Share

Wanita Lain Pilihan Ibu Mertua
Wanita Lain Pilihan Ibu Mertua
Penulis: Aqila Nur

Bab 1

"Hanum, kamu kenapa?" Dava terkejut ketika melihat Hanum, sang istri sedang menangis terduduk di bawah wastafel kamar mandi.

"Mas, Dava," lirih Hanum sambil mendongakkan kepalanya.

"Apa yang terjadi, Sayang?" Dava menghampiri Hanum, lalu membawanya ke dalam pelukan. "Kamu sakit? Kamu terluka?"

"Tuhan nggak adil, Tuhan nggak sayang sama aku. Kenapa Tuhan tega melakukan ini sama aku, Mas. Setiap bulan aku terus menanti kepercayaan. Aku menanti Tuhan menitipkan bayi ke dalam perutku, tetapi sampai sekarang Tuhan belum juga percaya sama aku. Apa aku nggak layak jadi seorang ibu?" Hanum menangis meraung dalam pelukan Dava, Dava Mahendra. Seorang suami yang begitu mencintai istrinya yang bernama Hanum Sabilla.

"Jangan bicara seperti itu, Hanum. Mungkin memang belum waktunya Tuhan memberikan kita keturunan. Sabar ya, Sayang." Dava coba menenangkan sang istri dengan trus memeluk, mengusap punggungnya dengan lembut.

"Sampai kapan, Mas. Kita udah menikah selama 3 tahun, tapi sampai sekarang aku belum juga hamil. Kita udah ke dokter dan dokter menyatakan aku sehat, kamu sehat, apalagi yang kurang? Aku nggak mungkin nggak sayang sama anak aku, aku nggak mungkin menelantarkan dia. Apakah mungkin kamu akan membiarkan aku sama anak kamu kelaparan? Nggak kan, Mas? Apa lagi yang kurang?"

"Hanum, pasti ada kebaikan dari semua kejadian. Tuhan menitipkan cobaan ini sama kita, karna Tuhan tau mana yang baik untuk kita, mana yang nggak baik untuk kita. Tuhan tahu masa depan dan kita nggak."

"Aku takut kamu berpaling, aku takut kamu ninggalin aku, Mas. Aku takut kehilangan kamu."

Dava melepaskan pelukannya, menangkup pipi Hanum dengan kedua tangannya. "Kamu pikir aku akan meninggalkan kamu hanya karena belum memiliki keturunan?" Raut wajah Dava menunjukkan keseriusan, ketulusan.

"Aku takut," lirih Hanum. Air mata terus mengalir deras.

"Jangan pernah punya pikiran seperti itu, Hanum. Aku mencintai kamu dengan tulus, aku sayang sama kamu, aku menerima kamu apa adanya. Jadi, jangan pernah berpikir seperti itu lagi, ya." Dava mengusap air mata yang membasahi pipi tirus Hanum dengan lembut.

"Kamu berjanji?"

"Sumpah demi apa pun aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan kamu."

"Walaupun aku nggak bisa ngasih kamu keturunan?"

"Aku nggak perduli itu."

"Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu sudah mengerti keadaan aku, Terima kasih kamu sudah sangat mencintai aku," lirih Hanum masih terisak.

"Sama-sama, Sayang. Udah, ya. Jangan terlalu memikirkan keturunan. Kita hidup hanya berdua juga nggak masalah. Aku bahagia."

"Tapi, Mas. Kita nggak boleh pasrah begitu aja. Tetap kita harus berusaha, berdoa. Kan kita nggak bakal tahu doa mana yang akan Tuhan kabulkan, atau usaha mana yang akan Tuhan berikan keberhasilan."

"Iya, Sayang. Tapi aku nggak mau terbebani kamu dengan itu semua. Coba pikirkan hal positif, supaya kamu juga nggak stress. Kamu tau kan stress juga bisa menghambat kehamilan?"

Hanum mengangguk. "Iya, Mas."

"Udah, sekarang jangan nangis. Lebih baik kamu menyiapkan tas kerja aku. Tadi aku liat tas kerja aku belum ada di meja. Kamu lupa ya?" Dava bicara sambil merapikan rambut Hanum yang sedikit berantakan.

"Oh iya, maaf aku lupa, Mas. Habis aku syok duluan gara-gara datang bulan lagi. Padahal dua hari lalu aku pikir aku lagi hamil, soalnya datang bulannya udah telat, tapi ini malah ada."

"Tuh, nggak ada manfaatnya kan kalau terus mikirin itu?"

"Iya, Mas. Aku sampai melupakan kamu."

"Ya udah, ayo kita keluar. Habis itu kita sarapan."

"Iya, Mas."

Setelah berhasil ditenangkan oleh Dava, Hanum mulai bisa tersenyum lagi. Mereka berdua keluar dari kamar mandi. Sementara Hanum mengambil tas di dalam ruang ganti, Dava memilih kembali duduk di sofa yang tadi. Sofa depan televisi kali ini ia sedang memakai sepatunya.

Baru sebelah sepatu yang dipasang, ponsel yang ada di dalam saku jas berdering sebuah notifikasi pesan masuk yang entah dari siapa. Dava mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku jas, keningnya mengerut saat melihat nama ibu dalam layar ponselnya.

Dava membuka pesan tersebut, lalu membacanya. Pesan itu berisi, "Kamu di mana?"

"Di rumah, Bu. Ada apa?"

"Hanum ada?"

"Ada." Setelah membalas pesan sang ibu, Dava meletakkan kembali ponselnya ke atas meja, lalu memakai sepatu sebelahnya.

Bunyi notifikasi kembali terdengar, Dava melihat isi pesan dari layar depan, di baris pertama sang ibu mengatakan, "Dua hari lagi istri kamu datang bulan, atau kayaknya udah lewat."

Saat akan membuka isi pesan agar bisa membaca semuanya, Hanum keluar dari ruang ganti, memanggil namanya. "Mas, kamu udah pakai jam apa belum sih?"

Dava mengurungkan niat membuka pesan dari sang ibu. Dia memilih mengunci ponselnya, lalu dimasukkan ke dalam saku jas.

Tidak ada respon, Hanum kembali memanggilnya. "Mas Dava."

"I–iya, Hanum. Ada apa?"

"Jam tangan kamu di mana? Udah kamu pake?" Hanum bicara masih berdiri di depan pintu ruang ganti.

"Jam tangan?" Dava melihat pergelangan tangannya. "Iya udah. Udah aku pake."

"Oh, aku pikir ke mana?" Kali ini Hanum berjalan menghampiri sang suami, berdiri di depannya.

"Udah semua?" tanya Dava sambil berdiri.

"Udah, Mas. Dokumen-dokumen juga ada di dalam." Tas berwarna hitam itu ia pegang di depan dengan kedua tangannya.

"Ya udah, ayo kita sarapan dulu. Kita liat pagi ini Minah masak apa."

Dava meraih tangan sang istri, mereka berjalan keluar dari kamar sambil bergandengan tangan, berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan yang ada di lantai bawah.

"Kayaknya nanti aku pulang telat. Kamu mau titip makanan apa?"

"Ada apa? Tumben?" tanya Hanum.

"Biasa ownernya minta ketemu dulu."

"Lama?"

“Kurang tau, kayaknya sih nggak.”

"Aku nggak mau pesen apa-apa, minta kamu pulang cepet aja." Hanum bicara sambil bergelayut manja di bahu Dava, lalu Dava mengecup singkat puncak rambutnya.

Setelah berada di lantai bawah, tepatnya di ruang makan, Dava dengan Hanum sarapan berdua dengan khidmat. Sesekali sekilas ringan, sedikit candaan, juga pujian.

Tidak berlangsung lama, hanya tiga puluh menit saja. Baru selesai minum air putih, ponsel Dava berdering. Kali ini bukan notifikasi pesan, tetapi dering panggilan telepon.

Dava mengambil ponselnya, melihat nama Ibu di layar ponselnya. Tidak mungkin dia menjawab telepon tersebut, karena pembahasannya hanya akan membuat Hanum sakit hati. Kali ini Dava menonaktifkan nomernya, lalu kembali ia masukkan ke dalam saku jas.

“Kok nggak diangkat? Siapa, Mas?” tanya Hanum lagi. Kali ini dia mengerutkan kening.

"Ngak tau, nomer tidak dikenal."

"Diangkat dulu aja, Mas. Siapa tau penting."

"Nggak usah ah. Aku mau berangkat juga."

Mereka berjalan menuju teras rumah, lalu Dava mengecup kening Hanum singkat. “Aku berangkat dulu ya, Num.”

“Iya, Mas. Hati-hati.”

Dava masuk ke dalam mobil, lalu mobil melaju dengan kecepatan sedang, keluar melalui gerbang utama.

Setelah Dava pergi, ponsel milik Hanum berdering pelan. Dia mengambil ponsel dari dalam saku, melihat pesan masuk dari sang ibu mertua menanyakan keberadaannya.

"Di mana? Ibu mau tanya, bukannya dua hari lalu harusnya kamu datang bulan? atau belum nyampe tanggal?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
icher
ibu mertua yang kepo tingkat tinggi
goodnovel comment avatar
Safiiaa
alaahh ibu mertuanya segala kepo... dahlah pergi aja...
goodnovel comment avatar
Aqilanurazizah
Wow, keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status