Share

Mungkin Hanya Kebetulan

Pengantin wanita dengan gaun putihnya berjalan dengan anggun bersama sang ayah. Senyumnya berseri-seri menandakan hari bahagianya akan berjalan bersama orang terkasihnya yang telah menunggu di altar. Para tamu undangan bertepuk tangan dan turut berbahagia atas menyatunya dua insan di halaman terbuka gedung pencakar langit itu.

“Siapa yang akan nyusul selanjutnya, ya? Berani taruhan?” bisik Bimo pada kedua temannya.

“Yang pasti bukan aku,” jawab Kafta lirih.

“Nggak berharap lu juga yang bakal duluan,” timpal Bimo.

Kafta hanya membalasnya dengan tepukan di pundak Bimo yang terasa seperti remasan. Sang empunya pundak langsung menghindar.

“Sssttt, diem deh. Momen sakral ini,” lerai Tomi.

Semua orang bertepuk tangan meriah saat pasangan itu berciuman mesra di akhir prosesi.

“Nggak usah cemburu. Cewek lu kan banyak,” goda Tomi. Bimo yang mendengarnya hanya mendengus.

“Iyaaa tau yang lagi nyeriusin anak orang,” balas Bimo.

***

Dua orang dewasa memasuki pintu lobi hotel diikuti seorang wanita muda yang tampak serius mendengarkan percakapan dua orang di depannya. Sambil menunggu pintu lift terbuka, Raina tampak memperhatikan ponselnya yang sedari tadi bergetar. Tiga panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Raina kemudian memberi isyarat pada Jemi agar memperbolehkannya menyusul. Jemi pun menyetujui permintaan Raina.

“Ingat, tempat makan lantai 6, Na,” bisik Jemi.

Raina pun mengangguk, dan pamit undur diri. Dengan cepat ia memasuki toilet di lantai itu, dan menjawab panggilan teleponnya.

Sejak keluar dari bilik toilet, wajah Raina tampak sedang berpikir keras. Ia membasuh wajahnya agar lebih segar. Ia mengolesi bibirnya lagi dengan gincu merah agar wajahnya tampak cerah. Senyumnya kilas terlihat dari pantulan cermin. Raina bergegas kembali menemui Jemi.

Di dalam lift, ia termenung sendirian, dan satu-satunya orang di dalam. Lift berhenti di lantai 4, dan kembali berjalan ke lantai atas. Raina merasa seseorang sedang memandanginya. Namun orang di depannya menghadap ke pintu lift. Raina baru sadar siapa sosok yang memandanginya saat matanya menoleh ke samping. KAFTA!

Kafta tampak bersedekap dengan pandangan mata yang terarah pada Raina. Raina tak sengaja bersitatap dengan Kafta sebelum mengalihkan pandangannya.

Dalam hati, Raina bertanya-tanya mengapa ia harus bertemu dengan pria kurang ajar itu di sini. Namun Raina hanya bisa berdecak kesal di dalam hati.

Setelah orang-orang berhenti di lantai 5, kini tersisa Raina dan Kafta di dalam lift. Keadaan menjadi sangat canggung.

“Apa kamu sengaja datang ke sini untuk menemuiku, Nona?” Tanya Kafta dengan sikap tenang.

Raina mendelik, dan membuang pandangannya. Ia tak ingin mengurusi omongan Kafta yang tak jelas itu.

“Apakah tebakanku benar? Kau-“

TING!

Belum selesai Kafta berbicara, Raina langsung keluar saat pintu lift terbuka di lantai 6. Kafta menatap punggung Raina yang menjauh. Kafta memamerkan senyum smirk-nya. Ia juga keluar dari lift.

Raina merasa pria di belakangnya itu terus mengikutinya. Kemudian ia berhenti mendadak. Kafta harus menghentikan langkahnya dengan cepat agar tidak menabrak gadis di depannya itu. Raina kemudian berbalik, dan menatap Kafta dengan sebal.

“Ada sesuatu di wajahku, Nona?” tanya Kafta sembari memegangi wajahnya.

Raina menutup matanya, menahan amarahnya. Pria di depannya itu sungguh narsis, dan memiliki percaya diri yang berlebih.

“Jangan mengikutiku!” desis Raina.

Kafta mengangkat satu alisnya. Kafta tak mengerti dengan maksud ucapan Raina. Ia malah merasa wanita di depannya sangat lucu apalagi saat marah.

Kafta tersenyum. “Wajahmu cukup manis saat marah begitu, Nona.”

“Dasar pria mesum! Jangan mengikutiku, mengerti?!”

Baru saja Kafta ingin buka suara, tetapi seseorang mendekati mereka. “Pak Kafta. Anda sudah datang,” ucap Putra.

“Apakah ada masalah, Pak?” Kafta menggeleng, tapi pandangannya masih tertuju pada Raina.

Putra saling mengenalkan Kafta, dan Jemi. “Perkenalkan, Pak. Ini Pak Kafta Casdava, wakil direktur, sekaligus anak dari pemilik perusahaan Dafu Properti, Malik Casdava. Dan Ini Pak Jemi dari jasa percetakan Sabda.”

Keduanya berjabat tangan sebentar. Namun pandangannya masih saja melihat Raina. Jemi melihat pandangan Kafta, dan segera memperkenalkan Raina.

“Ah perkenalkan juga ini asisten saya hari ini. Pekerjaan utamanya adalah mengurusi masalah keuangan.”

“Oh begitu rupanya. Jadi nona ini sangat pandai dalam mengelola uang, bukan? Sepertinya memang cocok menjadi seorang istri,” ucap Kafta.

“Hah, gimana, Pak?” tanya Jemi secara spontan.

“Memang cocok menjadi istri untuk pasangannya nanti,” ucap Kafta sembari melirik Jemi.

Raina yang mendengar ucapan itu langsung melotot pada Kafta. Namun Kafta tak menggubrisnya, dan berbalik. Mereka berjalan ke ruangan yang tertutup dan terpisah dari meja makan lainnya.

Raina meminum minumannya dengan canggung, ditambah rasa tak nyaman harus seruangan dengan pria mesum yang ternyata adalah bos yang akan bekerja sama dengannya.

Jemi berbisik pada Raina saat melihat temannya itu gelisah. “Na, kamu mengenal Pak Kafta?” Raina menggeleng.

“Sepertinya Anda tidak suka kopi manis, Nona Miraina?” tanya Kafta langsung.

Raina memaksakan senyumnya sebelum menjawab. “Benar, Pak. Sebab yang manis belum tentu baik.”

Ucapan Raina menimbulkan kebingungan pada mereka. Namun Kafta malah tersenyum kecil. Wanita di depannya itu sangat menarik.

Setelah pembicaraan kerjasama selesai, Kafta, dan Putra segera pergi karena ada urusan lain di perusahaan.

“Na, kamu ada apa si? Dari tadi aku lihat kamu nggak fokus. Ada masalah?” tanya Jemi khawatir.

Raina menggeleng. “Tidak, aku hanya heran akan satu hal.”

“Apa?”

“Bukankah dia mengaku sebagai wakil direktur?”

Jemi mengangguk. “Lalu? Sebenarnya ada apa dengan Pak Kafta, Na? Aku merasa kalau kamu sudah berbeda sejak bertemu dia.”

“Tidak apa-apa. Jika dia adalah wakil direktur, pemimpin perusahaan besar itu, lalu mengapa ia membuang waktunya hanya untuk kerjasama dengan perusahaan kecil seperti kita?”

“Hanya itu saja? Aku kira ada apa. Kalau kata asistennya, Pak Kafta itu kebetulan sedang menghadiri acara di hotel ini juga, makanya sekalian menyapa kita langsung,” terang Jemi.

Raina hanya ber-oh ria. Namun tetap saja, rasanya bertemu Kafta beberapa kali belakangan ini membuat harinya buruk. Sejak pertemuan pertama mereka di kafe, Raina sudah mengantipati untuk bertemu pria seperti Kafta lagi.

Namun nyatanya Raina malah dipertemukan kembali dengan Kafta. Raina sudah tak tahu harus berkata apa. Dan lagi, sekarang ia akan menjalani kerjasama dengan perusahaan itu.

‘Arghhh… ini sebuah kesalahan!’ teriak batin Raina.

“Huft… tenang, Raina. Mungkin saya hanya kebetulan. Tahan amarahmu. Jangan mempedulikan pria mesum sepertinya, okay?” katanya pada diri sendiri sebelum memasuki mobil.

Seseorang dengan mata elang memperhatikan mobil di depannya yang baru saja melaju di balik kaca mobilnya.

“Bisakah kita pergi sekarang, Pak?” tanya Putra yang duduk di bangku kemudi.

Kafta mengangguk. “Cari tahu hubungan antara pria-Sabda itu dengan Raina,” perintah Kafta.

“Pria-Sabda? Ah maksudnya Pak Jemi itu?” tanya Putra mencari penjelasan.

Kafta tak menanggapi. Ia memakai kacamata hitamnya, dan duduk dengan tenang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status