Share

Mbak Ida

“Pelan-pelan Nduk.” Ami mengusap pelan bahu Mbak Ida.

“Pelan-pelan aja Mbak, Halwa ndak minta, kok. Habisin aja, habisin. Kalau kurang tambah lagi,” ucapku meledek.

“Halwa,” panggil abi lirih,

Aku tersenyum dan menutup mulut.

“Anak Abi yang satu itu memang suka banget kalau meledek.” Mbak Hasna kembali melempar bantal.

“Entah Halwa ini.” Ami mencubit pelan pipiku.

“Ida ke kamar dulu, Abi, Ami. Pengen rebahan bentar.”

“Iya, Nduk. Istirahat, kamu pasti capek,” jawab ami.

Aku masih memandang bahu yang bergoyang menjauh milik Mbak Ida, hingga ia menghilang di balik tangga. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan Mbak Ida, seperti ada yang disembunyikan. Ah, sudahlah, aku tidak ingin suudzon. Dosaku saja sudah banyak ditambah pikiran buruk, bisa tertimbun di arang neraka nanti aku.

“Mi, sepertinya Abi sudah dapat calon buat Ida,” ucap Abi.

“Iya tha? Siapa Bi?” tanya ami antusias.

“Itu loh anaknya Yai Salman, si Maher.”

“Maher Fauzan lulusan Kairo itu, ya Allah beneran dia mau ta'aruf sama Ida?”

“Iya, Mi. Yai Salman mau besanan sama kita, pas tahu putranya tertarik sama Ida.”

“Subhanallah, semoga jodohnya Ida, ya Bi. Ami udah ndak sabar pengen kasih kabar ini sama Ida.”

“Jangan kasih tahu Ida, biar Yai Salman datang lebih dulu. Kalaupun nanti tidak sesuai rencana Ida ndak kecewa, iya to?” tutur abi.

“Siapa Maher Fauzan, Bi?” tanyaku penasaran.

“Putra sulung Yai Salman. Dia itu pemuda yang udah hafal Qur'an, selain itu hafalan gadisnya, subhanallah. Abi aja sampai kagum, dia juga sudah mendirikan beberapa pustaka religi.”

Aku hanya mengangguk pelan mendengar penjelasan abi. Sepertinya pemuda sempurna, beruntung sekali Mbak Ida. Ya, semua orang punya keberuntungannya sendiri. Mbak Ida masa kecilnya tak seberuntung aku dan Mbak Hasna. Ia ditinggalkan orang tuanya sejak umur lima tahun dan tinggal bersama neneknya yang sudah renta. Ibunya bekerja menjadi TKW dan menikah dengan orang luar negeri setelah itu mereka tak saling kirim kabar.

Setelah neneknya meninggal, ami membawa Mbak Ida dan merawatnya karena kasihan melihatnya luntang lantung di pinggir jalan seorang diri dengan baju compang camping. Terlebih ia perempuan yang beranjak remaja, tak pantas memakai baju kekecilan yang robek sana sini. Saat itu aku dan Mbak Hasna baru berusia tujuh tahun, kami berbeda usia tiga tahun dengan Mbak Ida. Sementara Mbak Ida berusia sepuluh tahun saat itu.

Abi menyekolahkan Mbak Ida sama seperti kami, Mbak Ida yang tak ingin terus menyusahkan abi ikut membantu di pesantren abah. Entah itu hanya sekedar bersih-bersih atau membantu memasak. Meskipun abi bersikeras melarang dan menyuruh Mbak Ida belajar yang tekun saja, tetapi Mbak Ida tetap ingin membantu karena saat itu abi masih mengurus pesantren abah.

Hidup memang ada plus minusnya, ada lubangnya, mana mungkin jalan selalu lurus tanpa hambatan. Jalur pesawat saja yang terlihat mulus nyatanya tetap bergelombang.

…..

Rumah terasa sunyi setelah abi, ami, dan Mbak Hasna pergi ke rumah Bu Hajjah. hanya tinggal aku dan Mbak Ida yang berada di kamar atas. Sejak Mbak Hasna tak bisa berjalan aku dan Mbak Hasna memakai kamar bawah. Abi merenovasi kamar bawah yang semula dua kamar berdampingan menyatukan menjadi satu kamar besar. Dua ranjang berdampingan, lemari kaca empat pintu, lemari buku besar karena aku dan Mbak Hasna sama-sama suka membaca. Meja rias tak terlalu besar berjejer di samping lemari pakaian, selain itu meja belajar juga ada bersanding dengan lemari buku. Desain ami memang tiada duanya, kamar sudah seperti lapangan bola saking besarnya.

Sejak Mbak Hasna tak bisa berjalan kami tidak lagi di pesantren, abi secara khusus mengajar di rumah untuk kami, dan pelajaran lain kami lakukan di rumah dengan ustaz atau ustazah yang disewa abi secara khusus. Aku menurut meski terkadang merasa tertekan karena tak lagi punya teman lain, untungnya ami mengerti. Setiap malam aku dan Mbak Hasna ikut ke mushola dan mengaji bersama anak-anak kompleks, setidaknya itu cukup untuk mengatasi kesuntukkan. Aku dan Mbak Hasna kembali ke pesantren setelah Mbak Hasna mulai terbiasa duduk dan beraktifitas menggunakan kursi roda. Aku selalu di sampingnya, membantu saudara kembarku jika kesulitan menggerakan kursi rodanya. Aku harus menerima tanggung jawab yang diberikan abi untuk menjaga Mbak Hasna selama di pesantren. Pun aku menyadari jika bukan karena Mbak Hasna mungkin aku sudah tiada dan bukan sekedar duduk di kursi roda.

Setelah melakukan shalat Isya, kulanjutkan hafalan Qu'ran di kamar. Mengingat umur sudah tua, tetapi aku belum sempurna menghafal Quran, bahkan aku malu dengan bayanganku. Teringat Mbak Ida kuputuskan untuk melihatnya sejenak karena tadi kulihat ia seperti tak sehat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status