“Gak!” sahut William cepat seraya menggeser pantatnya menjauh. Tangannya yang bebas bergoyang-goyang dengan keras di depan dada. “Ampun, Baby.”
Debby memicingkan mata ketika lelaki itu justru semakin melebarkan cengirannya. Rona bahagia jelas terpancar pada wajah berdagu belah itu. Debby sampai tak habis pikir dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Kenapa, Baby?”
“Nggak apa-apa kok, Ko. Cuma lagi kepikiran aja,” elak Debby.
“Kepikiran soal apa?” kejar William.
Senyum sang CEO sudah menghilang dan berganti dengan tampang serius. Pun demikian dengan Debby. William bahkan sudah menggeser lagi pantatnya mendekati Debby.
“Yah, ini semua. Terutama soal masa laluku. Jujur aja aku nggak tahu tanggapan Koko nanti kayak apa.”
“Diam!” bentak Yuyun setelah melayangkan tangan.Pemuda itu kembali menyerang bibir Debby tanpa ampun. Sekarang, tubuh kecil Debby justru didorong merapat hingga berimpitan tanpa jarak dengan tubuh Yuyun. Perasaan horor sudah merayapi sekujur tubuh Debby. Air matanya sudah meleleh dengan deras di kedua pipi. Namun, Debby terus berusaha melawan.Lumatan kasar pemuda berstatus pacar di bibirnya itu rasanya tak pernah berakhir. Debar jantungnya sudah menggila tak karuan. Debby sudah ketakutan setengah mati, apalagi saat tangan bertato itu mulai merayap di sisi luar pahanya dan terus bergerak ke arah dalam dari balik rok denimnya.“Ko Hendy! Tolong! Tolong aku, Ko!” jerit Debby berulang-ulang dalam hati. Pandangan matanya yang kabur karena terhalang air mata terus menatap pintu yang masih tertutup rapat.Gadis itu memekik put
Meskipun ia sudah menduga kalau kekasihnya kemungkinan besar pernah disakiti oleh seseorang dari kaumnya di masa lalu, ia tidak menyangka kalau peristiwa yang dialami Debby sampai sedemikian rupa buruknya. William berusaha mendengarkan dengan kalem meski darahnya sudah menggelegak. Ia murka mengetahui kekasihnya mengalami siksaan dan penderitaan seperti itu.Rasanya ia ingin mencabik-cabik orang itu. Namun, ia berusaha mengendalikan diri. Ia tidak mau menambah stres atau ketakutan pada kekasihnya. Ia terus mendengarkan penuturan Debby hingga akhir tanpa menginterupsi. Meskipun begitu, hatinya ikut sakit melihat kekasihnya menangis, melihat ketakutan di mata beriris cokelat tua itu, apalagi membayangkan bagaimana kekasihnya harus melewati semua itu di masa lalu.Tanpa melepas genggaman tangannya, William mengambil kotak tisu dan meletakkannya di atas pangkuan Debby. Wanita itu menjengit
Wanita yang sudah tergelak itu semakin terpingkal-pingkal. “Ya, ampun! Ko Billy benar-benar kayak bocah TK, tahu! Cuma badannya aja super gede.” Wanita itu tak berhenti tertawa.“Ini sih bukan bongsor lagi namanya, Ko, tapi raksasa,” ucap Debby lagi seraya mengusap kedua ekor matanya.William hanya tertawa sembari mendudukkan pantatnya di samping wanita itu lagi. Tangannya kemudian mengangsurkan guling singa itu ke hadapan Debby yang diterimanya setelah ragu-ragu sejenak. Wanita itu pun kembali melontarkan candaan-candaan dengan Bora dan dirinya sebagai objek gurauan.William tidak keberatan sama sekali. Ia justru sangat senang bisa melihat wanita itu tertawa lepas lagi seperti itu setelah menceritakan secuil kisah hidupnya yang pilu. Dalam hati, William berjanji untuk terus membuat wanita itu tertawa bahagia.“Berbahagialah,
“Ya, Al, ada apa?” tanya William begitu panggilan video diterima.“Lo, Koko gak baca pesanku?”“Eh? Kamu kirim pesan? Sori. Koko belum buka HP dari tadi.”“Oh. Tapi sekarang Koko lagi di apartemen, ‘kan?”“Iya. Memangnya kamu kirim pesan apa sih?”“Cuma kasih tahu kalau kami lagi jalan ke tempat Koko. Sekarang, kami di bawah.”“Oh.” Tiba-tiba William langsung merasa seperti balon yang mengempis. “Sama Linda?”Tahu-tahu di dalam layar muncul seraut wajah feminin yang merengut di belakang Albert. “Sama aku, Ko Liam!”“Eh, kenapa, Ko? Ko Liam lagi ada tamu?” tanya Albert saat William menoleh ke samping.“Siapa? Adik-adiknya Koko?” tanya Debby dengan suara berbisik.William hanya mengangguk. Tatapannya kembali beralih ke layar ponsel. “Iya. Koko lagi ada tamu.”“Oh, ya sudah. Kami balik aja kalau gitu.”“Siapa tamunya, Ko?”Kakak beradik di dalam layar berbicara berbarengan. Kemudian terdengar Albert menegur, “Hush! Jangan kepo gitu, Chen!”“Kalian tunggu sebentar,” cegah William saat tang
William begitu senang dengan perkembangan hubungan mereka selama dua minggu terakhir ini. Dalam kurun waktu tersebut, sang kekasih sempat menyambangi apartemennya sekali lagi meski atas permintaan William.Sejak menceritakan masa lalunya, Debby juga semakin terbuka padanya. Ia jadi tahu makam siapa yang dikunjungi wanita itu di awal-awal pertemuan mereka dahulu dan seberapa penting serta berartinya sosok almarhumah semasa hidup dalam hidup Debby. Meskipun demikian, William sempat dibuat cemburu juga ketika Debby menceritakan sosok kakak sepupu yang dikatakannya tak kalah penting dengan sang tante.“Sejak kepergian Tante A Mey, Ko Hendy jadi satu-satunya sandaran buatku. Sama sepupu yang lain sebetulnya lumayan dekat juga, tapi nggak ada yang sedekat aku sama Ko Hendy,” ungkap Debby pada suatu waktu kemarin saat wanita itu mengunjungi apartemennya.&ldquo
“Gak bisa, Baby,” gumam William sepanjang jalan.Sesampainya di rumah Debby, ia mengernyitkan kening saat melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah dan pintu pagar sedikit terbuka. Perasaannya mulai tak tenang.Tidak ada siapa-siapa di teras, tetapi pintu depannya terbuka lebar. William bergegas menuju pintu depan. Darahnya seketika mendidih.“Baby?! Apa-apaan ini?! Apa kamu melarang Koko ke sini karena ini?! Kamu mau berduaan sama laki-laki lain?! Siapa laki-laki ini?! Apa penolakan-penolakanmu kemarin juga karena laki-laki ini?!” berondong William dengan gigi yang saling beradu. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Hatinya remuk redam dan kepalanya terasa seperti akan meledak saja.“Ko Billy? Kenapa ke sini?” cicit Debby dengan tergagap. Wanita yang tengah dipeluk oleh seseorang
William mengernyit sementara Debby langsung menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Bahu wanitanya bergetar, begitu juga dengan suara yang keluar kemudian. “Aku sayang sama Koko. Aku nggak mau Koko sampai kenapa-kenapa. Jadi, tolong Koko jangan bilang kayak gitu. Itu menyakitkan.” Isak tangis lirih mulai terdengar.William kembali merasa seperti habis ditinju dengan sangat keras. Bahkan lebih keras dari sebelumnya. “Baby, maaf!” sesal William serta-merta. Satu tangannya menyentuh lutut Debby. “Maaf, Koko sudah omong sembarangan dan membentakmu. Koko gak bermaksud … ah, sudahlah. Tetap aja Koko yang salah. Maafkan, Koko.”William langsung merasakan hatinya seperti diremas-remas saat wanita itu menolak rengkuhan tangannya dengan terang-terangan. Namun, William juga tak mau melepasnya begitu saja. Ia kembali merengkuh tubuh yang semakin gem
William melepas penyuara telinga milik Debby yang diminta oleh wanita itu untuk dipakainya saat mendengarkan rekaman percakapan antara kekasihnya dengan Ferdinand. Air muka William sangat keruh. Keningnya berkerut-kerut.“Tadinya aku nggak percaya sama omongannya walaupun awalnya kaget juga.” Wanita itu mendesah lesu. Tangan Debby yang tidak digenggam oleh William kembali meraih ponsel dari atas meja.Dengan satu tangan, Debby kembali mengutak-atik layar ponsel kemudian menyerahkan lagi benda pipih itu pada William. Lelaki itu menerimanya dan langsung memusatkan perhatian pada layar ponsel.“Foto-foto yang dia kirim setelah sambungan terputus memang menunjukkan kalau itu Koko. Ko Billy bisa lihat sendiri, ‘kan? Tapi setelah kupikir-pikir lagi, mungkin aja dia dapat dari internet. Foto-foto itu kelihatan formal. Gitu juga sama informasi seputa