Share

Mbak Ida

Author: ER_IN
last update Last Updated: 2022-09-14 04:10:32

“Pelan-pelan Nduk.” Ami mengusap pelan bahu Mbak Ida.

“Pelan-pelan aja Mbak, Halwa ndak minta, kok. Habisin aja, habisin. Kalau kurang tambah lagi,” ucapku meledek.

“Halwa,” panggil abi lirih,

Aku tersenyum dan menutup mulut.

“Anak Abi yang satu itu memang suka banget kalau meledek.” Mbak Hasna kembali melempar bantal.

“Entah Halwa ini.” Ami mencubit pelan pipiku.

“Ida ke kamar dulu, Abi, Ami. Pengen rebahan bentar.”

“Iya, Nduk. Istirahat, kamu pasti capek,” jawab ami.

Aku masih memandang bahu yang bergoyang menjauh milik Mbak Ida, hingga ia menghilang di balik tangga. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan Mbak Ida, seperti ada yang disembunyikan. Ah, sudahlah, aku tidak ingin suudzon. Dosaku saja sudah banyak ditambah pikiran buruk, bisa tertimbun di arang neraka nanti aku.

“Mi, sepertinya Abi sudah dapat calon buat Ida,” ucap Abi.

“Iya tha? Siapa Bi?” tanya ami antusias.

“Itu loh anaknya Yai Salman, si Maher.”

“Maher Fauzan lulusan Kairo itu, ya Allah beneran dia mau ta'aruf sama Ida?”

“Iya, Mi. Yai Salman mau besanan sama kita, pas tahu putranya tertarik sama Ida.”

“Subhanallah, semoga jodohnya Ida, ya Bi. Ami udah ndak sabar pengen kasih kabar ini sama Ida.”

“Jangan kasih tahu Ida, biar Yai Salman datang lebih dulu. Kalaupun nanti tidak sesuai rencana Ida ndak kecewa, iya to?” tutur abi.

“Siapa Maher Fauzan, Bi?” tanyaku penasaran.

“Putra sulung Yai Salman. Dia itu pemuda yang udah hafal Qur'an, selain itu hafalan gadisnya, subhanallah. Abi aja sampai kagum, dia juga sudah mendirikan beberapa pustaka religi.”

Aku hanya mengangguk pelan mendengar penjelasan abi. Sepertinya pemuda sempurna, beruntung sekali Mbak Ida. Ya, semua orang punya keberuntungannya sendiri. Mbak Ida masa kecilnya tak seberuntung aku dan Mbak Hasna. Ia ditinggalkan orang tuanya sejak umur lima tahun dan tinggal bersama neneknya yang sudah renta. Ibunya bekerja menjadi TKW dan menikah dengan orang luar negeri setelah itu mereka tak saling kirim kabar.

Setelah neneknya meninggal, ami membawa Mbak Ida dan merawatnya karena kasihan melihatnya luntang lantung di pinggir jalan seorang diri dengan baju compang camping. Terlebih ia perempuan yang beranjak remaja, tak pantas memakai baju kekecilan yang robek sana sini. Saat itu aku dan Mbak Hasna baru berusia tujuh tahun, kami berbeda usia tiga tahun dengan Mbak Ida. Sementara Mbak Ida berusia sepuluh tahun saat itu.

Abi menyekolahkan Mbak Ida sama seperti kami, Mbak Ida yang tak ingin terus menyusahkan abi ikut membantu di pesantren abah. Entah itu hanya sekedar bersih-bersih atau membantu memasak. Meskipun abi bersikeras melarang dan menyuruh Mbak Ida belajar yang tekun saja, tetapi Mbak Ida tetap ingin membantu karena saat itu abi masih mengurus pesantren abah.

Hidup memang ada plus minusnya, ada lubangnya, mana mungkin jalan selalu lurus tanpa hambatan. Jalur pesawat saja yang terlihat mulus nyatanya tetap bergelombang.

…..

Rumah terasa sunyi setelah abi, ami, dan Mbak Hasna pergi ke rumah Bu Hajjah. hanya tinggal aku dan Mbak Ida yang berada di kamar atas. Sejak Mbak Hasna tak bisa berjalan aku dan Mbak Hasna memakai kamar bawah. Abi merenovasi kamar bawah yang semula dua kamar berdampingan menyatukan menjadi satu kamar besar. Dua ranjang berdampingan, lemari kaca empat pintu, lemari buku besar karena aku dan Mbak Hasna sama-sama suka membaca. Meja rias tak terlalu besar berjejer di samping lemari pakaian, selain itu meja belajar juga ada bersanding dengan lemari buku. Desain ami memang tiada duanya, kamar sudah seperti lapangan bola saking besarnya.

Sejak Mbak Hasna tak bisa berjalan kami tidak lagi di pesantren, abi secara khusus mengajar di rumah untuk kami, dan pelajaran lain kami lakukan di rumah dengan ustaz atau ustazah yang disewa abi secara khusus. Aku menurut meski terkadang merasa tertekan karena tak lagi punya teman lain, untungnya ami mengerti. Setiap malam aku dan Mbak Hasna ikut ke mushola dan mengaji bersama anak-anak kompleks, setidaknya itu cukup untuk mengatasi kesuntukkan. Aku dan Mbak Hasna kembali ke pesantren setelah Mbak Hasna mulai terbiasa duduk dan beraktifitas menggunakan kursi roda. Aku selalu di sampingnya, membantu saudara kembarku jika kesulitan menggerakan kursi rodanya. Aku harus menerima tanggung jawab yang diberikan abi untuk menjaga Mbak Hasna selama di pesantren. Pun aku menyadari jika bukan karena Mbak Hasna mungkin aku sudah tiada dan bukan sekedar duduk di kursi roda.

Setelah melakukan shalat Isya, kulanjutkan hafalan Qu'ran di kamar. Mengingat umur sudah tua, tetapi aku belum sempurna menghafal Quran, bahkan aku malu dengan bayanganku. Teringat Mbak Ida kuputuskan untuk melihatnya sejenak karena tadi kulihat ia seperti tak sehat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Kedatangan Ana

    Mendengar penjelasan Mbak Ida aku tak dapat lagi bisa protes. Memang bukan salahnya semuanya karena Guss Azam, ia serakah memulai hubungan dengan kebohongan. Meski Mbak Ida dan Mbak Hasna sama-sama menerima, tetapi itu tidak benar, yang masih kusayangkan kenapa mereka berbohong? Jika mereka saling cinta harusnya mereka jujur sejak dulu.“Ngapunten Mbak, Dik Halwa. Mbak tahu diri, karena orang tua kalian Mbak bisa hidup lebih baik seperti sekarang, karena itu Mbak siap menebus semuanya, kalaupun ada yang harus mengalah itu Mbak,” ucap Mbak Ida lirih.“Mbak, kita udah bahas ini. Kita akan jelaskan perlahan dengan Abi dan Abah. Ndak ada yang berubah,” tungkas Mbak Hasna tak setuju dengan ucapan Mbak Ida.Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Mbak Hasna, sebaik-baiknya wanita mereka tetap tidak ingin dimadu, mereka pasti ingin menjalani cinta yang sempurna, tetapi tidak dengan kakakku itu, entah apa yang salah dengannya.“Sekarang sampun jelas, ndak

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    LUKA DAN TABAH

    HASNA POV“Jika sudah takdir, kemanapun kamu pergi ia akan datang. Jika sudah takdir jangankan kilometer, pulau saja akan mudah dilalui untuk memberikan kemenangan pada pertemuan.” Hasna Qaieren Eleanor.Gus Azam, begitulah aku dan adikku Halwa memanggil lelaki tinggi semampai yang selalu memakai sarung dan peci. Baju koko yang selalu digulung hingga ke siku, selalu menyapa dengan senyuman, kumis tipis membuatnya bertambah manis.Lelaki yang menjadi idola santriwati termasuk adikku Halwa, aku tak bohong jika memandangnya saja kita akan terhipnotis. Aku pun menyimpan hati untuknya, tetapi ketika adikku selalu menyebut namanya, bercerita tentang kebaikannya dan sikap santunya aku menyimpan rasa ini sendiri. Tidak mungkin aku akan bersaing dengan adikku meski kami tahu dia pun sudah dijodohkan dengan kami. Tidak hanya Gus Azam, ada Gus Agam yang tak kalah tampan, tetapi sikap mereka berbanding terbalik. Gus Agam pemuda dengan segala kebebasannya. Di

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Jangan Salahkan Takdir bagian 2

    IDA POVTiga hari menjelang pernikahan mereka aku menyibukan diri di madrasah, mengalihkan semua panggilan dari Gus Azam, tak ingin menemuinya. Hingga datang hari di mana ia mengucap ijab kabul untuk Hasna, tatapan matanya seolah memohon untuk bicara, tetapi aku mengalihkan pandangan dan memilih pergi meninggalkan tempat yang menjadi saksi mereka telah halal.Hatiku sakit, aku seolah tak percaya dengan semua ini, tetapi ini nyata. Aku tidak bisa berpaling dari kenyataan ini, mau tidak mau aku harus menerima semua ini. Aku menangis seorang diri setiap malam, menahan derita lara ini, hingga aku tahu aku mengandung. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sementara abi berniat menjodohkanku dengan seorang pemuda yang ia anggap sangat baik dan pantas untukku. Aku ingin jujur, tetapi takut jika abi akan murka, aku ingin diam tetapi jelas ini akan semakin membuat masalah besar.Kuputuskan untuk pergi dari rumah abi, mengatakan ingin membantu teman di sebuah panti jompo yang butuh bantuan p

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Jangan Salahkan Takdir bagian 1

    IDA POV "Cinta hanya tentang bagaimana kamu harus menerima tanpa menyakiti." Ida Humaira.Ingatan itu membawaku dalam sebuah rasa bersalah yang teramat dalam, aku tidak tahu jika kedua orang tua angkatku yang telah membawaku dari kejamnya dunia pinggir jalan kedalam sebuah rumah penuh kenyamanan dan kedamaian akan menjodohkan putrinya dengan lelaki yang telah meminangku. Lelaki yang terang terangan mengatakan suka dan ingin menikah denganku, lelaki anak Kyai pimpinan pesantren. Bagus rupa dan akhlaknya, aku tidak menyangka pria yang kukagumi itu memiliki rasa kepadaku.Semua bermula saat aku sering ikut abi pergi ke pesantren Abah Habib, kami tak sengaja bertemu. Pemuda dengan panggilan Gus Azam, lelaki yang membantuku menghafal Al-Qur'an, lelaki yang selalu tersenyum kepadaku. Lama kami menyimpan rasa. Sempat abi melarang aku untuk ikut dengannya dan lebih fokus ke pelajaran madrasah, tetapi aku menolak aku tetap ingin membantu di pesantren Abah Habib, meski hanya sekedar membantu m

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Jangan Bertahan Dalam Lara

    Pagi ini aku berniat pergi ke rumah abi, sebelum itu kusempatkan untuk menemui Mbak Hasna mengingat ucapan Agam semalam setidaknya aku akan mendengarkan alasannya tetap diam meski tahu ia telah dikhianati oleh Gus Azam. Baru saja hendak beranjak dari gazebo tempat aku duduk, Mbak Ida datang mendorong kursi roda Mbak Hasna. Aku diam mematung menatap keduanya, apa umik tahu tentang mereka, kenapa Mbak Ida dengan sesuka hati bisa datang ke sini? Apa di madrasah tidak sedang sibuk?“Dik,” panggil Mbak Hasna lirih.Aku menghampirinya, berlutut di depannya agar tinggi lebih rendah.“Apapun keputusan Mbak Hasna, Halwa selalu ada untuk Mbak. Jangan takut.” Kupegang tangan Mbak Hasna, dan sejenak menatap Mbak Ida yang terus menunduk.“Ngapunten Dik Halwa,” ucap Mbak Ida lirih. Aku tak menghiraukanya, bahkan tak sedikit pun berniat untuk menjawab ucapannya. Kuambil kursi roda dari tangan Mbak Ida dan membawa Mbak Hasna menjauh darinya. Meninggalkan Mbak Ida yang masih berdiri tak protes.“Dik

  • Wanita Lain Di Hati Suamiku    Perjanjian Agung

    “Ngapunten Gus, bagi Halwa sepuluh ribu itu sampun cukup. Halwa bukan wanita yang sempurna akhlaknya, Halwa bukan menantu yang bisa segalanya. Halwa sangat bersyukur bisa mendapat mertua seperti Umik, yang menerima Halwa dengan baik, menyayangi Halwa selayaknya putrinya sendiri. Memberikan kepercayaan besar saat Halwa ndak bisa menahan tangis. Apa pantas Halwa minta lebih dari sepuluh ribu lha wong Halwa saja masih banyak kurangnya.” Aku menghela nafas, sementara Agam masih setia di depanku menunggu aku kembali mengungkap alasan meminta mahar yang terbilang sedikit itu. “Lebih dari itu Halwa hanya ingin menjadi wanita yang diingat tak pernah meminta mahar neko-neko, karena syarat utama dari mahar pernikahan sebenarnya adalah mahar yang tidak memberatkan. Dalam hadis riwayat Ahmad Al-Hakim dan Al-Baihaqi 'Wanita yang paling besar berkahnya adalah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.' Itu menyiratkan bahwa wanita yang berhak meminta mahar sebaiknya minta mahar pernikahan yang mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status