Share

CEO 4 Membiasakan Diri

Kalau saja menemukan gunting di dalam kamarnya, Alayya sudah pasti akan memotong gaun tidur panjang berbahan satin ini. Sayangnya, sudah membongkar semua isi laci yang ada di ruang ber-AC ini, wanita itu tidak juga menemukan benda tajam itu. 

Bagaimana tidak, Alayya tidak pernah tidur dengan baju sepanjang ini. Baju tidur yang biasa dia pakai hanya sebatas paha atasnya, sering kali hanya mengenakan pakaian dalam saja, tapi sekarang lihatlah dirinya. Baju tidur yang Alayya paham pasti harganya mahal ini melekat di tubuhnya. Tidak ingin memakai, tetapi protes yang dia lontarkan pada Christy juga Ibrahim sama sekali tidak di dengar. 

Apa tadi yang Ibrahim bilang, “Nggak akan ada baju-baju lama kamu di sini.”

“Kenapa?” Alayya jelas terperangah saat itu, padahal dia tahu kalau Ibrahim akan menyuruh orang untuk mengambil baju-bajunya di kos-kosan. “Semua pakaian di lemari itu bukan selera saya.” protesnya lagi. 

“Saya tahu, tapi mulai sekarang kamu harus pakai itu, meski belum bisa seperti almarhum istri saya, setidaknya pakailah pakaian yang lebih tertutup dari ini.” tunjuknya pada penampilan pakaian Alayya.

“Anda keterlaluan, Tuan! Saya benci sama Anda!” geram Alayya dengan gigi gemeletuk.

“Terserah, pilihan ada padamu,” ujar Ibrahim sambil lalu dari hadapan Alayya.

Mengingat percakapan singkatnya dengan Ibrahim beberapa menit lalu membuat hatinya kembali membara. Akan tetapi, dia terlalu lelah untuk pedulikan itu sekarang ini. 

Akhirnya, daripada kesal yang tidak bisa tersalurkan dan merasa sumpek dengan pakaian longgar dan panjang ini, Alayya putuskan malam ini dia tidur hanya menggunakan underwear saja. 

***

“Ayya! Bangun, ini udah subuh!” Alayya hanya menggeliat di dalam selimutnya. Suara panggilan Ibrahim serupa nyanyian pengantar tidur, tidak dia hiraukan sama sekali. 

“Astagfirullah, ini orang tidur udah kayak orang mati aja, aku udah bangunin pakai suara keras gini masih bergeming aja? Lihat, apa yang bakal aku lakuin, Ayya!” Ibrahim menggerutu. Dia berjalan ke salah satu dinding untuk menyalakan lampu utama kamar. Tepat dugaannya, Alayya mengencangkan pejamam matanya karena merasa silau dengan sinar lampu. Sambil tersenyum menyeringai, Ibrahim kembali mendekati ranjang dan menyibak selimut yang menutupi tubuh sang wanita. 

“Astagfirullah!” Ibrahim terperanjat. Meski bukan pertama kali melihat tubuh sintal Alayya yang tanpa pakaian, tetap saja kali ini berbeda rasanya karena mereka hanya berdua. 

“Apa sih, Tuan!” sungut Alayya yang masih terbaring, setengah bangkit dari rebahnya dia rebut selimut putih itu lalu menutup kembali tubuhnya. Bukan karena malu, tetapi dia masih ingin tidur. 

“Kenapa kamu tidur nggak pakai baju tidur? Memangnya kurang baju yang saya belikan?” cecar Ibrahim.

“Saya udah bilang nggak suka, kan, Tuan. Lihat tuh bajunya di sana, nggak enak dipakai,” jawab Alayya sambil menunjuk onggokan baju tidur di karpet tempat sofa santai berada. 

Ibrahim menggeleng pelan. “Ya udah bangun, kita solat subuh dulu.”  

“Nggak mau, saya nggak pernah solat.” Alayya menjawab sembari memiringkan tubuhnya. 

“Saya dulu juga begitu, tapi almarhum istri saya yang mengajari saya. Sekarang saya udah bisa dan saya akan membimbing kamu sebisa saya,” terang Ibrahim.

“Buat apa? Saya nggak butuh!” ketus Alayya. 

“Kamu harus belajar Ayya. Saya nggak mau jantung istri saya ada di tubuh orang yang tidak beragama, kasihan arwah istri saya nanti, Ayya.” 

Hati Alayya langsung memanas. Ini masih pagi, tetapi si Tuan rumah sudah berlaku yang membuat suasana hatinya sepanas siang hari. Alayya bangkit dari tidurnya lalu menatap nyalang pada Ibrahim. 

“Cukup, Tuan. Saya nggak mau ikutin semua kemauan Anda! Jangan hanya karena dalam tubuh saya ada jantung istri Anda, lalu dengan seenaknya Anda bisa memerintah saya. Pergi dari kamar saya, saya masih mengantuk!” Setelah berucap demikian. Alayya kembali berbaring dan kini dia tutupi seluruh tubuhnya hingga kepala dengan selimut tebal itu. 

Ibrahim tertegun di sisi ranjang. Ucapan Alayya benar, dia Alayya bukan Nisa–istrinya yang solehah– jadi, tidak seharusnya Ibrahim memaksakan kehendaknya pada wanita itu. Mengalah untuk kali ini, Ibrahim keluar dari kamar Alayya setelah mematikan lagi lampu utama kamar itu.

Ibrahim masuk kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Tujuannya utamanya adalah kamar mandi yang berada di sisi sebelah kiri kamar paling besar dan paling mewah di rumah besarnya ini. 

Dia ambil wudhu lalu bersiap melaksanakan kewajiban paginya seorang diri, sama seperti yang sudah dia lakukan satu tahun belakangan ini. Kemudian dengan khusyuk Ibrahim berdoa diakhir solatnya, meminta kepada Tuhan agar hatinya tetap terjaga untuk selalu dijalan-Nya meski sudah tidak ada sang istri di sisinya yang selalu membimbing dan menemaninya.

Ibrahim menekan sudut matanya yang telanjur basah. Ini sudah satu tahun berlalu, tetapi kematian Nisa terasa seperti baru saja kemarin terjadi. Sakit yang sama selalu dia rasakan setiap melihat wajah cantik nan berseri milik istri berhijabnya itu. Saat ini pun begitu, foto Nisa yang ada di atas nakas sudah berada di tangannya. Senyum manis dari putri Mustafa Wahyudi itu belum hilang dari ingatannya sampai hari ini. 

“Sayang, kamu tahu, kan? Kemarin aku udah menemukan penerima donor jantungmu. Aku harap kamu nggak menyesal saat tahu siapa dia. Kamu tenang aja, Sayang. Meski mungkin sulit, aku akan ubah kebiasaan buruknya agar kamu tenang di sana, bantu aku ya, Sayangku. Aamiin.”

***

“Dia nggak mau turun?” Ibrahim bertanya pada asisten rumah tangganya yang baru saja dia minta untuk membangunkan Alayya.

Asisten yang bernama Christy itu melangkahkan kakinya mendekati meja makan sang majikan dengan raut wajah muram. 

“Nggak, Tuan. Dia bilang masih mengantuk,” lapornya dengan kepala tertunduk. 

“Apa-apaan dia, ini udah jam delapan pagi dan dia bilang masih mengantuk? Ini rumah bukan hotel! Suruh dia turun!” sentak Mustika seketika. Sendok dan garpu dalam genggamannya pun terlepas ke atas piring karena emosinya yang meledak. 

“Hentikan, Tante!” Mustika terbelalak. Perintahnya kepada Christy dipatahkan oleh keponakannya sendiri. 

“Jangan paksa dia melakukan apa pun, dia masih harus beradaptasi di rumah ini.”

“Tapi Ibrahim, dia bisa manja kalau kamu bela begini,” sela Mustika tidak terima sang keponakan lebih memperhatikan tamu tidak diundangnya itu. 

“Dia terbiasa pulang dini hari, mungkin karena itu dia nggak biasa bangun pagi.” Lagi. Sambil memotong roti panggangnya, Ibrahim dengan santai menjawab sang Tante. 

“Ibrahim! Sejak kapan kamu mentolerir orang malas? Kita harus tegas padanya agar dia nggak besar kepala,” ucap Mustika dengan wajah memerah menahan marah. 

“Nggak untuk saat ini, Tante. Aku Tuan rumahnya maka aturan akulah yang harus Tante ikuti, jadi tolong, jangan ganggu Ayya untuk sekarang ini,” tegas Ibrahim tanpa pandang bulu. Mustika yang mendengar semakin kesal pada wanita yang masih tertidur pulas di kamarnya itu. 

“Ini nggak bisa dibiarkan, Ibrahim nggak boleh ada di pihak dia atau aku yang akan tersingkir,” gumam Mustika dalam hati dengan kedua tangan terkepal erat di atas meja. 

Bersambung ...

Comments (18)
goodnovel comment avatar
Fauzi Annur
yang sabar ibrahim, yakin pasti ayya pelan2 bisa berubah
goodnovel comment avatar
AYfa Cmoet
yang sabar ya km Ibrahim semoga ada pengganti nya untuk menjadi pendamping hidup mu biar tersiksa sama kenangan bersama mantan istri mu
goodnovel comment avatar
AYfa Cmoet
bagus ayya km tegas untuk beradaptasi itu sulit tapi semoga saja kedepan nya km bisa itu untuk kebaikan mu juga ay
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status