Share

CEO 5 Perang Dingin

Alayya berjengit kaget, hampir saja dia menjatuhkan hair dryer yang sedang dia pakai untuk mengeringkan rambut panjangnya itu di kursi depan meja riasnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan paksa. 

“Apa begitu cara orang masuk ke kamar tamu di rumah ini, Tante?” Alayya menyambut Mustika melalui cermin di depannya dengan tatapan sinis meski tangannya masih mengerakkan mesin pengering rambut itu. 

“Tutup mulutmu wanita tidak tahu diri, aku bukan Tantemu,’’ salak Mustika tanpa basa basi. Langkahnya pun mantap sekali mendekati wanita yang tengah tersenyum mengejek itu. 

Alayya berdecih sambil meletakkan hair dryer kembali ke atas meja rias. Masih dengan melihat pantulan bayangan Mustika di cermin Alayya pun berkata, “Oke, Nyonya. sekarang katakan padaku apa keperluan Anda datang ke kamarku.”

Wanita berusia 58 tahun itu berdecak tak suka. Wajah judesnya kentara sekali sekarang. “Tolong ya, itu mulut dijaga bicaranya. Ini bukan kamarmu tapi milik keponakanku Ibrahim.” 

Perkataan Mustika membuat Alayya naik darah. Sisir yang ada di tangan kanannya dia hentakkan sekuat tenaga ke atas meja yang mana berhasil membuat Mustika terlonjak di tempatnya berdiri. Sejurus kemudian Alayya memutar tubuhnya menghadap wanita paruh baya itu tanpa beranjak dari kursinya. 

“Mau Nyonya apa sih? Udah masuk nggak ketuk pintu dulu, sekarang mengkomplain semua ucapanku. Aku yang menempati kamar ini sudah barang tentu akulah pemiliknya, kalau mau protes bilang aja sama keponakanmu yang ganteng itu.”

Mustika benar-benar kesal kali ini. Dia sengaja naik ke lantai dua setelah memastikan Ibrahim pergi ke kantornya. Niatnya ingin menyeret perempuan bermata almond ini dari ranjangnya karena sudah siang belum juga bangun, tetapi ternyata Alayya sudah bangun bahkan sudah mandi. 

Tidak ingin kehilangan kesempatan, Mustika harus memberi peringatan dan pelajaran pada Alayya agar bisa bersikap selayaknya tamu di rumah ini. Sayangnya, wanita berkulit putih dan berwajah indo ini bukan perempuan yang mudah di lawan. Ucapan Mustika sama sekali tidak membuatnya takut atau segan padahal jelas-jelas dia adalah Tante dari orang yang sudah membawa wanita itu ke mari.

“Aku cuma mau kamu tahu, aku juga punya kuasa di rumah ini. Kalau kamu masih aja nggak bisa bangun pagi dan mengikuti semua aturan di sini, aku sendiri yang akan menyeretmu keluar dari kediaman ini juga dari kehidupan Ibrahim, ngerti kamu?”

“Kalau aku nggak mau, Nyonya mau gimana?” tantang Alayya dengan tatapan sinisnya pun sudah berdiri dari duduknya.

“Bisa apa kamu melawanku?” 

“Bisa aja. Lagian aku sendiri yang mau datang ke rumah ini, jadi kalau mau pergi, tentu itu juga karena keinginanku bukan karena Anda atau Tuan Ibrahim sekali pun. Sekarang keluar dari kamarku,” tunjuk Alayya pada pintu kamarnya yang masih terbuka lebar. 

Mustika makin membelalakkan matanya. Selama ini tidak ada yang berani melawannya, tetapi wanita ini? Mustika seperti kehilangan kata untuk sekedar membantah wanita di depannya ini. Maka dengan membawa kekesalan yang amat sangat dalam hatinya. Mustika hentakkan kaki berbalut sepatu heels rendah ke lantai sebelum akhirnya meninggalkan kamar Alayya. 

Wanita muda itu pun tertawa girang bisa melihat Tante dari Ibrahim itu kesal dan marah bersamaan. 

Alayya memejamkan matanya saat Mustika menutup pintu kamar sedemikian kerasnya. Tidak ingin terlalu peduli pada nasib pintu bercat putih itu, Alayya pun kembali menatap dirinya melalui cermin oval di meja rias. Dia berdecak untuk kesekian kali karena pakaian yang dia kenakan saat ini bukanlah seleranya. Alayya sudah mencari ke seluruh sisi lemari, tetapi tidak ada satu pun pakaian yang dirasa cocok. Alhasil dia pilih gamis A line berwarna merah marun yang longgar, tetapi pas membalut tubuh langsingnya. 

“Sampai kapan aku harus memakai baju seperti ini? Siapa sebenarnya Nisa itu, kenapa pakaiannya longgar dan panjang-panjang seperti ini? Gerah kan, ini. Mana sumpek di kamar terus,” gerutunya sambil berjalan mondar-mandir. 

Saat itulah dia baru teringat akan ponselnya. Benda pipih itu semalam diminta paksa oleh Ibrahim. Laki-laki itu tanpa sopan santun menggeledah tas Hermes miliknya di dalam mobil. 

“Saya ambil ponselmu, besok saya akan membelikan yang baru untukmu,” ujar Ibrahim tadi malam. Dia bahkan tidak menggubris penolakan Alayya. 

“Kenapa harus di ambil? Semua nomor teman-temanku di situ.” 

“Juga nomor-nomor pelangganmu bukan?” Alayya bungkam. “Itu sebabnya kenapa ponselnya aku simpan dan akan aku musnahkan, carilah teman baru dan relasi yang lebih baik lagi nanti.”

“Eh, Tuan ….” tangan Alayya sama sekali tidak dia biarkan menyentuh ponselnya yang akhirnya masuk kantong jas mahal Ibrahim. 

“Sial! Sial! Sial! Ibrahim sialan!” umpatnya ketika bayang kejadian saat perjalanan menuju rumah ini tadi malam kembali hadir di benaknya.

“Sekarang aku harus gimana? Aku butuh ponsel itu!” Gerak kakinya bukannya berhenti, tetapi makin cepat bolak-balik. Alayya panik. Tentu saja, selain bos tempat dia bernaung–Darel– juga ada sahabatnya Ghania yang pasti sangat khawatir karena tidak mendapatkan kabar apa pun darinya sejak semalam. 

Tanpa mau menunda waktu, Alayya menuju pintu kamar dan membukanya. Namun, langkah lebarnya terhenti saat seorang pria menyapanya. 

“Nona mau ke mana?” Cepat Alayya berbalik. Dia heran kenapa ada pria di depan kamarnya. Dilihat dari pakaiannya, pria ini sama seperti pria-pria yang ada di dekat Ibrahim semalam, sontak wanita itu memukul dahinya sendiri, dia lupa kalau kamarnya dalam penjagaan. 

“Aku mau ketemu Tuan Ibrahim, kamu siapa?” tanya Alayya dengan wajah polosnya. 

“Kenalkan Nona, saya Bembi, saya salah satu penjaga kamar Anda. Maaf, Tuan Ibrahim ada di kantor, Anda tidak bisa menemuinya sekarang,” terang pria jangkung berambut cepak dan berkumis itu. 

“Tapi aku butuh ketemu sekarang!” Keukeh Alayya yang sudah kembali memutar tubuhnya bersiap untuk melangkah pergi, tetapi lagi-lagi Bembi mencegahnya. 

“Nggak bisa, Nona. Turuti saya atau Anda akan membuat saya dalam masalah,” pinta pria yang usianya jauh lebih tua dari Alayya itu. 

Wanita itu mendengkus kasar. Sial sekali dirinya bertemu dengan manusia bernama Ibrahim. Semua aktifitasnya dibatasi, kebebasannya dikurangi, habis ini apalagi? gumam Alayya dalam hati. 

“Baik, kalau gitu hubungi Tuan Ibrahim, saya butuh bicara padanya. Sekarang!” titahnya dengan wajah yang sudah berubah serius. Tentu saja Bembi segera merogoh ponselnya yang ada di saku celana bahannya itu, lalu menghubungi nomor sang atasan. 

“Halo.” akhirnya Ibrahim mengangkat panggilan Bembi di dering ketiga. 

“Maaf, Tuan. Nona Ayya ingin bicara pada Anda. Apa Anda berkenan?” tanya Bembi hati-hati.

“Berikan ponselmu padanya.” Segera saja perintah Ibrahim dilaksanakan. Benda pintar itu kini sudah ada di tangan Alayya.

“Tuan di mana?” 

“Ada apa? Waktu saya nggak banyak.” Decakan Alayya beri pada pria bercambang tipis itu. 

“Aku butuh ponsel saat ini juga, cepat berikan ponselku,” jelas Alayya segera. 

“Nggak hari ini. Besok saya akan berikan ponsel baru untukmu, bersabarlah.”

“Apa! Halo … halo …”

 

Bersambung …

Mga Comments (17)
goodnovel comment avatar
Itta Irawan
jgn lupakan kata2 ibrahim semalam bhwa yg berhak dan berkuasa dirumah itu cuma ibrahim dong tante,hehehe
goodnovel comment avatar
Ernhy Ahza II
lawan trus layya si tante peyot itu ...... klu perlu skli kli kasih dia pelajaran biar jera
goodnovel comment avatar
Viiie
tante tika bener2 sensi mulu sama Ayya,tapi syang Ayya bukan gadis yg mudah ditindas ... Ibrahim bener2 mau mengubah cara hidup Ayya,tapi ntah bisa berhasil atau nggak Ayya udah kayak anak yg dihukum sama ayah nya ga boleh pegang hp kalau masih bandel mulu ... sabar Ayya,Ibrahim mau yg terbaik buatmu
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status