Bab 19"Dasar gadis pembangkang! Apa susahnya sih nurut sama aku?! Kamu itu sudah aku bayar mahal. Jadi menurut lah, Riri!" bentak Leo. Lagi-lagi pria itu mencengkeram kemudi."Mas pikir selama ini aku nggak nurut?" tantang Riri. Dia benar-benar gemas. Dia hanya bercerita dan kebetulan menyebut nama Zakia. Tapi itu membuat Leo marah besar. Ini seperti mengada-ada."Aku hanya melakukan apa yang aku anggap terbaik, Mas. Demi kita dan orang tua kita....""Orang tuaku tidak merestui pernikahan kita. Jadi kamu melakukan itu untuk ibumu. Benar begitu?" tuduh Leo. Pria itu menoleh sekilas. Kini ia sudah melepaskan tangannya dari kemudi.Riri tertegun. Ucapan Leo memang benar. Dia melakukan semuanya yang dianggap terbaik untuk ibunya, demi ibunya. Dia hanya berusaha untuk mencegah, jangan sampai Leo menceraikannya.Dia tidak mau perceraian itu terjadi. Dia benci dengan perceraian, apalagi luka masa lalunya belum sembuh. Dia tidak ingin ibunya kembali terluka jika nanti harus mendapati percer
Bab 20Namanya Satria Adi Nugraha. Pria dewasa berumur 35 tahun ini bekerja sebagai CEO di salah satu anak perusahaan yang berada di bawah naungan Amanah Group. Dengan pastur tubuh tinggi besar, tegap dan tampan, memiliki rambut sedikit bergelombang, dan sorot mata setajam elang, seolah merupakan magnet tersendiri bagi siapapun wanita yang berada di dekatnya. Namun, Satria hanya memilih Disty, seorang model internasional yang kini memilih tinggal di Paris. Satria memilih melakukan hubungan jarak jauh karena tak ingin kehilangan istrinya, sementara Disty tidak mau karirnya tamat begitu saja saat menikah dengan Satria, walaupun Satria sudah menjanjikan kehidupan yang tak kalah mewah dan glamor seperti yang dijalani Disty saat ini.Pernikahan Leo dan Riri sedikit menyita perhatiannya. Pernikahan yang terasa mendadak. Keluarga mereka bahkan hanya diberitahu jelang hari H saja, itupun kakak sulungnya memberitahu dengan bersungut-sungut, seolah tak rela jika Leo harus menikah dengan Riri y
Bab 21Satria tertegun. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering. Pertanyaan Riri begitu sulit ia jawab. Tahukah Riri, jika sebenarnya dia sudah hampir kehilangan komunikasi dengan istrinya, kecuali di saat kunjungan rutinnya setiap bulan ke Paris? Pria itu kembali meneguk minumannya hingga gelas berwarna bening itu tak lagi menyisakan air."Yang jelas dia tidak menampakkan kecemburuan saat aku menceritakan soal kamu. Dia orangnya sangat pengertian." Begitu jawab Satria. "Aku tidak tanya itu, Om. Aku hanya tanya, apakah pertemuan kali ini diketahui oleh Tante Disty dan dia mengizinkan Om bertemu dengan aku?" desak Riri."Aku hanya nggak ingin ada masalah baru. Sudah cukup masalahku dengan Mas Leo serta kedua orang tuanya. Jangan lagi ditambah dengan masalah lain. Aku tidak mau Tante Disty mengira aku yang macam-macam....""Jujur Om nggak bisa jawab, Ri, tapi kapan-kapan Om akan bercerita banyak soal kehidupan pribadi Om," sergah Satria. Lelaki itu menghela nafas. Tak ingin Riri
Bab 22"Bapak!" Gadis itu seketika berdiri dan langsung memutar tubuhnya menghadap ke arah pintu. Sesosok laki-laki tua berdiri dengan tubuhnya yang ringkih... "Mau apa Bapak kemari? Apa masih belum cukup luka yang Bapak torehkan selama ini kepada kami?" dengus Riri. Ini bukan kali pertama Prasetyo datang kemari. Dan maksud kedatangannya sudah bisa ditebak.Sejak mereka bertemu lagi dan Prasetyo menjadi wali nikah Riri waktu itu, laki-laki tua itu seolah menemukan angin segar.Tangan Riri seketika terangkat ingin mendorong tubuh lelaki itu agar tidak bisa masuk ke rumah. Namun tangan Daffa lebih cepat menangkap gelagat sang adik."Biarkan dia masuk, Ri. Kita dengar dulu apa yang ingin dia katakan," ujarnya sembari tetap memegang erat sepasang tangan Riri."Lepas, Mas. Aku tidak sudi dia masuk ke rumah ini! Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan!" pekik Riri. Dia meronta keras dalam kungkungan sang kakak, meraung penuh luka. Siapapun yang mendengarnya pasti akan merasakan getaran lu
Bab 23 Sebenarnya Satria hanya ingin masuk ke dalam mobilnya. Dia mengerti arti tatapan Daffa yang terlihat tidak enak karena ia menyaksikan perdebatan keluarga itu. Namun ternyata Riri malah salah paham. Dia pikir Satria akan meninggalkannya. "Ya, kenapa, Ri?" tanya lelaki itu saat tubuhnya sudah menyentuh jok di depan kemudi. "Om mau pergi?" Cepat-cepat Satria menggeleng. "Om hanya ingin duduk di sini, menunggu kamu selesai berbicara dengan ayah dan ibumu." Namun Riri menggeleng. Tatapannya begitu sayu. "Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Om. Apakah Om tidak dengar, Mas Daffa sudah meminta Bapak untuk meninggalkan rumah ini?" Riri menunjuk ke arah dua lelaki beda generasi itu. Daffa terlihat memegang lengan Prasetyo, memegangnya kuat, sehingga mau tidak mau Prasetyo terpaksa melangkah mengikuti putranya melewati pintu depan. "Justru Om yang meminta maaf karena sudah turut menyaksikan...." "Itulah keluarga kami, Om. Maaf, aku memang berasal dari keluarga...." Lagi-lag
Bab 24"Ya, bersihkan dirimu dulu. Aku tunggu kamu di kamar." Leo mengurai pelukannya, lalu kembali berjalan menuju meja makan dan menghirup tehnya. Setelah menghabiskan tehnya, Leo pun segera beranjak dan berjalan menuju kamar. Pandangannya langsung tertuju kepada ranjang yang seharusnya menjadi tempat tidur mereka. Namun nyatanya selama berbulan-bulan laki-laki itu memilih untuk tidur di ruang kerja. Mereka benar-benar pisah ranjang. Pria itu segera merebahkan tubuhnya. Dia tidak bohong. Tubuhnya begitu pegal setelah seharian bekerja. Namun bukan itu yang menjadi tujuan utama. Dia ingin agar gadis lugu itu tak lagi menjadi lugu mulai malam ini.Sebuah seringai licik mampir di bibirnya. Bersamaan dengan itu, Riri keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dengan rambut yang masih basah. Masih dengan mengenakan jubah mandinya, gadis itu duduk di depan meja rias. Dia mulai mengeringkan rambutnya, lalu menyisirnya."Kenapa harus ke kamar mandi? Kamu bisa mengenakan paka
Bab 25"Kamu memang tidak mengenalku, Ri...." desis Leo. Ucapannya lantas terhenti lantaran bersin. Pria itu lantas mengambil tisu dan menyeka cairan kental putih kehijauan di hidungnya."Iya, tapi kamu kenapa Mas?" Riri bertanya seraya ikut bergerak mengejar Leo yang sudah beranjak menuju kamar mereka.Namun lagi-lagi Leo tidak menjawab. Dia menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang, berbaring dengan posisi miring."Kamu memang tidak mengenalku, Ri. Sudah aku bilang, jika kamu tidak perlu mengurusiku. Inilah akibatnya." Pria itu kembali bersin dan dengan sigap Riri menyodorkan tisu yang semula berada di meja nakas untuk lelaki itu."Aku tidak mengerti maksud Mas. Mengapa Mas kait kaitkan dengan kesediaanku untuk mengurusi Mas? Apa salahku?"Riri benar-benar heran. Bukankah Leo sendiri yang menyuruhnya untuk mengambil makanan? Riri hanya menjalankan apa yang diminta oleh Leo, tetapi kenapa dia justru menyalahkannya?"Kamu belum tahu apa salahmu?" ketus pria itu, lagi-lagi sambil mengelap h
Bab 26Menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan bagi siapapun, termasuk Riri. Dia berjalan mondar-mandir di ruang kerja Satria, sementara lelaki itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu diiringi oleh asisten pribadinya."Kapan rapatnya selesai sih? Masa iya aku disuruh menunggu di sini? Aku sudah beberapa kali kemari, tetapi tetap saja aku merasa asing dengan tempat ini," keluh Riri sembari mendaratkan kembali tubuhnya di sofa. Sebenarnya di meja kaca depan sofa ada minuman ringan dan cemilan. Namun Riri tetap saja merasa bosan dan tak nyaman.[Tunggu sebentar lagi ya, Cantik. Rapatnya hampir selesai]Begitu pesan Satria saat Riri baru saja membuka ponselnya. Gadis itu menghela nafas berat, lalu segera memijat tombol dan keluar dari aplikasi pesan instan. Demi mengisi waktunya, akhirnya Riri memutuskan untuk bermain game teka-teki silang. Lumayan untuk mengasah otaknya. Saking asyiknya, dia tidak menyadari jika seorang lelaki muda masuk ke dalam ruangan itu."Riri...." Gadis