Share

Ada Apa dengan Mbak Ida

Selesai berjamaah kami mengaji sejenak, abi menyimak hafalan Qu'ranku dan Mbak Hasna, sementara Ami membantu Mbak Ida menyiapkan makanan. Mbak Ida gadis yang Ami rawat sejak ia berusia sepuluh tahun, siang dia ikut mengajar di madrasah dan akan kembali ke rumah sore hari sama sepertiku dan Mbak Hasna.

Kami sudah berkumpul di meja makan menyantap hidangan makan malam sederhana yang dimasak oleh Ami. Di rumah kami tak ada pembantu semua dikerjakan oleh ami kadang aku membantu dan Mbak Hasna sebisanya, setelah mengajar di madrasah.

“Mbak, bagaimana?” tanya abi setelah selesai menyantap makanannya.

“Apanya Bi?” Mbak Hasna balik bertanya.

Ia masih sibuk mengupas jeruk, buah kesukaannya. Di meja makan harus ada jeruk karena Mbak Hasna akan mencari buah itu setiap selesai makan. Sementara aku tidak menyukai buah. Jika ami tidak memaksaku selalu minum jus buah aku tak akan menyentuh yang namanya 'buah', entahlah buah apapun terasa tak menarik untukku. Ami akan selalu mengomel setiap pagi jika aku tak minum jus buah segar tanpa campuran apapun yang beliau siapkan.

“Halwa, buah ini bagus buat kulit.”

“Dik Halwa! Minum jus buahnya dulu, anak gadis harus merawat tubuhnya, minum jus buah dan sayur.”

“Halwa, minum jus buah selain sehat bisa awet muda.”

Selalu kalimat seperti itu setiap pagi yang kudengar. Sering aku pura-pura lupa dan meninggalkan segelas jus buah di atas meja, tapi teriakan cinta Alami bersama segelas jus yang sengaja kuabaikan godaannya bisa mengejar dan akhirnya jus buah berselancar di tenggorokan meski sedikit kupaksa. Satu-satunya buah yang kusukai adalah buah cinta. Hah, dambaan itu sekarang seperti tak memberi selera mengingat Agam si bocah degil yang akan menjadi suamiku.

“Bagaimana dengan lamaran Azam, Mbak? Jangan terlalu lama berpikir, Azam pemuda yang baik, lebih-lebih dia sudah mengenal kita dan mau menerima keadaan Mbak Hasna,” tutur abah.

Mbak Hasna menghentikan aktivitasnya, sementara aku mencoba sedikit tak peduli dengan sibuk menyantap sup sayur, bisa kutangkap dari ekor mata ami memandangku.

Namun, suara pecahan kaca membuat kami mengalihkan pandangan melihat sumber suara. Mbak Ida berdiri mematung, sementara kakinya mengeluarkan darah karena terkena pecahan kaca. Anehnya Mbak Ida seolah mati rasa dan tak dapat merasakan sakit.

“Mbak Ida, kakinya luka.” Aku berlari menghampiri Mbak Ida, ami mengambil kotak P3K yang ada di lemari.

Mbak Ida mengusap matanya, ia seperti hendak menangis, tetapi dengan cepat menguasai keadaan. Apa yang terjadi dengan Mbak Ida? Apa karena pertanyaan abi untuk Mbak Hasna?

“Mbak Ida kenapa?” tanyaku, melihatnya dengan mimik wajah gugup dan salah tingkah.

“Ndak papa, tangannya kram aja Dik Halwa,” kilahnya, tapi aku tahu ia berbohong. Mbak Ida tidak akan mengalihkan pandanganya jika ia berkata jujur.

“Beneran ndak papa Nduk? Apa kamu sakit? Istirahat saja,” ucap ami yang sedang membersihkan pecahan kaca sementara aku membantu Mbak Ida mengobati luka di kakinya.

“Nggih Mi, Ida ndak papa. Tangan Ida cuma kram biasa.”

“Kalau ndak sehat istirahat saja Ida, kamu ini terlalu ngoyo ngajar anak-anak. Biarin Hasna sama Halwa besok yang gantiin kamu ngajar anak-anak yang mau ikut lomba,” ucap abi.

“Beneran Abi, Ida ndak apa-apa. Ngapunten, ini Ida buatkan teh lagi.”

“Ndak usah Mbak, biar Halwa saja yang buatin.” Aku mengambil pecahan kaca yang sudah dikumpulkan ami dan membawanya ke dapur.

Kusiapkan teh rosella untuk abi dan ami, teh rosela berkhasiat untuk menurunkan tekanan darah. Selain itu, juga sebagai anti oksidan dan daya tahan tubuh bonusnya khasiat untuk meremajakan kulit. Mungkin ini yang membuat ami terlihat lebih segar dan selalu awet muda meski umurnya sudah di pertengahan kepala lima.

Setelah mengantar teh untuk abi dan ami aku membereskan meja makan dibantu Mbak Ida. Mbak Ida tipe gadis yang tak mau diam. Ia akan mengerjakan apapun selagi pekerjaannya telah selesai. Dia sudah seperti kakak bagiku meski tak sedekat dengan Mbak Hasna karena Mbak Ida selalu sibuk dengan kegiatan di madrasah. Pun tak jarang ia sering menginap panti jompo milik temannya, atau di madrasah membantu beberapa siswa jika kegiatan dan hafalan mereka padat. Sementara aku dan Mbak Hasna akan menyimak hafalan mereka saat mereka menyetor setelah shalat Subuh berjamaah di mushola madrasah.

Madrasah abi tak sebesar pesantren umik dan abah. Madrasah abi khusus untuk anak yatim piatu dan juga anak-anak yang tidak mampu untuk bersekolah. Biasanya jadwal akan digilir jika kegiatan kami begitu padat, karena memang tenaga pengajar tak banyak. Kami mengajar cuma-cuma dengan bayaran tak menentu setiap bulannya. Abi meminta bantuan beberapa ustaz di lingkungan jika memiliki waktu senggang dan juga para yai kenalannya walau hanya bisa mengisi waktu mengajar beberapa hari sekali.

Aku dan Mbak Ida ikut duduk bersama di ruang keluarga.

“Ndak jadi ke rumah Bu Hajjah tha Mi?” tanyaku.

“Sebentar lagi, Dik Halwa ndak ikut tha?”

“Ndak lah, Mi. Mbak Ida di rumah sendiri.”

“Kalau Dik Halwa mau ikut ya ndak papa, Mbak di rumah sendiri ya ndak takut kok,” timpal Mbak Ida.

“Halah nanti nangis,” ledekku.

“Emangnya kamu, baru di tinggal sebentar aja nangis,” cetus Mbak Hasna.

“Mbak itu bukan aku yang nangis, ih.”

“Terus siapa? Hantu?’

“Jiwaku Mbak. Ya Allah, ndak peka banget.”

“Sama aja, cengeng dasar.”

Mbak Hasna melemparku dengan bantal sofa yang ada di sampingnya.

“Halah, nanti kalau Mbak sudah menikah sama Gus Azam, Mbak yang bakalan nangis kangen sama adikmu yang menggemaskan ini.” Kubalas lemparan bantal Mbak Hasna.

“Uhuk-uhuk ....”

Kami menghentikan canda tawa dan fokus kepada Mbak Ida yang tersedak saat minum teh hangat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status