“Halo.” Suara ketus bercampur serak meluncur cepat dari bibir mungil Debby ketika menjawab panggilan telepon. Matanya sudah kembali terpejam begitu tadi berhasil menggeser tombol hijau.
“Selamat malam. Maaf mengganggu. Apakah saya sedang berbicara dengan Debby, sahabat Fanny?” Terdengar suara maskulin dengan latar suara yang berisik dari seberang ponsel.
“Ugh! Siapa sih ini?” gerutu Debby lirih. Ia semakin kesal dengan gangguan tengah malam ini. Dengan ogah-ogahan dan mata setengah terbuka, Debby memeriksa layar ponsel yang sudah dijauhkan dari daun telinganya. Nama My Best Funny tertera pada layar ponsel. Seketika mata sipitnya terbuka lebar dan tubuhnya melenting bangun dari posisi tidurnya. Netra Debby juga melihat sekilas jam digital yang ada pada layar yang memberitahunya kalau sekarang sudah pukul 23.46 WIB.
“Astaga! Kenapa suara laki-laki? Jangan-jangan Fanny dalam bahaya!” batin Debby berteriak panik.
“Halo … halo ….” Samar-samar kembali terdengar suara maskulin dari seberang ponsel. Suara latar belakang yang berisik masih terdengar sayup-sayup.
Debby kembali mendekatkan ponselnya ke telinga dan langsung mencecar pemilik suara maskulin di seberang ponsel dengan pertanyaan bertubi-tubi. “Siapa kamu? Di mana Fanny? Apa yang sudah kamu lakukan padanya? Mana dia? Aku mau bicara sama Fanny!”
“Hei, hei, hei! Tenang dulu. Saya Niel, teman Fanny juga. Saya sudah sering mendengar namamu disebut-sebut oleh Fanny,” sahut pria di seberang telepon yang berusaha menenangkan Debby.
“Apa?” tanya Debby dengan heran di tengah-tengah kepanikannya. Dalam hati, Debby langsung mengutuki mulut ember sahabatnya itu.
“Lupakan dulu soal itu. Sekarang, bisakah saya minta tolong padamu? Fanny sedang mabuk berat. Saya tidak bisa mengantarnya pulang saat ini. Eh … ” ujar pemilik suara maskulin itu dengan penuh keraguan sebelum akhirnya memohon, “jadi, bisakah kamu menjemput Fanny? Please?”
“Apa? Laki-laki macam apa kamu ini? Bukankah kamu bersama-sama dengan Fanny? Kenapa sekarang kamu nggak bisa mengantarnya pulang? Kalau nggak bisa tanggung jawab, jangan berani-berani mengajak perempuan!” semprot Debby pedas. Kantuknya hilang seketika. Ia tak habis pikir dengan sosok di seberang telepon yang mengaku sebagai teman Fanny itu.
“Makanya nggak usah berurusan sama cowok, Fan!” omel Debby dalam hati pada sahabatnya.
Debby sempat mendengar sentakan kaget dari seberang telepon, tetapi ia tak peduli. Sebelum pria itu sempat berkata-kata, Debby sudah kembali mencerca, “Benar-benar bukan pria gentle, ya! Apa kamu sadar sekarang ini jam berapa, ha? Sudah nggak bisa mengantar pulang seorang perempuan, sekarang malah minta perempuan lain ke luar rumah tengah malam cuma buat menjemput! Benar-benar, ya!” Debby menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ada jeda sejenak sebelum embusan napas dan suara maskulin kembali terdengar melalui speaker ponsel. “Apa kamu sudah selesai marah-marahnya?”
Debby tertegun mendengar pertanyaan dari seberang ponsel. “Apa?”
“Saya sedang bekerja. Saat ini, Fanny sedang berada di hadapan saya di meja bar,” jelas pria yang mengaku bernama Niel itu dengan nada yang sabar menanggapi tuduhan Debby.
Debby kembali tertegun ketika mencerna informasi yang masuk ke gendang telinganya. “Oh, sial! Maaf,” kata Debby sedikit menyesal sembari mengusap-usap kening dengan tangannya yang bebas. “Maafkan saya,” ulang Debby.
“Tapi … uhm,” lanjut Debby dengan ragu-ragu—bibir mungilnya menjadi sasaran gigitan gigi-giginya yang putih, “memangnya pekerjaanmu nggak bisa ditinggal sebentar?”
Desah napas panjang kembali terdengar. “Sayangnya tidak bisa. Kalau bisa, pasti saya tidak akan merepotkan kamu.” Suara maskulin itu hilang sesaat, hanya terdengar suara hiruk pikuk di latar belakang sebelum akhirnya terdengar kembali. “Baiklah, kalau kamu keberatan ….”
“Oke, oke,” potong Debby cepat, “saya mengerti. Saya akan jemput Fanny. Lebih baik dia pulang sama saya daripada sama kamu! Tolong berikan alamat kalian,” pinta Debby kemudian sambil menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, lalu menurunkan kedua kaki jenjangnya ke lantai. Suara gemerincing dari seuntai rantai emas yang melingkari pergelangan kaki kanan Debby ketika bergerak terdengar cukup jelas di kesunyian malam.
Setelah meraba-raba dan mengenakan sandal rumah, kedua kakinya dilangkahkan ke arah pintu kamar. Tangannya menekan saklar lampu yang berada di samping pintu. Seketika, cahaya terang menyinari kamar tidur berukuran tiga kali empat setengah meter itu. Debby memejamkan mata sejenak untuk menghalau silau, lalu mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya.
“Kami di Nath’s Café. Kamu tahu tempatnya?”
“Ah, ya, ya. Saya tahu,” jawab Debby. “Meskipun aku belum pernah masuk ke sana,” imbuhnya dalam hati.
“Oke, saya tunggu kalau begitu. By the way, trims, Debby.”
“Hmm.” Hanya itu respons yang diberikan Debby sebelum akhirnya sambungan telepon terputus.
Seraya beranjak kembali ke tempat tidur untuk meletakkan ponsel di atas meja kecil, pemilik nama lengkap Debbora Anastasia Asmaredja itu tak henti-hentinya menggerutu, “Sialan kamu, Fan! Kalau bukan sahabat baikku, jangan harap aku mau keluyuran tengah malam begini. Apa sih yang ada di otakmu dengan mabuk?! Sudah berkali-kali kuingatkan, jangan sampai mabuk. Bahaya, tahu!”
Meskipun bibir mungilnya mengerucut dan mengeluarkan gerutuan, Debby tak menghentikan aktivitasnya yang tengah bersiap-siap untuk menjemput Fanny. Setelah mencuci muka sebentar dan mengganti pakaian tidur serta memakai jaket, ia segera mengambil kunci mobil dan dompet dari dalam laci teratas meja kecilnya. Baru dua langkah menjauhi tempat tidur, ia kembali berbalik dan menyambar ponsel di atas meja. Geraman lirih lolos dari bibir mungilnya.
Tiga puluh menit kemudian, Debby telah memarkir mobilnya di lahan parkir Nath’s Café. Namun, ia tak langsung keluar dari mobil SUV cokelat gelap yang ditumpanginya. Ia hanya duduk dengan menggenggam erat setir mobil.
Di area depan kelab malam, masih ada beberapa orang yang berlalu lalang, tetapi tatapan mata sipit Debby hanya terarah pada pintu masuk kelab malam. Beberapa kali, bola matanya bergulir ke kiri dan ke kanan. Sejurus kemudian, kelopak matanya menutup rapat. Kernyitan yang dalam muncul di antara kedua alisnya yang hitam melengkung seperti bulan sabit. Kepalanya dientak-entakkan ke belakang sebelum akhirnya bergoyang dengan cepat ke kiri dan ke kanan. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Kedua tangannya juga mulai terasa dingin.
“Sial, sial, sial! Ternyata efeknya masih ada,” gumam Debby di antara gelengan kepalanya. Wanita itu berusaha memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru. “Please, please, jangan sekarang!”
Beberapa waktu berlalu dalam keheningan, hanya terdengar deru napas Debby yang memburu. Matanya masih terpejam erat dan kepalanya masih bersandar pada sandaran kepala. Genggaman kedua tangan pada setir mobil belum juga mengendur, bahkan sekarang semakin erat.Debby berusaha menenangkan diri. “Tarik napas, embuskan. Tarik, embuskan,” gumam Debby berkali-kali. “Oke, kamu nggak apa-apa. Kamu baik-baik aja, Deb. Kamu pasti bisa!”Bagaikan mantra, wanita berparas oriental itu mengulang-ulang kalimat yang sama dalam hati. Ia mencoba memberikan sugesti pada dirinya sendiri. Lama-kelamaan genggaman tangan pada roda kemudi mulai mengendur.Sesudah beberapa saat yang terasa panjang, matanya kini terbuka. Tatapannya kembali terpaku pada pintu masuk kelab malam. Sudah lima menit berlalu sejak ia memarkirkan kendaraannya, tetapi ia belum juga beranjak dari dalam mobil. Akhirnya, setelah membuang napas panjang untuk terakhir kali, Debby membulatkan tekad dan segera keluar dari mobil berlogo tiga ov
Suara maskulin yang cukup keras tertangkap indra pendengaran Debby. Wanita itu menoleh ke arah asal suara. Ia mengeryit heran mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya sejenak pria asing itu tanpa menjawab pertanyaannya. Lalu perhatiannya dialihkan kembali pada Fanny. “Saya Niel!” seru pria asing itu dengan cepat seraya mengulurkan tangan kanannya di bawah hidung Debby. “Oh.” ‘Si pria penelepon tadi.’ Debby sebetulnya enggan berurusan dengan pria asing. Namun, mengingat pria di hadapannya ini mengaku sebagai teman Fanny, setelah bimbang sejenak, dengan berat hati disambutnya juga uluran tangan itu. “Debby.” “Biar saya bantu,” tawar Niel ketika Debby kesusahan mengangkat Fanny. Tanpa memberikan respons apa pun, mereka lalu mengangkat Fanny bersama-sama agar berdiri. Sosok yang berusaha dipapah meracau tidak jelas, tetapi tidak dihiraukan oleh mereka berdua. Lengan kiri Fanny dikalungkan ke leher Debby sementara tangan kanan Debby melingkari pinggang kurus Fanny. Sesudah Debby merasa
Suara pria yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya membuat Debby berjingkat. “Sial!” umpat Debby ketika kunci mobilnya terlepas dari genggaman tangannya. Tubuh Fanny yang memang sudah sempoyongan semakin terdorong ke samping karena gerakan Debby yang tiba-tiba. Buru-buru diposisikan lagi pegangan tangannya pada tubuh Fanny. Ia tak menyangka kalau ada seseorang yang membuntutinya. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya seketika meremang. Debar jantungnya yang sedari tadi sudah berpacu cepat kini semakin bertalu-talu. Untuk sesaat, ia mengira kalau jantungnya sudah berpindah lokasi karena sekarang tengah berdetak di dekat gendang telinga dan bukannya di rongga dadanya. Kepalanya pun segera ditolehkan dengan cepat ke arah pria penguntit yang menegurnya. “Siapa kamu? Dan mau apa? Kamu menguntit aku, ya?” sergah Debby sengit campur panik. Tubuhnya memutar sedikit, membawa serta Fanny. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri menilai situasi. Masih terdapat beberapa orang yang berlalu-lala
Isi kepala Debby sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menyenangkan jika pekerjaan kali ini berhasil. Pundi-pundi uangnya akan semakin menggelembung meskipun itu bukan satu-satunya tujuan ia bekerja. Keluarganya bukannya kurang mampu meski bukan pula keluarga kaya raya yang kekayaannya hingga tujuh turunan tak akan habis-habis.Namun, ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri dengan menggeluti pekerjaannya saat ini. Belum lagi jika klien merasa puas dengan hasil kerjanya. Bertemu dengan orang-orang baru juga akan semakin memperluas jaringan relasi yang sudah dimilikinya hingga kini. Daftar portofolionya pun akan semakin panjang dengan beragam hasil dan klien, dari yang skala kecil hingga skala besar.Keberhasilan yang sudah ia raih hingga saat ini memang sedikit banyak telah sukses membungkam protes keras yang dilontarkan sang mami ketika pertama kali ia memutuskan untuk menjadi pekerja lepas. Meskipun demikian, ia tetap tidak bisa bernapas lega. Ia menyadari kalau di waktu-waktu
Setelah menunggu beberapa saat di depan salah satu lift, pintu kotak baja itu akhirnya terbuka. Debby segera masuk bersama dengan dua orang lainnya. Di dalam lift, Debby menyempatkan diri membalas pesan dari Fanny yang menyatakan kalau ia akan bertemu dengan calon klien potensial dan akan menghubungi Fanny setelah pertemuan selesai. Sesudah membalas pesan, Debby kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Netranya kemudian beralih menatap indikator lantai di atas panel tombol angka. Dalam perjalanan menuju lantai sepuluh, beberapa kali pintu lift membuka dan menutup. Ketika pintu lift terbuka di lantai sepuluh, Debby segera melangkah keluar dari kotak baja yang membawanya ke lantai ini hanya dalam hitungan kurang dari dua menit. Mengikuti arahan yang diberikan Sonia tadi, Debby segera menjauhi lift ke sisi kiri. Di depan meja keempat—meja paling ujung, Debby menyapa seorang wanita muda yang tengah duduk membelakanginya. “Selamat siang.” Wanita yang tengah menanti kertas keluar dari
William baru saja keluar dari lift khusus direksi yang berada di lorong sebelah kiri lobi ketika matanya menangkap sosok wanita yang terasa tidak asing. Wanita itu tengah berjalan menuju meja resepsionis. Mata William terus mengamati gerak-gerik si wanita sementara telinganya sudah tak mendengarkan lagi obrolan sekretaris di sampingnya yang sekaligus juga merupakan sahabat dekatnya itu. “Eh, kamu duluan aja, Leon. Nanti aku menyusul,” ucap William tanpa memandang Leon, sang sekretaris. “Ha? Apa? Memangnya ada apa?” tanya Leon dengan raut bingung. “Sudah sana! Tunggu aja di mobil. Nih, kuncinya. Aku ada urusan sebentar,” usir William dengan enteng sembari mengulurkan kunci mobil di hadapan Leon. “Astaga! Kamu ini!” Leon meninju bahu William sebelum menyambar kunci itu. “Mentang-mentang aku ini bawahan sekaligus sahabat baikmu, kamu main usir aku gitu aja?” “Ck,” decak William tak sabar sambil melirik Leon dengan tajam. Mereka sudah hampir mencapai meja resepsionis. “Baiklah, baik
Lamunan William sedikit buyar ketika panggilan Leon sampai ke gendang telinganya. “Hmm?” Meskipun demikian, William masih belum fokus menanggapi sahabatnya. ‘Sepertinya aku harus mengeceknya nanti.’ “Barusan kamu ngomong apa sih? Apa ada masalah?” tanya Leon. “Sudah kuperhatikan dari tadi, kamu itu kayak lagi nggak di sini pikirannya. Melamun terus dari tadi, bahkan dari mobil mulai bergerak, lo. Ada apa sih?” William mendesah sebelum menjawab, “Gak ada apa-apa.” “Nggak ada apa-apa, tapi kenapa mendesah gitu? Kayak yang lagi berbeban berat aja,” seloroh Leon. “Yang harusnya berbeban berat tuh aku. Kamu kasih kerjaan nggak tanggung-tanggung,” imbuhnya kemudian disusul dengan kekehan pelan. “Ck! Apa kamu mau makan gaji buta? Kalau gitu, bulan ini potong gaji, oke?” “Buset! Calm down, Bos! Aku cuma bercanda,” dalih Leon. Setelah jeda sesaat, suara Leon kembali mengisi kabin mobil di tengah-tengah alunan instrumen yang masih diputar. “Hari ini kamu kenapa sih? Benar-benar di luar k
“Ko Niel?” celetuk Fanny ketika melihat siapa yang menghampiri meja mereka. Sedetik kemudian senyum lebar tersungging di bibirnya. “Sendirian aja, Ko?” tanya Fanny lebih lanjut. Debby hanya melirik sekilas dari samping. Merasa tidak mengenal sosok yang baru saja menghampiri mereka, Debby tak memedulikan lagi pria tersebut. Tak ingin mengganggu interaksi antara sahabatnya dengan pria itu, Debby memutuskan untuk membuka ponselnya. Ia sempat melirik sekilas pada sahabatnya yang masih tersenyum ceria. “Enggak. Tuh, sama mereka.” Indra pendengaran Debby menangkap suara berat pria itu yang menjawab pertanyaan Fanny. “Halo, Debby.” Tiba-tiba suara berat itu beralih padanya. “Kita ketemu lagi nih.” Debby yang tengah menunduk menekuri layar ponselnya, terperanjat. “Eh, iya,” sahut Debby tergagap. Dirinya tak menyangka akan disapa. ‘Dari mana dia tahu namaku? Apa kami pernah ketemu sebelumnya?’ Benak Debby diliputi keheranan. Melalui tatapan mata sipitnya, Debby bertanya pada Fanny, tetapi