Share

Bab 2

Hanum melupakan pesan yang dikirim oleh sang ibu mertua. Saat dia mencari obat di dalam laci nakas, ponselnya kembali berdering tanda pesan masuk. Dari layar terlihat kalimat, "Ada pesan dari mertua bukannya bales, ini malah cuma diliat doang."

"Oh, iya. Aku lupa bales," gumam Hanum sambil menahan sakit ia membuka pesan dari sang mertua, lalu mengetik balasan.

"Maaf, Bu. Hanum baru baca pesan dari ibu. Hanum ada di rumah, ada apa ya, Bu?"

"Antar ibu ke pasar!" balasnya singkat, jelas, padat.

"Maaf, Bu. Bukan Hanum nggak mau, tapi perut Hanum lagi sakit, sakit banget malah. Buat jalan aja ini susah."

"Kenapa? Kamu datang bulan lagi?"

Tidak langsung membalas. Bukan tidak mau, hanya saja Hanum merasa takut mengatakan yang sebenarnya. Dia pasti kena marah dan parahnya lagi niat sang mertua yang sudah sejak lama menginginkan putranya Dava menikah dengan wanita lain demi keturunan akan semakin bulat. Namun, jika berbohong pun tidak ada untungnya sehingga Hanum mengatakan hal yang sebenarnya.

"Iya, Bu. Hanum lagi datang bulan."

Tidak lama Nani pun memberikan balasan dengan kalimat yang kejam. "Lagi? Capek ibu nunggu keturunan dari kamu sampai bertahun-tahun. Apa lagi Dava. Udah deh kamu nggak usah egois, izinkan Dava menikah lagi. Dava juga berhak bahagia dengan memiliki keturunan, kamu kan nggak bisa ngasih."

"Maaf, bukan nggak bisa, Bu. Cuma memang Allah belum kasih aja."

"Ibu nggak butuh maaf kamu, Ibu cuma mau kamu mengizinkan Dava menikah lagi sama wanita lain."

Ingin sekali tidak menjawab pesan terakhir dari sang mertua, tetapi nanti dirinya akan disalahkan. Tidak ingin mencari ribut, akhirnya Hanum pun membalas. "Maaf, Bu. Hanum nggak bisa mengizinkan mas Dava menikah lagi."

Di saat diri sedang berusaha menata hati yang hancur karena datang bulan lagi, sang mertua yang sudah lama ingin menikahkan putranya dengan wanita lain, terus memaksa tanpa henti. Kapan luka yang sedang diobati akan sembuh jika belum apa-apa dia menggoreskan luka yang sama di tempat yang sama.

"Dasar perempuan egois."

Kali ini Hanum membalas pesan terakhir dari sang mertua dengan sebuah gambar tangan memohon maaf. Setelah itu tidak ada lagi pesan dari Nani.

Tidak ingin menangisi perihal rencana sang mertua, Hanum pun mengabaikannya. Dia percaya kepada Dava, kalau sang suami tidak akan pernah mau menduakannya, apa lagi menceraikannya.

"Yang harus aku lakukan sekarang adalah, minum obat. Sakit banget, nggak kuat."

Hanum membuka laci nakas, mengambil satu tablet obat pereda nyeri, meminumnya sebanyak satu butir, lalu ia berusaha kembali beraktifitas seperti biasa. Merapikan kamar, menyiram tanaman agar sakit di area perut tidak terlalu berasa.

***

Waktu berjalan. Dava yang bekerja di salah satu pabrik dengan menjabat sebagai direktur itu saat ini sedang disibukkan oleh pekerjaannya di depan layar laptop. Seseorang mengetuk pintu ruangan dari luar, lalu Dava mempersilahkannya untuk masuk.

"Masuk," titah Dava tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Seorang perempuan memiliki paras yang sangat cantik, juga seksi, masuk secara perlahan sambil memeluk buku agenda di tangannya, berjalan dengan anggun menghampiri meja kerja Dava.

"Pak Dava. Saya akan menyerahkan agenda kegiatan hari ini. Sebuah buku agenda berwarna hitam yang cukup tebal ia letakkan di atas meja kerja Dava.

Dava menghentikan sejenak aktivitasnya, mengambil buku agenda tersebut, lalu mulai membukanya dan mencari. Lembar demi lembar membuat dia bingung akan agenda hari ini.

"Ini gimana sih? Yang mana agenda hari ini? Kenapa semuanya nggak ada keterangan tanggalan di atas?" ungkap Dava sedikit kesal.

"Oh iya, saya lupa, pak."

Mengambil kesempatan dalam kesulitan. Wanita bernama Nara Amelia itu berjalan menghampiri Dava, berdiri di sebelahnya dengan jarak yang cukup dekat, bahkan bisa dikatakan sangat dekat dengan modus membantu Dava mencarikan agenda hari ini.

"Yang ini loh, Pak."

Buku itu masih dipegang oleh Dava, Nara hanya membantu membukanya satu-persatu, seolah tidak tahu di lembar ke berapa agenda hari ini berada.

"Kebiasaan kamu itu. Udah aku bilang dikasih tanggal, Nara. Itu paling minimal. Seharusnya kamu kasih tanda untuk agenda hari ini. Jadi nggak kesulitan buat nyari," gerutu Dava dengan suara pelan. Dia masih menghargai seorang Nara.

"Maaf, Pak. Saya kelupaan terus. Tau udah mau saya tandai, cuma kok malah lupa lagi," ujar Nara penuh penyesalan. "Maaf ya, Pak."

"Maaf terus, Ra. Aku sampai bosen. Apa kamu juga nggak repot ya kalau apa-apa aku nggak ngerti terus tanya kamu?"

"Itu yang aku mau." Nara bicara dengan suara pelan. Namun, karena Dava masih bisa mendengarnya, di langsung menoleh ke arah wajah Nara yang begitu dekat dengan wajahnya sambil mengerucutkan dahi.

Mata mereka menatap satu sama lain, lalu Dava menjauhkan wajahnya. Nara pun tersenyum senang.

Setelah itu, pintu ruangan dibuka secara tiba-tiba. Mereka berdua melihat ke arah sumber suara, lalu Dava menyapa. "Ibu."

Melihat Nani ibu dari Dava datang, Nara pun merubah posisi berdirinya menjadi berdiri tegak di samping kursi kebesaran sang atasan.

Melihat pemandangan di depan mata, bukannya marah putranya didekati wanita lain, Nani malah tersenyum lebar. "Cie ... deket banget."

"Bu Nani, maaf kalau saya bersikap kurang ajar. Saya tidak ada maksud." Nara menunduk hormat, menunjukkan rasa penyesalannya.

"Loh, kenapa minta maaf? Kamu kan nggak salah apa-apa." Nani bicara sambil berjalan menuju sofa, menenteng tas mahal di lengan kanannya. Dia duduk di sana, sambil bersandar menghadap ke arah Dava.

"Saya pikir ...."

Dengan cepat Nani memangkas kalimat yang belum sepenuhnya diucapkan oleh Nara. "Udah santai aja. Kalian nggak lagi berbuat mesum ini." Dengan mudah Nani berkata demikian di depan Dava.

Dava hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa jengah dengan sikap sang ibu yang selalu seperti ini.

"Ibu Nani. Itu hal yang mustahil, Bu. Mas Dava kan udah punya Hanum. Iya kan, Mas?"

"Dan, selamanya hanya Hanum." Dava menjawab dengan tegas. Pandangannya melihat ke arah sang ibu.

"Wanita mandul itu?" sarkas Nani.

"Hanum nggak mandul, ibu. Dia sehat," bela Deva. Bagaimanapun Hanum adalah istrinya yang nama baiknya harus ia jaga, dia tidak akan membiarkan orang lain menghina sang istri tercinta.

"Halah, buktinya sampai sekarang aja dia belum juga hamil. Capek tau nggak nunggu tiga tahun."

"Ya itu karna Allah belum ngasih kita kepercayaan. Bukan keinginan Hanum susah hamil, Bu. Itu sudah takdir Allah."

Mereka terus berdebat, lalu Nara pun berpamitan. "Maaf, Pak. Saya kembali ke meja kerja dulu. Kalau Bapak memerlukan sesuatu, saya ada di luar."

Saat Nara berjalan menuju pintu, Nani menahannya.

"Tunggu!"

Nara menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh ke arah Nani. "Ada apa, Bu?"

"Ibu mau kamu jadi istri Dava."

Komen (3)
goodnovel comment avatar
icher
dih enak banget lambemu Mak
goodnovel comment avatar
Meriatih Fadilah
semakin seru
goodnovel comment avatar
Safiiaa
elah mak mak. suka banget atur rumtang anaknya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status