerang sana, memang ada cabang pertama restoran ini. Tak heran jika ia sibuk bolak-balik Jakarta-Tangerang. Hanya saja, biasanya ia akan mengirim pesan padaku sebelum berangkat.[Tidak.] Aku membalas singkat pesan balasan dari Ni
Gadis Kecil Teman AnakkuApa? Gak mungkin! Semua berkas kepemilikan tanah dan bangunan masih atas namaku, serta surat-surat penting lain yang digunakan untuk bahan persyaratan izin usaha restoran masih atas nama Mas Irwan sebagai Direktur utamanya.Jadi ... apa yang wanita itu maskud dengan, "Saya pemilik restoran ini?"Atau jangan-jangan, benar wanita itu adalah istri kedua Mas Irwan yang merasa sudah menjadi bos di restoku? Aarrgh! Kepalaku serasa mau pecah, memikirkan ini semua.Mulanya, aku sempat berpikir jika usaha kami sudah berpindah tangan ke tangan wanita itu. Jujur, aku masih berharap usahaku saja yang berpindah tangan, bukan hati suamiku.Jika begini buktinya, apa yang harus kuperbuat. Kukira, Mas Irwan telah menjualnya pada orang lain, sehingga ia lebih sibuk di resto cabang yang memang tidak memiliki bangunan atas nama sendiri, meliankan sewa.Apa benar, suamiku telah berkhianat dan memberikan restoran itu pada wanita hamil itu, sebagai hadiah mungkin?Masalah satu belum
Siapa Gadis Kecil Itu, Sebenarnya?Kami berputar di gang komplek bagian belakang, yang nyaris tak pernah kulewati. Allisya menunjukkan arah setiap kali kami menemukan perempatan.Jauh juga ternyata. Mengapa Khiara lebih suka main di taman tadi, sementara taman di gang belakang pun ada."Ini rumahnya, Ma!" teriak Allisya, ketika aku hampir melewati rumah yang bangunannya sama semua."No. 28?" tanyaku untuk memastikan."Iya, Ma. Itu Khiara!" tunjuknya pada gadis kecil tadi tang baru saja masuk ke halaman samping rumahnya."Khiara!" panggil Allisya tak sabar. Suaranya memekik, membuat gadis kecil itu lantas menoleh ke arah kami berdiri.Khiara berlari ke arah kami masih dengan wajah cemberutnya. "Ada apa, Tan?" tanyanya.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebab ada Allisya yang akan menjelaskan."Aku mau pinjamin sepeda ini buat kamu. Nanti, Mamaku yang ambil kembali ke sini," jelas Allisya dengan lembut."Memangnya, aku enggak boleh, ya, antar sendiri ke rumahmu?" tanya gadis itu se
AktingEnggak! Aku tidak terima. Usia Khiara dua tahun di atas anakku. Tidak mungkin Mas Irwan menikahiku setelah menikah dengan wanita itu. Jika benar, artinya aku si pe_la_kor itu? Enggak! Enggak mungkin!"Gak mungkin!" ucapku sedikit lirih, seraya menjambak rambutku yang memang kubiarkan tanpa penutup. Jika di dalam rumah, aku selalu menanggalkan hijabku."Mama kenapa?" tanya Allisya bagai udara yang menguap begitu saja.Bayangan bahagia di hari pernikahan kami kini berputar kembali bagai film yang tersiar di televisi.Mas Irwan bukan berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memang memiliki kemampuan yang sangat baik di bidang tata boga. Kabarnya, Mas Irwan memang sangat ingin menjadi seorang koki. Hal itu terlaksana ketika ia menikahiku. Papa membiayai kuliahnya ke jurusan tata boga, hingga pada akhirnya Mas Irwan menjadi koki terkenal di Ibukota ini.Dua tahun pernikahan kami, saat usia Allisya baru satu tahun, ada seorang teman yang mengajaknya membuka usaha kuliner. Tapi sayan
Sedikit Hukuman"Kok, menjauh?" selidiknya."Aku masih haid!" tukasku."Iya, tau. 'Kan cuma mau peluk," lirihnya."Gak usah. Nanti ujung-ujungnya minta juga. Aku malas debat," ucapku, menarik bed cover dan membawanya ke sofa di kamar kami."Lho, mau ke mana?""Sini. Mas tidur di sini, biar aku di kasur," panggilku setelah menyiapkan bed cover ke atas sofa."Kenapa? Aku gak minta, janji!" Dia mengangkat dua jari ke udara dan aku hanya tersenyum sinis."Gak tau. Bawaannya aku malas tidur seranjang, Mas. Udah, sini. Atau aku tidur di kamar Al?""Oke. Ya, udah, kamu tidur di sini biar Mas di sofa." Pria itu akhirnya beringsut pindah ke sofa dan aku segera pindah ke ranjang kami yang besar.Tatapannya terus saja memindai ke arahku, sepertinya bingung dengan sikapku."Mas kayaknya besok masih harus ke Tangerang, ya. Yang di sini, biar sama Badrun," ucapnya yang sudah mulai memejamkan mata. Aku menoleh bak busur panah yang siap menancap. Mana ada Badrun bunting, Mas! batinku ingin marah."Ok
Semua Aman di Tangan Nadia"Jangan-jangan, kamu sudah mengganti kodenya?" tudingku.Mas Irwan menoleh, bibirnya memaksakan senyuman seraya menggaruk tengkuk."Emm ... iya, Sayang. Bosan aja pake kode lama. Jadi, Mas ganti dengan kode baru," cicitnya masih menggaruk tengkuknya."Bosan, kamu bilang? Itu tanggal pernikahan kita, Mas! Kamu bosan dengan pernikahan kita? Atau jangan-jangan, kamu ganti kode brankas kita dengan tanggal pernikahan keduamu? Iya?" tudingku lagi, tak kuasa menahan gemuruh di dadaku."Sayang ... kamu ngomong apa, sih? Sudah, ah, gak usah dibesar-besarkan. Malu, dilihat Allisya. Lagi pula, kodenya pake tanggal lahir Allisya, kok," desisnya dengan nada nyaris tak terdengar.Apa? Tanggal lahir Allisya? Mengapa kemarin aku tidak terpikir ke sana. Apa aku hanya terlalu mencurigainya saja?Aku tak menjawab lagi. Gegas menyusul Allisya yang sudah duduk menunggu di dalam mobil. Aku bahkan malas mengucap pamit lagi padanya.**Sesampainya di resto, aku tak melihat kehadira
Tertangkap BasahWanita itu menoleh dan seketika membulatkan mata, hingga bibirnya pun terbuka. Tangan kanannya ia angkat untuk menutup bibirnya.Aku tersenyum tipis, lantas terkekeh hingga ia semakin lama semakin memucat."Eh, Ibu. Ma-maaf, saya bukan siapa-siapa. Iya, 'kan, Bu?" jawabnya, tergesah-gesah mencubit lengan Ibunya."Heh, kamu gimana, sih?" bisik sang Ibu seraya membolakan mata. Sementara aku, masih menatap keduanya secara bergantian. Bahkan posisiku masih tetap sama dengan tangan bersilang di depan dada, agar terkesan santai, tetapi mencekam bagi mereka berdua."Kalau bukan siapa-siapa, kenapa harus memarahi koki saya? Mereka sedang bekerja, sedang berusaha memberikan yang terbaik untuk pelanggan kami." Aku mencoba mengomelinya namun tetap dengan nada yang santai."Ka-kami juga laper. Sudah nunggu dari tadi, ya, Bu." Sang anak masih saja menoleh pada Ibunya, seolah mencari dukungan. Tetapi, agaknya sang Ibu tak mau mendukung. Terlihat wanita setengah baya itu justeru mel
Genderang PerangPoV Author'Kurang aj*r sekali wanita ini. Dia tidak tahu bagaimana pengorbanan Papa untuk mendapatkan dan memberikan ini semua padaku. Seenaknya dia ingin kepemilikan restoran ini menjadi nama anaknya,' batin Nadia."Jangan harap!" balas Nadia. "Terserah, siapapun kalian. Yang jelas, saya tidak akan menyerahkannya seujung kuku pun. Bahkan sendok di restoran ini pun, tidak akan saya biarkan menjadi milik kalian." Membalas menunjuk wajah keduanya.Mereka pun keluar, meninggalkan Nadia dengan dada yang amat bergemuruh. Sepertinya, diam di sana pun tidak akan ada gunanya, sebab hati Nadia teramat sakit atas apa yang selama ini Irwan lakukan.Nadia mengekor di belakang, bukan untuk mengikuti mereka, melainkan menemui Allisya yang mungkin sedang makan.Wanita cantik itu sudah tak sabar, ingin bertemu dengan Irwan dan mempertanyakan semuanya dengan beberapa bukti yang sudah ada di tangannya."Cepat makannya, Sayang." Nadia mengelus punggung gadis kecilnya, menunggu dengan p