Begitu pintu menutup di belakangnya, Niel berbalik sebentar untuk menatap lurus-lurus ke arah pintu. Dengan menghela napas panjang, Niel mengacak-acak rambutnya sendiri dan berbalik dengan cepat menuju mobilnya terparkir. Sesampainya di dalam mobil SUV warna hitam, Niel tak kunjung menyalakan mesin, hanya duduk berdiam diri. Beberapa detik kemudian, keningnya diletakkan di atas kedua punggung tangan yang tengah memegang kemudi mobil di bagian atas. Sesekali, keningnya dibentur-benturkan dengan pelan ke punggung tangan yang berada di bawahnya. “Apa yang ada di dalam otakmu, Niel?” geramnya pada diri sendiri. “Fanny itu sudah kayak adikmu sendiri!” kecamnya lagi beberapa saat kemudian. Bayangan mereka berdua yang setengah berpelukan kembali muncul dalam kepalanya. Sejak tadi, bayangan tersebut tak mau menghilang dari isi kepalanya, selalu kembali setiap kali pikirannya kehilangan fokus. Selama ini, tak tebersit satu kali pun dalam otaknya kalau Fanny sekarang telah menjelma menjadi w
Sudah hampir tiga tahun ini, Debby menempati rumah modern minimalis berukuran sedang yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Salah satu ruangan di dalam rumah yang didominasi warna putih dan cokelat itu telah ia sulap menjadi ruang kerja yang nyaman. Meskipun bekerja sebagai desainer grafis lepas, Debby tetap menerapkan aturan kerja yang jelas bagi dirinya sendiri. Hari Minggu atau hari libur menjadi me time bagi wanita yang memiliki tubuh dengan lekukan-lekukan yang pas di tempat-tempat yang tepat itu untuk melakukan hal-hal yang disukainya. Waktu libur selalu dimanfaatkan oleh Debby dengan sebaik-baiknya. Kadang kala, ia memanjakan diri sendiri dengan perawatan-perawatan tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki yang bisa dilakukan sendiri di rumah. Di lain waktu, ia akan menyalurkan hobinya membuat kue atau sekadar bersih-bersih rumah. Wanita berparas oriental itu selalu berusaha menjauhkan pekerjaan dari otaknya ketika ia sedang berlibur. Pada suatu Minggu sore, Debby sedang
Malam itu, Debby memutuskan untuk membawa Fanny pulang ke rumahnya. Fanny yang juga hidup sendiri pasti tidak bisa mengurus dirinya sendiri jika diantar pulang ke apartemennya. Setelah Fanny bangun keesokan paginya, Debby memberinya yoghurt yang ia campur dengan potongan buah segar dan kacang-kacangan untuk mengusir efek mabuk. Begitu isi mangkuk pindah ke dalam perut Fanny hingga tandas tak bersisa, Debby langsung mengomelinya panjang lebar. Ia mengingatkan bahaya yang mungkin saja bisa menimpa Fanny malam itu. Fanny yang sepertinya menyadari kekhawatiran Debby, berusaha meredakan emosinya. Kedua tangannya memeluk ringan pinggang Debby dari samping dengan manja. Kepalanya disandarkan di bahu kanan Debby. “Maafkan aku, Deb, sudah bikin kamu khawatir. Aku nggak menyangka kalau reaksimu bakal kayak gini. Kukira selama ini kamu cuma basa-basi,” ujar Fanny yang langsung mendapatkan sentilan keras di dahi. “Aww!” Satu tangan Fanny langsung mengusap-usap dahinya yang mulai memerah. “Sial
Melihat Fanny tancap gas membuat Debby bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Tanpa pikir panjang, Debby berniat menyusul Fanny ke apartemennya. Tak ingin membuang-buang waktu dengan mengganti pakaian, Debby hanya menyambar jaket untuk menutupi kaus tanpa lengannya dan meraup kunci mobil beserta dompet dari atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia pun berlari untuk menyambar ponsel di atas meja bar. Larinya tak berhenti hingga ia mengunci pintu depan rumah. Dengan tergesa-gesa, wanita berparas cantik itu lalu membuka pagar lipat, menyalakan mesin mobil dan keluar rumah dalam hitungan detik. “Sial, sial, sial! Baru kali ini aku merasa direpotkan sama pintu pagar!” Debby tak henti-hentinya menggerutu karena ia harus turun lagi dari mobil hanya untuk menutup pintu pagar dan menguncinya. Namun, begitu pantatnya menyentuh bantalan jok mobil, Debby langsung tancap gas. Merasa yakin jika Fanny kembali ke apartemennya, Debby tak memedulikan hal lainnya lagi selain segera sampai ke apa
Rupanya butuh waktu lama bagi Leon untuk mengumpulkan semua berkas pelamar yang diminta William. Hingga waktu pulang kantor tiba, lelaki itu belum juga memunculkan batang hidungnya di ruangan sang CEO. Tak sabar menanti, William berencana untuk menyusul Leon ke bagian HRD begitu pekerjaan yang sedang ia tangani saat ini selesai dikerjakan. Namun, belum juga sepuluh menit berlalu, pintu ruangannya sudah keburu diketuk dari luar, disusul dengan munculnya wajah Leon dari balik pintu. Kedua tangannya memegang setumpuk berkas. Tanpa menutup pintu, Leon berjalan menuju meja kerja William. “Ini belum semuanya, Will, baru sebagian dari berkas pelamar yang nggak lolos seleksi. Aku nggak tahu apa tujuanmu meminta semua berkas pelamar ini. Jadi, kupikir lebih baik kubawa dulu berkas-berkas yang sudah diseleksi biar nggak mengganggu pekerjaan mereka,” lapor Leon seraya meletakkan tumpukan berkas tersebut di tepi meja kerja William yang kosong. “Sisanya akan menyusul besok.” “Hmm, bagus! Begitu
Sebuah mobil SUV cokelat gelap berhenti di jalur masuk sebuah rumah yang tampak tertutup rapat dari luar. Pagar tembok setinggi satu setengah meter lebih mengelilingi rumah di sisi kanan dan kiri, sedangkan di bagian depan tertutup oleh pagar tembok yang hanya memiliki celah-celah sempit dengan jarak tertentu. Pintu pagar lipatnya yang berbahan aluminium pun tampak tertutup rapat tanpa celah. Debby keluar dari mobil untuk membuka sebagian pintu pagar yang didominasi warna cokelat tua dan cokelat muda itu. Tiga daun pintu didesain supaya membuka ke sisi kiri dan tiga lainnya membuka ke sisi kanan. Secara berselang seling, masing-masing permukaan daun pintu berwarna cokelat muda tersebut memiliki motif pohon bambu dan garis-garis vertikal. Tak berselang lama, mobil pun meluncur mulus memasuki sebuah carport berlantai batu koral sikat dengan motif kotak-kotak. Atapnya yang berupa kanopi berbahan polikarbonat bening itu melindungi mobil SUV kesayangan Debby dari paparan sinar matahari la
“Oh, kamu sudah sampai?” sahut Debby dengan nada santai. Ia melepas kacamata yang sedari tadi setia bertengger di atas pangkal hidungnya. Matanya melirik jam digital di pojok kanan bawah laptop. Seketika, mata sipitnya membesar.‘Astaga! Sudah jam segini?’“Ya! Aku sampai jamuran nungguin kamu buka pintu,” keluh si penelepon.Debby terkekeh mendengarnya. Ia bangkit berdiri, meraih kunci rumah dan keluar dari ruang kerjanya menuju pintu depan. “Masa sih?” tanya Debby tanpa merasa bersalah. “Tunggu sebentar.”“Kamu nggak baca pesanku, ‘kan?” tuduh sosok di ujung lain telepon.“Ha? Kapan kamu kirim pesan? Aku nggak dengar ada notif kok.” Debby segera menjauhkan benda pipih tersebut dari telinganya dan mengecek notifikasi.Sejurus kemudian, benda tersebut sudah kembali menem
Fanny baru saja selesai mencuci piring dan peralatan memasak setelah mereka berdua menghabiskan masing-masing seporsi nasi goreng. Olahan nasi yang gurih dan lezat bertabur sayuran berwarna hijau, kuning, dan oranye serta potongan sosis itu habis dalam sekejap. Ketika menginap di rumah ini, Fanny selalu berusaha untuk tidak merepotkan sang tuan rumah. Jadi, ia tidak pernah keberatan berbagi tugas dengan sang tuan rumah. Setelah mengeringkan tangan, Fanny beranjak dari dapur untuk menyusul Debby yang sudah lebih dahulu duduk di karpet di depan televisi. Debby tengah mendengarkan siaran berita di salah satu saluran televisi nasional ketika Fanny duduk di sampingnya. Kaki jenjang Debby yang berselonjor tengah memangku bantal sofa berwarna merah dengan motif polkadot warna putih. Fanny ikut mengambil bantal sofa dan memeluknya di depan dada. Belum sempat ia buka suara, Debby sudah lebih dahulu membuka mulutnya. “Sebenarnya ini ide siapa sih? Kamu apa kokomu itu?” tanya Debby sembari memi