Hanum melupakan pesan yang dikirim oleh sang ibu mertua. Saat dia mencari obat di dalam laci nakas, ponselnya kembali berdering tanda pesan masuk. Dari layar terlihat kalimat, "Ada pesan dari mertua bukannya bales, ini malah cuma diliat doang."
"Oh, iya. Aku lupa bales," gumam Hanum sambil menahan sakit ia membuka pesan dari sang mertua, lalu mengetik balasan.
"Maaf, Bu. Hanum baru baca pesan dari ibu. Hanum ada di rumah, ada apa ya, Bu?"
"Antar ibu ke pasar!" balasnya singkat, jelas, padat.
"Maaf, Bu. Bukan Hanum nggak mau, tapi perut Hanum lagi sakit, sakit banget malah. Buat jalan aja ini susah."
"Kenapa? Kamu datang bulan lagi?"
Tidak langsung membalas. Bukan tidak mau, hanya saja Hanum merasa takut mengatakan yang sebenarnya. Dia pasti kena marah dan parahnya lagi niat sang mertua yang sudah sejak lama menginginkan putranya Dava menikah dengan wanita lain demi keturunan akan semakin bulat. Namun, jika berbohong pun tidak ada untungnya sehingga Hanum mengatakan hal yang sebenarnya.
"Iya, Bu. Hanum lagi datang bulan."
Tidak lama Nani pun memberikan balasan dengan kalimat yang kejam. "Lagi? Capek ibu nunggu keturunan dari kamu sampai bertahun-tahun. Apa lagi Dava. Udah deh kamu nggak usah egois, izinkan Dava menikah lagi. Dava juga berhak bahagia dengan memiliki keturunan, kamu kan nggak bisa ngasih."
"Maaf, bukan nggak bisa, Bu. Cuma memang Allah belum kasih aja."
"Ibu nggak butuh maaf kamu, Ibu cuma mau kamu mengizinkan Dava menikah lagi sama wanita lain."
Ingin sekali tidak menjawab pesan terakhir dari sang mertua, tetapi nanti dirinya akan disalahkan. Tidak ingin mencari ribut, akhirnya Hanum pun membalas. "Maaf, Bu. Hanum nggak bisa mengizinkan mas Dava menikah lagi."
Di saat diri sedang berusaha menata hati yang hancur karena datang bulan lagi, sang mertua yang sudah lama ingin menikahkan putranya dengan wanita lain, terus memaksa tanpa henti. Kapan luka yang sedang diobati akan sembuh jika belum apa-apa dia menggoreskan luka yang sama di tempat yang sama.
"Dasar perempuan egois."
Kali ini Hanum membalas pesan terakhir dari sang mertua dengan sebuah gambar tangan memohon maaf. Setelah itu tidak ada lagi pesan dari Nani.
Tidak ingin menangisi perihal rencana sang mertua, Hanum pun mengabaikannya. Dia percaya kepada Dava, kalau sang suami tidak akan pernah mau menduakannya, apa lagi menceraikannya.
"Yang harus aku lakukan sekarang adalah, minum obat. Sakit banget, nggak kuat."
Hanum membuka laci nakas, mengambil satu tablet obat pereda nyeri, meminumnya sebanyak satu butir, lalu ia berusaha kembali beraktifitas seperti biasa. Merapikan kamar, menyiram tanaman agar sakit di area perut tidak terlalu berasa.
***
Waktu berjalan. Dava yang bekerja di salah satu pabrik dengan menjabat sebagai direktur itu saat ini sedang disibukkan oleh pekerjaannya di depan layar laptop. Seseorang mengetuk pintu ruangan dari luar, lalu Dava mempersilahkannya untuk masuk.
"Masuk," titah Dava tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Seorang perempuan memiliki paras yang sangat cantik, juga seksi, masuk secara perlahan sambil memeluk buku agenda di tangannya, berjalan dengan anggun menghampiri meja kerja Dava.
"Pak Dava. Saya akan menyerahkan agenda kegiatan hari ini. Sebuah buku agenda berwarna hitam yang cukup tebal ia letakkan di atas meja kerja Dava.
Dava menghentikan sejenak aktivitasnya, mengambil buku agenda tersebut, lalu mulai membukanya dan mencari. Lembar demi lembar membuat dia bingung akan agenda hari ini.
"Ini gimana sih? Yang mana agenda hari ini? Kenapa semuanya nggak ada keterangan tanggalan di atas?" ungkap Dava sedikit kesal.
"Oh iya, saya lupa, pak."
Mengambil kesempatan dalam kesulitan. Wanita bernama Nara Amelia itu berjalan menghampiri Dava, berdiri di sebelahnya dengan jarak yang cukup dekat, bahkan bisa dikatakan sangat dekat dengan modus membantu Dava mencarikan agenda hari ini.
"Yang ini loh, Pak."
Buku itu masih dipegang oleh Dava, Nara hanya membantu membukanya satu-persatu, seolah tidak tahu di lembar ke berapa agenda hari ini berada.
"Kebiasaan kamu itu. Udah aku bilang dikasih tanggal, Nara. Itu paling minimal. Seharusnya kamu kasih tanda untuk agenda hari ini. Jadi nggak kesulitan buat nyari," gerutu Dava dengan suara pelan. Dia masih menghargai seorang Nara.
"Maaf, Pak. Saya kelupaan terus. Tau udah mau saya tandai, cuma kok malah lupa lagi," ujar Nara penuh penyesalan. "Maaf ya, Pak."
"Maaf terus, Ra. Aku sampai bosen. Apa kamu juga nggak repot ya kalau apa-apa aku nggak ngerti terus tanya kamu?"
"Itu yang aku mau." Nara bicara dengan suara pelan. Namun, karena Dava masih bisa mendengarnya, di langsung menoleh ke arah wajah Nara yang begitu dekat dengan wajahnya sambil mengerucutkan dahi.
Mata mereka menatap satu sama lain, lalu Dava menjauhkan wajahnya. Nara pun tersenyum senang.
Setelah itu, pintu ruangan dibuka secara tiba-tiba. Mereka berdua melihat ke arah sumber suara, lalu Dava menyapa. "Ibu."
Melihat Nani ibu dari Dava datang, Nara pun merubah posisi berdirinya menjadi berdiri tegak di samping kursi kebesaran sang atasan.
Melihat pemandangan di depan mata, bukannya marah putranya didekati wanita lain, Nani malah tersenyum lebar. "Cie ... deket banget."
"Bu Nani, maaf kalau saya bersikap kurang ajar. Saya tidak ada maksud." Nara menunduk hormat, menunjukkan rasa penyesalannya.
"Loh, kenapa minta maaf? Kamu kan nggak salah apa-apa." Nani bicara sambil berjalan menuju sofa, menenteng tas mahal di lengan kanannya. Dia duduk di sana, sambil bersandar menghadap ke arah Dava.
"Saya pikir ...."
Dengan cepat Nani memangkas kalimat yang belum sepenuhnya diucapkan oleh Nara. "Udah santai aja. Kalian nggak lagi berbuat mesum ini." Dengan mudah Nani berkata demikian di depan Dava.
Dava hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa jengah dengan sikap sang ibu yang selalu seperti ini.
"Ibu Nani. Itu hal yang mustahil, Bu. Mas Dava kan udah punya Hanum. Iya kan, Mas?"
"Dan, selamanya hanya Hanum." Dava menjawab dengan tegas. Pandangannya melihat ke arah sang ibu.
"Wanita mandul itu?" sarkas Nani.
"Hanum nggak mandul, ibu. Dia sehat," bela Deva. Bagaimanapun Hanum adalah istrinya yang nama baiknya harus ia jaga, dia tidak akan membiarkan orang lain menghina sang istri tercinta.
"Halah, buktinya sampai sekarang aja dia belum juga hamil. Capek tau nggak nunggu tiga tahun."
"Ya itu karna Allah belum ngasih kita kepercayaan. Bukan keinginan Hanum susah hamil, Bu. Itu sudah takdir Allah."
Mereka terus berdebat, lalu Nara pun berpamitan. "Maaf, Pak. Saya kembali ke meja kerja dulu. Kalau Bapak memerlukan sesuatu, saya ada di luar."
Saat Nara berjalan menuju pintu, Nani menahannya.
"Tunggu!"
Nara menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh ke arah Nani. "Ada apa, Bu?"
"Ibu mau kamu jadi istri Dava."
Nani sudah merencanakan sebelumnya yang memang ingin menikahkan putranya Dava dengan Nara sang sekretaris. Rencana itu sudah cukup lama ia pikirkan, hanya saja belum sempat ia bicarakan dengan keduanya karena masih menunggu Hanum yang hamil. Tetapi, tadi saat mengetahui Hanum datang bulan lagi, Nani pun mengatakannya dan ia rasa saat ini adalah waktu yang sangat tepat."Apa maksud Ibu bilang kayak gitu?" Dahi Dava mengerut. Dengan tegas ia katakan, "Aku udah punya istri, Bu. Namanya Hanum dan aku sangat mencintai istri aku.""Wanita mandul itu?" hina Nani terhadap sang menantu yang beruntungnya sedang tidak ada di sana. Jika ada, entah bagaimana perasaan Hanum yang selalu mendapatkan hinaan dari sang mertua."Hanum nggak mandul, Bu," bela Dava."Kalau nggak mandul, kenapa sampai sekarang belum juga hamil? Tiga tahun loh kamu menikah sama Hanum dan belum punya anak. Pernikahan macam apa tidak menghasilkan keturunan? Tujuan menikah itu punya keturunan, Dava."Dava menggelengkan kepalany
Setelah Nara pergi, perdebatan masih saja terjadi antara Dava dengan sang ibu. Dava terus menolak untuk menikahi Nara, sedangkan Nani terus memaksanya."Ibu ini apa-apaan? Kenapa ibu minta Nara nikah sama aku, pake acara tes kesuburan segala. Ibu mikirin perasaan kita nggak sih?""Dava, apa ibu nggak salah denger kamu bilang gitu sama ibu? Kamu minta ibu mengerti perasaan kamu. Kamu sendiri apa mengerti perasaan ibu? Ibu pengen cucu dari kamu, Dava. Keturunan dari darah daging kamu.""Tapi aku maunya Hanum yang mengandung, Bu. Bukan perempuan lain. Coba ibu bayangkan gimana perasaan Hanum saat tau Ibu memaksa aku menikah sama Nara, yang mana Nara sendiri sahabat Hanum. Ibu bisa bayangkan bagaimana sakitnya dia?""Ibu tau ini sakit, tapi Hanum juga harus tau diri. Tiga tahun ibu menunggu keturunan dari kalian, tapi mana? Nggak ada, kan?""Ibu sabar dong, Bu. Kami juga lagi berusaha." Dava coba bicara dengan lembut."Kenapa sih kamu itu nggak paham-paham? Kurang sabar apa ibu nunggu sel
Malam hari. Dava yang baru saja sampai di rumah, masuk ke dalam langsung mencari keberadaan Hanum. Dia melihat sang istri sedang berada di dapur, berkutat dengan masakannya yang entah sedang membuat apa.Dava meletakkan tas kerjanya di atas sofa, berjalan menuju dapur sambil melepaskan kancing lengan, lalu menggulung bagian lengannya sampai sikut. Dalam hati ia berkata, "Ya Allah. Berilah kepercayaan kepada kami untuk memiliki keturunan, hamba tidak tega kalau harus mengikuti keinginan ibu hamba. Kami hidup berkecukupan, kami sangat menyukai anak-anak, usia kami sudah cukup matang, apakah itu semua belum cukup, Ya Allah?"Terus ia bergumam. Berjalan menaiki dua anak tangga sebagai pembatas antar ruang keluarga dengan ruang makan. menghampiri istri tercinta, memeluknya dari belakang secara tiba-tiba, hal itu sontak membuat Hanum terkejut."Mas Dava, ngagetin aja deh. Untung adonannya nggak jatuh." Hanum bicara seraya melihat wajah wajah Dava dari samping."Namanya juga kejutan." Setel
"Ibu ini apa-apaan sih, Bu?" pekik Heru selaku ayah dari Dava. Pasalnya Heru juga kurang setuju atas ide sang istri yang ingin menikahkan lagi putranya dengan wanita lain, hanya karena ingin segera memiliki cucu dari dari darah daging putranya."Ayah, di dalam agama, poligami itu diperbolehkan. Apa lagi ini Hanum punya kekurangan. Dia nggak bisa hamil. Alasan ibu kuat ingin menikahkan Dava sama Nara." Nani yang saat ini duduk sofa panjang, bicara sambil membelakangi Heru karena sebal. Sejak tadi sang suami terus saja menentang pendapatnya."Ayah tau, Bu. Tapi coba Ibu pikirkan lagi bagaimana perasaan Hanum, pasti sakit. Kalau Ibu ada di posisi Hanum, apa Ibu mau membagi aku dengan wanita lain?" seru Heru."Ya nggak maulah, tapi cukup tau diri aja nggak bisa ngasih keturunan, kok.""Bukan nggak bisa, Bu. Tapi belum. Lebih tempatnya Allah belum ngasih keturunan." Dava yang baru datang pun langsung menyahuti statement tentang istrinya yang selalu dikatakan tidak bisa memberikan keturunan
Setelah mendapatkan penanganan khusus dari rumah sakit, Dava pun memutuskan untuk pulang dan meninggalkan sang ibu di rumah sakit dengan ditemani oleh Laras juga Heru.Dava menarik napas panjang ketika berada di depan pintu kamarnya untuk menenangkan diri, lalu membuka pintu secara perlahan, masuk ke dalam tanpa menghidupkan lampu utama.Terlihat sang istri tengah tertidur pulas di atas ranjang, ia pun memilih berbaring di sebelahnya, memeluk Hanum dari belakang.Merasakan kehadiran seseorang, Hanum pun membuka matanya, lalu bertanya, "Mas Dava, kamu udah pulang?""Iya," jawab Dava singkat."Maaf aku tidur duluan. Tadi habis minum obat anti nyeri, tapi malah ngantuk banget," ucap Hanum sambil mengusap punggung tangan Dava yang melingkar di perutnya."Nggak apa-apa, Sayang. Seharusnya aku yang minta maaf karna pulang terlambat.""Nggak masalah. Yang penting kamu pulang dalam keadaan utuh, sehat, dan baik-baik aja." Hanum bicara sambil tersenyum tulus."Kamu nggak marah?" tanya Dava lagi
Dava mempersilahkan Nara duduk di kursi di depannya seraya menutup laptop. Setelah Nara duduk, Dava mulai bicara dengan raut wajah penuh keseriusan. "Aku sangat mencintai istri aku, Nara." "Saya tau, Pak. Hanum sahabat saya sejak dulu, dia selalu menceritakan kepada saya juga Gina betapa Anda sangat mencintainya dan betapa Hanum juga sangat mencintai Anda, hingga akhirnya kalian menikah dan hidup bahagia sampai sekarang," terang Nara sambil tersenyum mengingat akan masa itu. Saat mereka masih sangat dekat, tidak seperti sekarang yang seperti memiliki jarak semenjak Nara diisukan menyukai Dava."Tapi Nara, kebahagiaan kita terancam punah. Hanum akan menderita jika aku menikahi kamu." Sudah bisa dibayangkan bagaimana kehidupan rumah tangganya bersama Hanum akan seperti apa jika dirinya menikahi Nara. Hanum pasti akan menderita."Loh kenapa?" Dahi Nara mengerut. "Aku datang untuk membantu melengkapi kekurangan rumah tangga Bapak loh, Pak.""Kami tidak pernah merasa kekurangan, Nara. Kam
"Kenapa kamu nggak bilang kalau ibu dirawat?" tanya Hanum masih berdiri di depan pintu."Itu ...." Dava melihat ke arah sang ibu, lalu menjawab pertanyaan Hanum. "Aku nggak mau buat kamu khawatir.""Harusnya kamu bilang, Mas. Biar aku bisa ikut jaga ibu."Belum sempat Dava bicara, Nani menyahutinya. "Kamu itu ke sini mau mengintrogasi Dava atau mau menjenguk ibu?""Maaf, Bu. Hanum nggak bermaksud seperti itu.""Ya udahlah nggak usah tanya panjang lebar. Kamu bawa apa?" tanya Nani.Hanum mengangkat jinjingan yang ia bawa. "Makanan kesukaan Ibu." Dia bicara sambil tersenyum."Ya udah bawa ke sini!"Hanum berjalan menghampiri Heru lebih dulu untuk bersalaman. Dava, Laras, lalu Nani. Hatinya bertanya-tanya sendiri saat melihat ada Nara di sana dan anehnya lagi mereka berdua terlihat sangat akrab, ibu terlihat begitu ramah. Hanum bisa menilai demikian, karena saat ia datang, Nani bersama Nara sedang mengobrol saling
Hari berlalu, saat ini Hanum sedang mengobrol di ruang keluarga bersama Gina, sahabat Hanum yang sengaja ingin datang berkunjung setelah cukup lama tidak bertemu.Sedang asik mengobrol, ponselnya berdering. Notifikasi pesan masuk, lalu Hanum pun mengambil handphone dari atas meja, melihat nama Mas Dava tertera jelas pada layar handphonenya. Dia membuka pesan tersebut yang berisi, "Hanum, kamu di rumah?""Iya, Mas. Ada apa?" balas Hanum. Sambil menunggu, ia kembali mengobrol bersama Gina. Membicarakan pekerjaan yang sedang Gina geluti saat ini.Tidak lama setelah itu, dering ponsel kembali terdengar. Ada balasan dari Dava, kembali Hanum membaca isinya. "Aku mau minta tolong dong. Tolong siapin beberapa baju, karna malam ini aku mau pergi ke luar kota.""Iya, Mas. Tapi kok mendadak?" balas Hanum lagi.Bukan hanya Hanum, Gina pun memiliki panggilan masuk dari seseorang. "Num, gue angkat telpon dulu, ya.""Oh iya." Hanum mempersilakan.Gina berdiri, berjalan ke arah pintu akses menuju tam