Share

Kotak Hitam

“Ami, jangan bicara seperti itu. Halwa ndak salah.” Mbak Hasna memegang gamis Ami dan menariknya pelan.

“Ngapunten Mi, Halwa ndak akan merebut Gus Azam. Halwa ndak ada pikiran seperti itu.”

“Ami tahu, Halwa anak Ami yang soleha memang ndak mungkin berpikir seperti itu, Ami ndak mau dengar lagi kalian bahas ini. Hasna akan menikah dengan Azam dan Halwa dengan Agam. Ami ndak ingin sampai Abi dengar masalah ini. Dengar kata Ami kan, Nduk?”

Ami menatapku bergantian dengan Mbak Hasna.

“Nggih Mi,” jawabku serentak Mbak Hasna.

“Ya sudah sekarang kalian mandi, anak gadis ndak boleh mandi sore-sore udah hampir Magrib, bada Magrib Ami sama Abi mau antar Mbak Hasna ke rumah Bu Hajjah lagi,” ucap ami sebelum pergi keluar kamarku dan Mbak Hasna.

Mbak Hasna sudah beberapa kali terapi pijat di rumah Pak Yai kenalan Abi. Bu Hajjah sendiri yang mengobati kaki Mbak Hasna meskipun kata dokter sudah tidak ada kemungkinan untuk sembuh, tetapi abi dan mi tetap berusaha. Mereka bilang tidak ada yang tidak mungkin selama kita terus berusaha dan tidak lelah berdoa. Kaki Mbak Hasna tidak bisa digerakkan setelah mengalami kecelakaan saat kami pulang dari pesantren.

Waktu itu kami sengaja pulang tak memberitahu abi, rencananya akan memberi kejutan jadi kami putuskan untuk pulang sendiri tanpa meminta jemputan. Mbak Hasna menyelamatkan hidupku. Dia mendorongku dari kecelakaan maut yang menewaskan hampir seluruh penumpang bus dan sedan mini. Adu kambing antara kedua mobil tersebut tak terelakan, dalam keadaan jalan licin mobil yang sama-sama melaju dengan kecepatan tinggi itu saling tabrak. Mobil sedan mini yang terpental hendak menghantam tubuhku, Mbak Hasna yang masih di belakangku karena berhenti membenarkan payung secepat kilat berlari mendorongku. Naasnya mobil itu menimpa kaki Mbak Hasna dan menyebabkan ia tak bisa berjalan. Kepala Mbak Hasna menghantam tiang lampu hingga ia koma selama satu bulan. 

Sejak saat itu aku merasa bersalah dan berusaha menjadi kaki untuk Mbak Hasna, membantunya melakukan apapun. Aku memaksa diri mengikuti Mbak Hasna kuliah di jurusan agama karena tak ingin meninggalkan dia sendiri meski aku ingin sekali mengambil kuliah jurusan seni. Namun, seiring berjalannya waktu aku menikmati semuanya, menyerap ilmu agama dan mulai menghafal Al-Qur'an. Keinginanku untuk menjadi seorang penyanyi sudah terkubur di bawah rasa bersalahku terhadap Mbak Hasna. 

“Dik,” panggil Mbak Hasna.

Aku tersentak dari lamunanku. “Ada apa Mbak? Mbak mau mandi sekarang? Ayo?” Aku mendorong kursi roda Mbak Hasna. 

“Kalau nanti Mbak bisa jalan, Mbak bakalan gendong kamu satu bulan lebih.”

Aku tertawa kecil mendengar ucapan Mbak Hasna. “Kenapa cuma satu bulan?” 

“Heh… kamu ini, tapi mana mungkin Mbak bisa jalan lagi. Sebenarnya Mbak udah capek terapi sana sini, berobat sana sini nyatanya Mbak tetep aja seperti ini, nyusahin kamu.”

“Mbak ini ngomong apa tha? Mbak itu ndak nyusahin Halwa. Halwa ndak ngerasa disusahin Mbak tuh, malahan Halwa seneng, kemana-mana Mbak Hasna maunya sama Halwa terus. Kita kan kembar.” 

Mbak hasna tersenyum memelukku, “Makasih, ya. Kamu memang adik terbaik.”

“Idih, kenapa Mbak ini? Halwa jadi takut, biasanya ndak mau kalau di peluk.”

Kami tertawa bersama. Kebersamaan kami mungkin tak akan seperti ini lagi setelah menikah. Tentu saja akan banyak yang kami urus setelah menikah. Mungkin sekedar curhat berdua saja tak akan semudah sekarang. Kehidupan wanita setelah menikah akan sangat berbeda dan kami mulai menyadari itu sekarang.

Aku meninggalkan Mbak Hasna setelah membantunya pindah ke kursi yang ada di kamar mandi serta menaruh handuk tak jauh darinya agar ia mudah mengambilnya. Suara gemericik air terdengar begitu nyaring. Kupastikan Mbak Hasna sedang menikmati mandinya.

Aku bergegas menuju meja belajar, mengambil kotak berisi diari dan beberapa foto Gus Azam. “Harus kemana kubuang ini?” Aku melihat sekeliling, jika keluar tak cukup waktu, Mbak Hasna pasti akan memanggilku.

Mata tertuju lemari empat pintu, di belakangnya masih ada sela, aku akan menaruhnya di sana saja, pikirku. 

“Dik, Mbak udah,” ucap Mbak Hasna dari dalam kamar mandi.

“Iya Mbak.” Gegas kusembunyikan kotak yang tidak terlalu besar itu. Mbak Hasna tidak tahu tentang kotak itu, satu-satunya rahasia hanya aku dan Allah yang tahu. Kadang hal ini membuatku malu, maaf ya Allah, maaf aku terlalu menyukai insan manusia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status