Share

Kotak Hitam

Author: ER_IN
last update Last Updated: 2022-09-14 04:03:38

“Ami, jangan bicara seperti itu. Halwa ndak salah.” Mbak Hasna memegang gamis Ami dan menariknya pelan.

“Ngapunten Mi, Halwa ndak akan merebut Gus Azam. Halwa ndak ada pikiran seperti itu.”

“Ami tahu, Halwa anak Ami yang soleha memang ndak mungkin berpikir seperti itu, Ami ndak mau dengar lagi kalian bahas ini. Hasna akan menikah dengan Azam dan Halwa dengan Agam. Ami ndak ingin sampai Abi dengar masalah ini. Dengar kata Ami kan, Nduk?”

Ami menatapku bergantian dengan Mbak Hasna.

“Nggih Mi,” jawabku serentak Mbak Hasna.

“Ya sudah sekarang kalian mandi, anak gadis ndak boleh mandi sore-sore udah hampir Magrib, bada Magrib Ami sama Abi mau antar Mbak Hasna ke rumah Bu Hajjah lagi,” ucap ami sebelum pergi keluar kamarku dan Mbak Hasna.

Mbak Hasna sudah beberapa kali terapi pijat di rumah Pak Yai kenalan Abi. Bu Hajjah sendiri yang mengobati kaki Mbak Hasna meskipun kata dokter sudah tidak ada kemungkinan untuk sembuh, tetapi abi dan mi tetap berusaha. Mereka bilang tidak ada yang tidak mungkin selama kita terus berusaha dan tidak lelah berdoa. Kaki Mbak Hasna tidak bisa digerakkan setelah mengalami kecelakaan saat kami pulang dari pesantren.

Waktu itu kami sengaja pulang tak memberitahu abi, rencananya akan memberi kejutan jadi kami putuskan untuk pulang sendiri tanpa meminta jemputan. Mbak Hasna menyelamatkan hidupku. Dia mendorongku dari kecelakaan maut yang menewaskan hampir seluruh penumpang bus dan sedan mini. Adu kambing antara kedua mobil tersebut tak terelakan, dalam keadaan jalan licin mobil yang sama-sama melaju dengan kecepatan tinggi itu saling tabrak. Mobil sedan mini yang terpental hendak menghantam tubuhku, Mbak Hasna yang masih di belakangku karena berhenti membenarkan payung secepat kilat berlari mendorongku. Naasnya mobil itu menimpa kaki Mbak Hasna dan menyebabkan ia tak bisa berjalan. Kepala Mbak Hasna menghantam tiang lampu hingga ia koma selama satu bulan. 

Sejak saat itu aku merasa bersalah dan berusaha menjadi kaki untuk Mbak Hasna, membantunya melakukan apapun. Aku memaksa diri mengikuti Mbak Hasna kuliah di jurusan agama karena tak ingin meninggalkan dia sendiri meski aku ingin sekali mengambil kuliah jurusan seni. Namun, seiring berjalannya waktu aku menikmati semuanya, menyerap ilmu agama dan mulai menghafal Al-Qur'an. Keinginanku untuk menjadi seorang penyanyi sudah terkubur di bawah rasa bersalahku terhadap Mbak Hasna. 

“Dik,” panggil Mbak Hasna.

Aku tersentak dari lamunanku. “Ada apa Mbak? Mbak mau mandi sekarang? Ayo?” Aku mendorong kursi roda Mbak Hasna. 

“Kalau nanti Mbak bisa jalan, Mbak bakalan gendong kamu satu bulan lebih.”

Aku tertawa kecil mendengar ucapan Mbak Hasna. “Kenapa cuma satu bulan?” 

“Heh… kamu ini, tapi mana mungkin Mbak bisa jalan lagi. Sebenarnya Mbak udah capek terapi sana sini, berobat sana sini nyatanya Mbak tetep aja seperti ini, nyusahin kamu.”

“Mbak ini ngomong apa tha? Mbak itu ndak nyusahin Halwa. Halwa ndak ngerasa disusahin Mbak tuh, malahan Halwa seneng, kemana-mana Mbak Hasna maunya sama Halwa terus. Kita kan kembar.” 

Mbak hasna tersenyum memelukku, “Makasih, ya. Kamu memang adik terbaik.”

“Idih, kenapa Mbak ini? Halwa jadi takut, biasanya ndak mau kalau di peluk.”

Kami tertawa bersama. Kebersamaan kami mungkin tak akan seperti ini lagi setelah menikah. Tentu saja akan banyak yang kami urus setelah menikah. Mungkin sekedar curhat berdua saja tak akan semudah sekarang. Kehidupan wanita setelah menikah akan sangat berbeda dan kami mulai menyadari itu sekarang.

Aku meninggalkan Mbak Hasna setelah membantunya pindah ke kursi yang ada di kamar mandi serta menaruh handuk tak jauh darinya agar ia mudah mengambilnya. Suara gemericik air terdengar begitu nyaring. Kupastikan Mbak Hasna sedang menikmati mandinya.

Aku bergegas menuju meja belajar, mengambil kotak berisi diari dan beberapa foto Gus Azam. “Harus kemana kubuang ini?” Aku melihat sekeliling, jika keluar tak cukup waktu, Mbak Hasna pasti akan memanggilku.

Mata tertuju lemari empat pintu, di belakangnya masih ada sela, aku akan menaruhnya di sana saja, pikirku. 

“Dik, Mbak udah,” ucap Mbak Hasna dari dalam kamar mandi.

“Iya Mbak.” Gegas kusembunyikan kotak yang tidak terlalu besar itu. Mbak Hasna tidak tahu tentang kotak itu, satu-satunya rahasia hanya aku dan Allah yang tahu. Kadang hal ini membuatku malu, maaf ya Allah, maaf aku terlalu menyukai insan manusia.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Kedatangan Ana

    Mendengar penjelasan Mbak Ida aku tak dapat lagi bisa protes. Memang bukan salahnya semuanya karena Guss Azam, ia serakah memulai hubungan dengan kebohongan. Meski Mbak Ida dan Mbak Hasna sama-sama menerima, tetapi itu tidak benar, yang masih kusayangkan kenapa mereka berbohong? Jika mereka saling cinta harusnya mereka jujur sejak dulu.“Ngapunten Mbak, Dik Halwa. Mbak tahu diri, karena orang tua kalian Mbak bisa hidup lebih baik seperti sekarang, karena itu Mbak siap menebus semuanya, kalaupun ada yang harus mengalah itu Mbak,” ucap Mbak Ida lirih.“Mbak, kita udah bahas ini. Kita akan jelaskan perlahan dengan Abi dan Abah. Ndak ada yang berubah,” tungkas Mbak Hasna tak setuju dengan ucapan Mbak Ida.Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mbak Hasna, sebaik-baiknya wanita mereka tetap tidak ingin dimadu, mereka pasti ingin menjalani cinta yang sempurna, tetapi tidak dengan kakakku itu, entah apa yang salah dengannya.“Sekarang sampun jelas, ndak

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    LUKA DAN TABAH

    HASNA POV“Jika sudah takdir, kemanapun kamu pergi ia akan datang. Jika sudah takdir jangankan kilometer, pulau saja akan mudah dilalui untuk memberikan kemenangan pada pertemuan.” Hasna Qaieren Eleanor.Gus Azam, begitulah aku dan adikku Halwa memanggil lelaki tinggi semampai yang selalu memakai sarung dan peci. Baju koko yang selalu digulung hingga ke siku, selalu menyapa dengan senyuman, kumis tipis membuatnya bertambah manis.Lelaki yang menjadi idola santriwati termasuk adikku Halwa, aku tak bohong jika memandangnya saja kita akan terhipnotis. Aku pun menyimpan hati untuknya, tetapi ketika adikku selalu menyebut namanya, bercerita tentang kebaikannya dan sikap santunya aku menyimpan rasa ini sendiri. Tidak mungkin aku akan bersaing dengan adikku meski kami tahu dia pun sudah dijodohkan dengan kami. Tidak hanya Gus Azam, ada Gus Agam yang tak kalah tampan, tetapi sikap mereka berbanding terbalik. Gus Agam pemuda dengan segala kebebasannya. Di

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Jangan Salahkan Takdir bagian 2

    IDA POVTiga hari menjelang pernikahan mereka aku menyibukan diri di madrasah, mengalihkan semua panggilan dari Gus Azam, tak ingin menemuinya. Hingga datang hari di mana ia mengucap ijab kabul untuk Hasna, tatapan matanya seolah memohon untuk bicara, tetapi aku mengalihkan pandangan dan memilih pergi meninggalkan tempat yang menjadi saksi mereka telah halal.Hatiku sakit, aku seolah tak percaya dengan semua ini, tetapi ini nyata. Aku tidak bisa berpaling dari kenyataan ini, mau tidak mau aku harus menerima semua ini. Aku menangis seorang diri setiap malam, menahan derita lara ini, hingga aku tahu aku mengandung. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sementara abi berniat menjodohkanku dengan seorang pemuda yang ia anggap sangat baik dan pantas untukku. Aku ingin jujur, tetapi takut jika abi akan murka, aku ingin diam tetapi jelas ini akan semakin membuat masalah besar.Kuputuskan untuk pergi dari rumah abi, mengatakan ingin membantu teman di sebuah panti jompo yang butuh bantuan p

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Jangan Salahkan Takdir bagian 1

    IDA POV "Cinta hanya tentang bagaimana kamu harus menerima tanpa menyakiti." Ida Humaira.Ingatan itu membawaku dalam sebuah rasa bersalah yang teramat dalam, aku tidak tahu jika kedua orang tua angkatku yang telah membawaku dari kejamnya dunia pinggir jalan kedalam sebuah rumah penuh kenyamanan dan kedamaian akan menjodohkan putrinya dengan lelaki yang telah meminangku. Lelaki yang terang terangan mengatakan suka dan ingin menikah denganku, lelaki anak Kyai pimpinan pesantren. Bagus rupa dan akhlaknya, aku tidak menyangka pria yang kukagumi itu memiliki rasa kepadaku.Semua bermula saat aku sering ikut abi pergi ke pesantren Abah Habib, kami tak sengaja bertemu. Pemuda dengan panggilan Gus Azam, lelaki yang membantuku menghafal Al-Qur'an, lelaki yang selalu tersenyum kepadaku. Lama kami menyimpan rasa. Sempat abi melarang aku untuk ikut dengannya dan lebih fokus ke pelajaran madrasah, tetapi aku menolak aku tetap ingin membantu di pesantren Abah Habib, meski hanya sekedar membantu m

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Jangan Bertahan Dalam Lara

    Pagi ini aku berniat pergi ke rumah abi, sebelum itu kusempatkan untuk menemui Mbak Hasna mengingat ucapan Agam semalam setidaknya aku akan mendengarkan alasannya tetap diam meski tahu ia telah dikhianati oleh Gus Azam. Baru saja hendak beranjak dari gazebo tempat aku duduk, Mbak Ida datang mendorong kursi roda Mbak Hasna. Aku diam mematung menatap keduanya, apa umik tahu tentang mereka, kenapa Mbak Ida dengan sesuka hati bisa datang ke sini? Apa di madrasah tidak sedang sibuk?“Dik,” panggil Mbak Hasna lirih.Aku menghampirinya, berlutut di depannya agar tinggi lebih rendah.“Apapun keputusan Mbak Hasna, Halwa selalu ada untuk Mbak. Jangan takut.” Kupegang tangan Mbak Hasna, dan sejenak menatap Mbak Ida yang terus menunduk.“Ngapunten Dik Halwa,” ucap Mbak Ida lirih. Aku tak menghiraukanya, bahkan tak sedikit pun berniat untuk menjawab ucapannya. Kuambil kursi roda dari tangan Mbak Ida dan membawa Mbak Hasna menjauh darinya. Meninggalkan Mbak Ida yang masih berdiri tak protes.“Dik

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Perjanjian Agung

    “Ngapunten Gus, bagi Halwa sepuluh ribu itu sampun cukup. Halwa bukan wanita yang sempurna akhlaknya, Halwa bukan menantu yang bisa segalanya. Halwa sangat bersyukur bisa mendapat mertua seperti Umik, yang menerima Halwa dengan baik, menyayangi Halwa selayaknya putrinya sendiri. Memberikan kepercayaan besar saat Halwa ndak bisa menahan tangis. Apa pantas Halwa minta lebih dari sepuluh ribu lha wong Halwa saja masih banyak kurangnya.” Aku menghela nafas, sementara Agam masih setia di depanku menunggu aku kembali mengungkap alasan meminta mahar yang terbilang sedikit itu. “Lebih dari itu Halwa hanya ingin menjadi wanita yang diingat tak pernah meminta mahar neko-neko, karena syarat utama dari mahar pernikahan sebenarnya adalah mahar yang tidak memberatkan. Dalam hadis riwayat Ahmad Al-Hakim dan Al-Baihaqi 'Wanita yang paling besar berkahnya adalah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.' Itu menyiratkan bahwa wanita yang berhak meminta mahar sebaiknya minta mahar pernikahan yang mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status