Share

Hari Sial

Kini Raina sedang duduk di hadapan pria kurang ajar sekaligus menyebalkan bernama Kafta. Mata lentik Raina terus memperhatikan gerak-geriknya.

“Apakah Nona begitu menyukaiku sampai terus memandangiku?”

Raina membuang muka, dan mendengus sebal. Kafta yang melihatnya semakin tertarik untuk menggoda wanita di depannya itu.

“Cepat katakan apa yang Anda inginkan. Saya tidak ada waktu untuk bermain-main dengan Anda!” ucap Raina ketus.

“Tenang, Nona. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” jawab Kafka dengan santai.

“Saya rasa tidak ada alasan untuk memperkenalkan diri saya kepada orang seperti Anda,” terang Raina.

“Oh ya? Memangnya saya orang seperti apa di matamu, Nona?” tantang Kafta.

Raina memajukan wajahnya. Ia menatap mata cokelat Kafta dengan senyum sinis.

“Anda adalah bajingan yang suka mempermainkan wanita. Jangan harap Anda bisa mempermainkan saya juga.” Raina membisikkan jawabannya dengan penuh penekanan.

Setelah itu Raina langsung berdiri, dan secepatnya pergi meninggalkan Kafta yang menatap kosong kursi di depannya.

Kafta mengedipkan matanya, dan menampilkan seringaiannya.

“Bajingan katamu? Lihat saja apa yang akan diperbuat bajingan ini padamu, Nona… MIRAINA.” Ia menampilkan smirk di wajahnya.

Kafta bangkit dari duduknya, mengancingkan jas biru dongkernya, dan pergi dari restoran tersebut. Rupanya mobil mewahnya sudah menunggu di depan restoran.

“Cari informasi tentang seseorang untukku,” ucap Kafta singkat pada sekretarisnya sebelum masuk mobil.

“Dan… rahasiakan ini dari Papa saya, mengerti?”

“Mengerti, Pak.”

Mobil mewah itu pun pergi membelah jalanan ibukota. Raina memperhatikan dari kaca jendela saat mobil mewah itu menghilang di jalanan yang ramai.

Kini Raina bisa bernapas lega. Ia tak menyangka beberapa hari ini ia harus dihadapkan dengan sebuah kesialan, pria brengsek itu.

“Na, kamu lagi lihat apa di depan jendela? Ada artis lewat ya?” ucap teman kerja Raina.

“Ah, iya benar. Tadi kulihat ada Jefri Nichol lewat,” jawab Raina beralasan.

“Jefri Nichol? Mana, mana?”                         

Wanita yang biasa disapa Intan itu pun langsung heboh.

“Sudah pergi,” jawab Raina sekenanya. Ia melenggang kembali ke dapur.

***

Setelah Raina menyelesaikan pekerjaannya di restoran, hari sudah beranjak sore. Ia bergegas mencari halte terdekat. Wanita itu menaiki bus cukup lama, dan turun dari bus dengan hati-hati. Tak lupa Raina melihat arlojinya.

“Gawat!”

Raina berlari sekencang mungkin. Ia melewati jalanan dengan terengah-engah. Karena tak berhati-hati, Raina limbung, dan membuat dirinya terjatuh. Celana levis yang dikenakannya berlubang di bagian lutut. Darah segar terlihat mengotori celananya.

‘Ck, hari ini sungguh sial!’ batinnya berteriak.

Raina pun berjalan dengan pincang karena pergelangan kakinya juga terkilir akibat terjatuh tadi. Sesampainya di sebuah gedung kecil, ia segera masuk. Sepertinya Raina mengenal tempat ini dengan baik. Ia tak kebingungan, dan langsung menuju ke meja kecil di ujung ruangan itu.

“Na? kamu baru datang?”

Sebuah suara membuat Raina menoleh ke belakang.

“Iya, Pak. Maafkan saya terlambat,” jawab Raina.

“Sudah aku bilang tidak perlu memanggilku dengan formal begitu,” keluh Jemi.

“Ah, sepertinya aku sudah terbiasa memanggilmu seperti itu. Lagi pula, kita bukan lagi teman di kampus, Jem. Ini tempat kerja, tentu saja aku harus formal padamu,” jawab Raina.

Raina berjalan kembali ke mejanya. Gerak-gerik Raina tak lepas dari pria yang disapa Jemi itu.

“Ada apa dengan kakimu? Tunggu, lututmu berdarah, Na. Sebentar, aku ambilkan kotak obat dulu.”

“Tidak perlu, Jem. Hei…”

Raina hanya pasrah. Atasannya itu keburu pergi mengambil kotak obat. Beberapa saat kemudian, Jemi kembali.

“Sini, biar aku obati lukamu,” perintah Jemi.

“Tidak perlu, Jem. Tinggalkan saja di sini kotak obatnya. Aku akan mengobati lukaku sendiri,” tolak Raina.

“Biar aku saja, Na. duduklah yang baik.”

“Jemi! Apakah kamu tidak melihat karyawan yang lain sedang memperhatikan kita?” lirih Raina.

“Memangnya kenapa? Ini kan memang sudah tugas atasan untuk membantu karyawannya,” sanggah Jemi.

“Tapi…”

“Tidak ada tapi, Na. Lagi pula kamu juga selalu membuatku khawatir. Bagaimana kamu bisa seceroboh ini, huh?” omel Jemi sembari mengobati luka di lutut Raina.

“Lihat, pergelangan kakimu juga membiru seperti ini. Bagaimana jika orang mengira aku yang menganiaya karyawanku sendiri, huh?”

“Kau berlebihan, Jem. Tidak ada orang yang menganggapmu seperti itu.”

“Bagaimana jika kamu libur saja, Na. Aku antar pulang, ya?” tawar Jemi.

Raina dengan cepat menggelengkan kepala. Ia tidak ingin membuat keributan hanya karena masalah sepele seperti ini.

“Jemi, bisakah jangan terlalu berlebihan? Lihat, aku masih bisa bekerja dengan baik. Lebih baik kamu kembali, dan menyelesaikan tugasmu. Aku baik-baik saja, oke?” terang Raina.

Jemi menghela napas pasrah. Wanita di depannya itu sungguh keras kepala, padahal kakinya sudah terluka seperti itu. Namun apa boleh buat, Jemi akhirnya mengalah.

“Tapi ingat, jika kamu merasa tidak nyaman, dan ingin istirahat, beritahu aku, oke?”

Raina mengangguk patuh. Jemi pun kemudian kembali ke ruangannya. Beberapa karyawan yang melihat Raina begitu dekat dengan atasan mereka itu pun menjadi buah bibir, sindiran, bahkan gosip fitnah.

Raina hanya bisa menutup mata, dan telinga. Ia tidak ingin menambah masalah. Lebih baik ia fokus pada pekerjaannya. Hari ini pekerjaannya sangat banyak.

Selain bekerja di kafe, Raina juga bekerja di perusahaan kecil yang mengurusi bidang percetakan. Dulu Jemi yang mengajaknya untuk bekerja dengannya. Raina yang mengenal, dan mengerti kepribadian Jemi yang baik pun menyetujui untuk bekerja di perusahaannya di bagian keuangan. Bahkan Raina diberi kelonggaran untuk memilih sift kerja.

Raina sibuk mengerjakan tugasnya. Tak terasa hari sudah malam. Raina masih saja berkutat dengan komputer. Karyawan yang lain satu persatu sudah pulang. Hanya Raina yang masih lembur.

“Hei Nona, apakah kamu tidak ingin pulang?”

Begitu fokusnya sehingga Raina kaget saat tiba-tiba Jemi sudah berdiri di depannya.

“Sebentar lagi,” jawabnya singkat.

Come on, bisakah kamu jangan terlalu gila kerja, Na?” keluh Jemi.

“Na, aku atasanmu. Dan aku memerintahkan kamu untuk pulang sekarang juga,” perintah Jemi.

“Huft… bisakah kamu sehari saja tidak mengomeliku?”

“Siapa yang mengomelimu? Aku kan sedang menyuruhmu untuk pulang. Lihat di luar, burung-burung juga sudah tidur di sarangnya,” jawab Jemi.

“Memangnya aku burung?”

“Na. Please…

Raina tertawa kecil melihat Jemi yang kewalahan membujuknya. Ia pun menuruti permintaan Jemi untuk segera pulang.

“Nah gitu, dong. Yuk, aku antar,” ajak Jemi dengan bersemangat.

Raina menatap Jemi, “tidak perlu, aku bisa pulang sendiri.”

“Lihat, apakah kakimu bisa berjalan dengan benar?”       

“Memangnya kakiku kenapa? Baik-baik saja kok. Auuch…” rintih Raina.

“Aku bilang juga apa? Sudah, aku antar pulang saja,” ucap Jemi final.

Raina berjalan dengan bantuan Jemi. Rasanya kakinya semakin sakit, padahal sudah dikompres dengan es batu.

Sebuah mobil hitam berhenti di depan kontrakan kecil. Jemi keluar dari mobil, dan membukakan pintu untuk Raina. Ia membantu raina berjalan.

“Sudah sampai. Kalau begitu aku masuk, ya. Sampai besok. Oh ya, terima kasih atas tumpangannya, Pak Jemi,” ucap Raina.

“Na… besok kamu jangan bekerja dulu saja. Tidak ada tapi-tapian, oke?”

Raina mempertimbangkan sejenak, dan menyetujui usulan Jemi. Raina juga tidak bisa bekerja dengan kaki pincangnya itu. Ia berpikir akan istirahat sejenak besok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status