Kalau saja menemukan gunting di dalam kamarnya, Alayya sudah pasti akan memotong gaun tidur panjang berbahan satin ini. Sayangnya, sudah membongkar semua isi laci yang ada di ruang ber-AC ini, wanita itu tidak juga menemukan benda tajam itu.
Bagaimana tidak, Alayya tidak pernah tidur dengan baju sepanjang ini. Baju tidur yang biasa dia pakai hanya sebatas paha atasnya, sering kali hanya mengenakan pakaian dalam saja, tapi sekarang lihatlah dirinya. Baju tidur yang Alayya paham pasti harganya mahal ini melekat di tubuhnya. Tidak ingin memakai, tetapi protes yang dia lontarkan pada Christy juga Ibrahim sama sekali tidak di dengar.
Apa tadi yang Ibrahim bilang, “Nggak akan ada baju-baju lama kamu di sini.”
“Kenapa?” Alayya jelas terperangah saat itu, padahal dia tahu kalau Ibrahim akan menyuruh orang untuk mengambil baju-bajunya di kos-kosan. “Semua pakaian di lemari itu bukan selera saya.” protesnya lagi.
“Saya tahu, tapi mulai sekarang kamu harus pakai itu, meski belum bisa seperti almarhum istri saya, setidaknya pakailah pakaian yang lebih tertutup dari ini.” tunjuknya pada penampilan pakaian Alayya.
“Anda keterlaluan, Tuan! Saya benci sama Anda!” geram Alayya dengan gigi gemeletuk.
“Terserah, pilihan ada padamu,” ujar Ibrahim sambil lalu dari hadapan Alayya.
Mengingat percakapan singkatnya dengan Ibrahim beberapa menit lalu membuat hatinya kembali membara. Akan tetapi, dia terlalu lelah untuk pedulikan itu sekarang ini.
Akhirnya, daripada kesal yang tidak bisa tersalurkan dan merasa sumpek dengan pakaian longgar dan panjang ini, Alayya putuskan malam ini dia tidur hanya menggunakan underwear saja.
***
“Ayya! Bangun, ini udah subuh!” Alayya hanya menggeliat di dalam selimutnya. Suara panggilan Ibrahim serupa nyanyian pengantar tidur, tidak dia hiraukan sama sekali.
“Astagfirullah, ini orang tidur udah kayak orang mati aja, aku udah bangunin pakai suara keras gini masih bergeming aja? Lihat, apa yang bakal aku lakuin, Ayya!” Ibrahim menggerutu. Dia berjalan ke salah satu dinding untuk menyalakan lampu utama kamar. Tepat dugaannya, Alayya mengencangkan pejamam matanya karena merasa silau dengan sinar lampu. Sambil tersenyum menyeringai, Ibrahim kembali mendekati ranjang dan menyibak selimut yang menutupi tubuh sang wanita.
“Astagfirullah!” Ibrahim terperanjat. Meski bukan pertama kali melihat tubuh sintal Alayya yang tanpa pakaian, tetap saja kali ini berbeda rasanya karena mereka hanya berdua.
“Apa sih, Tuan!” sungut Alayya yang masih terbaring, setengah bangkit dari rebahnya dia rebut selimut putih itu lalu menutup kembali tubuhnya. Bukan karena malu, tetapi dia masih ingin tidur.
“Kenapa kamu tidur nggak pakai baju tidur? Memangnya kurang baju yang saya belikan?” cecar Ibrahim.
“Saya udah bilang nggak suka, kan, Tuan. Lihat tuh bajunya di sana, nggak enak dipakai,” jawab Alayya sambil menunjuk onggokan baju tidur di karpet tempat sofa santai berada.
Ibrahim menggeleng pelan. “Ya udah bangun, kita solat subuh dulu.”
“Nggak mau, saya nggak pernah solat.” Alayya menjawab sembari memiringkan tubuhnya.
“Saya dulu juga begitu, tapi almarhum istri saya yang mengajari saya. Sekarang saya udah bisa dan saya akan membimbing kamu sebisa saya,” terang Ibrahim.
“Buat apa? Saya nggak butuh!” ketus Alayya.
“Kamu harus belajar Ayya. Saya nggak mau jantung istri saya ada di tubuh orang yang tidak beragama, kasihan arwah istri saya nanti, Ayya.”
Hati Alayya langsung memanas. Ini masih pagi, tetapi si Tuan rumah sudah berlaku yang membuat suasana hatinya sepanas siang hari. Alayya bangkit dari tidurnya lalu menatap nyalang pada Ibrahim.
“Cukup, Tuan. Saya nggak mau ikutin semua kemauan Anda! Jangan hanya karena dalam tubuh saya ada jantung istri Anda, lalu dengan seenaknya Anda bisa memerintah saya. Pergi dari kamar saya, saya masih mengantuk!” Setelah berucap demikian. Alayya kembali berbaring dan kini dia tutupi seluruh tubuhnya hingga kepala dengan selimut tebal itu.
Ibrahim tertegun di sisi ranjang. Ucapan Alayya benar, dia Alayya bukan Nisa–istrinya yang solehah– jadi, tidak seharusnya Ibrahim memaksakan kehendaknya pada wanita itu. Mengalah untuk kali ini, Ibrahim keluar dari kamar Alayya setelah mematikan lagi lampu utama kamar itu.
Ibrahim masuk kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Tujuannya utamanya adalah kamar mandi yang berada di sisi sebelah kiri kamar paling besar dan paling mewah di rumah besarnya ini.
Dia ambil wudhu lalu bersiap melaksanakan kewajiban paginya seorang diri, sama seperti yang sudah dia lakukan satu tahun belakangan ini. Kemudian dengan khusyuk Ibrahim berdoa diakhir solatnya, meminta kepada Tuhan agar hatinya tetap terjaga untuk selalu dijalan-Nya meski sudah tidak ada sang istri di sisinya yang selalu membimbing dan menemaninya.
Ibrahim menekan sudut matanya yang telanjur basah. Ini sudah satu tahun berlalu, tetapi kematian Nisa terasa seperti baru saja kemarin terjadi. Sakit yang sama selalu dia rasakan setiap melihat wajah cantik nan berseri milik istri berhijabnya itu. Saat ini pun begitu, foto Nisa yang ada di atas nakas sudah berada di tangannya. Senyum manis dari putri Mustafa Wahyudi itu belum hilang dari ingatannya sampai hari ini.
“Sayang, kamu tahu, kan? Kemarin aku udah menemukan penerima donor jantungmu. Aku harap kamu nggak menyesal saat tahu siapa dia. Kamu tenang aja, Sayang. Meski mungkin sulit, aku akan ubah kebiasaan buruknya agar kamu tenang di sana, bantu aku ya, Sayangku. Aamiin.”
***
“Dia nggak mau turun?” Ibrahim bertanya pada asisten rumah tangganya yang baru saja dia minta untuk membangunkan Alayya.
Asisten yang bernama Christy itu melangkahkan kakinya mendekati meja makan sang majikan dengan raut wajah muram.
“Nggak, Tuan. Dia bilang masih mengantuk,” lapornya dengan kepala tertunduk.
“Apa-apaan dia, ini udah jam delapan pagi dan dia bilang masih mengantuk? Ini rumah bukan hotel! Suruh dia turun!” sentak Mustika seketika. Sendok dan garpu dalam genggamannya pun terlepas ke atas piring karena emosinya yang meledak.
“Hentikan, Tante!” Mustika terbelalak. Perintahnya kepada Christy dipatahkan oleh keponakannya sendiri.
“Jangan paksa dia melakukan apa pun, dia masih harus beradaptasi di rumah ini.”
“Tapi Ibrahim, dia bisa manja kalau kamu bela begini,” sela Mustika tidak terima sang keponakan lebih memperhatikan tamu tidak diundangnya itu.
“Dia terbiasa pulang dini hari, mungkin karena itu dia nggak biasa bangun pagi.” Lagi. Sambil memotong roti panggangnya, Ibrahim dengan santai menjawab sang Tante.
“Ibrahim! Sejak kapan kamu mentolerir orang malas? Kita harus tegas padanya agar dia nggak besar kepala,” ucap Mustika dengan wajah memerah menahan marah.
“Nggak untuk saat ini, Tante. Aku Tuan rumahnya maka aturan akulah yang harus Tante ikuti, jadi tolong, jangan ganggu Ayya untuk sekarang ini,” tegas Ibrahim tanpa pandang bulu. Mustika yang mendengar semakin kesal pada wanita yang masih tertidur pulas di kamarnya itu.
“Ini nggak bisa dibiarkan, Ibrahim nggak boleh ada di pihak dia atau aku yang akan tersingkir,” gumam Mustika dalam hati dengan kedua tangan terkepal erat di atas meja.
Bersambung ...Alayya berjengit kaget, hampir saja dia menjatuhkan hair dryer yang sedang dia pakai untuk mengeringkan rambut panjangnya itu di kursi depan meja riasnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan paksa. “Apa begitu cara orang masuk ke kamar tamu di rumah ini, Tante?” Alayya menyambut Mustika melalui cermin di depannya dengan tatapan sinis meski tangannya masih mengerakkan mesin pengering rambut itu. “Tutup mulutmu wanita tidak tahu diri, aku bukan Tantemu,’’ salak Mustika tanpa basa basi. Langkahnya pun mantap sekali mendekati wanita yang tengah tersenyum mengejek itu. Alayya berdecih sambil meletakkan hair dryer kembali ke atas meja rias. Masih dengan melihat pantulan bayangan Mustika di cermin Alayya pun berkata, “Oke, Nyonya. sekarang katakan padaku apa keperluan Anda datang ke kamarku.”Wanita berusia 58 tahun itu berdecak tak suka. Wajah judesnya kentara sekali sekarang. “Tolong ya, itu mulut dijaga bicaranya. Ini bukan kamarmu tapi milik keponakanku Ibrahim.” Perkataan M
Alayya kesal bukan main, sambungan teleponnya diputus begitu saja oleh Ibrahim. “Kurang ajar banget sih ini orang!” Alayya menggerutu sambil menatap layar ponsel yang kembali hitam. Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor yang tadi, tetapi hasilnya nihil. Ibrahim sama sekali tidak menggubris dering telepon darinya.“Benar-benar menyebalkan!” Gerak tangan Alayya yang akan melempar ponsel itu menggantung di udara saat terdengar Bembi berseru, “Tunggu Nona! Itu, kan, ponsel saya!” Hampir saja benda pipih itu menyapa lantai kalau saja Bembi terlambat mencegah apa yang akan wanita itu lakukan barusan. Alayya mendelik, sedetik kemudian dia menyadari kesalahannya.“Maaf …,” ucapnya ketus seraya mengulurkan kembali ponsel itu pada sang ajudan. Dia pun kembali masuk ke kamar dengan rasa kesal yang menyesakkan dadanya. “Nggak! Aku nggak mau terkurung di sini! Aku harus bisa keluar dari rumah ini secepatnya!” ujarnya be
Ibrahim mengalihkan tatapan matanya pada objek di depan mobilnya sambil menjawab, “Saya Ibrahim. Mulai saat ini, Ayya akan tinggal bersama saya, jadi kamu tidak perlu menunggunya pulang atau pun mencarinya.” “Kenapa begitu?” sela Ghania cepat. “Ayya sahabat saya, saya harus tahu di mana dia dan siapa Anda sampai bisa membawanya pergi? Apa Anda tidak tahu kalau Tuan Darel pasti akan marah dan mencari dia?” Ucapan Ghania berhasil menarik perhatian Ibrahim. “Darel? Siapa dia?”Wanita yang bibirnya masih berpoles lipstik merah menyala itu berdecak. “Sudah saya duga Anda pasti nggak tahu dia.” Ghania memiringkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Ibrahim yang mana dress-nya tersingkap memamerkan paha atasnya yang mulus. Bersyukur Ibrahim bukan pria mata keranjang. Suguhan tiba-tiba itu tidak mempengaruhi konsentrasinya sama sekali. “Tuan Darel Agustino adalah pemilik klub tempat kami bernaung. Dan saya beritahukan pada Anda,
Alayya tidak pernah menyangka kalau dia akan mengalami kejadian seperti ini. Memalukan sekaligus menyedihkan itulah dirinya sekarang ini. Bagaimana tidak. Seusai dirinya makan siang tadi, dia sudah berencana kembali ke kamarnya, tetapi melihat suasana rumah yang sepi apalagi tidak ada Nyonya Lampir (ini panggilan Alayya pada Mustika) jiwa ingin tahu Alayya pun meronta-ronta untuk dipuaskan. Perempuan yang dua bulan lagi berumur 24 tahun ini beranjak dari kursinya di ruang makan, bukan lantai dua tujuannya, dia ingin melihat-lihat isi rumah Ibrahim di lantai satu sembari mencari celah kalau-kalau ada jalan untuknya keluar. “Non, mau ke mana?” Christy bertanya saat Alaya baru saja menginjak pintu keluar menuju kolam renang“Hai, Chris. Aku mau jalan-jalan di luar sebentar. Boleh ya?” tanya Alayya dengan wajah berseri. Tidak ada kecurigaan sedikitpun pada diri Christy terhadap sikap Alayya, maka tanpa ragu wanita paruh baya itu
“Chris, apa Tuan Ibrahim udah pulang?” Alayya bertanya pada Christy yang sedang mengganti perban di lututnya. Sejak pulang marah-marah tadi siang, pria itu belum terlihat lagi olehnya.Sambil menggunting plester, Christy pun menjawab. “Tuan nggak akan makan malam di rumah hari ini, Nona.”“Oh, ya? terus biasanya pulang jam berapa, Chris?” entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawtirkan Ibrahim. “Nggak tentu, Non. Kadang jam sepuluh malam kadang lewat tengah malam.” Christy bangkit dari duduknya dengan kotak P3K ada di tangannya. “Non tenang aja, saya akan bawakan makan malam Anda ke sini. Saya permisi dulu, ya?’Alayya mengangguk saja. Namun, baru dua langkah berjalan, pertanyaan Alayya membuat kakinya berhenti bergerak. “Aku mau lihat foto Nisa, apa boleh, Chris?’Christy menengok. Wajah Alayya terlihat serius sekali menatapnya. “Maaf, Non. bukan saya yang bisa memutuskan hal itu karena jujur saja semu
“Apa Anda bisa menemani saya ngobrol Tuan? Saya belum ngantuk soalnya,” seru Alayya dengan beraninya dari atas balkon padahal dia tahu malam semakin larut dan Ibrahim baru saja kembali.Namun, bukannya marah, pria tampan itu sejenak berpikir lalu tanpa ragu dia pun menjawab, “Tunggu saya di dalam, saya akan segera datang.”Ucapan itu tentu saja membuat Alayya merekahkan senyumnya. Manis sekali, untuk sesaat Ibrahim merasa melihat senyum sang istri di sana. cepat dia menggeleng agar menghilangkan bayangan itu dari pikirannya, lalu dia pun bergegas masuk ke rumah. Melihat ibrahim tidak lagi berada di teras, Alayya pun memutar tubuhnya dan kembali berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Sesuai ucapannya, lima belas menit kemudian ibrahim yang sudah melepas jas meninggalkan kemeja putih yang digulung hingga siku mengetuk pintu kamar Alayya. Pria itu pun masuk setelah si empunya kamar memberinya izin. “Saya pikir A
Untuk pertama kalinya dalam hidup Alayya, Dia bisa bangun pagi, bahkan lebih pagi dari yang pernah dia lakukan selama ini, tepat saat adzan subuh Ibrahim berhasil membuat wanita muda itu bangun dari tidurnya“Anda benar-benar resek, ya, Tuan! Orang masih enak-enak tidur disuruh bangun,” gerutu Alayya yang sudah duduk di atas ranjangnya. Matanya masih separuh terpejam.“Nanti kamu juga akan terbiasa. Pertama memang seperti itu, sangat berat membuka mata dan nggak nyaman sekali. Makanya harus dibiasakan,” ucap Ibrahim masih dari sisi ranjang. “Dih, males banget! Nggak deh. Mending Tuan aja, ya? Saya baru tidur Tuan. Mata saya berasa lengket. Saya mau tidur lagi, ya?” “Eh … Kok malah balik tidur lagi?” Ibrahim menahan lengan alayya yang akan kembali berbaring di tempat tidurnya.“Bukannya semalam kamu tidur lebih awal? Kenapa masih nggak bisa juga bangun pagi?” tanya Ibrahim dengan nada kesal, karena seingat dia, lampu kamar Alayya sudah mati pukul sebelas malam.Alayya mendelik heran.
“Tante kenapa? Apa ada yang sakit?” Mustika terkesiap. Tidak menyangka kalau Ibrahim sedang memperhatikannya. Mustika berdehem sejenak hanya untuk melonggarkan tenggorokannya yang dirasa tercekat. “Nggak ada kok, Ibrahim. Tante baik-baik aja, karena supnya masih panas aja jadi Tante diam,” jelasnya yang sudah pasti berbohong. Ibrahim hanya mengangguk saja, lalu melanjutkan makannya, sedangkan Alayya tak peduli. Dia dengan lahap menyantap semua yang disediakan Christy di depannya. Segera menyelesaikan sesi sarapan ini dan kembali ke kamarnya adalah hal yang sangat ingin dia lakukan saat ini. “Lukamu bagaimana, Ya? Perbannya udah diganti?” tanya Ibrahim yang mengalihkan tatapannya pada Alayya. “Udah, pakai plester aja kok,” jawab Alayya dengan mulut yang penuh makanan.Ibrahim terkekeh. “Salep lebamnya udah dikasih juga?” Kali ini Alayya mengangguk. Malas bicara. Sandwich-nya terlalu enak untuk diabaikan.Akan tetapi, kehadiran