Mbak Hasna menarik nafas yang terasa berat kemudian mengucap basmalah. “Insya Allah jika Abi dan Ami ridha, juga adikku Halwa ikhlas, Hasna terima lamran Gus Azam,” jawab Mbak Hasna.
Detak jantungku seolah berhenti setelah Mbak Hasna mengatakan itu, kemudian kembali berpacu cukup kuat saat seorang pemuda datang dengan santainya.“Assalamualaikum,” ucapnya masih berdiri di depan pintu.Pemuda dengan thawb berwarna coklat, aku menatapnya detail. Perpaduan thawb dengan lis putih di bagian kancing dan saku, peci mesir menjadi pelengkap dan juga kacamata hitam yang baru saja ia lepas setelah kami menjawab salam bersama.Benarkah dia Agam? gumamku lirih.Ah, biarpun dia tampan, tapi tetap saja dia pemuda yang menyusahkan umik dan abah, pasti juga akan menyusahkanku esok, sudah bisa ditebak. Ya Allah kenapa aku begitu suudzon, aku menggeleng pelan. Bagaimanapun dia akan menjadi suamiku, sudah sepantasnya aku mengurus semuanya kalaupun benar siaBaiklah, ini saatnya aku beraksi, bukan mempersulit aku hanya ingin melihat bagaimana calon imamku. Bisakah dia menjadi imam yang baik untukku?Meskipun dia anak seorang ustaz pimpinan pesantren, tetapi sikap buruknya tak mencerminkan dia seorang pemuda yang tumbuh di lingkungan pesantren.“Ngapunten nggih Gus, Halwa ndak minta banyak hanya sedikit dan insya Allah ndak akan memberatkan Gus Agam.” Aku menarik nafas, bersiap mengutarakan syarat ia bisa meminangku. “Halwa hanya ingin mahar hafalan tiga juz al qur'an, surah mulk, dan yasin. Untuk mahar lain Halwa hanya ingin sepuluh ribu.” Aku diam sejenak, semua orang memandangku, mungkin mereka tak akan mengira aku akn meminta hal itu. “Nduk kamu ndak salah?” tanya umik.Ya, mestinya mana ada wanita yang meminta mahar sepuluh ribu, di luar sana mereka berlomba mencari lelaki yang memberi mahar hingga puluhan jutaan rupiah. Namun, bagiku itu tak penting, mahar bukan harga seorang wanita, mahar bukan
AGAM POV“Kamu itu kapan mau nurutin maunya Umik sama Abah, Agam? Umik ini udah tua, pengen lihat kamu kayak Mas Azam.”Seperti biasa umik akan memberi wejangan ketika aku memilih masuk ruang studio daripada menyibukkan diri bersama santri seperti Mas Azam, kakakku yang selalu mengikuti kemauan abah dan umik.“Umik, Agam udah bilang, Agam pengen jadi penyanyi terkenal, ngeluarin album, pengen manggung di banyak kota. Urusan pesantren sampun kalih Mas Azam, Mas Azam bisa mengurusnya meski tanpa Agam,” ucapku sedikit kesal meski masih menggunakan bahasa selembut mungkin.Umik duduk di sebelahku yang kembali sibuk dengan laptop.“Besok ikut Umik ke rumah Abi Husein sama masmu, yo?” umik membujuk.Ini sudah ketiga kalinya umik memintaku untuk ikut dengannya berkunjung ke rumah Abi Husein, pemilik Madrasah yang dulu sempat menjadi pengurus pesantren milik Abah. Lebih tepatnya sahabat abah yang sudah seperti saudaranya.“Umik, apa ndak bisa lain waktu saja? Besok itu Agam sampun ada janji s
Malam itu aku baru saja turun dari motor besarku dan melihat Anton menyeret gadis membawanya ke semak tepat di ujung gang. Gadis itu memberontak, tetapi tanpa suara karena mulutnya dibekap kuat oleh Anton. Aku tidak tahu gadis itu siapa, tetapi jiwaku tak bisa diam saja. Mana mungkin aku membiarkan dia dilecehkan oleh sahabatku sendiri. Kulajukan motor dengan kecepatan tinggi hampir saja menghantam tubuh Anton jika dia tak sigap menghindar.“Jangan ikut campur!” serunya. Pengaruh miras membuatnya menjadi gila, berdiri sempoyongan dengan senyum menyeringai.“Gila! Jangan berbuat macam-macam!” seruku, kutarik paksa Anton untuk melepaskan gadis itu yang langsung duduk lemas dan gemetar sambil membenahi hijabnya.Sementara Anton tak terima dan memukulku, malam itu aku dan Anton terlibat baku hantam. Aku pikir teman yang selama ini bersamaku mereka orang baik. Nyatanya mereka lebih mendukung Anton berbuat asusila dan memukulku. Terlebih yang tidak kutahu mereka sudah sering melakukan itu e
“Assalamualaikum, Umik.” Kusentuh kaki umik yang berada di pinggir kolam.Umik melonjak kaget dan mengamatiku. “Agam!” serunya, ia meraih tubuhku dalam dekapan. “Ya Allah, ini betul kamu Le, Agam?” Sekali lagi umik mengamati wajah dan penampilanku yang berbeda 180 derajat dengan Mas Azam. Celana levis yang sobek sana-sini, jaket jeans tanpa lengan, tato di lengan kuperlihatkan dengan jelas.“Ya Allah, Agam. Apa kenapa sama kamu, Le? Kok awakmu kayak gini, Nak?” Umik mengusap wajahku, air matanya mengalir melihat tato di lengan.“Ngapunten, Umik." Kucium berkali-kali tangan umik yang terlihat hanya tinggal tulang dan kulit, urat-urat menonjol menandakan tak ada daging menutupinya.“Ya Allah Le, tobat Nak.” Umik terduduk lemas. “Azam yok opo iki adikmu, Le.” Umik meraih tangan Mas Azam."Udah, Umik tenang dulu, sekarang Agam sampun di sini. Agam sampun pulang Umik mboten usah khawatir.” Mas Azam meraih air yang ada di belakangnya, air
Sayangnya, projek untuk mendirikan Panti Asuhan Bina Karya membuat kami semakin sibuk dan kami tak sempat bertemu. Diana sibuk mengurus seluruh perizinan pendirian gedung dan juga sumbangan yang masuk. Sementara aku mengurus anak-anak yang masih berada di panti lama, panti asuhan yang masih menumpang di tanah warga yang kami dirikan seadanya dengan bahan kayu sumbangan dari mushola setempat. Beruntungnya teman-teman kampus Diana ikut berpartisipasi selama kami mengurus rumah layak huni untuk mereka.Persyaratan prosedur sudah kami serahkan di OPD setempat. Tanah yang dihibahkan oleh Pak Jaya menjadi lokasi yang akan kami dirikan tempat membangun gedung rumah untuk anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Rencananya kami akan mendirikan panti asuhan yang dapat mengeluarkan anak-anak yang diasah kemampuannya agar mereka dapat menjalani kehidupan tanpa kesulitan lusa jika mereka telah dewasa, Insya Allah. Semoga rencana kami berjalan dengan baik. Jika aku gagal menjadi a
Aku berjalan seorang diri di taman, melihat layang pesan rindu dari Diana yang mampu membuatku tersenyum sendiri. Mengingat kembali aku harus memutuskannya membuat dada semakin sakit.Langkahku terhenti saat kulihat uy mik duduk seorang diri di halaman mushola pesantren masih menggunakan mukenah.“Assalamualaikum, Umik,” sapaku.Umik menjawab salam dan tersenyum, tetapi tatapannya sendu.“Kenapa Umik malam-malam shalat di mushola, ndak di rumah saja?” “Tadi Umik cari angin, lupa belum shalat Isya, jadi sekalian mampir,” terangnya Aku dan Umik berjalan beriringan, malam terasa sunyi, padahal baru pukul sembilan, tidak seperti biasanya. Tak ada pembicaraan antara aku dan umik, aku diam membisu karena pikiran berkelana entah di mana. Sedangkan umik, mungkin ia masih malas berbicara banyak hal karena ucapanku tadi yang menolak perjodohan.Kami sampai di teras rumah, sebelum masuk umik kembali memanggil. ia mengurungkan langkahnya masuk ke rumah dan mem
Setelah membahas konsep gedung pensi yang akan kami garap aku berniat untuk mengajak Diana berbicara kembali, tetapi ia menolak dengan alasan harus menyelesaikan finishing konsep dalam dan tata letaknya serta gaya dan nuansanya. Sudahlah, aku akan berbicara dengannya esok lagi setelah ia mereda.Aku kembali ke rumah, malam belum terlalu larut kulihat Mas Azam sedang menelpon seseorang, dari nada bicaranya ia tak seperti berbicara dengan teman, atau ia memiliki kekasih? Sudahlah, aku tak ingin mengganggu, lebih baik aku istirahat dan kembali menghubungi Diana.Setelah membersihkan diri, melakukan ibadah, dan membaca Al-Qur'an kuputuskan untuk menelpon Diana, tetapi sepertinya gadis itu masih tak ingin diganggu sehingga mematikan telepon dariku. Rasa sepi menyelimuti, malam biasanya kami akan berkirim pesan sekedar bertanya sedang apa lalu berbalas pantun, atau merangkai kata yang bisa dijadikan lagu. Namun, malam ini ponselku sepi tak ada getaran penanda pesan masuk
Aku dan Mbak Hasna menatap diri di depan cermin, kami sudah mengenakan baju pengantin dan memakai riasan tipis. Hari ini, setelah tiga hari acara lamaran kami akan dipinang. Kami saling diam, hanya mengamati bayangan kami di depan cermin, tak ada senyuman, hanya pandangan kosong. “Mbak?” panggilku lirih.“Heum.”“Kita mau menikah, gak kerasa, ya?”“Iya, kayaknya baru kemarin kamu ngompol di pesantren karena takut tidur sendiri,” goda Mbak Hasna dengan tawa tipis.“Jangan ingatkan aku itu Mbak.”Kami tertawa bersama sesaat kemudian hening dan saling diam. Berlanjut dengan pikiran kami masing-masing. Aku berdiri di depan jendela, taman bunga mawar yang selalu kurawat bersama Mbak Hasna tumbuh subur, semerbak aroma mawar yang mekar terbawa bersama dersik angin malam yang membelai pipi. Malam ini, tepat hari ini, di ruang tamu Agam bersiap akan mengucap ijab kabul dan menghalalkanku setelah kudengar dengan lantang ia membaca tiga juz Al-Qur'an. Agam memilih surah Al-Baqarah, surah An-N