Apa yang akan kamu lakukan jika suamimu pulang membawa madu untukmu? Marah, meminta cerai, pergi dari rumah. Semua itu dilakukan oleh wanita bernama Hanum. Dia pergi dari rumah setelah sang suami bernama Dava menolak perceraian karena ia sangat mencintai Hanum. Namun, kekurangan yang dialami mereka, membuat keduanya tidak bisa mengelak ketika sang mertua Nani menginginkan keturunan. Iya, faktor keturunanlah yang membuat Nani memaksa Dava menikahi wanita pilihannya. Bagaimana kisah Hanum selanjutnya? Yuk langsung baca aja biar nggak penasaran!
Lihat lebih banyak"Hanum, kamu kenapa?" Dava terkejut ketika melihat Hanum, sang istri sedang menangis terduduk di bawah wastafel kamar mandi.
"Mas, Dava," lirih Hanum sambil mendongakkan kepalanya.
"Apa yang terjadi, Sayang?" Dava menghampiri Hanum, lalu membawanya ke dalam pelukan. "Kamu sakit? Kamu terluka?"
"Tuhan nggak adil, Tuhan nggak sayang sama aku. Kenapa Tuhan tega melakukan ini sama aku, Mas. Setiap bulan aku terus menanti kepercayaan. Aku menanti Tuhan menitipkan bayi ke dalam perutku, tetapi sampai sekarang Tuhan belum juga percaya sama aku. Apa aku nggak layak jadi seorang ibu?" Hanum menangis meraung dalam pelukan Dava, Dava Mahendra. Seorang suami yang begitu mencintai istrinya yang bernama Hanum Sabilla.
"Jangan bicara seperti itu, Hanum. Mungkin memang belum waktunya Tuhan memberikan kita keturunan. Sabar ya, Sayang." Dava coba menenangkan sang istri dengan trus memeluk, mengusap punggungnya dengan lembut.
"Sampai kapan, Mas. Kita udah menikah selama 3 tahun, tapi sampai sekarang aku belum juga hamil. Kita udah ke dokter dan dokter menyatakan aku sehat, kamu sehat, apalagi yang kurang? Aku nggak mungkin nggak sayang sama anak aku, aku nggak mungkin menelantarkan dia. Apakah mungkin kamu akan membiarkan aku sama anak kamu kelaparan? Nggak kan, Mas? Apa lagi yang kurang?"
"Hanum, pasti ada kebaikan dari semua kejadian. Tuhan menitipkan cobaan ini sama kita, karna Tuhan tau mana yang baik untuk kita, mana yang nggak baik untuk kita. Tuhan tahu masa depan dan kita nggak."
"Aku takut kamu berpaling, aku takut kamu ninggalin aku, Mas. Aku takut kehilangan kamu."
Dava melepaskan pelukannya, menangkup pipi Hanum dengan kedua tangannya. "Kamu pikir aku akan meninggalkan kamu hanya karena belum memiliki keturunan?" Raut wajah Dava menunjukkan keseriusan, ketulusan.
"Aku takut," lirih Hanum. Air mata terus mengalir deras.
"Jangan pernah punya pikiran seperti itu, Hanum. Aku mencintai kamu dengan tulus, aku sayang sama kamu, aku menerima kamu apa adanya. Jadi, jangan pernah berpikir seperti itu lagi, ya." Dava mengusap air mata yang membasahi pipi tirus Hanum dengan lembut.
"Kamu berjanji?"
"Sumpah demi apa pun aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan kamu."
"Walaupun aku nggak bisa ngasih kamu keturunan?"
"Aku nggak perduli itu."
"Terima kasih, Mas. Terima kasih kamu sudah mengerti keadaan aku, Terima kasih kamu sudah sangat mencintai aku," lirih Hanum masih terisak.
"Sama-sama, Sayang. Udah, ya. Jangan terlalu memikirkan keturunan. Kita hidup hanya berdua juga nggak masalah. Aku bahagia."
"Tapi, Mas. Kita nggak boleh pasrah begitu aja. Tetap kita harus berusaha, berdoa. Kan kita nggak bakal tahu doa mana yang akan Tuhan kabulkan, atau usaha mana yang akan Tuhan berikan keberhasilan."
"Iya, Sayang. Tapi aku nggak mau terbebani kamu dengan itu semua. Coba pikirkan hal positif, supaya kamu juga nggak stress. Kamu tau kan stress juga bisa menghambat kehamilan?"
Hanum mengangguk. "Iya, Mas."
"Udah, sekarang jangan nangis. Lebih baik kamu menyiapkan tas kerja aku. Tadi aku liat tas kerja aku belum ada di meja. Kamu lupa ya?" Dava bicara sambil merapikan rambut Hanum yang sedikit berantakan.
"Oh iya, maaf aku lupa, Mas. Habis aku syok duluan gara-gara datang bulan lagi. Padahal dua hari lalu aku pikir aku lagi hamil, soalnya datang bulannya udah telat, tapi ini malah ada."
"Tuh, nggak ada manfaatnya kan kalau terus mikirin itu?"
"Iya, Mas. Aku sampai melupakan kamu."
"Ya udah, ayo kita keluar. Habis itu kita sarapan."
"Iya, Mas."
Setelah berhasil ditenangkan oleh Dava, Hanum mulai bisa tersenyum lagi. Mereka berdua keluar dari kamar mandi. Sementara Hanum mengambil tas di dalam ruang ganti, Dava memilih kembali duduk di sofa yang tadi. Sofa depan televisi kali ini ia sedang memakai sepatunya.
Baru sebelah sepatu yang dipasang, ponsel yang ada di dalam saku jas berdering sebuah notifikasi pesan masuk yang entah dari siapa. Dava mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku jas, keningnya mengerut saat melihat nama ibu dalam layar ponselnya.
Dava membuka pesan tersebut, lalu membacanya. Pesan itu berisi, "Kamu di mana?"
"Di rumah, Bu. Ada apa?"
"Hanum ada?"
"Ada." Setelah membalas pesan sang ibu, Dava meletakkan kembali ponselnya ke atas meja, lalu memakai sepatu sebelahnya.
Bunyi notifikasi kembali terdengar, Dava melihat isi pesan dari layar depan, di baris pertama sang ibu mengatakan, "Dua hari lagi istri kamu datang bulan, atau kayaknya udah lewat."
Saat akan membuka isi pesan agar bisa membaca semuanya, Hanum keluar dari ruang ganti, memanggil namanya. "Mas, kamu udah pakai jam apa belum sih?"
Dava mengurungkan niat membuka pesan dari sang ibu. Dia memilih mengunci ponselnya, lalu dimasukkan ke dalam saku jas.
Tidak ada respon, Hanum kembali memanggilnya. "Mas Dava."
"I–iya, Hanum. Ada apa?"
"Jam tangan kamu di mana? Udah kamu pake?" Hanum bicara masih berdiri di depan pintu ruang ganti.
"Jam tangan?" Dava melihat pergelangan tangannya. "Iya udah. Udah aku pake."
"Oh, aku pikir ke mana?" Kali ini Hanum berjalan menghampiri sang suami, berdiri di depannya.
"Udah semua?" tanya Dava sambil berdiri.
"Udah, Mas. Dokumen-dokumen juga ada di dalam." Tas berwarna hitam itu ia pegang di depan dengan kedua tangannya.
"Ya udah, ayo kita sarapan dulu. Kita liat pagi ini Minah masak apa."
Dava meraih tangan sang istri, mereka berjalan keluar dari kamar sambil bergandengan tangan, berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan yang ada di lantai bawah.
"Kayaknya nanti aku pulang telat. Kamu mau titip makanan apa?"
"Ada apa? Tumben?" tanya Hanum.
"Biasa ownernya minta ketemu dulu."
"Lama?"
“Kurang tau, kayaknya sih nggak.”
"Aku nggak mau pesen apa-apa, minta kamu pulang cepet aja." Hanum bicara sambil bergelayut manja di bahu Dava, lalu Dava mengecup singkat puncak rambutnya.
Setelah berada di lantai bawah, tepatnya di ruang makan, Dava dengan Hanum sarapan berdua dengan khidmat. Sesekali sekilas ringan, sedikit candaan, juga pujian.
Tidak berlangsung lama, hanya tiga puluh menit saja. Baru selesai minum air putih, ponsel Dava berdering. Kali ini bukan notifikasi pesan, tetapi dering panggilan telepon.
Dava mengambil ponselnya, melihat nama Ibu di layar ponselnya. Tidak mungkin dia menjawab telepon tersebut, karena pembahasannya hanya akan membuat Hanum sakit hati. Kali ini Dava menonaktifkan nomernya, lalu kembali ia masukkan ke dalam saku jas.
“Kok nggak diangkat? Siapa, Mas?” tanya Hanum lagi. Kali ini dia mengerutkan kening.
"Ngak tau, nomer tidak dikenal."
"Diangkat dulu aja, Mas. Siapa tau penting."
"Nggak usah ah. Aku mau berangkat juga."
Mereka berjalan menuju teras rumah, lalu Dava mengecup kening Hanum singkat. “Aku berangkat dulu ya, Num.”
“Iya, Mas. Hati-hati.”
Dava masuk ke dalam mobil, lalu mobil melaju dengan kecepatan sedang, keluar melalui gerbang utama.
Setelah Dava pergi, ponsel milik Hanum berdering pelan. Dia mengambil ponsel dari dalam saku, melihat pesan masuk dari sang ibu mertua menanyakan keberadaannya.
"Di mana? Ibu mau tanya, bukannya dua hari lalu harusnya kamu datang bulan? atau belum nyampe tanggal?"
"Kamu hamil, Num?" ucap Nani masih menatap tidak percaya. Masih menggendong Abiyu, Nani mengambil tespek dari tangan Hanum dan matanya langsung berkaca-kaca. "Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya Allah mengabulkan doa kamu, Num.""Berkat doa ibu juga, Bu," sambung Hanum."Doa kita semua."Hanum mengangguk, lalu merangkul sang ibu mertua dari samping. "Lengkap sudah kebahagiaan aku sama Mas Dava, Bu.""Iya, Num." Selepas bicara dengan Hanum, Nani bicara kepada cucunya. "Abiyu mau jadi kakak. Ye, ye. Punya temen main."Dia yang belum mengerti apa-apa pun merengek sambil berontak minta diturunkan, karena mau bermain lagi dengan mainannya yang banyak berserakan di atas rumput.Nani menurunkan cucunya turun dari pangkuan, membiarkan cucunya bermain di bawah, sementara dia bicara dengan Hanum."Udah satu Minggu kita belum ketemu sama Nara. Kamu mau nggak ajak Abiyu ke sana?" ajak Nani.Tanpa ragu Hanum menjawab, "Boleh. Kapan?""Sekarang, yuk. Dava udah berangkat, kan?""Udah, Bu.""Ya udah ayo
Fitri berhasil diamankan, karena dianggap biang kerok dari keributan. Setelah Fitri dibawa pergi, Hanum meneteskan air mata sambil menatap wajah Nani seraya memanggilnya dengan suara lirih. "Ibu."Nani menatap lekat-lekat wajah Hanum, lalu mengusap air matanya. "Kenapa nangis?""Ibu membela aku.""Maafkan ibu, Num. Selama ini ibu udah salah menilai kamu. Sungguh maafkan ibu, Num."Hanum menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Ibu nggak salah, aku sebagai anak yang seharusnya mengerti Ibu. Hanum juga minta maaf sempat menentang Ibu, menyakiti perasaan Ibu.""Kamu nggak pernah melakukan itu, Hanum. Ibulah yang udah melakukan itu semua, Ibu sampai malu mau minta maaf sama kamu, hingga akhirnya bapak berhasil meyakinkan ibu untuk tidak perlu takut jika ingin memperbaiki diri dan ibu baru punya keberanian untuk membela kamu," jelas Nani dan penjelasan itu membuat Hanum semakin terharu, tangisnya semakin menjadi."Ibu ...." Suara Hanum bergetar, lalu Nani memeluk Hanum dengan erat. Mulai hari
Di rumah, Hanum menunggu dengan gelisah. Saat ini dia sedang duduk di sofa ruang keluarga, sambil memegang handphone di tangannya, menunggu kabar baik dari Dava."Non, minum teh hangat dulu biar lebih tenang." Marni menyerahkan secangkir teh manis hangat kepada Hanum."Terima kasih ya, Bi. Maaf kalau aku sering merepotkan Bibi." Hanum bicara sambil menerima secangkir teh manis buatan Marni."Sama-sama, Non. Bibi ke belakang dulu.""Iya, Bi." Kembali dia menikmati secangkir teh manis di tangannya, dan ia merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.Masih memegang gagang cangkir, handphone yang tadi disimpan di atas sofa saat ini berdering. Hanum mengambil kembali handphonenya, melihat nama ibu mertua pada layar ponselnya, lalu ia pun menjawab panggilan itu walau sedikit ragu."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam," balas Nani. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya mengajukan pertanyaan. "Memangnya tadi Nara ada ke situ?""Iya, Bu. Ada. Nara ke sini cuma mau ambil Abiyu.""Pantesan tad
"Nara?" Hanum mendorong stroller menuju ruang keluarga, terlihat Nara sedang berjalan cepat menghampirinya dengan memasang wajah marah."Dasar perempuan tidak punya hati, perempuan egois.""Berhenti, Nara!" Teriak Hanum meminta Nara untuk tidak menghampirinya.Dia yang saat ini hati dan pikirannya sedang diselimuti rasa amarah, tidak mau mendengar ucapan Hanum dan tetap berjalan cepat menghampirinya."Kembalikan putraku!"Hanum langsung menggendong Abiyu dari stroller, memeluknya seraya memberikan perlindungan. "Nggak! Aku nggak mau.""Kembalikan!" Nara merebut Abiyu secara paksa dari dekapan Hanum, hingga akhirnya dia berhasil memindahtangankan Abiyu dari tangan Hanum."Apa yang kamu lakuin? Jangan ambil anak aku!""Anak kamu? Ini anak aku!" Suara Nara membentak."Mas Dava ayahnya dan aku adalah istrinya!" Suara Hanum tak kalah membentak."Kamu sadar kalau Abiyu Itu anak aku bersama mas Dava, kenapa kamu merusak kebahagiaan kami? Kenapa kamu tega memisahkan kamu?""Aku nggak misahin
Setelah Dava pergi, Hanum meminta maaf kepada semua orang, terutama kepada Nara. "Maafkan aku, Ra. Aku udah berusaha supaya kamu tetap menjadi istri mas Dava, tapi ternyata mas Dava tetap pada keputusannya.Tidak terima akan kekalahan yang ia dapatkan, Nara melepaskan diri dari pelukan Fitri, lalu berjalan menghampiri Hanum, mengangkat tangannya hendak menampar. Beruntung Dava kembali masuk ke dalam berhasil menahan tangan Nara yang sudah melayang di udara."Mas Dava?" Nara terkejut."Berani kamu menyentuh istri aku, akan aku pastikan kamu tidak akan pernah bertemu dengan Abiyu lagi. Paham?" Secara kasar Dava mengibaskan tangan Nara, lalu Dava meraih tangan Hanum. "Ayo kita pergi, Num."Tidak ada lagi yang bisa merubah keputusan Dava. Baik itu Heru, Fitri, sekalipun Nani. Semua diam ketika Dava mengambil sikap tegas. Akhirnya Dava, Hanum, Abiyu, juga Fitri meninggalkan kediaman Nara tanpa embel-embel apa pun, mereka pergi tanpa menoleh lagi ke belakang."Ayo, Num. Kita harus cari mini
Hanum terkejut atas apa yang sudah Dava ucapkan, pasalnya dia sendiri saja tidak tahu akan tujuan Dava mengumpulkan semua orang. Dava tidak pernah mendiskusikan masalah ini dengan dirinya.Nara yang tidak setuju terus menolak, Dava mengeluarkan semua berkas perjanjian yang pernah mereka tanda tangani lalu menyimpannya di atas meja."Kamu sudah menandatangani semuanya, Ra. Aku harap kamu bisa kooperatif."Nara mengambil surat tersebut bukan untuk membacanya, tetapi untuk merobeknya dan beberapa kertas itu ia robek di hadapan semua orang, robekan kertas itu dia lempar ke sembarang arah."Aku nggak peduli! Pokoknya aku nggak mau kita bercerai!""Aku nggak cinta sama kamu, Ra," tegas Dava."Pikirkan bagaimana nasib putra kita, Mas. Abiyu masih membutuhkan aku, Abiyu masih minum ASI.""Itu bukan masalah serius, aku bisa kasih dia susu formula.""Aku nggak setuju. Kamu mau anak kita sakit?""Susu formula itu kurang bagus, Dava. Ada ASI, buat apa susu formula?" Nani ikut membela menantu kesa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen