Rumi– seorang perempuan baik yang mendapatkan pengkhiantan dari sang suami dan juga mertuanya. Kebohongan demi kebohongan mulai terkuak hingga akhirnya Rumi memilih untuk berpisah. Tak ada siasat yang dijalankan oleh Rumi, hanya saja keluarga sang suami benar-benar terkungkung dalam penyesalan yang luar biasa. Bukankah hal paling menyakitkan adalah sebuah penyesalan?
View More"Assalamualaikum ..." Suara salam terdengar dari balik pintu, diikuti dengan ketukan halus.
"Waalaikum salam," jawabku. Segera kucampakkan ponsel yang sedari tadi berada di genggamanku, lalu bergegas menuju pintu. Aku melangkah dengan perasaan senang bukan main. Aku tahu betul siapa pemilik suara itu. Dia adalah Mas Rohim, suamiku.
Kuputar anak kunci, lalu kubuka daun pintu. Pemandangan pertama yang kulihat adalah sosok suamiku dengan bibir yang sedang tersenyum manis. Segera kucium punggung tangannya dengan takdzim.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang," ucapku dengan lega.
"Kenapa? Kangen?" goda Mas Rohim.
"Iya, lah, Mas! Seminggu hanya bertemu satu kali. Siapa yang nggak kangen coba! Apalagi hitungannya kita masih pengantin baru! Harusnya tuh, ya, kita kemanapun berdua!" gerutuku.
Ya, bisa dibilang kami LDR-an. Bertemu hanya saat Mas Rohim libur kerja. Suamiku akan pulang hari jum'at sore, dan minggu pagi ia akan kembali ke kota.
Aku tinggal di kampung, sementara suamiku tinggal di kota Surabaya. Sebenarnya jarak kami tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan mengendarai sepeda motor yang hanya memakan waktu tiga jam lamanya.
"Pengantin baru apa'an. Nikah udah lima tahun juga!"
"Kan belum ada anak, Mas! Kalau belum ada anak, namanya tetap pengantin baru. Meskipun sudah lima tahun nikahnya!"
Hati terasa bagai tersayat sembilu saat bibir ini mengucapkan kata anak.
"Udah, ah. Jangan ngomel terus! Bikin gemes aja, deh!"
"Aduh ... sakit Mas!" keluhku saat Mas Rohim mencubit hidungku.
Akhirnya kami berjalan menuju kamar secara beriringan, dengan tangan kanan Mas Rohim merangkul pundakku.
*******
"Mas, apa nggak sebaiknya Rumi ikut ke kota? Supaya Mas ada yang merawat. Kan kasihan, Mas pulang kerja capek-capek, eh, nggak ada yang menyambut."
Mas Rohim memegang tanganku. "Kalau kamu ikut, bagaimana dengan Ibu? Ibu tak mau diajak ke kota. Terus Ibu di rumah dengan siapa? Apa kamu tega ninggalin Ibu yang sakit-sakitan di rumah sendiri? Nggak tega, kan? Mas nggak bisa tenang jika Ibu nggak ada yang jagain, kalau harus membayar orang, Mas malah kepikiran, kayak nggak percaya gitu. Apalagi kamu tahu sendiri. Mas hanya seorang staff biasa. Nggak mampu kalau dibuat bayar orang. Kalau sama kamu di rumah, Mas bisa kerja dengan tenang, Sayang. Karena Mas yakin, kalau kamu akan merawat Ibu dengan sangat baik!"
Selalu itu lah yang menjadi alasan suamiku, saat aku mengutarakan niatku untu ikut ke kota. Apa salah jika aku ingin setiap hari bisa bertemu dengan suamiku?
Sudah lima tahun juga kami berumah tangga, tapi tak kunjung mendapatkan keturunan. Padahal setiap hari sudah meminum obat penyubur yang dibelikan oleh Mas Rohim di kota dari dokter spesialis kandungan.
Percuma juga, kan, tiap hari minum obat penyubur tapi jarang ber-ikhtiar?
Kan bisa jadi, jika setiap hari bertemu, Tuhan segera menitipkan amanah-Nya untuk kami.
Ah, entahlah. Mungkin memang belum saatnya juga Tuhan menitipkan buah hati untuk aku dan suamiku.
Tapi untunglah, ia tak mempermasalahkan soal belum hadirnya buah hati di tengah-tengah kami. Bahkan, aku lah yang selalu mengeluh karena tak kunjung hamil juga. Tapi syukurlah, ia selalu bersedia mendengarkan keluhanku. Dan pada akhirnya, ia selalu memenangkan ku.
Mungkin kita harus bersabar terlebih dahulu dan Tuhan menginginkan kita untuk berpacaran dulu, begitulah katanya sewaktu aku berkeluh-kesah.
"Jangan diam gitu dong, Sayang! Sini peluk!" Mas Rohim memelukku.
Aku bergeming.
"Mas mandi dulu ya. Habis mandi makan malam, lalu lihat Ibu." Aku mengangguk. Dilepaskannya pelukanku, lalu diciumnya pucuk kepalaku.
Mas Rohim melangkah menuju kamar mandi, disambarnya handuk yang tergantung ditempatnya.
Suara gemericik shower mulai terdengar. Aku diam duduk termenung di bibir ranjang.
Entahlah. Disatu sisi aku menginginkan setiap hari bisa bertemu dengan suamiku, disisi lain aku juga tak tega meninggalkan Ibu yang sakit-sakitan seorang diri di kampung.
Salama ini aku hanya tinggal bersama Ibu mertuaku. Tepatnya di rumah milik Ibu mertua, di kampung halaman suamiku. Aku merawat beliau dengan ikhlas. Syukurlah, Ibu mertuaku sosok Ibu yang penyayang. Termasuk denganku yang notabenenya hanya seorang menantu.
Tiap satu bulan sekali aku selalu mengantarkan Ibu periksa. Jantung Ibu tidak normal, jadi harus sering-sering kontrol. Apalagi Ibu memiliki penyakit kolesterol dan diabetes. Menambah daftar penyakit yang bersarang di tubuh Ibu mertuaku.
Suara gemericik air yang terjatuh dari shower telah berhenti. Itu tandanya Mas Rohim telah menyelesaikan ritual mandinya.
Tak berselang lama, suamiku keluar dengan lilitan handuk di bagian bawah tubuhnya.
Semakin mendekat, aroma wanginya sabun menguar dari tubuhnya yang basah.
Butiran air berjatuhan dari rambutnya, lalu berselancar di dada bidang lelaki yang telah membersamaiku lima tahun lamanya.
"Suamimu ini memang tampan, Sayang," ucap Suamiku yang menyadarkan dari lamunanku.
"C'k, apa sih, Mas! Pede banget!" kilahku lalu membuang muka.
"Lah itu, lihat sampek bengong. Untuk berkedip pun kamu tak mampu!"
"Udah, ah. Cepetan pakai baju. Tuh, udah Rumi siapin! Rumi tunggu di meja makan ya. Sekalian manggil Ibu buat makan malam."
"Iya. Jangan ngambek ya! Mas mohon pengertian dari kamu!" ucapnya dengan raut wajah menghiba. Aku mengangguk dan tersenyum, pastinya senyum terpaksa.
Mas Rohim mengambil baju lalu mengenakannya. Aku beranjak dari ranjang lalu pergi ke ruang makan.
*******
Dentingan sendok mulai beradu. Kami lewati acara makan malam ini dengan saling bercerita dan bercanda. Begitulah suamiku, ada saja yang akan ia bicarakan. Entah masalah pekerjaan, atau yang lainnya.
Tapi sayang sekali, malam ini Ibu tak ikut makan malam bersama.
Mas Rohim mengambil tissue, lalu diusap lah bibirnya sebagai tanda kalau makannya telah selesai.
"Mas antar makanan Ibu dulu, ya. Kamu kalau ingin istirahat, istirahatlah!" ucap suamiku dengan lembut. Ia ambil makanan yang kumasak khusus untuk Ibu.
Ya namanya orang sakit, pasti makanannya tidak bisa sembarangan.
"Iya, Mas!"
Mas Rohim membawa nampan lalu berjalan menuju kamar Ibu. Sengaja kubiarkan sepasang Ibu dan anak itu saling mencurahkan rasa rindu satu sama lain. Aku tak ingin mengganggu mereka.
Kusandarkan tubuhku di kepala ranjang. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas tepat di samping ranjang.
Saat aku sedang berselancar di aplikasi dunia biru, tiba-tiba ponsel milik Mas Rohim bergetar.
Kuambil ponsel itu. Nama Ragil yang terpampang sebagai pemanggilnya. Ingin kuangkat, tapi aku ragu. Karena selama ini, aku tak pernah menyentuh benda pipih milik suamiku.
Kuletakkan kembali ponsel itu. Akhirnya panggilan dimatikan. Tapi tak lama kemudian, nomor tersebut memanggil kembali. Kubiarkan lagi, tapi nomor tersebut berusaha terus menghubungi.
Aku tahu siapa ragil. Ia adalah teman sekantor suamiku. Karena takut ada suatu hal yang penting. Akhirnya kuputuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
Kuangkat panggilan itu, lalu kutempelkan di daun telingaku.
Belum sempat bibir ini berucap satu kata pun. Suara di seberang sana menyela, hingga mampu membuatku tersentak.
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Terdengar Mbok Siti memanggilku beberapa kali.Pelan aku beringsut dari ranjang. Melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbok?" tanyaku saat pintu sudah terbuka."Ada Ibu dan Bapak," ucap Mbok Siti."Di mana, Mbok?" "Di ruang tamu, Bu.""Iya, Mbok. Terima kasih." Mbok Siti mengangguk, lalu melangkah pergi."Siapa Rum?" tanya Mas Rendra dengan tubuh yang masih berbaring."Ibu sama Bapak." "Wah... sepertinya Ibu dan Bapak merasa kalau akan mendapatkan cucu. Makanya tiba-tiba datang ke sini tanpa memberi kabar," ucap Mas Rendra seraya beringsut dari pembaringan. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya."Yuk kita ke sana," ucap Mas Rendra dan aku mengangguk.Kami pun melangkah beriringan. Namun aku dibuat terkejut bukan main saat melihat seseorang yang duduk di samping ibuku."Mas Rohim?" lirihku tak percaya saat melihat Mas Rohim, istrinya dan juga mantan mertuaku ada di sana."Siapa?" bisik Mas Rendra tepat di telingaku."Mantan suami dan mant
Tak hentinya kata syukur kupanjatkan. Betapa baiknya Tuhan padaku. Sesuatu yang kunantikan beratahun-tahun lamanya, kini telah ada di dalam rahimku.Allah. Terimakasih. Harus berapa kali kuucapkan rasa syukur dan terima kasih atas bentuk karuania terbesarmu. Sungguh... rasa bahagia yang tak bisa kuungkapkan."Bagaimana mungkin kamu bisa telat selama satu bulan tapi nggak menyadarinya? Kasihan kan calon anakku diajak kerja," ucap Mas Rendra."Aku mana tahu, Mas. Dulu aku tuh sering sekali telat seperti ini, jadi kupikir ya biasa aja. Nggak tahu juga kalau hamil.""Untung aja si Adek memberikan sinyal seperti itu sama Bundanya. Coba kalau enggak, mungkin kamu nggak akan tahu kalau sedang hamil." mas Rendra tak hentinya berbicara. Aku hanya diam, tak ingin menjawab ucapannya."Yaudah. Kita periksa sekarang. Biar tahu bagaimana kondisi janin di dalam rahimmu, aku nggak mau ya dia kenapa-kenapa," ucap Mas Rendra seraya beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju almari.Setelah beberapa sa
Mendengar penuturanku, Ustadzah Humaira tersenyum. Lalu menjawab, "Kamu bulan ini sudah datang bulan?" "Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Pandu yang kubalas dengan mengangkat kedua bahuku, padahal aku tahu ia pun tak lihat gerakanku."Masa iya hamil?" gumamku. "Mas Rendra, belikan testpack buat Nak Rumi," pinta Ustadzah Humaira. Terlihat Mas Rendra mengangguk cepat dan tanpa permisi ia langsung melenggang pergi."Dulu saya juga seperti ini loh. Waktu hamil di trimester pertama, nggak bisa kena air. Baru lihat air aja udah merinding. Perut terasa mual."Seketika aku kembali mengingat kejadian akhir-akhir ini. Sama seperti yang dikatakan oleh Ustadzah Humaira. Tapi masa iya aku hamil?Kutepuk pelan jidatku, saat aku teringat sudah satu bulan aku tak datang bulan. Ya, Tuhan... bagaimana mungkin aku tak mengerti?Mudah-mudahan kali ini aku benar-benar hamil.Allah... berikanlah mukjizatmu."Gimana? Udah inget kapan terakhir datang bulan?" tanya Ustadzah dan aku mengangguk."Kapan?""Tepat di
*Dua bulan kemudian*Terdengar adzan subuh berkumandang, mataku mengerjap pelan, lalu kurenggangkan otot-otot di tubuhku. Kedua mataku terbuka sempurna, namun saat aku menoleh ke samping, tak kutemukan Mas Rendra di sana. Sudah menjadi kebiasaanya, bangun terlebih dulu di saat aku masih terlelap.Tak berselang lama terdengar derap langkah mendekati kamar, sedetik kemudian daun pintu terbuka. Terlihat Mas Rendra yang hanya mengenakan handuk yang terlilit sebatas pinggang, berjalan masuk."Tumben belum dibangunin, udah bangun duluan," ucap Mas Rendra sembari mengambil baju di dalam almari. Itulah kebiasaan Mas Rendra, dia bukan tipe lelaki yang semuanya harus kusediakan. Padahal aku pun juga ingin melayani suamiku. Ia hanya memintaku untuk memasak makanan untuknya. Kalau tugas membersihkan rumah sudah dilakukan oleh Art yang bekerja di sini. "Iya, Mas," jawabku sekenanya. "Buruan mandi. Mas tunggu sholat subuh berjamaah," ucapnya seraya memakai baju yang baru diambil olehnya. Aku men
Hari berganti hari. Tak terasa hari ini telah tiba acara pernikahan keduaku. Ya, setelah acara berkumpulnya kedua belah keluarga, telah diputuskan pernikahan diadakan tiga Minggu setelah acara lamaran kemarin. Dan momen itu telah tiba.Aku duduk mematut diri di depan cermin. Hingga memantulkan bayanganku. Balutan kebaya putih yang dipenuhi payet berwarna senada menambah kesan keindahan pada kebaya yang membalut tubuhku pagi ini. Ditambah make-up tipis namun terlihat elegan yang diaplikasikan oleh perias menyempurnakan diriku pagi ini. Jantungku semakin berdegup dengan kencang seiring jarum jam yang terus berdetak, hampir jam 09:00 wib. Sesekali jemariku mengetuk-ngetuk meja rias. "Rum ...." Aku menoleh ke arah sumber suara, ternyata Ibu sudah berdiri di ambang pintu. Sedetik kemudian langkah kakinya berjalan mendekat.Langkah kaki Ibu berhenti di belakangku. Kedua tangannya memegang pundakku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Berharap mampu menormalk
POV Rumi.**** Keesokan Hari, di malam hari*Suara ketukan pintu yang diiringi suara salam terdengar. Membuat Ibu berhenti mengomel karena kesal saat melihat sinetron kesukaannya."Ibu ini selalu begitu. Ngomel terus kalau lagi lihat sinetron kesukaannya," protes Bapak."Habisnya Ibu tuh kesel, Pak. Masa jadi perempuan kok lembek bener. Udah tahu suaminya jahat, masih aja betah bersamanya.""Yaudah. Jangan dilihat, Bu.""Sayang, Pak. Penasaran bagaimana nanti akhirnya."Aku beranjak lalu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Bapak dan Ibu yang sedang berdebat. "Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...," ucapku saat pintu sudah terbuka. "Ada apa, Ren?" tanyaku saat melihat Rendra-lah tamunya."Boleh aku masuk?" "Eh—iya, iya. Silahkan masuk! Maaf," ucapku salah tingkah."Aku bikinkan minum dulu, ya." Aku ingin memutar tubuh lalu melangkah. Namun kuurungkan niatku saat Rendra memanggil namaku."Ya?" "Nggak usah bikin minum. Perutku udah kebanyakan minum," ucap Rendra."Bentar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments