“Ku kira kau tidak akan kemari? Bukannya kau sudah mendapatkan mainan baru?” Dayn bertanya pada seorang pria dengan setelan kemeja hitam yang dipadukan dengan celana kain dengan warna serupa yang baru saja duduk di kursi ruangan mereka, pria itu tidak lain adalah Caid Walton
Setelah sibuk dengan semua jadwalnya akhirnya Caid dapat merilekskan dirinya di club malam ini. Tapi jangan salah, tempat yang di datanginya bukanlah club malam biasa, tidak sembarang orang bisa masuk ke tempat seperti ini.
Hanya orang-orang dari kelas tertentu yang bisa kemari, hal itu kerena semua identitas baik para tamu, penghibur, bahkan pelayan sekalipun menjadi rahasia yang tidak bisa disebarluaskan.
“Dia sudah mati” Sahut Caid santai. Lucius tertawa pelan. Dia tau jika Georgina pasti akan memancing amarah seorang Caid
“Sepertinya memang Jess yang terbaik untukmu” Sahut Dayn membuat Caid mendengus.
“Sayang sekali kau pergi ke Italia kemarin padahal jika kau berada disini kau bisa bertemu Angelic” Seru Lucius.
“Ya dan dia sangat cantik sekaligus imut. Aku bahkan tidak menyangka jika Angelic adalah wanita seperti itu, mau ku pikirkan berapa kalipun aku tidak menyangka jika dia salah satu pelacur disini” Seru Dylan, kembaran Dayn. Mereka kembar identik yang membedakannya hanyalah warna mata. Jika Dayn memiliki mata coklat cerah maka Dylan memiliki mata coklat gelap.
“Dan dia bersama dengan Enid malam ini, hah.. beruntungnya Enid padahal dia yang paling kotor dari kita semua tapi kenapa justru dia yang mendapatkannya, eh salah yang paling kotor itu Caid” Ucap Lucius sambil menegak minumannya. Sepertinya Lucius mulai mabuk dan meracau tak jelas.
Caid menatap mereka dengan sebelah alis terangkat. Entah ini sudah kali ke berapa dia mendengar sosok Angelic yang selalu disebutkan oleh sahabat-sahabatnya itu.
Jujur saja Caid juga penasaran dengan Angelic. Wanita itu adalah sosok yang menjadi primadona di tempat ini. Semua pria berharap dapat menghabiskan malam dengannya.
Meskipun Caid salah satu pelanggan tempat ini namun dia sangat jarang datang. Dia disibukan dengan dunia bisnis yang harus dilakukannya namun bukan berarti pria itu bersih. Terkadang dia juga butuh wanita untuk melepaskan hasratnya.
“Tapi wanita yang bersamanya kemarin juga cantik” Seru Dylan
“Ah wanita itu.. dia salah satu pekerja. Aku sudah pernah menghabiskan malam dengannya, rasanya? Emm biasa saja” Jawab Lucius setengah sadar “Mungkin setelah Enid, aku akan langsung membeli satu malam dengan Angelic” ucapnya lagi.
“Humff, kau tidak akan bisa membeli malamnya tampan. Bukankah lebih baik kau menghabiskan malam denganku, servis ku yang terbalik di sini“ Sela salah satu wanita yang sedari menemani mereka minum.
Lucius langsung menarik tangan wanita itu menuju kamar yang bersebelahan dengan tempat mereka minum. Ruangan mereka adalah salah satu dari 10 tempat khusus yang bisa di gunakan hanya oleh pelanggan dengan member gold yaitu ruangan di lantai tiga sedangkan lantai satu dan dua adalah bagi mereka yang memiliki member silver.
Total ada tiga wanita yang berada di ruangan para pria tampan itu. Ketiga wanita itu adalah para ‘pelayan’ yang memang melayani para tamu terhormat di sana. Dan salah satu yang dibawa Lucius tadi bernama Yuresi, salah satu primadona yang melayani tamu khusus.
“Hey, kenapa rekanmu bilang Luc tidak bisa membeli malam Angelic” Tanya Dayn pada wanita yang duduk di pangkuannya
“Dia spesial di sini, kau tidak bisa menyentuhnya sembarangan terlebih lagi Angelic itu pemilih” Seru wanita itu sambil membusungkan dadanya menggoda Dayn.
Caid menampakan smirknya, tipe pemilih adalah kesukaannya karena sangat menantang apabila dia bisa menjadikan sosok itu miliknya lalu membuangnya saat Caid sudah bosan.
“Kapan aku bisa bertemu dengannya?” Caid bertanya dengan datar pada wanita yang berada di pangkuan Dayn, tanpa menyadari tatapan bertanya yang diberikan oleh para sahabatnya.
“Kau ingin mencobanya?” tanya Dayn
BRAK…
Suara pintu dibuka membuat ketiga pria tampan yang berada diruangan itu menoleh.
“Wow, kukira kau tidak akan kemari malam ini, Dude” Ucap Dylan pada Enid yang baru saja masuk dengan keadaan kacau.
“Bukannya kau memiliki malam yang panas dengan Angelic” Seru si kembar Dayn. Wanita yang duduk di pangkuan Dayn pun tertawa kecil
“Malam panas apanya. Ku tebak kencan kalian berakhir dengan sebuah ciuman” Seru wanita itu. Mata Dayn menyorot pada Enid dengan pandangan bertanya. Enid menghela nafas lalu menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Panggilkan Elga” Seru Enid. Wanita yang tadi duduk manja di pangkuan Dayn pun melangkah keluar memanggil rekannya. Dayn dan Dylan membelalak. Jika pria itu memanggil Elga berarti apa yang dikatakan wanita dipangkuan Dayn tadi benar. Kencan mereka hanya berakhir dengan ciuman tanpa malam panas.
“Kau tidak ingin cerita pada kami apa yang terjadi?” tanya Dylan. Enid menghela nafas lalu menegakkan tubuhnya.
“Aku tidak mengira jika Angelic memiliki hubungan dengan Mr. Broker”
“Mr. Broker? Bukankah dia pria paruh baya yang baru-baru ini bekerja sama denganmu Caid?” tanya Dylan lagi. Caid mengangguk acuh namun masih menyimak ucapan Enid selanjutnya.
“Ku pikir kami bakal memiliki malam yang panjang setelah makan malam. Kami berciuman. Memang sih aku kemarin hanya mengajaknya makan malam, tapi kan tidak mungkin wanita itu nggak paham apa yang akan kami lakukan setelahnya. Aku bahkan sudah menyewa hotel di dekat retoran itu” Jelas Enid panjang
“Huuk, Poor You Enid” Ucap Dayn, Enid menatap sahabatnya itu dengan tatapan tajam.
“Aku memang pernah dengar jika Angelic itu spesial, tapi aku tidak tau jika dia tipe orang yang mencampakan, ku rasa harga dirinya terlalu tinggi. Tapi dia punya hubungan apa dengan Mr. Broker?” Tanya Dylan
“Rumor yang beredar Angelic itu simpanan Mr. Broker” Wanita yang menuangkan anggur beralkohol pada gelas Dylan menjawab membuat pria itu tersedak
“What? Kau yakin?” Tanyanya tak percaya
“Rumornya seperti itu. Ada yang pernah melihatnya dijemput oleh Mr. Broker lewat pintu belakang dan mereka menghabiskan banyak waktu bersama”
Mendengar penuturan wanita itu membuat Dylan memandang Caid dengan tatapan bertanya. Caid yang menyadari itu menaikkan satu alisnya
“Kenapa?” Tanya Caid datar.
“Kau jadi mengincarnya?” Tanya Dylan
“Tentu saja” Caid menyesap minuman digelasnya sambil bersadar pada sofa. Tatapannya terlihat menerawang, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang berbeda dengan Angelic dan hal itu membuatnya semakin tertarik
“Bagaimana jika ternyata dia benar-benar simpanan Mr. Broker?” Tambah Dylan
“Memangnya kenapa?” Kali ini Dayn yang bersuara “Jika benar simpanan, sepertinya Mr. Broker tidak akan keberatan memberikannya pada Caid dengan pertukaran kontrak kerja sama, benarkan Caid?” lanjut Dayn
Caid mengangguk setuju. Didunia ini semua hal dapat Caid dapatkan dengan mudah. Bahkan jika itu sudah menjadi milik orang lain.
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti