Share

Wanita Incaran CEO Arogan
Wanita Incaran CEO Arogan
Penulis: R_niThio

BAB 1 ~ SOS

“Halo.” Suara ketus bercampur serak meluncur cepat dari bibir mungil Debby ketika menjawab panggilan telepon. Matanya sudah kembali terpejam begitu tadi berhasil menggeser tombol hijau.

“Selamat malam. Maaf mengganggu. Apakah saya sedang berbicara dengan Debby, sahabat Fanny?” Terdengar suara maskulin dengan latar suara yang berisik dari seberang ponsel.

“Ugh! Siapa sih ini?” gerutu Debby lirih. Ia semakin kesal dengan gangguan tengah malam ini. Dengan ogah-ogahan dan mata setengah terbuka, Debby memeriksa layar ponsel yang sudah dijauhkan dari daun telinganya. Nama My Best Funny tertera pada layar ponsel. Seketika mata sipitnya terbuka lebar dan tubuhnya melenting bangun dari posisi tidurnya. Netra Debby juga melihat sekilas jam digital yang ada pada layar yang memberitahunya kalau sekarang sudah pukul 23.46 WIB.

“Astaga! Kenapa suara laki-laki? Jangan-jangan Fanny dalam bahaya!” batin Debby berteriak panik.

“Halo … halo ….” Samar-samar kembali terdengar suara maskulin dari seberang ponsel. Suara latar belakang yang berisik masih terdengar sayup-sayup.

Debby kembali mendekatkan ponselnya ke telinga dan langsung mencecar pemilik suara maskulin di seberang ponsel dengan pertanyaan bertubi-tubi. “Siapa kamu? Di mana Fanny? Apa yang sudah kamu lakukan padanya? Mana dia? Aku mau bicara sama Fanny!”

“Hei, hei, hei! Tenang dulu. Saya Niel, teman Fanny juga. Saya sudah sering mendengar namamu disebut-sebut oleh Fanny,” sahut pria di seberang telepon yang berusaha menenangkan Debby.

“Apa?” tanya Debby dengan heran di tengah-tengah kepanikannya. Dalam hati, Debby langsung mengutuki mulut ember sahabatnya itu.

“Lupakan dulu soal itu. Sekarang, bisakah saya minta tolong padamu? Fanny sedang mabuk berat. Saya tidak bisa mengantarnya pulang saat ini. Eh … ” ujar pemilik suara maskulin itu dengan penuh keraguan sebelum akhirnya memohon, “jadi, bisakah kamu menjemput Fanny? Please?

“Apa? Laki-laki macam apa kamu ini? Bukankah kamu bersama-sama dengan Fanny? Kenapa sekarang kamu nggak bisa mengantarnya pulang? Kalau nggak bisa tanggung jawab, jangan berani-berani mengajak perempuan!” semprot Debby pedas. Kantuknya hilang seketika. Ia tak habis pikir dengan sosok di seberang telepon yang mengaku sebagai teman Fanny itu.

“Makanya nggak usah berurusan sama cowok, Fan!” omel Debby dalam hati pada sahabatnya.

Debby sempat mendengar sentakan kaget dari seberang telepon, tetapi ia tak peduli. Sebelum pria itu sempat berkata-kata, Debby sudah kembali mencerca, “Benar-benar bukan pria gentle, ya! Apa kamu sadar sekarang ini jam berapa, ha? Sudah nggak bisa mengantar pulang seorang perempuan, sekarang malah minta perempuan lain ke luar rumah tengah malam cuma buat menjemput! Benar-benar, ya!” Debby menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ada jeda sejenak sebelum embusan napas dan suara maskulin kembali terdengar melalui speaker ponsel. “Apa kamu sudah selesai marah-marahnya?”

Debby tertegun mendengar pertanyaan dari seberang ponsel. “Apa?”

“Saya sedang bekerja. Saat ini, Fanny sedang berada di hadapan saya di meja bar,” jelas pria yang mengaku bernama Niel itu dengan nada yang sabar menanggapi tuduhan Debby.

Debby kembali tertegun ketika mencerna informasi yang masuk ke gendang telinganya. “Oh, sial! Maaf,” kata Debby sedikit menyesal sembari mengusap-usap kening dengan tangannya yang bebas. “Maafkan saya,” ulang Debby.

“Tapi … uhm,” lanjut Debby dengan ragu-ragu—bibir mungilnya menjadi sasaran gigitan gigi-giginya yang putih, “memangnya pekerjaanmu nggak bisa ditinggal sebentar?”

Desah napas panjang kembali terdengar. “Sayangnya tidak bisa. Kalau bisa, pasti saya tidak akan merepotkan kamu.” Suara maskulin itu hilang sesaat, hanya terdengar suara hiruk pikuk di latar belakang sebelum akhirnya terdengar kembali. “Baiklah, kalau kamu keberatan ….”

“Oke, oke,” potong Debby cepat, “saya mengerti. Saya akan jemput Fanny. Lebih baik dia pulang sama saya daripada sama kamu! Tolong berikan alamat kalian,” pinta Debby kemudian sambil menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, lalu menurunkan kedua kaki jenjangnya ke lantai. Suara gemerincing dari seuntai rantai emas yang melingkari pergelangan kaki kanan Debby ketika bergerak terdengar cukup jelas di kesunyian malam.

Setelah meraba-raba dan mengenakan sandal rumah, kedua kakinya dilangkahkan ke arah pintu kamar. Tangannya menekan saklar lampu yang berada di samping pintu. Seketika, cahaya terang menyinari kamar tidur berukuran tiga kali empat setengah meter itu. Debby memejamkan mata sejenak untuk menghalau silau, lalu mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya.

“Kami di Nath’s  Café. Kamu tahu tempatnya?”

“Ah, ya, ya. Saya tahu,” jawab Debby. “Meskipun aku belum pernah masuk ke sana,” imbuhnya dalam hati.

“Oke, saya tunggu kalau begitu. By the way, trims, Debby.”

“Hmm.” Hanya itu respons yang diberikan Debby sebelum akhirnya sambungan telepon terputus.

Seraya beranjak kembali ke tempat tidur untuk meletakkan ponsel di atas meja kecil, pemilik nama lengkap Debbora Anastasia Asmaredja itu tak henti-hentinya menggerutu, “Sialan kamu, Fan! Kalau bukan sahabat baikku, jangan harap aku mau keluyuran tengah malam begini. Apa sih yang ada di otakmu dengan mabuk?! Sudah berkali-kali kuingatkan, jangan sampai mabuk. Bahaya, tahu!”

Meskipun bibir mungilnya mengerucut dan mengeluarkan gerutuan, Debby tak menghentikan aktivitasnya yang tengah bersiap-siap untuk menjemput Fanny. Setelah mencuci muka sebentar dan mengganti pakaian tidur serta memakai jaket, ia segera mengambil kunci mobil dan dompet dari dalam laci teratas meja kecilnya. Baru dua langkah menjauhi tempat tidur, ia kembali berbalik dan menyambar ponsel di atas meja. Geraman lirih lolos dari bibir mungilnya.

Tiga puluh menit kemudian, Debby telah memarkir mobilnya di lahan parkir Nath’s Café. Namun, ia tak langsung keluar dari mobil SUV cokelat gelap yang ditumpanginya. Ia hanya duduk dengan menggenggam erat setir mobil.

Di area depan kelab malam, masih ada beberapa orang yang berlalu lalang, tetapi tatapan mata sipit Debby hanya terarah pada pintu masuk kelab malam. Beberapa kali, bola matanya bergulir ke kiri dan ke kanan. Sejurus kemudian, kelopak matanya menutup rapat. Kernyitan yang dalam muncul di antara kedua alisnya yang hitam melengkung seperti bulan sabit. Kepalanya dientak-entakkan ke belakang sebelum akhirnya bergoyang dengan cepat ke kiri dan ke kanan. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Kedua tangannya juga mulai terasa dingin.

“Sial, sial, sial! Ternyata efeknya masih ada,” gumam Debby di antara gelengan kepalanya. Wanita  itu berusaha memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru. “Please, please, jangan sekarang!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status