Darmawan menatap Handoko dengan dahi mengernyit. “Kebangkrutan? Apa maksudmu?”Handoko menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap sahabatnya dalam-dalam. Ternyata, saat dalam perjalanan tadi , Handoko menyuruh orang untuk mengecek profil perusahaan Darmawan. “Perusahaan kamu. Aku masih punya beberapa relasi di dunia bisnis. Masak kamu gak tau?”Darmawan tampak terpukul. Wajahnya mendadak pucat. “Tapi … Arjuna bilang semua baik-baik saja. Dia yang kelola semua sekarang. Aku pikir … dia bisa dipercaya.”Ratna menyelipkan ucapan tajam, matanya menatap menusuk. “Dan dia memperbaiki keuangan dengan cara menikahi anak saya, lalu menyusup ke perusahaan kami.”Rukmini menutup mulutnya. Matanya berkaca-kaca. “Ya Allah … Arjuna … kenapa kamu jadi seperti ini?”Darmawan berdiri dengan gemetar, seperti menolak kenyataan yang baru saja menghantamnya. “Aku serahkan semua padanya karena kupikir … dia bisa jadi pemimpin. Dia anakku satu-satunya, aku selalu menginginkan yang terbaik buat dia. P
“Apa yang Om rencanakan?” tanya Ratna. Dahi Handoko mengernyit. “Apa maksudmu?” “Om yang menjodohkan Arjuna dengan Alya, Om pasti ada maksud terselubung.” Handoko menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap tajam pada keponakannya itu.“Ada masalah apa, sampai kamu sampai hati menuduh Om seperti ini?” tanya Handoko. Suaranya pelan, tetapi tegas, dengan sorot mata penuh wibawa. “Sejak papamu meninggal, kamu sudah Om anggap anak sendiri. Tak sedikitpun, Om ada niatan buruk sama kamu, juga sama Alya.” Ratna balas menata netra tua dihadapannya, untuk menebak kejujuran di sorot mata itu. Tetap seperti biasa, tak ada yang janggal. Akhirnya, Ratna mengeluarkan hapenya yang sudah berisi rekaman suara Arjuna dari alat penyadap yang dipasang di kamar Alya. Ratna meletakkan di atas meja, lalu dinyalakan. Mata Handoko melihat benda pipih itu, belum mengerti maksud Ratna. Ratna menyalakan rekaman suara itu. Raut wajah Handoko agak tegang. Dia sampai menegakkan tubuh, dan menajamkan indr
Alya menggenggam tangan Bastian begitu erat, matanya membelalak, dan rahangnya mengeras saat mendengar kalimat terakhir dari Arjuna.“Dia benar-benar licik,” desis Ratna lirih, penuh amarah. Bastian tak menjawab. Tatapannya tertuju ke layar kecil alat penyadap yang menampilkan suara Arjuna dengan jelas. Napasnya berat menahan emosi. Hatinya panas mendengar anak perempuannya dijadikan alat.Alya tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Tangisnya jatuh tanpa suara, namun tubuhnya bergetar hebat.“Dia bilang aku mulai mencintainya. Dia pikir aku bodoh.” Suaranya bergetar. Alya menangis bukan karena sudah mulai mencintai Arjuna, tetapi menyesal karena tidak menyelidiki tentang Arjuna terlebih dahulu.Bastian menarik Alya dalam pelukannya. “Papa janji, dia akan menyesal sudah mempermainkan kamu. Papa akan buat dia dan dalangnya bertekuk lutut.”Ratna menoleh tajam ke arah suaminya. “Pa, ini sudah terlalu jauh. Mereka berniat menghancurkan keluarga kita. Kita tidak bisa diam!”“Kita akan l
Hening. Tak ada yang menjawab. Hanya terdengar suara deru nafas Ratna yang berusaha meredam emosinya. “Ma … tolong lupakan masalah yang sudah lalu. Alya sedih, kalau lihat Mama seperti ini terus. Alya ngerti perasaan Mama, tapi mau sampai kapan, Mama terus merasa tak dicintai sama Papa,” kata Alya dengan suara lembut. Ratna terdiam, tak tahu entah kenapa tiba-tiba emosinya kembali meledak. “Arjuna dan Papa beda, Ma. Papa memang salah, karena mencintai wanita lain selain Mama. Tapi percaya dong, Ma, kalau Papa itu juga masih mencintai Mama. Alya yakin, Papa juga sedang berusaha, mengembalikan cintanya supaya utuh kembali untuk Mama seorang.” Memang apa yang dikatakan Alya benar adanya. Bastian sangat berusaha mengembalikan cintanya seperti dulu. Sejak dia berjanji pada Ratna, dia berusaha untuk meluangkan waktu lebih banyak bersama Ratna. Namun, rasa cemburu Ratna masih tersisa, hingga membuatnya sulit untuk percaya. Atau memang, orang yang sudah mulai lanjut usia seperti dirinya s
Setelah Arjuna dan Bastian pergi, Ratna datang ke kamar Alya, sebelumnya diketuk pintu.“Kenapa?” tanya Ratna seraya mendekat. Dipegang dahi Alya, suhunya tak begitu panas meski terasa hangat di telapak tangan Ratna.“Nggak tau, Ma. Badan Alya lemas. Pandangan rasanya berputar-putar, juga mual,” kata Alya dengan suara lemah. “Kita ke dokter yuk,” ajak Ratna. Alya menggeleng. “Apa kamu mau terus berbaring dan membiarkan Arjuna memegang kendali perusahaan?” tanya Ratna. Alya kembali menggeleng. “Ya udah, kita sekarang ke dokter. Biar tau kamu kenapa. Siapa tau, tekanan darah kamu rendah,” kata Ratna. Akhirnya, Alya mengangguk pasrah. Ratna segera keluar untuk meminta supir agar segera bersiap-siap, lalu membantu Alya memakai baju yang bersih meskipun dia tak mandi. Hanya sekedar mencuci wajah agar terlihat lebih segar.Ratna membantu Alya berjalan perlahan menuju mobil. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Alya menyandarkan kepala di bahu ibunya. Ada sesuatu yang menenangkan dari pe
“Tapi ingat, kamu jangan sampe jatuh cinta sama dia,” kata suara dari sebrang.“Tenang aja, dia bukan tipe aku. Biarpun pelayanannya cukup memuaskan. Awalnya jinak-jinak merpati, lama-lama ganas. Mana masih segel lagi hahahaha,” tawa Arjuna begitu renyah hingga membangunkan Alya yang masih terlelap. Pandangan Alya masih kabur, tangannya meraba-raba sebelahnya. Merasa hanya menyentuh bantal, Alya melebarkan matanya. “Sayang …,” panggilnya. Arjuna sangat terkejut mendengar Alya memanggilnya. “Dia bangun. Nanti aku hubungi lagi,” bisiknya, lalu segera memutuskan sambungan telepon. “Ya, Sayang!” sahutnya, lalu segera masuk kembali. “Darimana?” tanya Alya.“Ada yang telpon tadi. Aku takut ganggu kamu, makanya keluar,” jawab Arjuna berbohong, lalu naik kembali ke atas ranjang. Alya menatap wajah Arjuna, mencoba membaca gerak-gerik suaminya itu. Matanya masih menyimpan sisa kantuk. Entah kenapa, ada yang terasa ganjil.“Oh,” sahut Alya pendek. “Kirain kamu kemana.”Arjuna tertawa keci