"Hanum, kamu kenapa?" Dava terkejut ketika melihat Hanum, sang istri sedang menangis terduduk di bawah wastafel kamar mandi.
"Mas, Dava," lirih Hanum sambil mendongakkan kepalanya.
"Apa yang terjadi, Sayang?" Dava menghampiri Hanum, lalu membawanya ke dalam pelukan. "Kamu sakit? Kamu terluka?"
"Tuhan nggak adil, Tuhan nggak sayang sama aku. Kenapa Tuhan tega melakukan ini sama aku, Mas. Setiap bulan aku terus menanti kepercayaan. Aku menanti Tuhan menitipkan bayi ke dalam perutku, tetapi sampai sekarang Tuhan belum juga percaya sama aku. Apa aku nggak layak jadi seorang ibu?" Hanum menangis meraung dalam pelukan Dava, Dava Mahendra. Seorang suami yang begitu mencintai istrinya yang bernama Hanum Sabilla.
"Jangan bicara seperti itu, Hanum. Mungkin memang belum waktunya Tuhan memberikan kita keturunan. Sabar ya, Sayang." Dava coba menenangkan sang istri dengan trus memeluk, mengusap punggungnya dengan lembut.
"Sampai kapan, Mas. Kita udah menikah selama 3 tahun, tapi sampai sekarang aku belum juga hamil. Kita udah ke dokter dan dokter menyatakan aku sehat, kamu sehat, apalagi yang kurang? Aku nggak mungkin nggak sayang sama anak aku, aku nggak mungkin menelantarkan dia. Apakah mungkin kamu akan membiarkan aku sama anak kamu kelaparan? Nggak kan, Mas? Apa lagi yang kurang?"
"Hanum, pasti ada kebaikan dari semua kejadian. Tuhan menitipkan cobaan ini sama kita, karna Tuhan tau mana yang baik untuk kita, mana yang nggak baik untuk kita. Tuhan tahu masa depan dan kita nggak."
"Aku takut kamu berpaling, aku takut kamu ninggalin aku, Mas. Aku takut kehilangan kamu."
Dava melepaskan pelukannya, menangkup pipi Hanum dengan kedua tangannya. "Kamu pikir aku akan meninggalkan kamu hanya karena belum memiliki keturunan?" Raut wajah Dava menunjukkan keseriusan, ketulusan.
"Aku takut," lirih Hanum. Air mata terus mengalir deras.
"Jangan pernah punya pikiran seperti itu, Hanum. Aku mencintai kamu dengan tulus, aku sayang sama kamu, aku menerima kamu apa adanya. Jadi, jangan pernah berpikir seperti itu lagi, ya." Dava mengusap air mata yang membasahi pipi tirus Hanum dengan lembut.
"Kamu berjanji?"
"Sumpah demi apa pun aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan kamu."
"Walaupun aku nggak bisa ngasih kamu keturunan?"
"Aku nggak perduli itu."
"Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu sudah mengerti keadaan aku, Terima kasih kamu sudah sangat mencintai aku," lirih Hanum masih terisak.
"Sama-sama, Sayang. Udah, ya. Jangan terlalu memikirkan keturunan. Kita hidup hanya berdua juga nggak masalah. Aku bahagia."
"Tapi, Mas. Kita nggak boleh pasrah begitu aja. Tetap kita harus berusaha, berdoa. Kan kita nggak bakal tahu doa mana yang akan Tuhan kabulkan, atau usaha mana yang akan Tuhan berikan keberhasilan."
"Iya, Sayang. Tapi aku nggak mau terbebani kamu dengan itu semua. Coba pikirkan hal positif, supaya kamu juga nggak stress. Kamu tau kan stress juga bisa menghambat kehamilan?"
Hanum mengangguk. "Iya, Mas."
"Udah, sekarang jangan nangis. Lebih baik kamu menyiapkan tas kerja aku. Tadi aku liat tas kerja aku belum ada di meja. Kamu lupa ya?" Dava bicara sambil merapikan rambut Hanum yang sedikit berantakan.
"Oh iya, maaf aku lupa, Mas. Habis aku syok duluan gara-gara datang bulan lagi. Padahal dua hari lalu aku pikir aku lagi hamil, soalnya datang bulannya udah telat, tapi ini malah ada."
"Tuh, nggak ada manfaatnya kan kalau terus mikirin itu?"
"Iya, Mas. Aku sampai melupakan kamu."
"Ya udah, ayo kita keluar. Habis itu kita sarapan."
"Iya, Mas."
Setelah berhasil ditenangkan oleh Dava, Hanum mulai bisa tersenyum lagi. Mereka berdua keluar dari kamar mandi. Sementara Hanum mengambil tas di dalam ruang ganti, Dava memilih kembali duduk di sofa yang tadi. Sofa depan televisi kali ini ia sedang memakai sepatunya.
Baru sebelah sepatu yang dipasang, ponsel yang ada di dalam saku jas berdering sebuah notifikasi pesan masuk yang entah dari siapa. Dava mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku jas, keningnya mengerut saat melihat nama ibu dalam layar ponselnya.
Dava membuka pesan tersebut, lalu membacanya. Pesan itu berisi, "Kamu di mana?"
"Di rumah, Bu. Ada apa?"
"Hanum ada?"
"Ada." Setelah membalas pesan sang ibu, Dava meletakkan kembali ponselnya ke atas meja, lalu memakai sepatu sebelahnya.
Bunyi notifikasi kembali terdengar, Dava melihat isi pesan dari layar depan, di baris pertama sang ibu mengatakan, "Dua hari lagi istri kamu datang bulan, atau kayaknya udah lewat."
Saat akan membuka isi pesan agar bisa membaca semuanya, Hanum keluar dari ruang ganti, memanggil namanya. "Mas, kamu udah pakai jam apa belum sih?"
Dava mengurungkan niat membuka pesan dari sang ibu. Dia memilih mengunci ponselnya, lalu dimasukkan ke dalam saku jas.
Tidak ada respon, Hanum kembali memanggilnya. "Mas Dava."
"I–iya, Hanum. Ada apa?"
"Jam tangan kamu di mana? Udah kamu pake?" Hanum bicara masih berdiri di depan pintu ruang ganti.
"Jam tangan?" Dava melihat pergelangan tangannya. "Iya udah. Udah aku pake."
"Oh, aku pikir ke mana?" Kali ini Hanum berjalan menghampiri sang suami, berdiri di depannya.
"Udah semua?" tanya Dava sambil berdiri.
"Udah, Mas. Dokumen-dokumen juga ada di dalam." Tas berwarna hitam itu ia pegang di depan dengan kedua tangannya.
"Ya udah, ayo kita sarapan dulu. Kita liat pagi ini Minah masak apa."
Dava meraih tangan sang istri, mereka berjalan keluar dari kamar sambil bergandengan tangan, berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan yang ada di lantai bawah.
"Kayaknya nanti aku pulang telat. Kamu mau titip makanan apa?"
"Ada apa? Tumben?" tanya Hanum.
"Biasa ownernya minta ketemu dulu."
"Lama?"
“Kurang tau, kayaknya sih nggak.”
"Aku nggak mau pesen apa-apa, minta kamu pulang cepet aja." Hanum bicara sambil bergelayut manja di bahu Dava, lalu Dava mengecup singkat puncak rambutnya.
Setelah berada di lantai bawah, tepatnya di ruang makan, Dava dengan Hanum sarapan berdua dengan khidmat. Sesekali sekilas ringan, sedikit candaan, juga pujian.
Tidak berlangsung lama, hanya tiga puluh menit saja. Baru selesai minum air putih, ponsel Dava berdering. Kali ini bukan notifikasi pesan, tetapi dering panggilan telepon.
Dava mengambil ponselnya, melihat nama Ibu di layar ponselnya. Tidak mungkin dia menjawab telepon tersebut, karena pembahasannya hanya akan membuat Hanum sakit hati. Kali ini Dava menonaktifkan nomernya, lalu kembali ia masukkan ke dalam saku jas.
“Kok nggak diangkat? Siapa, Mas?” tanya Hanum lagi. Kali ini dia mengerutkan kening.
"Ngak tau, nomer tidak dikenal."
"Diangkat dulu aja, Mas. Siapa tau penting."
"Nggak usah ah. Aku mau berangkat juga."
Mereka berjalan menuju teras rumah, lalu Dava mengecup kening Hanum singkat. “Aku berangkat dulu ya, Num.”
“Iya, Mas. Hati-hati.”
Dava masuk ke dalam mobil, lalu mobil melaju dengan kecepatan sedang, keluar melalui gerbang utama.
Setelah Dava pergi, ponsel milik Hanum berdering pelan. Dia mengambil ponsel dari dalam saku, melihat pesan masuk dari sang ibu mertua menanyakan keberadaannya.
"Di mana? Ibu mau tanya, bukannya dua hari lalu harusnya kamu datang bulan? atau belum nyampe tanggal?"
Hanum melupakan pesan yang dikirim oleh sang ibu mertua. Saat dia mencari obat di dalam laci nakas, ponselnya kembali berdering tanda pesan masuk. Dari layar terlihat kalimat, "Ada pesan dari mertua bukannya bales, ini malah cuma diliat doang.""Oh, iya. Aku lupa bales," gumam Hanum sambil menahan sakit ia membuka pesan dari sang mertua, lalu mengetik balasan."Maaf, Bu. Hanum baru baca pesan dari ibu. Hanum ada di rumah, ada apa ya, Bu?""Antar ibu ke pasar!" balasnya singkat, jelas, padat."Maaf, Bu. Bukan Hanum nggak mau, tapi perut Hanum lagi sakit, sakit banget malah. Buat jalan aja ini susah.""Kenapa? Kamu datang bulan lagi?"Tidak langsung membalas. Bukan tidak mau, hanya saja Hanum merasa takut mengatakan yang sebenarnya. Dia pasti kena marah dan parahnya lagi niat sang mertua yang sudah sejak lama menginginkan putranya Dava menikah dengan wanita lain demi keturunan akan semakin bulat. Namun, jika berbohong pun tidak ada untungnya sehingga Hanum mengatakan hal yang sebenarnya
Nani sudah merencanakan sebelumnya yang memang ingin menikahkan putranya Dava dengan Nara sang sekretaris. Rencana itu sudah cukup lama ia pikirkan, hanya saja belum sempat ia bicarakan dengan keduanya karena masih menunggu Hanum yang hamil. Tetapi, tadi saat mengetahui Hanum datang bulan lagi, Nani pun mengatakannya dan ia rasa saat ini adalah waktu yang sangat tepat."Apa maksud Ibu bilang kayak gitu?" Dahi Dava mengerut. Dengan tegas ia katakan, "Aku udah punya istri, Bu. Namanya Hanum dan aku sangat mencintai istri aku.""Wanita mandul itu?" hina Nani terhadap sang menantu yang beruntungnya sedang tidak ada di sana. Jika ada, entah bagaimana perasaan Hanum yang selalu mendapatkan hinaan dari sang mertua."Hanum nggak mandul, Bu," bela Dava."Kalau nggak mandul, kenapa sampai sekarang belum juga hamil? Tiga tahun loh kamu menikah sama Hanum dan belum punya anak. Pernikahan macam apa tidak menghasilkan keturunan? Tujuan menikah itu punya keturunan, Dava."Dava menggelengkan kepalany
Setelah Nara pergi, perdebatan masih saja terjadi antara Dava dengan sang ibu. Dava terus menolak untuk menikahi Nara, sedangkan Nani terus memaksanya."Ibu ini apa-apaan? Kenapa ibu minta Nara nikah sama aku, pake acara tes kesuburan segala. Ibu mikirin perasaan kita nggak sih?""Dava, apa ibu nggak salah denger kamu bilang gitu sama ibu? Kamu minta ibu mengerti perasaan kamu. Kamu sendiri apa mengerti perasaan ibu? Ibu pengen cucu dari kamu, Dava. Keturunan dari darah daging kamu.""Tapi aku maunya Hanum yang mengandung, Bu. Bukan perempuan lain. Coba ibu bayangkan gimana perasaan Hanum saat tau Ibu memaksa aku menikah sama Nara, yang mana Nara sendiri sahabat Hanum. Ibu bisa bayangkan bagaimana sakitnya dia?""Ibu tau ini sakit, tapi Hanum juga harus tau diri. Tiga tahun ibu menunggu keturunan dari kalian, tapi mana? Nggak ada, kan?""Ibu sabar dong, Bu. Kami juga lagi berusaha." Dava coba bicara dengan lembut."Kenapa sih kamu itu nggak paham-paham? Kurang sabar apa ibu nunggu sel
Malam hari. Dava yang baru saja sampai di rumah, masuk ke dalam langsung mencari keberadaan Hanum. Dia melihat sang istri sedang berada di dapur, berkutat dengan masakannya yang entah sedang membuat apa.Dava meletakkan tas kerjanya di atas sofa, berjalan menuju dapur sambil melepaskan kancing lengan, lalu menggulung bagian lengannya sampai sikut. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah. Berilah kepercayaan kepada kami untuk memiliki keturunan, hamba tidak tega kalau harus mengikuti keinginan ibu hamba. Kami hidup berkecukupan, kami sangat menyukai anak-anak, usia kami sudah cukup matang, apakah itu semua belum cukup, Ya Allah?"Terus ia bergumam. Berjalan menaiki dua anak tangga sebagai pembatas antar ruang keluarga dengan ruang makan. menghampiri istri tercinta, memeluknya dari belakang secara tiba-tiba, hal itu sontak membuat Hanum terkejut."Mas Dava, ngagetin aja deh. Untung adonannya nggak jatuh." Hanum bicara seraya melihat wajah wajah Dava dari samping."Namanya juga kejutan." Setel
"Ibu ini apa-apaan sih, Bu?" pekik Heru selaku ayah dari Dava. Pasalnya Heru juga kurang setuju atas ide sang istri yang ingin menikahkan lagi putranya dengan wanita lain, hanya karena ingin segera memiliki cucu dari dari darah daging putranya."Ayah, di dalam agama, poligami itu diperbolehkan. Apa lagi ini Hanum punya kekurangan. Dia nggak bisa hamil. Alasan ibu kuat ingin menikahkan Dava sama Nara." Nani yang saat ini duduk sofa panjang, bicara sambil membelakangi Heru karena sebal. Sejak tadi sang suami terus saja menentang pendapatnya."Ayah tau, Bu. Tapi coba Ibu pikirkan lagi bagaimana perasaan Hanum, pasti sakit. Kalau Ibu ada di posisi Hanum, apa Ibu mau membagi aku dengan wanita lain?" seru Heru."Ya nggak maulah, tapi cukup tau diri aja nggak bisa ngasih keturunan, kok.""Bukan nggak bisa, Bu. Tapi belum. Lebih tempatnya Allah belum ngasih keturunan." Dava yang baru datang pun langsung menyahuti statement tentang istrinya yang selalu dikatakan tidak bisa memberikan keturunan
Setelah mendapatkan penanganan khusus dari rumah sakit, Dava pun memutuskan untuk pulang dan meninggalkan sang ibu di rumah sakit dengan ditemani oleh Laras juga Heru.Dava menarik napas panjang ketika berada di depan pintu kamarnya untuk menenangkan diri, lalu membuka pintu secara perlahan, masuk ke dalam tanpa menghidupkan lampu utama.Terlihat sang istri tengah tertidur pulas di atas ranjang, ia pun memilih berbaring di sebelahnya, memeluk Hanum dari belakang.Merasakan kehadiran seseorang, Hanum pun membuka matanya, lalu bertanya, "Mas Dava, kamu udah pulang?""Iya," jawab Dava singkat."Maaf aku tidur duluan. Tadi habis minum obat anti nyeri, tapi malah ngantuk banget," ucap Hanum sambil mengusap punggung tangan Dava yang melingkar di perutnya."Nggak apa-apa, Sayang. Seharusnya aku yang minta maaf karna pulang terlambat.""Nggak masalah. Yang penting kamu pulang dalam keadaan utuh, sehat, dan baik-baik aja." Hanum bicara sambil tersenyum tulus."Kamu nggak marah?" tanya Dava lagi
Dava mempersilahkan Nara duduk di kursi di depannya seraya menutup laptop. Setelah Nara duduk, Dava mulai bicara dengan raut wajah penuh keseriusan. "Aku sangat mencintai istri aku, Nara." "Saya tau, Pak. Hanum sahabat saya sejak dulu, dia selalu menceritakan kepada saya juga Gina betapa Anda sangat mencintainya dan betapa Hanum juga sangat mencintai Anda, hingga akhirnya kalian menikah dan hidup bahagia sampai sekarang," terang Nara sambil tersenyum mengingat akan masa itu. Saat mereka masih sangat dekat, tidak seperti sekarang yang seperti memiliki jarak semenjak Nara diisukan menyukai Dava."Tapi Nara, kebahagiaan kita terancam punah. Hanum akan menderita jika aku menikahi kamu." Sudah bisa dibayangkan bagaimana kehidupan rumah tangganya bersama Hanum akan seperti apa jika dirinya menikahi Nara. Hanum pasti akan menderita."Loh kenapa?" Dahi Nara mengerut. "Aku datang untuk membantu melengkapi kekurangan rumah tangga Bapak loh, Pak.""Kami tidak pernah merasa kekurangan, Nara. Kam
"Kenapa kamu nggak bilang kalau ibu dirawat?" tanya Hanum masih berdiri di depan pintu."Itu ...." Dava melihat ke arah sang ibu, lalu menjawab pertanyaan Hanum. "Aku nggak mau buat kamu khawatir.""Harusnya kamu bilang, Mas. Biar aku bisa ikut jaga ibu."Belum sempat Dava bicara, Nani menyahutinya. "Kamu itu ke sini mau mengintrogasi Dava atau mau menjenguk ibu?""Maaf, Bu. Hanum nggak bermaksud seperti itu.""Ya udahlah nggak usah tanya panjang lebar. Kamu bawa apa?" tanya Nani.Hanum mengangkat jinjingan yang ia bawa. "Makanan kesukaan Ibu." Dia bicara sambil tersenyum."Ya udah bawa ke sini!"Hanum berjalan menghampiri Heru lebih dulu untuk bersalaman. Dava, Laras, lalu Nani. Hatinya bertanya-tanya sendiri saat melihat ada Nara di sana dan anehnya lagi mereka berdua terlihat sangat akrab, ibu terlihat begitu ramah. Hanum bisa menilai demikian, karena saat ia datang, Nani bersama Nara sedang mengobrol saling