Berita penangkapan Terry dan geng segera viral dan masuk TV. Bahkan ada yang menyiarkan dari internet, mungkin diam-diam karyawan perusahaan Pak Gading merekam kejadian tersebut. Aku menyaksikan dari ponsel karena tidak ada televisi di rumah. Terry menutup wajahnya saat di gelandang polisi. Saat Polisi memberikan keterangan di lapas pada wartawan, membeberkan kejahatan Terry dan komplotannya. Menurut Pak Gading, sidang akan berjalan Minggu depan. Beliau memintaku dan Pak Adit untuk hadir menyaksikan. Aku belum mengkonfirmasi soal ini pada Pak Adit, karena beliau pasti enggan untuk terseret dalam kasus itu. "Gimana, Pak Adit mau hadir dalam persidangan?" tanyaku saat berada dalam kantor. "Saya nggak mau, kamu aja yang datang. Minta temani Desi, jangan sendirian," perintah Pak Adit. "Baik, Pak! Saya akan mengabari Desi nanti," kataku lalu mencatat hal penting dalam buku. Tok, tok, tok Terdengar pintu diketuk, "Masuk!" seru Pak Adit. Sekretaris membuka pintu lalu memberi hormat.
Sidang kasus Terry atas penggelapan uang dan barang akhirnya digelar. Ditemani Desi aku hadir dan duduk dibarisan saksi. Tampak hadir Om Haris dan Tante Mona juga yang membuatku tak percaya mantan mertua dan mantan suami serta istri barunya. Saat mereka semua melihatku juga tak kalah kaget. Namun, aku hanya diam saja sambil memberi senyum. Mantan mertua dan Maya mencibir membalas senyumku. Tidak dengan Mas Lucky yang terus menatapku. Maya yang tau dengan sikap suaminya menjadi kesal dan menyenggol Mas Lucky. Lelaki yang dulu pernah menyematkan cincin di jariku hanya kikuk lalu menoleh ke arah Maya. Sidang dimulai, masing-masing pengacara kedua pihak memberi argumen. Terry mendapatkan pengacara pasti Pak Haris yang menyewa dengan pinjaman uang Pak Adit. Aku hanya kasihan melihat keadaan mereka. Akhirnya setelah mendengar semua argumen, JPU dari Kejaksaan Negeri menuntut Terry hukuman lima tahun penjara. Hakim menerangkan beberapa pasal diantaranya: Pasal 374Penggelapan yang di
Kasus Pak Gading akhirnya mereda dan lama-kelamaan tenggelam. Semua orang sudah dapat jatah ujian hidup masing-masing. Pak Gading akhirnya bisa mendapatkan kembali uangnya dan perusahaannya bisa berjalan lagi. Sedangkan perusahaan Pak Haris yang jatuh ke tangan Pak Adit pun sudah berjalan. Pak Adit menunjuk dan mengangkat staf dari pusat untuk mengurusnya. Lalu bagaimana dengan diriku? Masih tetap sebagai asisten Pak Adit sambil terus belajar. Pak Adit sering mengajak bertemu klien hingga beberapa bos sudah mengenal diriku. Pekerjaanku pun semakin stabil di kantor. Hingga suatu hari, kejadian yang tak disangka aku alami. Pagi itu seperti biasa aku datang kerumah Pak Adit, lalu saat mengetuk pintu muncul sosok wanita modis. Menatapku kaget karena langit masih gelap sudah bertamu. "Kamu siapa?" tanyanya heran. "Saya asisten Pak Adit, Bu! Saya kerja disini," jawabku sopan. "Asisten? Maksud kamu pembantu gitu? Kenapa Adit nggak ada cerita," katanya belum percaya. "Kalo gitu apa saya
"Mama bilang nggak ya nggak! Pembantu itu makanya di belakang bukan dengan majikan. Ngerti kamu, Ayu!" hardik Tante Ria. Aku mengangguk dan senyum kecut saat menatap Pak Adit yang juga tak percaya Mamanya akan seperti itu. Dari sorot matanya, Pak Adit ingin meminta maaf atas sikap Mamanya. Aku hanya diam tak tau harus buat apa. "Pak! Kalo gitu, Ayu ke atas dulu menyiapkan baju," ijinku lalu Pak Adit mengangguk. "Eh, saya kan udah bilang tadi jangan ke atas. Kamu ngeyel ya!" pekik Tante Ria melarang. "Ma, itu udah tugas Ayu tiap hari. Mama jangan larang Ayu!" balas Pak Adit membelaku. "Nanti dia mengambil barang kita diam-diam seperti pembantu yang dulu. Lagian kamu kan bisa mengambil baju sendiri seperti biasanya," kukuh Tante Ria tetap tak setuju. Pak Adit terlihat gusar, aku masih berdiri menunggu keputusan Pak Adit. Tanpa di duga, Pak Adit berdiri lalu mengajakku naik bersama. "Ayo, kita keatas!" "Adit, kamu kok ninggalin Mama makan sendiri. Jangan karena pembantu itu membu
Tiba di kantor, Pak Adit yang baru masuk disuguhi laporan dari sekretaris. Dewi memberikan beberapa map, kemudian keluar. Aku yang sedang mengganti baju kantor di ruangan pribadi Pak Adit pun keluar. "Ada pekerjaan apa hari ini, Pak?" tanyaku lalu duduk berhadapan. Pak Adit yang masih serius memeriksa dokumen, belum menjawab. Aku menunggu sambil menyiapkan buku dan pulpen untuk mencatat hal penting. Pak Adit terlihat mengerutkan keningnya. "Ada apa, Pak?" tanyaku heran. "Ada perusahaan asing yang ingin bekerjasama." "Wah, bagus itu Pak!" pekik ku senang. "Tapi, skalanya terlalu besar. Saya blom berani memutuskan," jawab Pak Adit. "Memangnya mengenai apa?" tanyaku ingin tau. "Perusahaan asing itu ingin kerjasama dengan kita membangun sebuah pusat perbelanjaan. Selain modal yang besar, kita juga membutuhkan ijin pemerintah setempat untuk meminta surat izin mendirikan bangunan," jelas Pak Adit. "Apa sulit untuk dapat surat IMB itu, Pak?" "Tentu saja banyak kendalanya, salah satu
Tiba-tiba ponsel ku bergetar, sebuah pesan masuk dari Pak Adit. [Gimana Ayu, udah dapat?] Aku pun menepuk jidat, hampir lupa kalo aku ditugaskan Pak Adit. Segera aku balas pesan Pak Adit. [Blom, Pak! Ini lagi istirahat sebentar] [Kalo nggak dapat, balik aja. Besok bisa cari lagi] Tanpa membalas lagi, aku kembali mencari lahan. Setelah memutar dua kali mataku melihat ada sebuah lahan kosong cukup lebar. Letaknya juga cukup strategis, dipinggiran kota yang masih ramai. Akhirnya ketemu juga, gumam ku senang. Setiba disana, ternyata ada sebuah mobil terparkir. Seorang pria berjas sedang mengamati sekitarnya. Sepertinya juga mencari lahan yang sama denganku. Turun dari motor, aku berjalan mengamati lahan itu. Tanpa diketahui pria berjas itu, aku membelakanginya hingga saat kami saling pandang sama-sama terkejut. "Loh, Ayu?" "Om Seno?" "Kamu ngapain disini? Sama siapa?" tanya Om Seno mendekati dan celingukan. "Ayu sendiri, Om! Ayu dapat tugas dari Pak Adit," jawabku masih tak men
"Lihat dulu Om, sebentar lagi Om akan terkejut!" Benar saja saat rekaman itu menampakkan lelaki preman itu, Om Seno nyaris shock apalagi saat Tante Fitri memberikan amplop pada lelaki itu. "Kurang ajar kamu Fitri, jadi ini kelakuanmu. Lihat aja apa yang akan aku perbuat padamu!" gumam Om Seno marah sampai menggeletukkan giginya. Terlihat amarah di wajah Om Seno, hingga keluar segala makian dari mulutnya. Baru sekali ini aku melihat Om Seno begitu murka yang biasanya bersikap lembut. Ini sama aja dengan membangunkan singa yang tertidur. "Ayu, bisa kirimkan video ini ke ponsel Om?" "Bisa, Om bentar! Sekalian sama foto rumah lelaki itu," jawabku membuka aplikasi hijau. "Kamu tau rumahnya?" tanya Om tak percaya. "Ya, tadi setelah merekam Ayu membuntuti lelaki itu hingga ke rumahnya. Dan ini alamatnya," kataku menyerahkan secarik kertas yang ku tulis tadi. Om Seno mengangguk, aku tidak tau apa yang akan dilakukannya. Aku tidak bisa membantu banyak, mungkin ini sedikit bisa memecahk
Baru saja siap makan, tiba-tiba pintu kantor terbuka. Masuk Tante Ria dengan wajah sangar, di belakangnya berdiri Marissa. Aku dan Pak Adit terkejut. "Mama ngapain datang lagi, bukankah tadi sudah pulang?" tanya Pak Adit heran. "Oh, jadi gini kerja pembantu kamu itu! Nggak di rumah sama di kantor sama aja, cuma mengurusi kamu makan aja," ucap Tante Ria keras sambil menatapku dan meja yang masih berserak kotak nasi dan plastik. "Eh, kamu pembantu nggak tau malu! Berkaca dong, ini kantor jangan ganggu Adit kerja dengan godaan murahan kamu itu," ejek Tante Ria menunjuk-nunjuk. "Mama apa-apaan, sih? Ayu juga kerja di sini, bukan hanya mengurusi makan Adit. Dia juga baru pulang dari mengurus hal luar perusahaan," jawab Pak Adit berang. Aku hanya diam tanpa berkomentar, apalagi kulihat Marissa menatap sinis dan mencibir. Aku heran kenapa dia bisa datang dengan Tante Ria? Pasti dia ingin mengadu domba aku dengan Pak Adit. "Halah, kamu aja yang tertipu, Dit! Ayu keluar itu cuma main-mai