Share

CEO 5 Perang Dingin

Author: Ziya_Khan21
last update Last Updated: 2023-12-15 12:30:50

Alayya berjengit kaget, hampir saja dia menjatuhkan hair dryer yang sedang dia pakai untuk mengeringkan rambut panjangnya itu di kursi depan meja riasnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan paksa. 

“Apa begitu cara orang masuk ke kamar tamu di rumah ini, Tante?” Alayya menyambut Mustika melalui cermin di depannya dengan tatapan sinis meski tangannya masih mengerakkan mesin pengering rambut itu. 

“Tutup mulutmu wanita tidak tahu diri, aku bukan Tantemu,’’ salak Mustika tanpa basa basi. Langkahnya pun mantap sekali mendekati wanita yang tengah tersenyum mengejek itu. 

Alayya berdecih sambil meletakkan hair dryer kembali ke atas meja rias. Masih dengan melihat pantulan bayangan Mustika di cermin Alayya pun berkata, “Oke, Nyonya. sekarang katakan padaku apa keperluan Anda datang ke kamarku.”

Wanita berusia 58 tahun itu berdecak tak suka. Wajah judesnya kentara sekali sekarang. “Tolong ya, itu mulut dijaga bicaranya. Ini bukan kamarmu tapi milik keponakanku Ibrahim.” 

Perkataan Mustika membuat Alayya naik darah. Sisir yang ada di tangan kanannya dia hentakkan sekuat tenaga ke atas meja yang mana berhasil membuat Mustika terlonjak di tempatnya berdiri. Sejurus kemudian Alayya memutar tubuhnya menghadap wanita paruh baya itu tanpa beranjak dari kursinya. 

“Mau Nyonya apa sih? Udah masuk nggak ketuk pintu dulu, sekarang mengkomplain semua ucapanku. Aku yang menempati kamar ini sudah barang tentu akulah pemiliknya, kalau mau protes bilang aja sama keponakanmu yang ganteng itu.”

Mustika benar-benar kesal kali ini. Dia sengaja naik ke lantai dua setelah memastikan Ibrahim pergi ke kantornya. Niatnya ingin menyeret perempuan bermata almond ini dari ranjangnya karena sudah siang belum juga bangun, tetapi ternyata Alayya sudah bangun bahkan sudah mandi. 

Tidak ingin kehilangan kesempatan, Mustika harus memberi peringatan dan pelajaran pada Alayya agar bisa bersikap selayaknya tamu di rumah ini. Sayangnya, wanita berkulit putih dan berwajah indo ini bukan perempuan yang mudah di lawan. Ucapan Mustika sama sekali tidak membuatnya takut atau segan padahal jelas-jelas dia adalah Tante dari orang yang sudah membawa wanita itu ke mari.

“Aku cuma mau kamu tahu, aku juga punya kuasa di rumah ini. Kalau kamu masih aja nggak bisa bangun pagi dan mengikuti semua aturan di sini, aku sendiri yang akan menyeretmu keluar dari kediaman ini juga dari kehidupan Ibrahim, ngerti kamu?”

“Kalau aku nggak mau, Nyonya mau gimana?” tantang Alayya dengan tatapan sinisnya pun sudah berdiri dari duduknya.

“Bisa apa kamu melawanku?” 

“Bisa aja. Lagian aku sendiri yang mau datang ke rumah ini, jadi kalau mau pergi, tentu itu juga karena keinginanku bukan karena Anda atau Tuan Ibrahim sekali pun. Sekarang keluar dari kamarku,” tunjuk Alayya pada pintu kamarnya yang masih terbuka lebar. 

Mustika makin membelalakkan matanya. Selama ini tidak ada yang berani melawannya, tetapi wanita ini? Mustika seperti kehilangan kata untuk sekedar membantah wanita di depannya ini. Maka dengan membawa kekesalan yang amat sangat dalam hatinya. Mustika hentakkan kaki berbalut sepatu heels rendah ke lantai sebelum akhirnya meninggalkan kamar Alayya. 

Wanita muda itu pun tertawa girang bisa melihat Tante dari Ibrahim itu kesal dan marah bersamaan. 

Alayya memejamkan matanya saat Mustika menutup pintu kamar sedemikian kerasnya. Tidak ingin terlalu peduli pada nasib pintu bercat putih itu, Alayya pun kembali menatap dirinya melalui cermin oval di meja rias. Dia berdecak untuk kesekian kali karena pakaian yang dia kenakan saat ini bukanlah seleranya. Alayya sudah mencari ke seluruh sisi lemari, tetapi tidak ada satu pun pakaian yang dirasa cocok. Alhasil dia pilih gamis A line berwarna merah marun yang longgar, tetapi pas membalut tubuh langsingnya. 

“Sampai kapan aku harus memakai baju seperti ini? Siapa sebenarnya Nisa itu, kenapa pakaiannya longgar dan panjang-panjang seperti ini? Gerah kan, ini. Mana sumpek di kamar terus,” gerutunya sambil berjalan mondar-mandir. 

Saat itulah dia baru teringat akan ponselnya. Benda pipih itu semalam diminta paksa oleh Ibrahim. Laki-laki itu tanpa sopan santun menggeledah tas Hermes miliknya di dalam mobil. 

“Saya ambil ponselmu, besok saya akan membelikan yang baru untukmu,” ujar Ibrahim tadi malam. Dia bahkan tidak menggubris penolakan Alayya. 

“Kenapa harus di ambil? Semua nomor teman-temanku di situ.” 

“Juga nomor-nomor pelangganmu bukan?” Alayya bungkam. “Itu sebabnya kenapa ponselnya aku simpan dan akan aku musnahkan, carilah teman baru dan relasi yang lebih baik lagi nanti.”

“Eh, Tuan ….” tangan Alayya sama sekali tidak dia biarkan menyentuh ponselnya yang akhirnya masuk kantong jas mahal Ibrahim. 

“Sial! Sial! Sial! Ibrahim sialan!” umpatnya ketika bayang kejadian saat perjalanan menuju rumah ini tadi malam kembali hadir di benaknya.

“Sekarang aku harus gimana? Aku butuh ponsel itu!” Gerak kakinya bukannya berhenti, tetapi makin cepat bolak-balik. Alayya panik. Tentu saja, selain bos tempat dia bernaung–Darel– juga ada sahabatnya Ghania yang pasti sangat khawatir karena tidak mendapatkan kabar apa pun darinya sejak semalam. 

Tanpa mau menunda waktu, Alayya menuju pintu kamar dan membukanya. Namun, langkah lebarnya terhenti saat seorang pria menyapanya. 

“Nona mau ke mana?” Cepat Alayya berbalik. Dia heran kenapa ada pria di depan kamarnya. Dilihat dari pakaiannya, pria ini sama seperti pria-pria yang ada di dekat Ibrahim semalam, sontak wanita itu memukul dahinya sendiri, dia lupa kalau kamarnya dalam penjagaan. 

“Aku mau ketemu Tuan Ibrahim, kamu siapa?” tanya Alayya dengan wajah polosnya. 

“Kenalkan Nona, saya Bembi, saya salah satu penjaga kamar Anda. Maaf, Tuan Ibrahim ada di kantor, Anda tidak bisa menemuinya sekarang,” terang pria jangkung berambut cepak dan berkumis itu. 

“Tapi aku butuh ketemu sekarang!” Keukeh Alayya yang sudah kembali memutar tubuhnya bersiap untuk melangkah pergi, tetapi lagi-lagi Bembi mencegahnya. 

“Nggak bisa, Nona. Turuti saya atau Anda akan membuat saya dalam masalah,” pinta pria yang usianya jauh lebih tua dari Alayya itu. 

Wanita itu mendengkus kasar. Sial sekali dirinya bertemu dengan manusia bernama Ibrahim. Semua aktifitasnya dibatasi, kebebasannya dikurangi, habis ini apalagi? gumam Alayya dalam hati. 

“Baik, kalau gitu hubungi Tuan Ibrahim, saya butuh bicara padanya. Sekarang!” titahnya dengan wajah yang sudah berubah serius. Tentu saja Bembi segera merogoh ponselnya yang ada di saku celana bahannya itu, lalu menghubungi nomor sang atasan. 

“Halo.” akhirnya Ibrahim mengangkat panggilan Bembi di dering ketiga. 

“Maaf, Tuan. Nona Ayya ingin bicara pada Anda. Apa Anda berkenan?” tanya Bembi hati-hati.

“Berikan ponselmu padanya.” Segera saja perintah Ibrahim dilaksanakan. Benda pintar itu kini sudah ada di tangan Alayya.

“Tuan di mana?” 

“Ada apa? Waktu saya nggak banyak.” Decakan Alayya beri pada pria bercambang tipis itu. 

“Aku butuh ponsel saat ini juga, cepat berikan ponselku,” jelas Alayya segera. 

“Nggak hari ini. Besok saya akan berikan ponsel baru untukmu, bersabarlah.”

“Apa! Halo … halo …”

 

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (19)
goodnovel comment avatar
Inon Poenya
salfok.sama bembi,
goodnovel comment avatar
ida Sari
Alayya ga semudah itu kali buat di usir klu km sampai melakukan hal itu yang ada km sendiri yg kena usir sama keponakan km sendiri ...... Alayya di lawan ga mempan ...,, kasian juga ya Alayya ga bisa ngapa2in dia nya jd di kurung kek burung ......
goodnovel comment avatar
Itta Irawan
jgn lupakan kata2 ibrahim semalam bhwa yg berhak dan berkuasa dirumah itu cuma ibrahim dong tante,hehehe
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 91 Bahagia telah Tiba

    "Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    Bab 90 Akhir dari Mustika

    “Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 89 Rencana Terakhir

    "Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 88 Bersiaplah, Tante

    Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 87 Kepastian

    Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 86 Atur Rencana

    "Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status