Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.
Kuambil ponsel di dalam tas, mengetik pesan yang akan kukirim pada Nining.[Di mana Bapak?]Lama pesanku tak terbaca oleh Nining. Aku semakin gusar, karena waktu semakin berjalan. Allisya harus segera dijemput kurang dari satu jam lagi. Sementara aku belum bertindak apa-apa. Yang ada, semua mata seolah ingin menelisik penampilanku yang menarik perhatian. His, salah kostum, batinku.Ponsel dalam genggaman bergetar, segera kubuka pola kuncinya.[Bapak ke Tangerang, Bu. Memangnya tidak bilang?] balas Nining. Aku tersenyum kecut. Mas Irwan pergi ke Tangerang tanpa meminta ijin padaku, yang jelas-jelas adalah istri sahnya. Siapa yang sudah mendapat permintaan ijinmu sekarang, Mas? bantinku terasa pilu.Di Tangerang sana, memang ada cabang pertama restoran ini. Tak heran jika ia sibuk bolak-balik Jakarta-Tangerang. Hanya saja, biasanya ia akan mengirim pesan padaku sebelum berangkat.[Tidak.] Aku membalas singkat pesan balasan dari Nining.Aku segera berjalan masuk ke area samping dapur, di mana ruangan khusus owner berada. Sambil memerhatikan kesibukan wanita hamil itu, aku melangkah kian masuk ke area dalam restoran.Aku harus mendapatkannya sekarang juga, seiring berjalannya kecurigaan ini yang semakin menggebu. Lihat saja, Mas, aku tidak akan diam saja kau bohongi.Wanita hamil itu masih sibuk memeriksa buku kasir, aku memanfaatkan waktu untuk menyelinap masuk. Ah, si_al! Masuk ke ruangan sendiri pun harus mengendap seperti maling. Aku dikagetkan dengan tepukan di bahu, ketika tangan ini sudah memegang tuas pintu ruangan owner."Anda siapa? Mau ngapain?" tanya seorang pramusaji, melemparkan tatapan menikam ke arahku. Aku tak punya banyak waktu lagi. Gegas kukeluarkan kartu nama di dalam tas yang selalu kubawa.Kuangkat kartu nama itu tanpa suara sedikitpun, namun tatapan mata ini membalas menikamnya agar diam."Maaf, Bu." Dia menunduk dan aku yakin ia akan bungkam tentang aku yang menyelinap masuk.Aku mengunci ruangan khusus ini dari dalam, mencari petunjuk tentang apa yang sebetulnya telah Mas Irwan tutupi dariku.Kusisir seisi ruangan dan belum menemukan apa-apa, sementara jarum jam di dinding ruangan ini terus berputar tanpa lelah.Kubuka laci meja, kotak berkas bahkan brankas yang ternyata sudah tidak bisa kubuka dengan kode yang kuketahui."Mas Irwan sudah merubah kode brankas ini. Keterlalu kamu, Mas!" gumamku, menggerutu akan semua yang telah suamiku lakukan di belakangku. Baru dua bulan saja aku tidak masuk ke dalam sini, ia sudah melakukan segala tindakan di luar sepengetahuanku.Baiklah. Aku tidak akan memaksa brankas ini untuk terbuka. Lain kali aku kembali, Sayang, batinku.Gegas kubuka kembali kotak berkas dan laci, mencari beberapa lembar berkas penting yang harus segera berpindah ke tanganku.Beres! Berkas itu sudah aman di dalam tasku dan aku segera mengendap untuk keluar dari ruangan ini.Pramusaji tadi masih berdiri di samping pintu. "Aman, Bu," ucapnya, seolah paham jika aku memerlukan penjagaan."Terima kasih," ucapku.Pandangan ini terus tertuju padanya, sehingga aku tanpa sengaja menabrak seseorang."Maaf, maaf," ucapku dengan sopan, tanpa melihat wajah yang kutabrak. Namun, mataku tepat terarah pada perut yang buncit dengan pakaian yang sudah kukenali sejak datang pagi ini."Tidak apa. Maaf, anda siapa? Mengapa keluar dari arah dapur?" tanyanya dengan suara yang lembut."Maaf, Bu. Saya baru saja habis komplen karena ada lalat dalam makanan saya," jelasku berbohong. Bagusnya, masker di hidung dan mulutku masih tertutup dengan rapi."Oh, begitu. Saya sebagai pemilik restoran ini, sangat menyesal atas kejadian kurang mengenakan itu, ya, Bu. Saya harap, Ibu tidak akan kapok datang dan makan di restoran kami," ucapnya dengan sangat ramah."Oke. Hari ini saya maafkan. Tapi, jika lain kali ada kejanggalan lagi dalam restoran ini, saya tidak akan segan-segan memviralkannya. Anda sebagai pemilik, seharusnya bisa lebih upgrade pengetahuan, agar pelanggan selalu puas dan betah makan di sini!" balasku. Aku sengaja menggertaknya. Sekalian saja, mumpung dia tidak mengenali siapa aku. "Jangan begitu, Bu. Saya benar-benar minta maaf," ucapnya seraya menunduk takut."Oke. Tak apa." Aku melenggang sombong meninggalkannya. Dada ini terasa panas ketika mendengar dirinya menyebut sebagai pemilik restoran ini."Bu, Bu! Jangan pergi dulu. Sebagai permintaan maaf, ijinkan saya memberikan satu porsi makan gratis untuk Ibu. Pilihannya bebas," mohonnya, setelah mengejarku beberapa langkah."Maaf. Saya bukan orang mis_kin yang suka dengan barang gratisan, ataupun diskon. Makanan gratisnya buat pengemis saja," ucapku sedikit menunduk ke arah telinganya yang memang tidak setinggi tubuhku.Ia menunduk lemah, seolah tersinggung dengan ucapanku."Kalau anda ingin menebus kesalahan, silakan perbaiki kepemimpinan anda terhadap restoran ini. Ingat, yang dibutuhkan pelanggan adalah kepuasan, bukan gratisan yang enggak mutu!" tegasku lagi. Kali ini aku benar-benar pergi meninggalkannya. Ternyata dia betul-betul tidak mengenaliku seperti kemarin sempat ketakutan.Aku yakin, kemarin Mas Irwan yang sudah memberitahunya tentang kedatanganku. Bagus juga kostum norak dengan warna ngejreng ini untuk mengelabui wanita itu, yang tidak pintar-pintar amat."Sombong! Sana aja pergi, gak usah datang lagi." Aku masih bisa mendengar gerutunya dari jarak beberapa meter. Kulengkungkan senyuman merekah atas keberhasilanku hari ini, meski belum sepenuhnya berhasil. Setidaknya, untuk hari ini sudah cukup membuat jantungnya berdebar.**Di dalam mobil, kuhapus make-up aneh yang kupakai tadi di rumah. Masih ada banyak waktu. Jangan sampai Allisya melihatku dengan dandanan yang super heboh ini. Bagaimana pun juga, ia tidak boleh tahu masalah apa yang sedang terjadi pada kedua orang tuanya.Sesampainya di sekolah, kusempatkan mengganti pakaian ini dengan pakaian sederhana yang biasa kukenakan di dalam toilet sekolah. Allisya bisa heran, jika aku tetap mengenakannya.Gadis kecilku sudah keluar dari kelas, tepat di saat aku selesai dari toilet."Mama!""Sayang.""Mama, kok, pucet? Mama sakit?" tanyanya, setelah menyalami punggung tanganku.Aku menggeleng, menjawil ujung hidungnya yang bangir. "Enggak. Mama sehat, kok."**Allisya sudah tidur siang setelah tadi kutemani makan siang. Seketika bayangan Mas Irwan tengah bermain dengan perempuan lain, tiba-tiba membayang menakutkan."Astaghfirullah," gumamku.Kusambar ponsel yang tergeletak di atas meja kamar Allisya, lalu keluar dari sana agar tidak menganggu.Tidak ada pesan dari Mas Irwan seperti biasanya, yang selalu bertanya apakah aku dan Allisya sudah makan siang atau belum. Isi w******p-ku bahkan benar-benar kosong, tak ada satu pun pesan yang masuk.Entah mengapa, aku jadi merasa kehilangan. Mas Irwan, kamu sedang apa? Di mana?Baiklah. Aku akan coba mengirim pesan lebih dulu.[Mas, sudah makan?]Tidak berapa lama, pesanku terbalas.[Sudah. Kalian sudah makan? Maaf, ya, Papa agak sibuk hari ini.][Sibuk apa?][Restoran yang di Tangerang kebakaran, sebagian area dapur hangus terbakar. Maaf, Mas tidak memberitahu sebelumnya, takut kamu syok. Yang penting, sekarang semua baik-baik saja.]"Astaghfirullah ... jadi, ini alasan Mas Irwan sibuk seharian tak memberi kabar. Bakhan dia pergi ke sana tanpa seijinku," gumamku."Apa aku sudah salah paham padanya? Tapi, siapa wanita hamil yang sudah mengaku sebagai pemilik resto itu?" Aku bermonolog, dengan deraian air mata yang kian menderas.Sebaiknya segera kucek berkas yang tadi sudah kudapatkan. Semoga dengan itu, aku bisa mendapatkan jawaban atas semuanya.Bersambung ...Gadis Kecil Teman AnakkuApa? Gak mungkin! Semua berkas kepemilikan tanah dan bangunan masih atas namaku, serta surat-surat penting lain yang digunakan untuk bahan persyaratan izin usaha restoran masih atas nama Mas Irwan sebagai Direktur utamanya.Jadi ... apa yang wanita itu maskud dengan, "Saya pemilik restoran ini?"Atau jangan-jangan, benar wanita itu adalah istri kedua Mas Irwan yang merasa sudah menjadi bos di restoku? Aarrgh! Kepalaku serasa mau pecah, memikirkan ini semua.Mulanya, aku sempat berpikir jika usaha kami sudah berpindah tangan ke tangan wanita itu. Jujur, aku masih berharap usahaku saja yang berpindah tangan, bukan hati suamiku.Jika begini buktinya, apa yang harus kuperbuat. Kukira, Mas Irwan telah menjualnya pada orang lain, sehingga ia lebih sibuk di resto cabang yang memang tidak memiliki bangunan atas nama sendiri, meliankan sewa.Apa benar, suamiku telah berkhianat dan memberikan restoran itu pada wanita hamil itu, sebagai hadiah mungkin?Masalah satu belum
Siapa Gadis Kecil Itu, Sebenarnya?Kami berputar di gang komplek bagian belakang, yang nyaris tak pernah kulewati. Allisya menunjukkan arah setiap kali kami menemukan perempatan.Jauh juga ternyata. Mengapa Khiara lebih suka main di taman tadi, sementara taman di gang belakang pun ada."Ini rumahnya, Ma!" teriak Allisya, ketika aku hampir melewati rumah yang bangunannya sama semua."No. 28?" tanyaku untuk memastikan."Iya, Ma. Itu Khiara!" tunjuknya pada gadis kecil tadi tang baru saja masuk ke halaman samping rumahnya."Khiara!" panggil Allisya tak sabar. Suaranya memekik, membuat gadis kecil itu lantas menoleh ke arah kami berdiri.Khiara berlari ke arah kami masih dengan wajah cemberutnya. "Ada apa, Tan?" tanyanya.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebab ada Allisya yang akan menjelaskan."Aku mau pinjamin sepeda ini buat kamu. Nanti, Mamaku yang ambil kembali ke sini," jelas Allisya dengan lembut."Memangnya, aku enggak boleh, ya, antar sendiri ke rumahmu?" tanya gadis itu se
AktingEnggak! Aku tidak terima. Usia Khiara dua tahun di atas anakku. Tidak mungkin Mas Irwan menikahiku setelah menikah dengan wanita itu. Jika benar, artinya aku si pe_la_kor itu? Enggak! Enggak mungkin!"Gak mungkin!" ucapku sedikit lirih, seraya menjambak rambutku yang memang kubiarkan tanpa penutup. Jika di dalam rumah, aku selalu menanggalkan hijabku."Mama kenapa?" tanya Allisya bagai udara yang menguap begitu saja.Bayangan bahagia di hari pernikahan kami kini berputar kembali bagai film yang tersiar di televisi.Mas Irwan bukan berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memang memiliki kemampuan yang sangat baik di bidang tata boga. Kabarnya, Mas Irwan memang sangat ingin menjadi seorang koki. Hal itu terlaksana ketika ia menikahiku. Papa membiayai kuliahnya ke jurusan tata boga, hingga pada akhirnya Mas Irwan menjadi koki terkenal di Ibukota ini.Dua tahun pernikahan kami, saat usia Allisya baru satu tahun, ada seorang teman yang mengajaknya membuka usaha kuliner. Tapi sayan
Sedikit Hukuman"Kok, menjauh?" selidiknya."Aku masih haid!" tukasku."Iya, tau. 'Kan cuma mau peluk," lirihnya."Gak usah. Nanti ujung-ujungnya minta juga. Aku malas debat," ucapku, menarik bed cover dan membawanya ke sofa di kamar kami."Lho, mau ke mana?""Sini. Mas tidur di sini, biar aku di kasur," panggilku setelah menyiapkan bed cover ke atas sofa."Kenapa? Aku gak minta, janji!" Dia mengangkat dua jari ke udara dan aku hanya tersenyum sinis."Gak tau. Bawaannya aku malas tidur seranjang, Mas. Udah, sini. Atau aku tidur di kamar Al?""Oke. Ya, udah, kamu tidur di sini biar Mas di sofa." Pria itu akhirnya beringsut pindah ke sofa dan aku segera pindah ke ranjang kami yang besar.Tatapannya terus saja memindai ke arahku, sepertinya bingung dengan sikapku."Mas kayaknya besok masih harus ke Tangerang, ya. Yang di sini, biar sama Badrun," ucapnya yang sudah mulai memejamkan mata. Aku menoleh bak busur panah yang siap menancap. Mana ada Badrun bunting, Mas! batinku ingin marah."Ok
Semua Aman di Tangan Nadia"Jangan-jangan, kamu sudah mengganti kodenya?" tudingku.Mas Irwan menoleh, bibirnya memaksakan senyuman seraya menggaruk tengkuk."Emm ... iya, Sayang. Bosan aja pake kode lama. Jadi, Mas ganti dengan kode baru," cicitnya masih menggaruk tengkuknya."Bosan, kamu bilang? Itu tanggal pernikahan kita, Mas! Kamu bosan dengan pernikahan kita? Atau jangan-jangan, kamu ganti kode brankas kita dengan tanggal pernikahan keduamu? Iya?" tudingku lagi, tak kuasa menahan gemuruh di dadaku."Sayang ... kamu ngomong apa, sih? Sudah, ah, gak usah dibesar-besarkan. Malu, dilihat Allisya. Lagi pula, kodenya pake tanggal lahir Allisya, kok," desisnya dengan nada nyaris tak terdengar.Apa? Tanggal lahir Allisya? Mengapa kemarin aku tidak terpikir ke sana. Apa aku hanya terlalu mencurigainya saja?Aku tak menjawab lagi. Gegas menyusul Allisya yang sudah duduk menunggu di dalam mobil. Aku bahkan malas mengucap pamit lagi padanya.**Sesampainya di resto, aku tak melihat kehadira
Tertangkap BasahWanita itu menoleh dan seketika membulatkan mata, hingga bibirnya pun terbuka. Tangan kanannya ia angkat untuk menutup bibirnya.Aku tersenyum tipis, lantas terkekeh hingga ia semakin lama semakin memucat."Eh, Ibu. Ma-maaf, saya bukan siapa-siapa. Iya, 'kan, Bu?" jawabnya, tergesah-gesah mencubit lengan Ibunya."Heh, kamu gimana, sih?" bisik sang Ibu seraya membolakan mata. Sementara aku, masih menatap keduanya secara bergantian. Bahkan posisiku masih tetap sama dengan tangan bersilang di depan dada, agar terkesan santai, tetapi mencekam bagi mereka berdua."Kalau bukan siapa-siapa, kenapa harus memarahi koki saya? Mereka sedang bekerja, sedang berusaha memberikan yang terbaik untuk pelanggan kami." Aku mencoba mengomelinya namun tetap dengan nada yang santai."Ka-kami juga laper. Sudah nunggu dari tadi, ya, Bu." Sang anak masih saja menoleh pada Ibunya, seolah mencari dukungan. Tetapi, agaknya sang Ibu tak mau mendukung. Terlihat wanita setengah baya itu justeru mel
Genderang PerangPoV Author'Kurang aj*r sekali wanita ini. Dia tidak tahu bagaimana pengorbanan Papa untuk mendapatkan dan memberikan ini semua padaku. Seenaknya dia ingin kepemilikan restoran ini menjadi nama anaknya,' batin Nadia."Jangan harap!" balas Nadia. "Terserah, siapapun kalian. Yang jelas, saya tidak akan menyerahkannya seujung kuku pun. Bahkan sendok di restoran ini pun, tidak akan saya biarkan menjadi milik kalian." Membalas menunjuk wajah keduanya.Mereka pun keluar, meninggalkan Nadia dengan dada yang amat bergemuruh. Sepertinya, diam di sana pun tidak akan ada gunanya, sebab hati Nadia teramat sakit atas apa yang selama ini Irwan lakukan.Nadia mengekor di belakang, bukan untuk mengikuti mereka, melainkan menemui Allisya yang mungkin sedang makan.Wanita cantik itu sudah tak sabar, ingin bertemu dengan Irwan dan mempertanyakan semuanya dengan beberapa bukti yang sudah ada di tangannya."Cepat makannya, Sayang." Nadia mengelus punggung gadis kecilnya, menunggu dengan p
Langkah Selanjutnya"Kamu ini bicara apa, sih, Sayang? Apa kamu tega, melihat Allisya bersedih karena pertengkaran kita? Apalagi jika aku sampai dipenjara. Apa, sih, sebetulnya yang membuatmu semarah ini padaku?" tanya Irwan, menurunkan nada bicaranya. Tangannya terulur hendak mendekap tubuh sang istri.Dengan kasar, Nadia menepis kedua tangan suaminya. "Jika dulu kedua tanganmu seperti selimut pelindung bagiku, tapi tidak dengan sekarang. Bagiku, kedua tanganmu adalah maling yang sedang menyamar sebagai peri.""Ya Allah ... tambah ngaco ngomongnya. Sudah, ya, Mas sedang pusing. Masalah di Tangerang belum selesai, jangan kamu tambah-tambahi dengan masalah tidak jelas ini. Plis, Sayang, kamu hanya terlalu kebanyakan nonton drama," pungkas Irwan, melemaskan tubuhnya seperti sedang menahan diri dari banyaknya permasalahan."Ya. Kamu benar. Karena kebanyakan nonton drama, aku jadi sepintar ini dan tidak akan rela terlalu lama kau bohongi. Sekarang juga kuminta, pergi dari sini!" tegas Nad