Share

BAB 2 ~ SINGA BETINA

Beberapa waktu berlalu dalam keheningan, hanya terdengar deru napas Debby yang memburu. Matanya masih terpejam erat dan kepalanya masih bersandar pada sandaran kepala. Genggaman kedua tangan pada setir mobil belum juga mengendur, bahkan sekarang semakin erat.

Debby berusaha menenangkan diri. “Tarik napas, embuskan. Tarik, embuskan,” gumam Debby berkali-kali. “Oke, kamu nggak apa-apa. Kamu baik-baik aja, Deb. Kamu pasti bisa!”

Bagaikan mantra, wanita berparas oriental itu mengulang-ulang kalimat yang sama dalam hati. Ia mencoba memberikan sugesti pada dirinya sendiri. Lama-kelamaan genggaman tangan pada roda kemudi mulai mengendur.

Sesudah beberapa saat yang terasa panjang, matanya kini terbuka. Tatapannya kembali terpaku pada pintu masuk kelab malam. Sudah lima menit berlalu sejak ia memarkirkan kendaraannya, tetapi ia belum juga beranjak dari dalam mobil. Akhirnya, setelah membuang napas panjang untuk terakhir kali, Debby membulatkan tekad dan segera keluar dari mobil berlogo tiga oval yang menumpuk secara horizontal dan vertikal.

Suara musik yang sanggup menggetarkan dinding kaca itu langsung menerpa gendang telinga Debby begitu pintu kelab malam terbuka. Suaranya sungguh bising bagi telinga Debby yang tidak terbiasa. Debby yang seumur-umur baru dua kali ini menginjakkan kakinya ke dalam sebuah kelab malam sempat kebingungan sejenak. Matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan dengan pencahayaan di dalam kelab malam yang temaram.

“Duh! Apa enaknya sih tempat kayak gini? Suaranya mengentak-entak! Gelap pula! Apa yang kamu cari di sini sih, Fan, Fan? Mending tidur deh,” keluh Debby dengan suara lirih. Bibir mungilnya tak henti-hentinya mengomeli sang sahabat.

Setelah matanya terbiasa di dalam keremangan, Debby mengedarkan pandangan mencari sosok Fanny di antara sekian banyak orang. Mata sipitnya lalu melihat meja bar yang ada di bagian kiri ruangan dengan pencahayaan yang lebih terang. Didekatinya meja bar itu perlahan-lahan. Ia tak ingin bersinggungan dengan para pengunjung yang memenuhi kelab malam.

“Duh! Ramai banget lagi!” Bibir Debby kembali menggerutu dengan lirih. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari biasanya. Sambil menguatkan hati, dicarinya sosok Fanny di sekitar meja bar itu.

Tak lama kemudian, dilihatnya sesosok wanita yang perawakannya mirip dengan Fanny tengah duduk di depan meja bar. Namun, karena wajahnya tertelungkup di atas lipatan kedua lengan dan jarak yang masih cukup jauh, Debby tak yakin apakah sosok itu sahabatnya atau bukan. Seraya terus berjalan menghindari orang-orang, pandangan mata Debby tak lepas dari sosok berambut sebahu itu. Ketika ia melihat profil wajahnya yang tengadah beberapa detik kemudian, Debby menjadi yakin dan mempercepat langkah kakinya, terutama saat matanya menangkap pergerakan seorang pria di samping Fanny yang berusaha menyentuh bahu Fanny.

Langkah Debby yang semakin cepat tidak memedulikan sekelilingnya lagi. Dalam perjalanannya yang terburu-buru itu, Debby bersinggungan cukup keras dengan seseorang. Namun, tak dihiraukan oleh Debby. Wanita itu hanya mengucapkan sepatah kata maaf dengan sambil lalu.

*****

“Hei!” seru seorang pria dengan jas tersampir pada lengan kiri sementara jari jemari tangannya menggenggam gelas kosong. Pria berkemeja biru dongker tersebut mencoba menghentikan wanita yang baru saja bertabrakan dengannya yang terus saja melangkah.

Langkah wanita itu baru berhenti ketika si pria berhasil mencekal dan sedikit menyentak lengan kanannya. Namun, sentakannya rupanya terlalu keras karena tubuh wanita itu sampai terhuyung mundur dan setengah berbalik. Lelaki itu merasa tak enak hati. Ia tak bermaksud kasar pada wanita berjaket denim tersebut.

“Maaf, maaf. Apa kamu gak apa-apa?” tanya pria itu yang membuat si wanita menatap keheranan.

“Apa?” Wanita itu malah balik bertanya dengan raut bingung. Sosok di hadapannya hanya mendongak, menatap padanya selama beberapa detik. Wanita itu tak mengatakan apa-apa lagi, tetapi muncul kerutan di antara kedua mata sipitnya. Cahaya lampu disko sekilas menyorot wajah bulat telur milik wanita itu.

‘Wow, mata yang indah! Wajahnya pun tak kalah cantik.’

Atensi pria berkemeja biru dongker itu seketika buyar ketika si wanita memutus kontak mata. Tatapan tajam wanita itu kini beralih ke bawah, tertuju pada lengan kanannya. Mengikuti arah pandang wanita itu, baru disadari oleh si pria jika tangannya masih mencekal lengan si wanita. Buru-buru dilepasnya cekalan tangannya.

Begitu terlepas dari cekalan, wanita itu segera menoleh ke balik bahunya. Tak lama kemudian, kepalanya kembali berputar. Sayang, tatapannya kali ini hanya sekilas saja.

“Maaf, saya terburu-buru.”

“Maaf, aku sepertinya me ….”

Mereka berbicara bersamaan. Namun, wanita itu sepertinya tak mendengar ucapan si pria karena setelah mengucapkan maaf kembali berbalik dan langsung beranjak dari sana. Langkahnya tergesa-gesa.

“… numpahkan minumanku,” lanjut pria itu dengan suara yang semakin lirih sembari melirik sekilas pada gelas kosong di tangan kirinya.

“Hah,” desah pria itu sembari menggeleng tak percaya. Ia masih memandangi kepergian wanita itu seraya memasukkan tangan kanan pada saku celana panjang kainnya. Pandangan matanya terus mengikuti langkah wanita itu hingga sosok langsing itu menghampiri sepasang pria dan wanita di meja bar.

Ketika melihat wanita berjaket denim itu menegur kasar pria yang dihampirinya, matanya melebar. “Wow, seperti singa betina lagi mengamuk! Memergoki pasangan selingkuh, eh?” komentarnya sambil menggelengkan kepala lagi dan tersenyum miring. “Pantas aja sikapnya seperti itu. Untung bukan aku yang harus berhadapan dengan Singa Betina itu!” imbuhnya sambil terkekeh dan beranjak dari sana.

*****

Debby segera bergegas menghampiri Fanny begitu terbebas dari gangguan yang menurutnya telah membuang-buang waktunya saja. Jantungnya sudah kembali berdebar-debar ketika melihat pria tak dikenal itu masih berada di samping Fanny. Pria asing itu kini tengah berbicara dengan Fanny. Fokusnya kembali tertuju pada mereka. Ia langsung melupakan pria yang baru saja bertabrakan dengan dirinya.

“Hei! Siapa kamu? Jangan ganggu sahabatku, ya!” seru Debby sengit begitu berada di belakang mereka. Suaranya cukup keras untuk mengalahkan suara ingar bingar musik. Tangannya pun tak tinggal diam. Ditepisnya tangan pria itu yang bertengger di bahu Fanny. Segera setelah tangan itu tersingkir, tangan kanan Debby menggantikan posisi tangan pria itu di bahu Fanny.

“Ayo, pulang!” cetus Debby, kali ini ditujukan pada sahabatnya. Ia sudah tak menghiraukan lagi pria asing yang masih berdiri di sisi lain Fanny.

Wanita yang tengah mabuk itu menoleh ke arah Debby. Sesudah tiga detik berlalu, ia menyunggingkan cengiran lebar seraya berkata, “Eh, kamu ….” Ucapannya terpotong oleh bunyi cegukan yang cukup keras. Tangannya yang bebas menempel ringan di bibir tipisnya. “Ups, sori! Kamu, Deb?”

“Hmm!” Hanya itu jawaban yang dilontarkan Debby. “Bagus kamu masih mengenaliku!” imbuhnya beberapa detik kemudian. Kedua tangannya berusaha mengangkat Fanny agar berdiri.

“Ayo, sekarang pulang,” ajak Debby lagi, kali ini suaranya lebih lembut, tetapi masih tegas.

“Kamu Debby?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status